Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184559 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwik Budi Wasito
"Tesis ini membahas tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan impeachment yang di dalam mekanismenya melibatkan tiga lembaga negara, antara lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketiga lembaga negara ini memiliki wewenang atributif yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk menjalankan proses impeachment tersebut. Sebagai wujud dari pelaksanaan sistem checks and balances, dalam melaksanakan proses impeachment, ketiga lembaga negara ini memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum dan peraturan perundang-undangan sebab Indonesia ialah negara hukum. Pengertian hukum tidak hanya terbatas pada adanya peraturan perundang-undangan saja, namun juga dipatuhinya putusan hakim yang bersifat memaksa dan mengikat. Dalam kasus impeachment, putusan MK yang bersifat final dan mengikat, pada akhirnya harus dipatuhi oleh DPR dan MPR dalam memutus pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya.

The thesis is about the discharging of the President and/or the Vice President in the Indonesian constitutional system as known as impeachment, which is the mechanism are involving three state organs, among others are, House of Representatives (DPR), Constitutional Court (MK), and People Representative Assembly (MPR). These three state organs have attributive authority, which is stated in the Constitution of the State of the Republic of Indonesia year 1945 (UUD 1945), to role the impeachment's process. As a concrete implementation of checks and balances system, in order to role impeachment process, these three state organs have obligation to obey the law and the legislations because Indonesia is a state law. The definition of law is not restricted only into rules and legislation, but also by the obedient of the judge's verdict which is force and bound. In impeachment cases, Constitutional Court's verdict is final and bound, and had to be obeyed by DPR dan MPR when they resolving the discharging of the President and/or the Vice President from their function."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25265
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yobel Manuel Oktapianus
"Skripsi ini membahas mengenai upaya untuk memastikan keterlibatan anggota MPR yang melaksanakan fungsi representasi secara kewilayahan (regional/territorial representation) dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia. Proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden Indonesia sebagaimana diatur saat ini cenderung mengadopsi pendekatan congressional model. Pendekatan ini mengilhami bahwa anggota parlemen dari seluruh kamar parlemen wajib diikutsertakan dalam proses pemberhentian tersebut. Namun, proses penelitian dalam skripsi ini justru menemukan kecenderungan bahwa pengambilan keputusan terkait pemberhentian pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dapat dilakukan oleh anggota MPR yang berasal dari kamar parlemen dengan karakteristik fungsi representasi ideologi politik (political representation) semata. Hal ini berpotensi menimbulkan suatu akibat bahwa pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dapat dilakukan tanpa keterlibatan anggota MPR dari fungsi keterwakilan secara kewilayahan sama sekali. Untuk mencegah timbulnya dominasi dari anggota MPR yang menjalankan fungsi keterwakilan ideologi politik terhadap proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, diperlukan suatu mekanisme untuk melembagakan kehadiran anggota MPR yang menjalankan fungsi keterwakilan wilayah dalam proses pemberhentian tersebut. Upaya ini dapat dikontekstualisasikan dengan penerapan prinsip double majority vote, yaitu mekanisme pengambilan keputusan melalui pemungutan suara dimana indikator tercapainya mayoritas suara harus memenuhi aspek kualitatif maupun kuantitatif. Secara komparatif, konstitusi Kazakhstan yang merumuskan konsep ketatanegaraan layaknya Indonesia telah memuat penerapan prinsip ini secara implisit dalam pengaturan proses pemberhentian presidennya. Dalam rangka merumuskan ide guna menyelesaikan serangkaian permasalahan sebagaimana diuraikan sebelumnya, penulis melakukan penelitian dengan berbasis pada pendekatan yuridis normatif dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian dalam skripsi ini berkesimpulan bahwa prinsip ini dapat diterapkan sebagai syarat pengambilan keputusan dalam konteks penyelenggaraan sidang rapat paripurna MPR yang membahas usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

This undergraduate thesis discusses efforts to ensure the involvement of MPR members, who perform the function of regional/territorial representation, in the process of removing the President and/or Vice-President in Indonesia. The process of removing the President and/or Vice-President of Indonesia, as currently regulated, tends to adopt the congressional model. This approach implies that members of parliament from all houses of parliament must be involved in the impeachment process. However, the research process in this undergraduate thesis found a tendency that the decision making in relation to the removal of the President and/or Vice-President in Indonesia can be made by members of the MPR who come from parliamentary chambers characterized by the function of political ideological representation alone. This could potentially mean that the impeachment of the President and/or Vice-President in Indonesia could be carried out without the involvement of MPR members from the territorial representation function. In order to prevent the dominance of MPR members who function as political ideological representatives in the process of dismissing the President and/or Vice-President in Indonesia, a mechanism is needed to institutionalise the presence of MPR members who function as regional representatives in the impeachment process. This effort can be contextualised through the application of the double majority vote principle, which is a decision-making mechanism through voting in which the indicators for achieving a majority of votes must meet both qualitative and quantitative aspects. By comparison, the constitution of Kazakhstan, which formulates a constitutional concept similar to that of Indonesia, already implicitly includes the application of this principle in the regulation of the process of dismissing the president. In order to formulate ideas for solving the problems described above, the author conducted research based on a normative legal approach and a comparative approach. The results of the research in this undergraduate thesis conclude that this principle can be applied as a decision-making requirement in the context of holding a plenary session of the MPR to discuss the proposal to dismiss the President and/or Vice-President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairul
"Negara Indonesia adalah negara hukum. Penegasan terkait ketentuan tersebut, tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) yang juga sekaligus menegaskan bahwa Negara Indonesia bukan negara atas dasar kekuasaan belaka (machtstaat). Namun, kekuatan hukum tersebut masih saja diabaikan oleh kekuatan politik yang justru merupakan perwujudan dari machtstaat. Hal ini terbukti dalam ketentuan mengenai mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Putusan MK terkait impeachment, dapat diabaikan oleh mekanisme impeachment di MPR.
Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode yuridis normatif, yaitu dengan cara melakukan penelitian yang mengacu kepada aspek-aspek yuridis. Metode ini dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) atas berbagai literatur yang terkait dengan teoriteori dan asas-asas hukum. Sumber-sumber hukum yang dipakai dalam studi kepustakaan ini meliputi; bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data-data dikumpulkan dengan cara melakukan pencarian, sistematisasi dan analisa terhadap tulisan-tulisan yang terkait dengan permasalahan yang tengah diteliti. Berbagai data itu kemudian dianalisa secara yuridis analitis.
Tulisan ini bertujuan untuk memahami mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945 dan merumuskan mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden yang baru, yang sesuai dengan prinsip negara hukum.

Indonesia is a rechtstaat (rule of law). Assertion related provisions, contained in the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 in Article 1 paragraph (3) who also confirmed that Indonesia is not a country on the basis of sheer power (machtstaat). However, the power of the law still ignored by political power is precisely the embodiment of machtstaat. This is evident in terms of the mechanics of impeachment of President and/or Vice President of the Section 7A and 7B 1945. Decision of the Court related impeachment, impeachment mechanism can be ignored by the MPR. Method of approach used in this paper is normative method, that is by doing research that refers to the juridical aspects.
This method is done through the study of literature (library research) on the literature related to theories and principles of law. Legal sources used in the study of this literature include: primary legal materials, legal materials and secondary and tertiary legal materials. The data were collected by way of doing a search, systematization and analysis of writings on the issues being studied. A variety of data was then analyzed by juridical analytically.
This paper aims to understand the mechanism of impeachment of the President and/or Vice President under the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 and formulate the new impeachment mechanism of President and/or Vice President, which is according by the rule of law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Taufik Hidayat
"Penelitian ini membahas mengenai analisa kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tujuannya adalah untuk mengetahui yang didasarkan pada suatu analisa mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, terutama yang terkait dengan kewenangan MK dan MPR. Metode penelitian menggunakan metode penelitian kepustakaan, deskriptif, komparatif, dan dengan metode pengolahan data secara kualitatif. Diadopsinya MK dan perubahan dalam kedudukan dan kewenangan MPR dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada akhirnya merubah konsep pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesudah perubahan, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hanya semata merupakan proses politik, yaitu proses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR. Akan tetapi, juga harus melalui proses hukum di MK. Kewenangan MK dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan kewenangan MPR adalah memutus diberhentikan atau tidaknya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas usul pemberhentian oleh DPR dimana sebelumnya MK telah memutus untuk membenarkan pendapat DPR.

This research examines about analysis of the Constitutional Court’s and the National Assembly’s authorities in impeachment of President and/or Vice President. The research intends to know, based on analysis, impeachment President and/or Vice President, especially about the Constitutional Court’s and National Assembly’s authorities. The methods of research used are of literature research, descriptive, comparative, and qualitative data processing. The Constitutional Court existence and change of the National Assembly’s position and authority in the amandement of the Constitution of The Republic of Indonesia 1945 finally become different concept of impeachment of Presiden and/or Vice President. Based on the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 after amandement, impeachment of Presiden and/of Vice President is not only a political process, that is mechanism in the House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat) and the National Assembly. But also a proceeding process in the Constitutional Court. The Constitutional Court’s authority in impeachment of President and/or Vice President decides motion of the House of Representative that President and/or Vice President have done violation of treason, corruption, bribery, other high crime, or misdemeanor; and/or have not qualification any more as a Presiden and/or Vice President. While the National Assembly’s authority decides remove from office or not President and/or Vice President for motion of the House of Representative, after the Constitutional Court decided for verify motion of the House of Representative."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arofah
"Perubahan struktur ketatanegaraan seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 sebagai salah satu akibat dari Reformasi 1998, sehingga muncul komposisi baru pembentuk institusi MPR yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih oleh rakyat hasil Pemilu 2004.
Beberapa perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 memberikan implikasi terhadap komposisi dan relasi antarlembaga negara. Komposisi dalam lembaga MPR Sebelum Perubahan terdiri dari anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum dan utusan daerah serta utusan golongan, berubah menjadi anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan komposisi tersebut diikuti dengan beberapa perubahan peran, kedudukan, dan kewenangan lembaga MPR.
Berubahnya tugas dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi kedudukan MPR dalam struktur ketatanegaraan. Perubahan dari pemegang kedaulatan negara dan sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
Implikasi lain dari perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 yang berkenaan dengan lembaga MPR adalah relasi MPR dengan lembaga-lembaga tinggi negara lain. Relasi ini berkaitan erat denagn kedudukan, fungsi, peran, dan kewenangan lembaga MPR.
Dengan mengacu pada Pasal 3 UUD 1945 Setelah Perubahan, kewenangan MPR adalah :
1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD.
2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dari ketiga kewenangan MPR tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara mengingat pada Pasal 6A (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Sehingga Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR lagi dan mempunyai tingkat legitimasi yang sama dengan demikian, jelas bahwa kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara.
Perubahan tersebut telah mengubah Sistem Hukum Tata Negara Indonesia dalam kedudukan, tugas, dan wewenang .Lembaga Negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia. Dalam penelitian ini dibahas mengenai kewenangan lembaga MPR dalam kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pembahasan dikhususkan setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 dengan mencermati Pasal 3 ayat (3) serta kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19888
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Sudah digariskan dalam konstitusi, bahwa mahkamah konstitusi mempunyai satu kewajiban, yakni memutus pendapat DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban yang diberikan konstitusi ini untuk membuktikan kalau Indonesia adalah negara hukum. Meskipun Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, tetapi kewajiban ini diragukan independensinya oleh publik, karena faktor rekruitmen hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Kalaupun mereka ini berhasil menjatuhkan vonis bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah melanggar hukum, belum tentu putusannya mutlak mengikat kewenangan majelis permusyawaratan rakyat."
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harman Setiawan
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S25299
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilham Hermawan
"Studi lembaga kepresidenan memang telah banyak dilakukan, tetapi studi lembaga kepresidenan dewasa ini hanya mengangkat seputar tema wewenang, kedudukan, hak dan kewajiban dari Presiden. Sedangkan studi pemberhentian Presiden di Indonesia dirasakan kurang mendapat penelitian yang lebih. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merubah sebagian besar sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain itu, pada era reformasi ini pemerintahan Indonesia belum memiliki satabilitas yang baik, hal ini tentu memicu jatuh dan bangunnya suatu pemerintahan yang dapat berakibat jatuhnya kekuasaan Presiden. Pemberhentian Presiden merupakan salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang baru di Indonesia. Oleh sebab itu, Keberadaan Mahkamah Konstitusi di dalam hal pemberhentian Presiden
memerlukan studi penelitian yang lebih mendalam. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dalam penyusunan tulisan ini akan menyorot beberapa masalah seperti, bagaimana mekanisme pemberhentian Presiden di dalam hukum positif Indonesia, Bagaimana kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan secara konstitusional di berbagai negara dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan Bagaimana Fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi di dalam mekanisme
pemberhentian Presiden di Indonesia? Untuk menjawab permasalahan tersebut penulis menggunakan beberapa teori-teori ataupun doktrin yang berkaitan dengan mekanisme pemberhentian presiden Teori-teori yang akan dipergunakan oleh penulis adalah teori konstitusi sebagai teori induk (grand theory) dan akan dihubungkan dengan teori pemisahan dan pembagian kekuasaan, pengawasan dan keseimbangan (ccheks and balances), dan konstitusionalisme. Penggunaan teori
tersebut untuk menjawab bahwa pengaturan secara Konstitusional pemberhentian presiden sangatlah penting. Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini akan mempergunakan metode penelitian kepustakaan (normatif) maupun metode penelitian lapangan (empiris), dengan titik berat pada penelitian kepustakaan. Mekanisme pemberhentian Presiden di
Indonesia telah memiliki pengaturan secara konstitusional yakni diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar 1945. Presiden dapat diberhentikan apabila terbuka telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada setiap Negara yang memiliki Presiden baik bersistem pemerintahan Presidensil dan Parlementer dapat diberhentikan dan
jabatannya dengan model pendakwaan (Impachment) Alasan pemberhentian Presiden di berbagai konsitusi negara pada umumnya terjadi karena adanya pelanggaran hukum pidana dan pelanggaran konstitusi."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T16262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Dzaki Wiyata
"Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga cabang, yakni legislatif, eksekutif, dan kekuasaan kehakiman. Setelah amendemen UUD NRI 1945, Indonesia memiliki lembaga kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentukan MK ditujukan untuk menafsir dan mengawal konstitusi melalui putusannya. Salah satu kewenangan dari MK adalah memberikan putusan terkait dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden atau proses impeachment Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam proses impeachment Presiden ada beberapa lembaga yang berperan, yakni lembaga politik DPR dan MPR serta lembaga peradilan yaitu MK. Adapun yang menjadi masalah proses yang dilaksanakan DPR ini adalah bersifat politis walaupun atas dasar dugaan pelanggaran hukum. Berbeda dengan lembaga politik, tentu lembaga peradilan mengambil keputusan berdasarkan fakta material. Sehingga, timbul persoalan jika MK memutuskan Presiden bersalah dan MPR kemudian membatalkan putusan tersebut dengan tidak memberhentikan Presiden. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dalam penelitian ini dengan menganalisis prinsip hukum dan sumber hukum tertulis terkait dengan impeachment di Indonesia dan membandingkannya dengan mekanisme impeachment di negara lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peranan MK melalui putusannya memiliki peran yang strategis sebab putusan tersebut final dan mengikat bagi DPR sebagai pihak yang melakukan permohonan ke MK. Selain itu, putusan MK disini bukan sebagai vonis tetapi lebih kepada suatu pertimbangan hukum bagi DPR dan MPR. Maka dari itu, perlu untuk melakukan amendemen UUD 1945 dengan menjelaskan secara tegas mengenai sifat final dan mengikat putusan MK dalam proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden.

Montesquieu divided government power into three branches, namely legislative, executive, and judicial powers. After the amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Indonesia has a judicial institution, namely the Constitutional Court (MK). The formation of the Constitutional Court is intended to interpret and guard the constitution through its decisions. One of the powers of the Constitutional Court is to give decisions related to the dismissal of the President and/or Vice President or the impeachment process of Article 24C paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. MK. The problem with the process carried out by the DPR is that it is political in nature even though it is based on alleged violations of the law. In contrast to political institutions, of course the judiciary makes decisions based on material facts. Thus, a problem arises if the MK decides the President is guilty and the MPR then cancels the decision by not dismissing the President. The author uses the juridical-normative method in this study by analyzing legal principles and written legal sources related to impeachment in Indonesia and comparing them with impeachment mechanisms in other countries. The results of the study show that the role of the MK through its decisions has a strategic role because the decisions are final and binding for the DPR as the party making the application to the MK. In addition, the MK decision here is not a verdict but rather a legal consideration for the DPR and MPR. Therefore, it is necessary to amend the 1945 Constitution by clearly explaining the final and binding nature of the Constitutional Court's decision in the process of dismissing the President or Vice President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>