Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3245 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hisbaro Muryantoro
"Gereja Puh Sarang yang dibangun oleh Ir.Hericus Maclaine Pont pada tahun 1936 merupakan bangunan gereja yang bercorak Hindu - Jawa.Maclaine mampu memadukan gaya arsitektur pada bangunan gereja yang melambangkan unsur-unsur kebudayaan lokal baik corak,persiapan materi dan pengerjaan bangunan yang melibatkan penduduk setempat...."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2008
PATRA 9(3-4) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jacobs, Tom
Yogyakarta: Kanisius , 1992
260 JAC g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Kanisius, 1988
260 GER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jeane Sushinta Ariefyani
"Setiap agama mempunyai tempat untuk melakukan upacara dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Biasanya tempat ibadah merupakan sarana untuk melakukan upacara suatu aliran agama, misalnya: candi untuk umat Buddha atau Hindu, mesjid untuk umat Islam dan gereja untuk urnat Kristen. Gereja merupakan suatu bangunan atau wadah tempat jemaat berkumpul untuk menerima sakramen-sakramen yang bertujuan mendewasakan rohani dan menjadi penerang bagi umatnya melalui sikap dan ketaatannya terhadap Yesus Kristus.
Bangunan arsitektur gereja mempunyai ciri tersendiri yang disebabkan oleh faktor si pembuat, persedian material, dana serta berkaitan dengan teknologi yang berkembang pada masa itu. Sehubungan dengan hal tersebut maka suatu tinjauan deskriptif arsitektur terhadap gereja merupakan tema dalam skripsi ini.
Diketahui disini bahwa Gereja Katolik Santa Maria de Fatima dahulunya merupakan bangunan yang bercorak Cina dibangun pada abad 18-19 Masehi dan menjadi kediaman dari seorang bangsawan Cina. Pada masa sekarang bangunan rumah tinggal ini beralih fungsi menjadi gereja. Gereja yang terletak di Jalan Kemenangan III No.47 Jakarta Barat ini lebih dikenal dengan nama Gereja Toasebio. Gereja ini pada beberapa bagian bangunan mengalami perubahan, tetapi beberapa bagian lainnya masih menampakan keasliannya sebagai bangunan rumah tinggaI Cina. Selain itu belum pernah ada yang meneliti mengenai bangunan gereja ini baik aspek arsitektur maupun kesejarahannya.
Untuk itu permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah mengidentifikasikan dan menganalisis bagianbagian arsitekur bangunan Gereja Santa Maria de Fatima yang masih menunjukan ciri khas kecinaan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa bangunan Gereja Santa Maria de Fatima mengalami beberapa bagian perubahan, yaitu dari segi denah secara keseluruhan sudah tidak menunjukan ciri kecinaan atau tidak sesuai dengan konsep rumah tinggal tradisional Cina. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya courtyard atau impluviun: yang merupakan unsur yang penting dalam konsep rumah Cina yang dirubah menjadi ruang misa utama. Selain itu juga tidak ada ruang utama di mana terletak altar untuk meletakan abu leluhur nenek moyang karena ruang tersebut tidak menjadi bagian dari bangunan gereja, tetapi menjadi bangunan rumah tinggal.
Pada bangunan Gereja Katolik Santa Maria De Fatima bagian yang masih menunjukan kekhasan dari rurnah tradisional Cina yang kuat adalah bagian atap pada bangunan utama dan bangunan sisi utara serta sisi selatan. Bagian pintu utama yang terdapat di sisi utara serta selatan tidak mengalami perubahan. Sama halnya pula dengan bagian cornice, bracket yang terdapat pada beranda utama masih menampakan keasliannya. Bagian ini masih menyisakan hiasan-hiasan dekoratif khas Cina yang ditandai dengan motif-motif fauna dan flora. Bagian-bagian bangunan atau hiasan-hiasan bangunan yang tidak mengalami perubahan wajar adanya karena dalain aturan pembangunan gereja tidak menganut suatu aturan arsitektur yang baku. Mengenai bentuk fisik bangunan gereja katolik unsur lokal masih dapat diterapkan. Seperti halnya disebutkan dalam Konsili Vatikan II bahwa gereja tidak menganggap gaya seni manapun sebagai gayanya yang khas, tetapi tetap mengijinkan mengikuti selera tiap jaman menurut watak dan keadaan bangsa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
S11743
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cheviano Eduardo Alputila
"Gereja Santa Perawan Maria (GSPM), yang dibangun tahun 1896, merupakan bangunan untuk ibadah umat Katolik yang tertua di Kota Bogor, dan dapat dikatakan mewakili sejarah penyebaran agama Katolik di Kota Bogor. Berdasarkan pembabakan periodisasi perkembangan arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, akhir abad 19 merupakan periode ketika gaya Neo-Klasik banyak diterapkan pada bangunan-bangunan terutama pada bangunan-bangunan publik. Neo-Klasisme adalah paham dalam arsitektur bangunan Eropa yang mengulang secara utuh atau dominan suatu gaya pada jaman arsitektur klasik Eropa. Objek dalam penelitian ini adalah GSPM yang terletak di jalan Kapten Muslihat No.22, Bogor. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui gaya arsitektur yang diterapkan pada GSPM. Penelitian ini dibatasi hanya pada gaya bangunan Gereja dan hal-hal lain yang berkenaan dengan bentuk dan ragam hias GSPM. Penelitian ini menunjukkan bahwa gaya arsitektur Gotik sangat dominan diaplikasikan pada GSPM, atau dengan kata lain GSPM merupakan bangunan bergaya Neo-Gotik.

Santa Perawan Maria Church (GSPM) was built in 1896, and is the oldest Catholic church in Bogor that is still existed until now. It could be said that this church represents the spreading of Catholic religion in Bogor. Based on the chronology of Dutch Colonial architecture in Indonesia, end of 19th century was the period when Neo-Classism was strongly applied on public buildings. Neo-Classic is an architectural style which tried to bring back the glory of old classic European architectural style but in a more flexible way. Object of this research is the GSPM which is located at Jalan Kapten Muslihat No.22, Bogor. Aim of this research is to identify the architectural style applied in GSPM, particularly on the formal aspect and decoration or ornamentation as well. This result of this research shows that Gothic architectural style are very strong applied on GSPM, or in other words it can be said that GSPM is a Neo-Gothic building."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11424
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Idris
Jakarta: Gema Insani Press , 1994
220 AHM t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Visca
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masmedia Pinem
"Artikel ini ingin menggambarkan sejarah, bentuk, dan arsitektur Gereja GPIB Bethel. GPIB adalah singkatan dari Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, berdiri sejak tahun 1948 dan terletak di Jalan Wastukencana No. 1, Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kotamadya Bandung. Model arsitektur yang didesain oleh Schoemaker seorang arsitek Belanda yang merupakan sintesis dari kebutuhan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing aliran-aliran dalam perkembangan arsitektur dunia sebagai produk arsitektur pada zamannya yang merupakan “essential expression†bagi kekristenan di Eropa. Elemen-elemen yang ada merupakan adaptasi dari pengaruh zaman yang berkembang saat itu. Elemen pada tatanan massa dan ruang serta elemen pelingkup ruang yang dijumpai memiliki makna kerohanian sebagai perwujudan nilai-nilai Kristianitas. Begitu juga elemen-elemen dekoratifnya merupakan suatu produk zaman yang dipengaruhi oleh arsitektur art deco yang sangat berkembang pada zaman itu. Gereja ini adalah termasuk salah satu tipe bangunan yang berkualitas ‘A’ dan telah dikonservasi tanpa perubahan bentuk dan fungsi yang signifikan, sehingga ia termasuk dalam kategori bangunan Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang."
Jakarta: Kementerian Agama, 2016
297 JLK 14:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
J. Loekito Kartono
"BAB I PENDAHULUAN
Religi dan upacara religi merupakan salah satu sistem keyakinan yang hidup dalam masyarakat manusia sejak masih dalam bentuk yang sederhana dan primitip. Sistem ini timbul karena manusia yakin adanya kekuatan supranatural, mahluk harus (roh) dan akan adanya kelangsungan hidup jiwa manusia sesudah tubuh jasmaninya meninggal ( Koentjaraningrat, 1987 _ 57-65 ).
Dalam upacara religi biasanya dibutuhkan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti : tempat/gedung pemujaan (arsitektur), patung, alat bunyi-bunyian serta pakaian yang harus dikenakan karena dianggap suci.
Arsitektur yang berfungsi sebagai prasarana upacara religi, pada hakekatnya mengungkapkan ruang yang akan digunakan untuk menampung kegiatan manusia, baik secara fisik maupun psikis, dengan maksud agar manusia dapat berbahagia,serta mempunyai perwujudan nyata sebagai sebuah bangunan (Romondt, 1954 3 ). Dari segi kepercayaan dan agama ada 2 jenis konsep ruang. Pertama ialah ruang yang sudah "dikonsekrasikan" ( disucikan ) dan disebut sebagai ruang kudus (sacred), yakni ruang yang mereka diami dan dikenal sebagai dunia yang sudah teratur. Sedangkan ruang yang lain adalah ruang tidak kudus ( profan ), yakni ruang yang dianggap tidak mempunyai keteraturan, tidak berbentuk dan khaos. Maka yang menjadi pembeda utamanya adalah masalah kekudusan dari suatu ruang ( Eliade,1959 : 20-24 ).
Menurut Vitruvius, suatu karya arsitektur harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :
Commoditas ( komoditi ), Firmitas ( kekokohan ) serta Venusitas ( keindahan ). Jadi dalam mendisain bangunan sebagai kelengkapan upacara keagamaan, masyarakat tidak dapat mengabaikan aspek keindahan ( estetika ), disamping aspek-aspek yang lain.
Berbicara mengenai disain ( mulai dari proses imajinasi, implementasi dan pengkajian ulang ) ( Zeisel, 1984: E ) manusia akan selalu terlibat sesuai dengan peranan serta pengetahuan masing-masing individu, sebab design is everybody's bussiness (Grillo,1960:9,26).
Adapun hasil dari disain tiap individu ( designer ) akan selalu berbeda-beda. Karena sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan budaya yang telah dimiliki maupun aspirasi yang hidup dalam pribadi masing-masing.
Dalam masyarakat tradisional, pembuatan bangunan/ disain dilakukan secara berkelompok (jarang sendiri), dengan bantuan seorang perancang (seorang yang dianggap tua dan memiliki pengetahuan tertentu) atau secara kolektip serta didahului dengan berbagai upacara-upacara ritual ( Rykwert,1981 : 14-22 ).
Ada beberapa fungsi bangunan menurut arsitek-arsitek Hiller, Musgrove dan O'Sullivan ( 1972 ) antara lain 1. Sebuah bangunan adalah suatu perubah iklim dan " saringan " lingkungan yang komplek.
Manusia pada hakekatnya akan selalu berusaha untuk beradaptasi terhadap lingkungannya, baik secara tingkah laku, fisiologis maupun secara genetis dengan bertahap ( Moran,1979: 65-103 ). Salah satu bentuk perwujudan adaptasi tingkah laku manusia dalam menghadapi pengaruh lingkungan alam seperti hujan, matahari, suhu, salju, topografi, keadaan tanah serta pengaruh flora dan fauna, ialah membuat suatu lingkungan khusus di sekitar dirinya yaitu sebuah bangunan. Atap, dinding dan lantai bangunan diharapkan mengurangi pengaruh suhu serta melindungi dari hujan, salju dan angin. Jendela (pembukaan) untuk memasukkan cahaya agar menerangi bagian dalam dan memberikan kesegaran untuk bernafas. Jadi lingkungan buatan manusia ini merupakan suatu bentuk perwujudan adaptasi untuk mengurangi stress climatic agar tercipta lingkungan " micro climate " yang sesuai dengan tuntutan tubuh untuk memudahkan proses homeostasis?."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T3420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>