Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56322 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Cation exchangeable capacity (CEC) of zeolite could be determined not only based on SNI 13-3494 1994,but also permentan No.02/Pert/HK060/2/2006...."
JSTA 10:2 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Muslikah
"Perilaku konsolidasi tanah gambut sangat kompleks dan berbeda dibanding dengan tanah lempung. Ini disebabkan, kandungan serat-serat organik di dalam tanah gambut dan terjadinya proses dekomposisi pada serat-serat organik tersebut selama konsolidasi. Karena kondisi anaerob maka proses dekomposisi tanah gambut berjalan secara lambat. Salah satu cara untuk mempercepat terjadinya dekomposisi atau degradasi tanah gambut, yaitu dengan memberikan mikroorganisme yang dapat mendegradasi serat-serat tanah gambut.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh konsolidasi pada tanah gambut untuk melihat degradasi yang terjadi jika tanah gambut tersebut ditambahkan mikroorganisme. Mikroorganisme yang diinjeksi ke dalam tanah gambut berasal dari tanah gambut itu sendiri dengan cara diisolasi dan dikembangbiakan untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah gambut. Sebagai pembanding digunakan mikroorganisme yang berasal dari pupuk hayati EM4 dan P2000Z. Pada penelitian ini tanah gambut yang digunakan berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Hasil pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa, sampel tanah gambut yang diinjeksi dengan kombinasi antara mikroorganisme asli (10%) dengan pupuk hayati EM4 (10%) + P2000z (10%) atau sampel tanah gambut variasi 4 (A4) memiliki tingkat degradasi yang lebih baik dibandingkan sampel tanah gambut variasi injeksi mikroorganisme lainnya.

Consolidation peat soil behavior very complex and differ to be compared to with clay. This is caused, organic fibre content in peat soil and the happening of decompotition process at the organic fibre during consolidation. Because condition of anaerob hence peat soil decompotition process walk tardyly. One of the way of to quicken the happening of decompotition or peat soil degradation, that is by giving mikroorganism which can degradation fibre peat soil.
This research is done to know how consolidation influence at peat soil to see degradation that happened if the peat soil enhanced by microorganism. Microorganism which is injection into peat soil come from itself peat soil by isolation and grown to be reentered into peat soil. As comparator used by microorganism coming from biofertilizer EM4 and P2000Z. At this research of used peat soil come from Ogan Komering Ilir Region, South Sumatra.
Result of examination in laboratory indicate that, peat soil sampel which is injection with combination among original microorganism (10%) with biofertilizer EM4 (10%) + P2000Z (10%) or variation 4 of peat soil (A4) have degradation level which is better to be compared to other microorganism injection variation of peat soil.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T30137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Supriyatin
"Makin meningkatnya juinlah penduduk serta kebutuhnnnya menyebabkan kebutuhan akan
tempat atau tanah yang tersedia adalah relatif tetap, sehingga tanah sebagai ruang kegiatan
manusia tersebut path saat mi telah atau sedang mengalaini tekanan-tekanan kerusakan
ataupun pencemaran karena sektor usaha, kepadatan penduduk serta angkatan keija telah
menjadi suatu problema. Sehubungan dengan itu, di Indonesia pada sant mi telah dijumpai
perkembangan penggunann tanah yang berbeda-beda tingicatannya. Ada layah-1ayah
yang penggrn5%n tanahnya sudah melampaui batas-batas kemampuannya (over used), ada
1ayah-1ayah yang belum berkembang. Di daerah yang penggunaan tanahnya sudah
melampaui batas banyak dijumpai kerusakan-kerusakan tanab, baikitu dijumpai di daerah
pegunungan yang berlereng teijal maupun di tepi pantai.
Dari uraian tersebut di atas penulis ingin mengetahui apakah ada kaitan antara perubahan
penggunaan tanah dengan timbulnya kerusakan tanah. Masalah yang diajukan ada dua, yaitu
1. Bagaimana penibahan penggunaan tanah dan tahapan perkembangan penggunnan tanah
di Kabupaten Gunungkidul ? 2.Apakah ada kaitan antara penibahan penggunaan tanah
dengan timbulnya kenisakan tanah, serta dimana persebarannya?
Daii data berupa angka dan peta (tahun 1984 dan 1994) yang dikumpulkan dari berbagai
instansi pemenintah dan basil study literatur serta pengamatan lapang, kemudian diolah dan
disajikan dalam bentuk tabel dan peta, serta dianalisis dengan analisis ikonik dengan teknik
super imposed, diperoleh basil sebagai benikut: 1.Perubaban penggunaan tanah terbesar
path jenis penggunaan tanah perkampungan. 2.Tahapan penggunaan tanah. yang telah
dicapai adalah path tahap skema I, artinya penggunaan tanah path wilayah penelitian telah
melampaui batas kemampuannya (over used), akibatnya banyak dijumpai areal tanah rusak.
Path umunmya areal tannh nisak tersebut dijumpai path penggunaan tanah tegalan (sebagian
besar), kebun campuran dan hutan (belukar). 3.Areal tanah rusak sebagian besar merupakan
penggunaan tanah tegalan, sebigian kecil kebun campuran dan hutan (belukar).
4. Persebaran tanah rusak sebagian besar terletak di wilayah dengan ketinggian 100 - 500
meter"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur : Dewan bahasa dan pustaka, 1989,
R 333.342 Ist
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Tejoyuwono Notohadiprawiro
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
R 631.4 TEJ t
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Wartono
jakarta : Medika Karya, 1994,
R 333.73 War p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 2005
TA430
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Jihad Madiabu
"ABSTRAK
Pada penelitian ini, TiO2 yang digunakan disintesis menggunakan metode rapid breakdown anodization dengan variasi potensial (15V, 17V, dan 19V) dan pembuatan komposit TiO2/BiVO4 menggunakan metode kopresipitasi dengan mencampurkan TiO2 amorf pada saat sintesis BiVO4 pada pH tertentu. Proses degradasi Rhodamin B dilakukan secara fotokatalitik dengan variasi %berat komposit TiO2/BiVO4 (67TiO2/33BiVO4, 50TiO2/50BiVO4, 33TiO2/67BiVO4) dan bubbling gas N2 untuk mengetahui efek dari O2 terlarut dan secara fotoelektrokatalitik dengan variasi bias potensial (0 V, 0.4 V, 0.8 V, 1.2 V, dan 1.6 V)
TiO2, BiVO4, dan komposit TiO2/BiVO4 hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD, UV-Vis-DRS, FTIR, PSA, dan uji fotoelektrokimia. Berdasarkan hasil XRD, Hasil karakterisasi PSA menunjukkan TiO2 yang disintesis pada potensial 15V menghasilkan serbuk TiO2 nantotubes yang homogen dan ukuran diameter yang kecil. TiO2 hasil sintesis memiliki fase kristal anatase dan BiVO4 memiliki fase kristal monoklinik scheelite. Nilai bandgap sintesis TiO2 hasil sintesis berkisar 3.0-3.1 eV dan BiVO4 sebesar 2.4 eV. Hasil karakterisasi FTIR menunjukkan adanya vibrasi khas Ti-O-Ti pada rentang 400-700 cm-1 dan vibrasi khas Bi-O (632-684 cm-1), V-O (728-892 cm-1). Komposit TiO2/BiVO4 menghasilkan rapatan arus yang 20-40 kali lebih besar dibandingkan TiO2 pada rentang sinar tampak.
Komposit 50TiO2/50BiVO4 menghasilkan %degradasi terbesar pada uji degradasi rhodamin B secara fotokatalitik sebesar 69.3%. Nilai %degradasi berkurang 5.2% ketika bubbling N2 dilakukan sebelum uji degradasi dilakukan. Secara umum, bias potensial meningkatkan nilai %degradasi rhodamin B.

ABSTRACT
TiO2 was synthesized using rapid breakdown anodization method with potential variations (15V, 17V, and 19V) and composite TiO2/BiVO4 using co-precipitation method by mixing amorphous TiO2 at the time of BiVO4 was synthesized at certain pH. The degradation process of Rhodamine B is photocatalytically carried out by the variation of the weight of the TiO2/BiVO4 (67TiO2/33BiVO4, 50TiO2/50BiVO4, 33TiO2/67BiVO4) and N2 gas bubbling to determine the effect of dissolved O2 and photoelectrocatalytic with potential bias variations (0 V, 0.4 V , 0.8 V, 1.2 V, and 1.6 V)
TiO2, BiVO4, and TiO2/BiVO4 composites were characterized using XRD, UV-Vis-DRS, FTIR, PSA, and photoelectrochemical tests. the PSA characterization results show that TiO2 was synthesized at a potential of 15V yields homogeneous TiO2 nantotubes powders and small sizes. Based on the XRD results, TiO2 has anatase crystalline phase and BiVO4 has a monoclinic scheelite crystalline phase. The synthesized TiO2 bandgap synthesis values are 3.0-3.1 eV and BiVO4 of 2.4 eV. The FTIR characterization results show the typical vibration of Ti-O-Ti in the range 400-700 cm-1 and the typical vibration Bi-O (632-684 cm-1), V-O (728-892 cm-1). The TiO2/BiVO4 composite produces a current density of 20-40 times greater than that of TiO 2 in the visible light range.
The 50TiO2/50BiVO4 composite produced the greatest degradation in the rhodamine B degradation test by photocatalytic by 69.3%. The degradation percentage decreases 5.2% when the N2 bubbling is performed before the degradation test is performed. Applying bias potential will increase the %degradation of rhodamine B."
2017
T48567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hakim
"Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya bagi negara dan khususnya bagi masyarakat setempat. Jika berbagai peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin terancam. Hal ini terlihat selama 25 tahun terakhir ini, eksploitasi sumberdaya dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh pada hutan. Dalam buku Agenda 21 Indonesia disebutkan bahwa faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia, adalah: a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, b) konversi hutan untuk pengembangan perkebunan dan pertambangan, c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, d) program transmigrasi, e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, f) degradasi hutan bakau yang disebabkan oleh konversi menjadi tambak, g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan dan h) introduksi spesies eksotik (UNDP & KMNLH, 1997).
World Resources Institute (WRI) menempatkan masalah kerusakan hutan tropis akibat penggundulan hutan sebagai masalah lingkungan utama Indonesia (Yakin, 1997). Eksploitasi hutan yang selama ini dilakukan secara berlebihan melalui sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan konversi hutan untuk pengembangan pertanian, khususnya perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Kerusakan hutan juga terjadi di hutan konservasi dan hutan lindung. Data yang ada memperlihatkan bahwa hutan yang mengalami rusak berat akibat sistem HPH sampai Juni 1998 seluas 16,57 juta ha (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Luas hutan konservasi dan bekas tebangannya yang rusak serta perlu direhabilitasi sekitar 13,7 juta ha, sedangkan lahan kritis mencapai 22 juta hektar (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (dalam UNDP & KMNLH, 1997) menyatakan bahwa 12 juta ha hutan konversi telah diubah menjadi lahan pertanian, dan 4,8 juta ha untuk kegiatan pertambangan, sedangkan hutan konversi yang tersisa hanya 13,2 juta ha.
Tingkat kerusakan hutan yang tinggi mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumberdaya air dan erosi tanah. Faktor-faktor yang menekan proses kerusakan hutan Indonesia, diantaranya konversi hutan untuk pengembangan perkebunan. Cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan memperoleh keuntungan dari kayu hasil tebangan. Hampir semua pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang adalah areal pertanaman baru berasal dari areal hutan produksi yang dikonversi (Kartodihardjo, 1999).
Namun dalam pelaksanaan kebijakan pelepasan kawasan hutan, temyata para pengusaha perkebunan besar yang mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan perkebunan besar kelapa sawit banyak yang tidak memanfaatkan lahan secara optimal dan bahkan lahan tersebut ditelantarkan. Data dari Dephutbun (1999) memperlihatkan banyaknya permohonan yang telah mendapatkan SIC pelepasan kawasan hutan dan izin prinsip pelepasan kawasan hutan, ternyata tidak/belum dimanfaatkan/tidak ditindaklanjuti dengan baik. Sampai Maret 1998 disebutkan SK pelepasan kawasan hutan seluas 4.012.946 ha (454 perusahaan), izin prinsip pelepasan kawasan hutan seluas 3.999.654 ha (245 perusahaan) dan realisasi penanaman temyata hanya seluas 1.751.319 ha. Banyak pengusaha yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan namun tidak memiliki HGU. Terdapat 91 perusahaan perkebunan besar swasta nasional (PBSN) di wilayah 14 propinsi yang tidak memiliki HGU padahal pengurusannya sudah melewati batas waktu. Lahan yang tidak memiliki HGU namun telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan luasnya mencapai 661.345,5 ha. Bahkan terdapat perusahaan yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sejak tahun 1987, atau telah 12 tahun tidak memiliki HGU.
Penelitian ini didasarkan atas pertanyaan penelitian, a) mengapa dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perluasan perkebunan besar kelapa sawit terjadi praktek penyimpangan?, b) mengapa penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit berdampak pada peningkatan penggundulan hutan di Indonesia? dan c) bagaimana seharusnya arah perbaikan penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit agar tidak terjadi praktek penyimpangan dan peningkatan penggundulan hutan di Indonesia?
Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi jawaban tentang berbagai hal yang telah diungkapkan dalam pertanyaan penelitian. Hipotesis penelitian adalah "praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan yang berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan di Indonesia".
Penelitian ini termasuk penelitian terapan, karena mengkaji penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Teknik pengumpulan data dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui proses : a) studi kepustakaan dengan cara penelusuran atau eksplorasi data-data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan b) wawancara dan diskusi mendalam melalui serangkaian wawancara dan diskusi dengan berbagai narasumber yang memahami isi masalah penelitian yang dianalisis, baik narasumber dari kalangan perguruan tinggi, birokrasi maupun LSM yang memiliki perhatian pada masalah lingkungan.
Pembahasan hasil penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahap sebagai berikut :a) pemaparan data hasil penelitian. b) data hasil penelitian selanjutnya dianalisis dan dilakukan penarikan kesimpulan. dengan menekankan pada pendekatan empiris yang menjelaskan sebab dan akibat dari kebijakan, dan pendekatan evaluatif yang menekankan konsistensi antara nilai-nilai kebijakan dan penerapannya dan c) pembahasan hasil penarikan kesimpulan agar dapat diketahui secara jelas akar masalah kebijakan dan melalui pendekatan normatif diusulkan arah perbaikan kebijakan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan telah dapat mendorong para pengusaha untuk melakukan pengembangan perkebunan besar kelapa sawit. Namun dalam penerapan kebijakan tersebut terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan pengusaha. Kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pelepasan ternyata tidak direalisasikan dengan persiapan usaha dan penanaman kelapa sawit sehingga lahan tersebut terlantar.
Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan atau distorsi antara nilai-nilai yang ada dalam rumusan kebijakan dengan penerapan kebijakan tersebut. Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak dan menganggu lingkungan hidup, dan kelestarian hutan, memperhatikan usaha konservasi tanah dan air, memperhatikan asas konservasi lahan dan lingkungan hidup, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur pelaksanaan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar, khususnya kelapa sawit. Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut, berdampak pada peningkatan kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan.
Faktor yang menyebabkan kesulitan dalam penerapan kebijakan secara baik, disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup terutama penerapan kebijakan di lapangan, terdapat berbagai kepentingan yang berbeda atas konversi hutan untuk perkebunan besar khususnya antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan rakyat, dan birokrasi publik yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan masih terlalu kuat sedangkan posisi tawar masyarakat masih lemah. Selain hal tersebut, kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan harus memiliki daya penegakan agar dapat diterapkan secara tegas dan dipersempit ruang bagi terjadinya perilaku penyimpangan kebijakan.
Akibat terjadinya banyak praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan, maka Manteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Edaran Nomor 603 /Menhutbun-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati di seluruh Indonesia mengintruksikan agar untuk sementara para kepala daerah tidak menerbitkan rekomendasi pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk tujuan usaha perkebunan. Dengan surat edaran itu, maka tidak ada lagi permohonan baru konversi hutan alam untuk perkebunan yang dikabulkan atau direkomendasi.
Kebutuhan lahan hutan untuk pengembangan perkebunan mengakibatkan konversi hutan menjadi lahan non hutan berjalan cepat. Namun proses konversi hutan yang dilakukan tidak didasarkan akan kaidah ekologi, ekonomi dan sosial secara seimbang, sehingga dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan sosial.
Pengelolaan sumberdaya hutan menyangkut kehidupan rakyat Indonesia dan mengingat nilai penting dari sumberdaya hutan dari segi ekonomi, sosial dan ekologi maka saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah kebijakan yang mengatur sektor ini harus memperhatikan aspek transparansi, pendekatan bawah-atas, dan partisipasi politik semua pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, kebijakan yang akan diambil dapat memenuhi nilai bagi kebaikan publik, nilai bagi kelestarian lingkungan dan menghargai hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat atas sumberdaya hutan.
Saran lain dari hasil penelitian ini, jika pelaksanaan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit justru memperluas kerusakan hutan alam akibat praktek penyimpangan kebijakan oleh pengusaha, maka pemerintah perlu melakukan perubahan status tata guna hutan. Hutan yang berada dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dirubah menjadi hutan tetap yang tidak dapat dikonversi untuk keperluan lain.

The Impact Of Forest Conversion Policy Implementation On Environmental Degradation (Case Study in Forest Conversion for Oil Palm Plantation)Forest in Indonesia has a number of functions: economic, social, environmental and cultural, particularly for the local community. Without balance and equilibrium between the functions, sustainability of the forest will be in danger. It can be shown that in the last 25 years pressure of resources exploitation and development pressure are having influences to the forest. Some factors influencing forest destruction in Indonesia are: a) population growth and the distribution is scatter, b) forest conversion for plantation and mining, c) ignorance or no found out about traditionally land ownership and traditional right to use natural resources, d) transmigration program, e) industrial and agricultural pollution in wetland forest, f) mangrove forest degradation caused by conversion to fishponds, g) species harvested excessively, h) introduction of exotic species.
The World Resources Institute (WRI) has placed tropical forest destruction by deforestation as one of Indonesian main environmental problems (Yakin, 1997). Excessive forest exploitation made possible by the right to a forest concession (HPH) and forest conversion for agriculture especially plantation, have resulted in severe forest destruction. Moreover, the destruction happened to conservation and preservation forest. Data shows, wide of forest area severely damaged by HPH until June 1998 was 16, 57 million ha. (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Conservation forest and its destroyed deforested land that need rehabilitation reached 13,7 million ha and critical lands amounts to 22 million (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (in UNDP and KMNLH, 1997) said that 12 million ha of conversion forest were turned into agriculture areas and 4,8 million ha into mining and leaving only over 13, 2 million ha.
High rate of forest destruction decrease forest ability to play its ecological function causing serious impact, to the environment such as climate change, decreasing biodiversity, water supply and soil erosion.
Much factors intensity Indonesia's forest destruction, such as forest conversion to develop plantation. Methods mostly practiced to get the area for oil palm plantation was changing forest area, since its easy mechanism and the profit from the log. Almost all of oil palm plantations found at present were new plantation by changing allocated production forest (Kartodihardjo, 1992).
In realization, many plantation estates who applied for forest area clearing did not use the area optimally and even just left the area. Data from Department of Forestry and Plantation (1999) showed that many applicants, who have obtained license for forest clearing and permission for opening the forest area, did not use the area rightly. Until March 1998 there were license for opening the forest for 4.012.946 ha (454 companies). Permission for clearing of forest area covered 3.999.654 ha (245 companies) and realization of plantation only 1.751.319 ha. There are many entrepreneurs who have already had the license didn't have HGU . There are 91 national private plantation companies (PBSN) in 14 provinces don't have HGU. Areas that did not have HGU but have already had the license for plantation are 661.345,5 ha. There are also companies that have had the license since 1987 but they do not have HGU.
This research is based on three questions: a) why there were many deviations in implementing the conversion of forest areas for oil palm plantations? , b) why implementation of the policy have impacts to deforestation?, c) how to improve implementation of the policy ?
Result obtained from this research to is expected to answer mentioned questions. The hypothesis is "deviation in implementation policy of clearing forest areas has impacts on the increase of environmental degradation".
Data were collected directly and indirectly through: a) literature study to obtain qualitative and quantitative data, b) interview and discussion with many resource persons from universities, government, and non-government organizations (NGO) interested in environmental issues.
The discussions were conducted in steps such as: a) data expose, b) data analyses and draw conclusion through empiric approach to explain relations between cause and effect of the rule and evaluative approach stressing consistency value of the rule and the implementation, c) conclusion discussion to get the root of problem and through the normative approach to give the way to solve the policy problem.
Based on results obtained, it can be concluded that policy of conversion forest areas for plantation have motivated entrepreneurs to develop oil palm plantations. However, a number of deviations were practiced by the entrepreneurs. Forest areas that have already had the licenses did not make work preparations and oil palm planted and at the end, the area is neglected.
Divert implementation showed there were unbalance or distortion between the exist value in the policy with implementation of the policy it self The values of the policy said that releasing forest area for big plantation not allowed damaging or disturb the environment and forest continuing, pay attention on land and water conservation, pay attention to the Principe of land conservation and the environment and other rules that manage the releasing implementation for big plantation especially oil palm.
Factors that made difficulties to policy enforcement are difficult to enforce in the field. There are different interests on forest conversion for big plantation, government, entrepreneurs and community interests and public bureaucracy. Bureaucracy who has authority in decision making is too strong and the other hand, community bargaining is very weak. Beside that, the policy to open the forest area for plantation has to have enforcement to apply firmly and. make small changes for policy deviates.
Because of many deviations on policy implementation, The ministry of Forestry and Plantation through Surat Edaran Nomor 603IMenhutbun-VIIT12000, May 22, 2000, that purposed to governor and head of regency, instruct them not to make new recommendation for forest opening for plantation. With that letter, no more application can get recommendation.
The requirement of forest areas for plantation development caused alteration forest areas became no forest areas run faster. Unfortunately, the conversion wasn't implemented as balance based on ecology, economic and social principles, so after that gave impacts like environmental degradation, and financial and social loss.
Management of forest resources is related to Indonesian society livelihood. Upon thinking of the important value of forest resources, economic, social, and ecology, and based on this research, it's suggested that policy which is managing this sector has to make considering transparantion and bottom-up approach aspects, also political participation whole stakeholders involved. Thus, the policy can meet values for goodness of society, environmental conservation, and gives respect for everyone rights to get benefit of forest resources.
Other suggestion is, if the implementations of forest conversion for oil palm plantation extend the natural forest degradation, government should change the management of forest utilization. Forest which is in forest production area can be converting but cannot be other use.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>