Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163383 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soehartati Argadikoesoemo Gondhowiardjo
"Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan di Indonesia.' Data yang diperoleh dari registrasi kanker berdasarkan Patologi di Indonesia pada tahun 1991 menunjukkan adanya 1059 (5,6%) kasus KNF di antara 18,770 kasus keganasan. Hal ini menempatkan KNF pada urutan ke empat setelah karsinoma mulut rahim, payudara, dan kulit.
Di Sub.Bagian Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) I Rumah Sakit Umum Pusat Nasional - Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) dalam kurun waktu 5 tahun, periode 1980 - 1984, terdapat 748 pasien KNF. Angka ini menyatakan bahwa KNF merupakan kasus ke tiga terbanyak setelah keganasan mulut rahim dan payudara. Sejumlah 74,5% kasus datang pada stadium IV, 18,6% kasus pada stadium III dan hanya 6,9% di antaranya yang berada pada stadium I dan 1I.' Data dari Bagian Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT) FKUII RSUPN-CM memperlihatkan bahwa KNF merupakan kasus keganasan terbanyak (71,8%) dari semua jenis keganasan THT yang dijumpai.
Jenis keganasan ini sangat jarang ditemukan di daratan Eropa dan Amerika Utara, yaitu dengan angka kejadian kurang dari 1 di antara 100,000 penduduk. Sebaliknya, di daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi, bahkan angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara, yaitu sebesar 40-50 kasus KNF di antara 100.000 penduduk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
D43
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholid Badri
"Respons tumor terhadap radiasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat digolongkan ke dalam faktor intrinsik yang bersifat genetik dan faktor-faktor lingkungan mikro (microenvirontment) yang disebut faktor epigenetik. Faktor intrinsik dapat ditunjukkan dengan 'predictive assay' yang dapat memperlihatkan sensitivitas individual tumor. Faktor epigenetik terdiri dari berbagai faktor termasuk hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan. Dan berbagai penelitian dapat ditunjukkan hubungan antara beberapa faktor itu dengan respons tumor, maupun antara ketiga faktor tersebut. Dapat diasumsikan bahwa faktor hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan merupakan indikatorindikator Iingkungan tumor yang dapat merupakan prediktor terhadap respons radiasi pada jaringan tumor tersebut. Pada penelitian ini, fraksi pertumbuhan tumor akan diteliti kaitannya dengan respons tumor dan pemanfaatannya dalam pengobatan gabungan untuk meningkatkan respons pada tumor yang mempunyai prognosis buruk. Berdasarkan asumsi bahwa tumor dengan fraksi pertumbuhan rendah relatif hipoksik, maka dilakukan pengobatan gabungan radiasi dengan MMC, suatu sitostatika yang bekerja efektif dalam keadaan hipoksik pada kelompok-kelompok tumor yang sudah digolongkan ke dalam fraksi pertumbuhan yang rendah dan yang tinggi. Pemilahan pasien berdasarkan besarnya fraksi pertumbuhan dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan biopsi segar penderita kanker leher rahim menggunakan antibodi monoklonal Ki-67. Penderita KLR yang diteliti adalah penderita stadium lanjut lokal (stadium II b sampai III b menurut FIGO) yang datang ke Sub Bagian Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM dan kemudian dikirim ke Sub Bagian Radioterapi Bagian Radiologi FKUI/RSCM

Response of tumors toward radiation is affected by various factors that can be classified as intrinsic factors, which are genetic, and epigenetic factors, which are micro environment. The intrinsic factors can be demonstrated through a "predictive assay" which can show the sensitivity of individual tumor.
Epigenetic factors consist of many factors including hypoxia, vascularization, and growth fraction. From results of many studies, can' be shown that there is a relation between these last factors with response of tumor. There is also relation among these three factors. We can assume that hypoxia, vascularization and growth fraction are indicators of tumor's environment which can also be predictors of response to radiation in tumor tissue.
In this study, the rate of tumor growth will be studied in it's relation to tumor's response and the uses in combined treatment to increase the response of tumors with bad prognosis.
Based on an assumption that tumors with low growth fraction are relatively hypoxic, combination of radiation with MMC is used, a cytostatic agent that effectively work on hypoxic condition in groups of tumors which have been classified as having low growth fraction. Patients grouping were performed based on the growth fraction as seen in immunohisto chemistry examination on fresh biopsy tissue of patients with cancer of cervix, using Ki-67 monoclonal antibody. Those patients of cancer of the cervix included in this study were patients in locally advanced stages (stage IIb - IIIb by FIGO classification), who came to Oncology Sub Department of the Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine University of Indonesia/Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, and referred to Radiotherapy Sub Department of the Department of Radiology at the same institute.
After going through inclusion and exclusion criteria, 146 patients were found to be suitable for evaluation with the prescribed protocol. The patients were sorted into 4 groups according the growth fraction and type of treatment to be performed. Group I and Group II were patients with Ki-67 index less than 40% with a difference that Group I underwent radiation therapy only, while Group II was treated with combination of radiation therapy and MMC. Group III and IV were patients with Ki-67 index 40% or higher, with a difference that Group III underwent radiation therapy only, while Group IV was treated with combination of radiation therapy and MMC. The 40 % Ki-67 criterion was determined based on results of preliminary study which set the level around 40%.
The radiation therapy consisted of external radiation to the pelvis area in 28 sessions with a dose of 180 cGy per sessions or 5040 cGy total dose given in around 5.5 weeks. After a 1 - 2 week rest, radiation therapy were continued in the form of intra cavitary radiation using High Dose Rate (HDR) system in 2 sessions, I week apart, each in a dose of 850 cGy, giving a total dose of 1700 cGy. A small number of patients (42 patients) were given with Low Dose Rate (LDR) intra cavitary system in similar session and interval with those patients with HDR system. The dose was 1300 cGy per session or total dose of 2600 cGy being equal to the total dose of 1700 cGy in HDR system. Mitomycin-C was given in the combined treatment groups, with a dose of 15 mglm2, as a bolus injection intravenously, at the first day of external radiation and the first intracavitary insertion.
Routine blood examinations were performed to each patient before treatment and once a week until the radiation therapy were completed. Liver function tests were performed before treatment, at the end of external radiation and after all radiation therapy completion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D79
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismawati
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Proteasom adalah partikel subseluler yang berperan dalam degradasi protein intrasel. Dari kepustakaan diketahui bahwa konsentrasi proteasom serum pada penderita kanker meningkat dibandingkan individu normal. Belum diketahui apakah konsentrasi proteasom juga meningkat pada tahap prakanker. Telah dilakukan penelitian induksi karsinogenesis hati pada tikus Wistar dengan menggunakan N,2-Fluorenilasetamida (FAA) 40 lag. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati apakah terjadi perubahan konsentrasi proteasom dalam plasma dan jaringan hati pada tahap prakanker dan bagaimana efek pemberian tomat terhadap konsentrasi proteasom. Pada penelitian ini tikus dibagi menjadi 5 kelompok : kelompok kontrol 1(KKl) yaitu kelompok tikus yang hanya diberi akuabides, kelompok kontrol 2 (KK2) yaitu kelompok tikus yang diberi Pulvis Gum Arab (PGA) + minyak kelapa, kelompok kontrol 3 (KK3) yaitu kelompok tikus yang diberi emulsi tomat, kelompok perlakuan 1 (KP1) yaitu kelompok tikus yang diinduksi FAA dan kelompok perlakuan 2 (KP2) yaitu kelompok tikus yang diberi emulsi tomat dan diinduksi FAA. Pengamatan dilakukan dengan mengambil plasma dan jaringan hati setelah perlakuan selama 4 minggu dan 8 minggu. Dilakukan pengukuran konsentrasi proteasom dan pemeriksaan histopatologis jaringan hati untuk menilai derajat kerusakan hati. Pengukuran konsentrasi proteasom dilakukan dengan ELISA. Analisis hasil dilakukan dengan uji statistik Anava 1 arah, kecuali untuk konsentrasi proteasom plasma 4 minggu digunakan uji non parametrik Kruskal Wallis dengan batas kemaknaan p <0,05.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi proteasom plasma KP1 berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol dan KP2 setelah 8 minggu, sedangkan konsentrasi proteasom jaringan hati KP1 telah berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol dan KP2 sejak perlakuan 4 minggu. Pengamatan secara histopatologis menunjukkan adanya perubahan pada tahap prakanker pada perlakuan 8 minggu pada KP1 dan tidak pada kelompok yang lain. Dengan demikian hasil pengamatan konsentrasi proteasom pada tikus menunjukkan, bahwa peningkatan konsentrasi proteasom plasma terjadi pada tahap prakanker sementara peningkatan konsentrasi proteasom hati terjadi lebih dahulu daripada plasma dan kelainan histopatologisnya. Dari penelitian ini ternyata tomat memiliki efek protektif terhadap terjadinya karsinogenesis hati.

Proteasome is subcellular particle, which have role in degradation of intracellular protein. It is known that concentration of proteasome in serum cancer patients is higher than normal subject, but whether proteasome concentration increased at precancer is still unknown. This study was conducted to investigate the alteration of proteasome concentration during hepatocarcinogenesis induced by N, 2-Fluorenilacetamide (FAA) and protective effect of tomato. This research use rats that divided randomly into 5 groups: control group I (KKI), which only received bidistilled water, control group 2 (KK2), received Pulvis Gummi Arabic (PGA) + palm oil, control group 3 (KK3), received tomato emulsion, group of treatment I (KPI), which induced by FAA and group of treatment 2 (KP 2), induced by FAA and received tomato emulsion. The rats were sacrificed in the forth and eights week after treatment. Some parts of the liver were taken for histological examination and the rest were homogenized. Concentration of proteasome was determined from liver homogenats and plasma by ELISA method.
This study showed that proteasome concentration in plasma KP 1 is significantly increase compared to all control groups and KP 2 after 8 weeks, while concentration of proteasome in liver KP 1 significantly increase compared to all control groups and KP 2 after 4 weeks. Histological examinations showed signs of precancer only at KP 1 after 8 weeks treatment and not in other groups. This study suggested that proteasome concentration of rats? plasma were increased in precancer; elevation of liver proteasome were detected before alteration of liver cell occurred; and tomato emulsion has protective effect in liver carcinogenesis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novrida
"Tomat merupakan salah satu sayuran yang telah diketahui banyak mengandung antioksidan terutama likopen. Berdasarkan kepustakaan diketahui likopen merupakan antioksidan yang sangat potensial dalam meredam radikal bebas dan mengurang resiko kanker. Telah dilakukan penelitian tentang hambatan karsinogenesis dengan emulsi tomat pada tikus yang di induksi N-2-Fluorenilasetamida (FAA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek emulsi tomat dalam menghambat karsinogenesis yang diinduksi dengan FAA. Penelitian ini menggunakan 50 ekor tikus galur Wistar, berumur kurang lebih 3 bulan dengan berat badan berkisar 180 - 200 gram, yang dibagi secara acak dalam lima kelompok. Kelompok pertama (KK1), merupakan kelompok tikus yang hanya diberi aquades saja, kelompok kedua (KK2) diberi bahan pengemulsi terdiri dari pulvis gum arabic (PGA), minyak kelapa dan aquades, kelompok ketiga (KK3) diberi emulsi tomat, kelompok keempat (KPI) diberi FAA dengan dosis 40 ug/mL/hari. Kelompok kelima (KP2) diberi emulsi tomat dan FAA. Pemberian bahan perlakuan dilakukan melalui sonde lambung. Pengamatan terhadap plasma dilakukan setelah 2, 4, 6 dan 5 minggu perlakuan, sedangkan terhadap jaringan hati setelah 4 dan 8 minggu perlakuan. Sebagai parameter karsinogenesis dilakukan pengukuran kadar asam sialat plasma dan hati. Untuk mengetahui keadaan stres oksidatif dilakukan pengamatan terhadap kerusakan akibat radikal bebas serta senyawa antioksidan endogen seperti MDA, senyawa dikarbonil dan GSH plasma dan hati. Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA.
Pada KP1 ditemukan peningkatan bermakna kadar asam sialat plasma pada minggu ke-4, peningkatan kadar MDA plasma dan hati pada minggu ke-2, peningkatan kadar senyawa dikarbonil plasma dan jaringan hati pada minggu ke-4 dan penurunau kadar GSH plasma pada minggu ke-4. Pada KP2 ditemukan kadar asam sialat, kadar MDA, kadar senyawa dikarbonil yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan semua kelompok kontrol baik dalam plasma maupun pada jaringan hati. Terdapat korelasi antara peningkatan kadar asam sialat plasma dengan peningkatan kadar MDA dan senyawa dikarbonil serta dengan penurunan kadar GSH plasma. Hal ini menunjukkan bahwa stres oksidatif dapat memicu terjadinya karsinogenesis. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa emulsi tomat dapat menghambat karsinogenesis melalui penghambatan stres oksidatif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti Tri Kusumawati
"Latar Belakang: Tingginya pertumbuhan kasus keganasan ginekologi dan organ panggul menyebabkan penggunaan terapi radiasi meningkat. Akan tetapi, terapi radiasi juga cukup banyak menimbulkan proktitis radiasi sebesar 30%. Tatalaksana menggunakan agen topikal seperti SCFA, sukralfat, steroid, formalin, dan 5-ASA diketahui memiliki hasil yang baik, namun belum banyak studi yang membandingkan terapi mana yang lebih superior. Tujuan: Menilai efektivitas beberapa terapi topikal terhadap perbaikan gejala klinis dan gambaran endoskopi pasien proktitis radiasi.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan secara elektronik pada basis data PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, dan Science Direct antara September hingga November 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada referensi studi yang terkait, dan melalui register uji klinis yang tersertifikasi lainnya seperti Global Index Medicus, Garba Rujukan Digital (GARUDA), ClinicalTrial.gov, dan International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) WHO.
Seleksi Studi: Studi uji klinis acak terkontrol dengan intervensi terapi topikal dibandingkan plasebo atau terapi topikal lainnya atau kombinasi terapi medikamentosa, yang menilai luaran berupa respon gejala klinis dan gambaran endoskopi, serta dapat disertai luaran lain, ataupun tidak. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua orang peninjau independen. Dari total 1786 studi, didapatkan 9 studi memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh dua peninjau independen dan dikonfirmasi pada peninjau ketiga. Konfirmasi data dilakukan dengan menghubungi peneliti dari studi terkait. Tidak didapatkan data tambahan.
Hasil: Studi yang melaporkan efektivitas terapi berupa banyaknya jumlah subjek yang mengalami perbaikan atau penurunan skor klinis dan endoskopi dirangkum secara kualitatif. Masing-masing studi saling membahas antar terapi, dan memiliki heterogenitas yang tinggi. Dua studi mengenai formalin dapat dilakukan meta-analisis dengan hasil perbaikan klinis dan endoskopi, namun tidak bermakna terhadap dua studi tersebut (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15) dan tidak terdapat terapi yang lebih superior dibanding terapi lain dalam meta-analisis tersebut. Empat studi yang membahas formalin 4% memiliki kualitas hasil studi menengah dengan risiko bias rendah. Terdapat 3 dari 9 studi yang membandingkan terapi SCFA dengan plasebo sehingga sulit untuk menyimpulkan terapi mana yang berefek lebih baik, dan memiliki risiko bias tidak jelas, namun dengan jumlah pasien yang sedikitsehingga kualitas studi rendah. Satu studi mengenai efektivitas sukralfat menunjukkan hasil bermakna dengan estimasi risiko rendah (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). Akan tetapi studi mengenai 5-ASA topikal tidak ditemukan dalam inklusi telaah sistematis ini. Secara umum, kualitas hasil studi berdasarkan GRADE dapat dimasukkan ke dalam kategori sedang.
Kesimpulan: Penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema efektif dalam memperbaiki gejala klinis dan gambaran endoskopi proktitis radiasi. Namun, hingga saat ini belum ada studi klinis berkualitas baik sehingga sulit untuk menilai terapi yang terbaik. Sedangkan dari 2 studi formalin 4% yang dapat dilakukan meta-analisis, menunjukkan bahwa tidak ada terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya. Selain itu, tidak ditemukan tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema dalam mengobati proktitis radiasi.

Background: The high incidence of gynecological and pelvic malignancies has led to the usage of radiation therapy. Nonetheless, radiation therapy also causes a significant complication, about 30% of radiation proctitis. Treatments using topical agents such as SCFA, sucralfate, steroids, formalin, and 5-ASA are known to have good results. However, there are only a few studies comparing the superiority of those therapies.
Objectives: To assess the effectiveness of topical therapies in the clinical and endoscopic improvement of radiation proctitis patients.
Data Sources: Primary searching was conducted on electronic databases such as PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, and Science Direct between September and November 2020. Secondary searching was done by snowballing method on the relevant study references and through other certified clinical trial registries (Global Index Medicus, Garba Digital Reference (GARUDA), ClinicalTrial.gov, and WHO's International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP).
Study Selection: A randomized controlled trial comparing topical therapies versus placebo or other topical therapies or combination with medical therapies that evaluating the clinical response and endoscopic response. There is no restriction regarding the year of publication and language. Each study were assessed by two independent reviewers. From a total of 1,786 studies identified, 9 studies met the eligibility criteria.
Data Extraction: Data extraction was performed by two independent reviewers and confirmed by a third reviewer. Data confirmation was made by contacting the first researchers from related studies. No additional information was obtained.
Results: Studies reporting the effectiveness of therapy in the form of a large number of subjects experiencing improvement or reduction in clinical symptoms and endoscopy were summarized qualitatively. Each study discussed the therapies and the heterogeneity that could not be calculated due to the different outcomes. Two studies on formalin were subject to meta-analysis with clinical and endoscopy improvement. However, they were not significant in the two studies (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15), and no better treatment compared with others in those studies. Further, four studies discussing 4% formalin had medium study quality results with a low risk of bias. There are 3 out of 9 studies that compared SCFA therapy with placebo so it is difficult to conclude which therapy has a better effect, and has an unclear risk of bias, but with a small number of patients so that the quality of the study is low. One study using sucralfate showed significant results with a low-risk estimate (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). However, the study of topical 5-ASA was not found in the inclusion of this systematic review. The level of evidence for the majority of outcomes was downgraded using GRADE to a moderate level, due to imprecision and study limitation.
Conclusion: The usage of SCFA enema, topical formalin, topical steroid and sucralfate enema are effective in improving the clinical and endoscopic response in radiation proctitis patient. However, until now, there are no good quality studies, making it difficult to prove the best therapy. A meta-analysis from 2 studies using 4% formalin versus irrigation and antibiotics, shows no therapy is superior to another. Otherwise, no serious side effects were found in the usage of these topical therapies
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Mutrikah
"Tujuan: Membandingkan distribusi dosis respon akhir RE dan efek samping akut RE teknik konvensional dan teknik konformal pada kasus kanker serviks lokal lanjut Metode Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien kanker serviks II B dan III B yang mendapat RE pra brakiterapi di Dept Radioterapi RSCM.
Hasil: Didapat 51 pasien menjalani RE teknik konvensional 25 dengan Cobalt 60 26 dengan Linac dan 29 pasien menjalani teknik konformal Sesuai ketentuan ICRU 50 dan 62 prescribed dose dan cakupan volume target teknik konvensional Cobalt lebih kecil p 0 001 dan 1 kasus dari 25 pasien mendapatkan PTV 95 Prescribed dose dan cakupan volume target teknik konvensional Linac lebih besar p 0 001 dibanding teknik konformal Rerata conformity index teknik konvensional sebesar 2 dan teknik konformal 1 02 p 0 001 Dosis dan volume pada buli rektosigmoid dan bowel teknik konvensional lebih besar p 0 001 Respon komplit akhir RE teknik konvensional adalah 42 dan teknik konformal adalah 58 p 0 001 Faktor independen respon akhir RE yaitu stadium FIGO dini dan ukuran tumor sebelum RE kecil le 4cm Pada semua kasus tidak didapatkan efek samping akut lokal yang berat RTOG grade 3 4 Proporsi efek samping ringan RTOG grade 1 2 pada gastrointestinal vesikourinaria dan kulit lebih banyak pada teknik konvensional secara berurutan 72 Vs 28 p 0 002 78 Vs 22 p 0 003 dan 78 Vs 22 p 0 01.
Kesimpulan: RE teknik konformal lebih unggul dibanding teknik konvensional dalam distribusi prescribed dose dan cakupan volume target atau organ kritis yang berdampak pada respon tumor akhir RE dan efek samping.

Purpose: To compare the dose distribution acute tumor response and acute side effects between conventional and conformal techniques EBRT in locally advanced uterine cervical cancerMethods and materials Retrospective cohort study was done in stage II B and III B uterine cervical cancer underwent EBRT before brachytherapy in Dept Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Results: Fifety one patients underwent conventional technique EBRT and 29 patients of conformal technique EBRT The average of target prescribed dose and volume coverage of 2 techniques EBRTwas in accordance with criteria of ICRU 50 and 62 smaller p 0 001 only 1 case of Cobalt conventional technique EBRT showed PTV 95 Conformity index of conventional technique EBRT was 2 and conformal technique EBRT was 1 02 p 0 001 Dose and volume of vesicourinary rectosigmoid and distal large bowel of conventional technique EBRT was greater p 0 001 Complete response of conventional technique was 42 and conformal technique was 58 p 0 001 Independent factors were early FIGO stage and tumor size before EBRT le 4cm There were no severe acute side effects RTOG grade 3 4 in both groups Acute side effects RTOG grade 1 2 of conventional techniques was more than conformal gastrointestinal vesikourinaria and skin respectively 72 vs 28 p 0 002 78 vs 22 p 0 003 and 78 vs 22 p 0 01.
Conclusion: Conformal technique EBRT was superior to conventional technique EBRT in prescribed dose distribution target volume coverage and organ at risk dose that impact on acute tumor response and side effects
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2007
R 541.38 RIS
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riyanto
"Radiografer secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi meliputi pemeriksaan untuk radiodiagnostik termasuk kedokteran nuklir dan ultrasonografi (USG) dan melakukan tindakan proteksi radiasi dalam mengoperasikan peralatan radiologi. Penelitian ini bertujuan memprakirakan risiko pajanan radiasi sinar-X pada pekerja radiasi di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dalam perhitungan prakiraan risiko pajanan radiasi sinar-X, dosis pajanan radiasi sianr-X radiografer diperoleh dari hasil pengukuran film badge. Data pola aktifitas (lama kerja, frekuensi pajanan dan masa kerja) diperoleh berdasarkan hasil wawancara pada 35 radiografer di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, nilai rata-rata Excess Cancer Risk (ECR) lifetime (4,8E-2) dan realtime (1,9E-2). Karena secara teoretis karsinogenisitas tidak mempunyai nilai ambang atau non threshold, maka prakiraan risiko dinyatakan unacceptable (dosis tidak dapat diterima) bila ECR < E4. Kisaran angka E-4 diperoleh dari nilai default karsinogenistas yang digunakan oleh US-EPA (1990). Berdasarkan perhitungan ECR lifetime dan ECR realtime diperoleh gambaran prakiraan risiko efek karsinogenik yang terjadi pada radiografer di Departemen Radiologi RSUPN CM, dinyatakan aceptable pada risiko kanker baik pada ECR lifetime maupun realtime.

Radiographer in general have a duty and responsibility to audit includes examined patients for radiodiagnostic including nuclear medicine and ultrasonography (USG), and radiation protection in radiology and operating equipment. This study aims to estimated the risk of X-ray radiation exposure to radiographer in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo using Environmental Health Risk Analysis (ARKL). In calculating the estimated risk forecasts ARKL, risk of X-ray radiation exposure dose radiographer obtained from measurements of the film badge. Data patterns of activity (duration of work, frequency of exposure and years of work) obtained based on the results of a survey of 35 radiographers in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Based on the calculations performed, the average value of Excess Cancer lifetime Risk (ELCR) is 4,8E-2 and the value of Excess Real-time Cancer Risk (ERRC) the average is 1,9E-2. Because theoretically carcinogenicity has non-threshold value, then the forecast is declared unacceptable when ECR < E-4. Range of numbers obtained from the E-4, carcinogenicity default values used by the US-EPA (1990). Based on the calculation of the ELCR and ERCR forecasts illustrate the risk of carcinogenic effects that occur in the radiographers in the Department of Radiology RSUPN CM, acceptable on cancer risk both in the ELCR and ERRC.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T43374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigalingging, Jefri Alfonso author
"Energi merupakan unsur yang selalu berhadapan dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang terdiri dari beberapa jenis, seperti energi potensial, energi mekanik, energi kinetik dan lainya. Kalor juga merupakan energi yang sangat dibutuhkan kemampuan untuk memanfaatkan energi ini. Kalor juga memiliki sifat dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lainya, salah satunya adalah radiasi. Radiasi kalor merupakan sumber energi yang sangat baik untuk dimanfaatkan karena sifatnya yang mampu berpindah tanpa adanya perantara. Namun radiasi juga dapat membahayakan jika fluks kalor yang dipaparkan sangat besar yang mampu memicu penyalaan api pada objek yang terpapar.untuk menghindari hal tersebut maka perlu diantisipasi dengan salah satu cara melakukan pemetaan radiasi kalor pada suatu area tersebut. Pemetaan yang dilakukan terdiri dari beberapa faktor seperti jarak, offset, elevasi dan sudut pandang. Tentu saja jika sumber panas berada pada area fluida menyebabkan adanya pengaruh konveksi pada fluks kalor yang terukur. Kalor yang dihasilkan akan mengubah karakteristik udara disekitar objek yang dipaparkan dan akan membentuk sebuah lapisan batas yang memiliki ketebalan sesuai dengan karakteristik aliran kalor.

Energy is always connected with human life in every day, which is like potential energy, mechanical energy, kinetic energy and others. Heat is also a kind of energy, that rsquo s needed skill and capabilites to use this energy. Heat also has properties that can devolve to others place, one of that is radiation. Heat radiation is a very good energy to be exploited because of the nature characteristics of radiation is being able to move without a medium. However, radiation can also be dangerous if the heat flux is very large which can be triggered ignition fire of the object. To keep those things it is necessary to anticipate, one of them is to make a mapping of radiation in the area. Mapping consists of several factors such as distance, offset, elevation and view factor. Of course, if there is heat in the fluid region it will cause influence of convection in measurable heat flux. The heat produced of the heater will change the properties of air around exposed object and will form a layer that has a thickness according to the heat flow."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The characterization of shield panel of X-ray radiation was carried out. Aim of the characterization is to find the panel in that qualities comply with the reference, so the panel can be used for the folding door of nuclear medical...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>