Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2595 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Sabtu 28 Juni 2008 sekitar pukul 16. 00 WIB kami tiba di Lithang Khongcu Bio, salah satu rumah ibadah yang kami kunjungi pada pekan kedua dalam rangkaian Peace Diversity Program. Kedatangan kami disambut dengan senyum ramah dari para pengurus Lithang yang sudah menunggu kami di depan pintu masuk...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sindhunata
"Pada awal tahun 2012 sebuah gerakan masyarakat sipil bernama #IndonesiaTanpaFPI menuntut negara untuk membubarkan sebuah ormas Islam fundamentalis bernama FPI (Front Pembela Islam) karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut kepada kaum Islam minoritas. #IndonesiaTanpaFPI sangat mengandalkan penggunaan situs sosial media untuk mengorganisir gerakannya, sehingga sebuah gerakan balasan yang muncul dari kalangan Islam pro-FPI pun dimulai dari Twitter; gerakan tersebut bernama #IndonesiaTanpaJIL. Gerakan balasan ini percaya bahwa #IndonesiaTanpaFPI sebenarnya adalah gerakan yang diorganisir oleh kaum Jaringan Islam Liberal (JIL), sentimen ideologi yang sebelumnya sudah terakumulasi bertahun-tahun karena pemikiran JIL yang dianggap kontroversial akhirnya terjewantah dalam #IndonesiaTanpaJIL. Sejak saat itu, #IndonesiaTanpaJIL dan JIL terus bertikai secara diskursif di dalam Twitter. Skripsi ini berkonsentrasi kepada pembentukan dua publik religius yang semata-mata dikonstitusi oleh tiap diskursusnya lewat topik diskursif yang terkait dengan kaum minoritas Islam tertindas, yaitu: Ahmadiyah, Syiah, dan Rohingya. Lewat interpretasi teks dan penelusuran lapangan skripsi ini telah mengidentifikasi berbagai titik temu diskursif antara ITJ dan JIL. Kedua publik religius menggunakan berbagai topik diskursif yang mereka anggap menarik semata-mata untuk menarik perhatian audiens, karena dalam konteks perang pemikiran banyaknya dukungan audiens adalah hal yang paling penting untuk melambungkan diskursusnya ke domain hegemoni. Skripsi ini menunjukkan bagaimana logika modernitas yang terobsesi pada tatanan ideal adalah faktor yang dapat menjelaskan budaya eksklusif pada arena sosial yang sejatinya inklusif.;Pada awal tahun 2012 sebuah gerakan masyarakat sipil bernama #IndonesiaTanpaFPI menuntut negara untuk membubarkan sebuah ormas Islam fundamentalis bernama FPI (Front Pembela Islam) karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut kepada kaum Islam minoritas. #IndonesiaTanpaFPI sangat mengandalkan penggunaan situs sosial media untuk mengorganisir gerakannya, sehingga sebuah gerakan balasan yang muncul dari kalangan Islam pro-FPI pun dimulai dari Twitter; gerakan tersebut bernama #IndonesiaTanpaJIL. Gerakan balasan ini percaya bahwa #IndonesiaTanpaFPI sebenarnya adalah gerakan yang diorganisir oleh kaum Jaringan Islam Liberal (JIL), sentimen ideologi yang sebelumnya sudah terakumulasi bertahun-tahun karena pemikiran JIL yang dianggap kontroversial akhirnya terjewantah dalam #IndonesiaTanpaJIL. Sejak saat itu, #IndonesiaTanpaJIL dan JIL terus bertikai secara diskursif di dalam Twitter. Skripsi ini berkonsentrasi kepada pembentukan dua publik religius yang semata-mata dikonstitusi oleh tiap diskursusnya lewat topik diskursif yang terkait dengan kaum minoritas Islam tertindas, yaitu: Ahmadiyah, Syiah, dan Rohingya. Lewat interpretasi teks dan penelusuran lapangan skripsi ini telah mengidentifikasi berbagai titik temu diskursif antara ITJ dan JIL. Kedua publik religius menggunakan berbagai topik diskursif yang mereka anggap menarik semata-mata untuk menarik perhatian audiens, karena dalam konteks perang pemikiran banyaknya dukungan audiens adalah hal yang paling penting untuk melambungkan diskursusnya ke domain hegemoni. Skripsi ini menunjukkan bagaimana logika modernitas yang terobsesi pada tatanan ideal adalah faktor yang dapat menjelaskan budaya eksklusif pada arena sosial yang sejatinya inklusif.

In early 2012, a civil-initiated movement called #IndonesiaTanpaFPI urged the government to disband an Islamic fundamentalist group called FPI (Front Pembela Islam) because of the violence to Islamic minority group that FPI had done earlier. #IndonesiaTanpaFPI heavily relied upon Twitter in organizing their movement, so when a counter-movement from the pro-FPI emerged, it was on Twitter as well; the counter-movement called themselves #IndonesiaTanpaJIL. This counter-movement believes that #IndonesiaTanpaFPI was actually initiated and organized by Jaringan Islam Liberal (JIL), the long accumulated negative ideological sentiment towards JIL then finally manifested in #IndonesiaTanpaJIL. Since then, #IndonesiaTanpaJIL and JIL have been fighting discursively on Twitter. This undergraduate thesis concentrates on the formation of two religious publics constituted solely by their discourses articulation, particularly topic related to suppressed Islamic minority groups; those are: Ahmadiyah, Syiah, and Rohingya. Through tweets interpretation and fieldwork, this undergraduate thesis has identified various discourse nexuses between ITJ and JIL. Both of the religious publics articulate interesting or controversial discourses on Twitter just to grasp the audience’s attention, because in the context of ideological war the number of support is the only important thing to toss their discourses to hegemonic domain. Furthermore, this undergraduate thesis shows how the logic of modernity with its obsession to ideal order is a factor that can explain the culture of exclusivity inside a social arena that was designed for inclusivity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Made Budiana Setiawan
"Penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengenai konversi yang pada umumnya terjadi dari penganut agama-agama lokal ke agama-agama Samawi, karena mendapatkan legalitas dari negara. Namun pada komunitas Paguyuban Perguruan Budaya Tirta Padepokan Segara Gunung terjadi sebaliknya, berkonversi dari agama-agama Samawi ke ajaran Budaya Tirta. Meskipun demikian, ketentuan pemerintah yang mengharuskan setiap warga negara memeluk salah satu agama resmi menyebabkan komunitas ini memilih Hindu sebagai agama resminya. Sebagian lagi beradhesi, tidak mengubah identitas agamanya, namun tetap menjalankan ajaran dan praktik-praktik peribadatan dari ajaran Budaya Tirta. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, gejala sosial apakah yang dapat diketahui dari komunitas ini? Kedua, mengapa komunitas ini menginterpretasikan ajaran Budaya Tirta sebagai bagian dari agama Hindu. Ketiga, bagaimana ajaran Budaya Tirta dan agama Hindu saling terkait dalam memberikan fungsi psikologis bagi komunitas paguyuban ini? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah ethos (etos) dan world view (pandangan hidup) dari Clifford Geertz, tahap-tahap konversi dari Lewis R. Rambo dan Charles E. Farhadian, dan rekacipta tradisi dari E.J. Hobsbawn dan Terrence O Ranger. Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui metode participation observation (pengamatan terlibat), in-depth interview (wawancara mendalam), dan studi pustaka. Penelitian ini juga merupakan suatu bentuk ottoetnografi karena memakai pengalaman pribadi untuk menjelaskan kasus yang dipelajari oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komunitas ini meskipun memeluk agama-agama Samawi, namun etos dan pandangan hidup dari agama lokal sebelumnya tidak hilang, yang “tersimpan” melalui kearifan lokal dan tradisi-tradisi Kejawen yang masih dilaksanakan oleh mereka. Komunitas ini juga menginterpretasikan ajaran Budaya Tirta sebagai bagian dari agama Hindu karena konsep etos dan pandangan hidupnya sejalan dengan ajaran Hindu. Dalam kaitannya dengan konsep pandangan hidup, pemahaman tentang Tuhan dalam agama Hindu bersifat pantheistik. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai etos merujuk pada sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia yang banyak menyerap unsur-unsur kepercayaan dan tradisi lokal Nusantara. Keterkaitan dengan sejarah perkembangan agama Hindu menyebabkan komunitas ini melakukan rekacipta tradisi keagamaan yang sesuai dengan ajaran Hindu.

This study starts from questions of conversion, that generally occurs from adherents of local religions to Samawi religions, which is supported by legality of government. But there is an opposite occurs for the community of Paguyuban Perguruan Budaya Tirta Padepokan Segara Gunung, which converting from Samawi religions to the teaching of Budaya Tirta. Nevertheless, the government's regulation that requires every citizen to embrace one of the official religions lead this community chose Hinduism as their official religion. Apart of them chose to adhesion, do not change their religious identity, but practice the teaching of Budaya Tirta worship. This statements raises several questions. First, what social phenomenons that can be seen from this community? Second, why does the community interprets the teachings of Budaya Tirta as part of Hinduism? Third, how the teaching of Budaya Tirta and Hinduism are intertwined in providing psychological function for this community? Theories that are used in this research, i.e.: ethos and world view of Clifford Geertz, conversion phases of Lewis R. Rambo and Charles E. Farhadian, and invented tradition of E .J. Hobsbawm and Terence O. Ranger. This study is a qualitative research. Techniques for data collection through method of observation participation, in-depth interviews, and literature study. This research is an ottoetnography too, because using personal experience of the researcher for explain the cases that studied. The result of this study shows that even the community embraced Samawi religions, but their ethos and worldview of the local religion had not previously lost, but "saved" through local wisdom and Kejawen traditions which are carried out by them. The community also interpret the teachings of Budaya Tirta as part of Hinduism because ethos and worldview of the teaching of Budaya Tirta in line with Hinduism. The linkage to the worldview is understanding of God in Hinduism is pantheistic. The linkage the ethos is refer to the historical of development of Hinduism in Indonesia, which absorb elements of local beliefs and traditions of the archipelago. The linkage to the historical of development of Hinduism lead this community doing invented tradition of religious that in accordance with Hinduism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moreno, Fransisco Jose
Jakarta: Rajawali Pers, 1977
157.3 FRA a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1988
291.09 WOR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: BPKP, 2002
291.22 KEP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1991
200 STU
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 2001
200 DEL (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Masyhuri
"Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang hubungan agama dan negara pada dasarnya bertititik tolak pada kerangka membangun masyarakat bangsa melalui faham kebangsaan, artinya dalam berbangsa dan bernegara, ia harus dipahami dalam kerangka nasional. Begitu juga pengertian menyeluruh tentang syari'at islam, dalam pandangan Abdurrahman Wahid masalah i'tiqadi'ah dipahami sebagai wilayah politik untuk memperjuangkan ideologi negara, mu'amalah dipahami sebagai upaya memperjuangkan hak-hak warga negara melalui Undang-Undang Dasar 1945, dan akhlaqiah dipahami sebagai upaya berdakwah dengan moralitas. Oleh karena itu, negara yang menjadi keyakinan mayoritas penduduk Indonesia merupakan wilayah privat yang tidak boleh diinterversi atau disubordinasi oleh negara, begitu juga negara, sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UUD 1945, harus benar-benar dilaksanakan untuk memperjuangkan hak-hak berkeyakinan dalam kerangka pembangunan nasional.
Adapun konsepsi tentang hubungan agama dan negara Rebublik Indonesia, dalam pemahaman Abdurrahman Wahid dirumuskan dalam tiga bahasan pokok, yaitu : Pertama, finalisasi Pancasila sebagai ideologi negara, karena perjuangan mengenai ideologi tersebut, pada dasarnya bukan didasarkan pada unsur keterpaksaan umat Islam, melainkan didasarkan pada kesadaran yang diwujudkan sebagai penghormatan untuk bersama membangun masyarakat bangsa. Kedua adalah mengenai hubungan simbiotik antara agama dan negara, yang dimaksudkan untuk menjaga hubungan secara proporsional, artinya warga negara tidak boleh mencari legitimasi keagamaannya kepada pemerintah, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak boleh mencari legitimasi politiknya kepada agama tertentu, terlebih ia tidak boleh mempolitisasi agama sebagai kendaran politik. Ketiga adalah mengenai konsep pribumisasi Islam yang dimaksudkan untuk mempermudah implementasi hukum Islam menjadi negara tanpa tercerabut dari budaya lokal (bangsa). Sedangkan demokrasi yang dipraktikkan oleh negaranegara Barat adalah tergolong sekuler, yaitu ia dipahami sebagai semangat untuk memisahkan urusan agama dan negara. Implikasi negara yang berfaham sekuler adalah negara tidak satu sen pun mengeluarkan uang untuk kepentingan agama, yang berarti keberadaan seperti Departemen Agama, Peradilan Agama, urusan Haji, dan kurikulum agama dalam semua jenjang pendidikan harus dihapuskan.

The thoughts of Abdurrahman Wahid about state and religion are basically based on the framework to built nation society through nationalism, in which nation and state. Islam has to be understood in national framework. The complete meaning of Islamic Shari'a, in the Wahid's opinion, has a various meaning. The meaning of theology is understood as political region or struggling for the state ideology, mu'amalah (transaction) can be understood as struggling effort for civic rights through UUD 45 and morality can be understood as teaching effort by morality. Therefore, Islam becoming Indonesian's belief as private matter may not be intervened and subordinated by state, as well as state, according to constitutional law (UUD 45), has to really conduct the struggle for civic right to national development.
And the conceptions of Republic Indonesia and Islam relation, according to Abdurrahman's opinion, are formulated in three fundamental discussion, that concern to finalizing Pancasila as state ideology, because the struggle of ideology basically not relied on compulsory from Muslim, but based on a awareness realized as respect to develop nation state together. Matter is symbiotic relation the second between state and Islam to remain to take care of intercourse proportionally, so citizen may not look for its religious legitimacy to certain religion, particularly he may not make religion as political desire. The third matter is concept "pribumisasi Islam" intended to facilitate implementation of Islamic law as state law. While democracy foundation practiced by western countries is assumed secular, comprehended as spirit to develop political system. The implication of state, which has a secular method that they will not participate to the religion case, such as Department of Religious Affairs, Personal Islamic Court, and the religion curriculum in all education ladders have to be abolished.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: Archipelago Press, 1999
R 200.9 REL
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>