Ditemukan 17903 dokumen yang sesuai dengan query
"Tanpa terasa dua tahun lebih berlalu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap permuhonan pengujian Undang-Undang (Judicial review) yang diajukan 31 (Tiga puluh satu) Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia...."
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Fatmawati
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2014
347.035 FAT p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Jakarta: Mahkamah Agung R.I., 2003
347.01 IND p (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Irawan Agung Raharjo
"Tesis ini membahas tentang perselisihan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial terkait dengan kewenangannya masing-masing dan pembahasan mengenai pembentukan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 sebagai sarana penguatan sistem pengawasan terhadap hakim. Tesis ini menggunakan metode penulisan hukum normatif, penulis telah menggunakan satu bentuk metode, yakni penelitian library research . Adapun pendekatan penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah pendekatan analisis konflik, yaitu membahas pertentangan pendapat antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dan pembentukan UU Komisi Yudisial Nomor 18 tahun 2011 sebagai solusi atas hubungan tersebut. Hasil tesis ini menyarankan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia, melalui metode pendidikan yang perlu dijadikan prioritas utama oleh pemerintah, termasuk didalamnya pendidikan moral sebagai kurikulum pendidikan sekolah.
This thesis discusses the disagreement between the Supreme Court and the Judicial Commission relating to their respective authorities and a discussion of the formation of Act No. 18 of 2011 as a means of strengthening the system of supervision of the judge. This thesis uses the method of normative legal writing, the author will use one form of the method, the research library research. The research approach taken in this paper is the approach to conflict analysis discusses the disagreement between the Supreme Court and the Judicial Commission and the establishment of the Judicial Commission Law No. 18 of 2011 as a solution to the relationship. The results of this thesis suggest an increase in the quality of human resources through education methods need to be a top priority by the government, including the moral education as the school education curriculum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32628
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Herlyana Maharani
"Pembatasan kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen menjadi suatu isu hukum yang mengaburkan kepastian hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Analisa mengenai kewenangan BPSK terhadap sengketa konsumen yang mengarah pada perkara keperdataan (wanprestasi) perlu dikaji dari segi UU Perlindungan Konsumen dan Putusan-Putusan Mahkamah Agung yang memutus dengan amar membatalkan Putusan BPSK dan menyatakan BPSK tidak berwenang menyelesaikan sengketa wanprestasi. Mahkamah Agung selaku tingkat tertinggi dalam lingkup Peradilan Umum kerap kali tidak mencantumkan dasar dan alasan hukum terhadap Putusan-Putusannya yang menyangkut kewenangan BPSK. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif (kepustakaan) dengan studi dokumen (bahan-bahan pustaka) dengan dilengkapi data primer berupa wawancara dengan beberapa narasumber. Bahwa penulis mendapati, meskipun Mahkamah Agung sebelumnya sepakat BPSK berwenang menyelesaikan sengketa konsumen terkait perkara wanprestasi, namun dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung, mengenai sengketa keperdataan (wanprestasi) bukan lagi ranah BPSK melainkan menjadi kompetensi absolut Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus perkara. Mahkamah Agung seharusnya tidak serta merta membatalkan Putusan BPSK dan menyatakan BPSK tidak berwenang menyelesaikan sengketa wanprestasi tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas dan lengkap agar hak konsumen mendapat penyelesaian sengketa yang patut tidak terabaikan.
The limitation of BPSK's authority in resolving consumer disputes is a legal issue that obscures the legal certainty of consumer protection in Indonesia. The analysis of BPSK's authority on consumer disputes that lead to civil cases (default) which need to be studied in terms of the Consumer Protection Law and Supreme Court Judges Considerations and Decisions which ruled against BPSK's decision and stated BPSK has no authority to resolve default disputes. The Supreme Court as the highest level within the scope of the General Court does not affect the legal basis and reasons for its decisions that regulate the authority of BPSK. The author uses the normative legal research method (literature) with document study (library materials) supplemented by primary data in the form of interviews with several interviewees. The fact is that although the Supreme Court agrees on the authority of BPSK to resolve disputes related to the interests of cases of default, with the existence of Supreme Court jurisprudence, Regarding civil disputes (default), it is no longer the domain of BPSK, but the absolute competence of the District Court to examine and decide cases. The Supreme Court should not immediately cancel the BPSK decision and state that BPSK does not resolve default disputes without consideration and a clear and complete legal basis so that proper dispute resolution consumers' rights are not neglected."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rizki Utami Kurnia Pratiwi
"Perjanjian utang pada dasarnya dilakukan berdasarkan kepercayaan bahwa Debitor akan mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya kepada Kreditor. Namun, dewasa ini perjanjian utang membutuhkan jaminan untuk melindungi Kreditor, sehingga dapat memberikan kepastian pelunasan utang oleh Debitor. Salah satu jaminan yang sering digunakan dalam perjanjian kredit adalah perjanjian jaminan perorangan atau biasa dikenal dengan penanggungan (borgtocht), dimana terdapat pihak ketiga untuk kepentingan Kreditor, mengikatkan diri untuk membayar utang apabila Debitor tidak memenuhinya. Pada praktiknya, dalam kasus kepailitan sering ditemukan Penanggung yang langsung dimohonkan pailit tanpa terlebih dahulu memohon Debitor untuk pailit, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan hukum dan tanggung jawab Penanggung dalam kepailitan. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif, yang menghasilkan penelitian berbentuk deskriptif analitis. Kedudukan hukum Penanggung beralih menjadi Debitor setelah ia memiliki kewajiban untuk membayar utang Debitor kepada Kreditor dan tanggung jawabnya dalam kepailitan tidak boleh lebih dari kewajiban Debitor. Seorang Penanggung dapat langsung dimohonkan pailit tanpa terlebih dahulu memohon Debitor untuk pailit apabila Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya yang diberikan oleh undang-undang dan harus dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian penanggungan. Saat ini masih ada ketidaksesuaian pengaturan mengenai kepailitan Penanggung dalam KUH Perdata dengan syarat kepailitan dalam UUKPKPU, hal ini sangat merugikan Penanggung. Pemerintah sebaiknya melakukan revisi terhadap undang-undang kepailitan Indonesia khususnya tentang syaratsyarat kepailitan, agar terdapat kepastian hukum yang mengatur terkait kedudukan hukum dan tanggung jawab Penanggung dalam kepailitan.
Debt agreement basically done based on the belief that the Debtor will repay the loans on time to the Creditor. However, currently the debt agreement requires a guarantee to protect Creditors, so as can giving the certainty of repayment the debt by the Debtor. One of the guarantee that are often used in the debt agreement is personal guarantee agreement or commonly known as "penanggungan" (borgtocht), where there is a third party for the benefit of Creditors, undertaking to pay the debt if the Debtor does not comply. In practice, in bankruptcy case, Guarantor are often found immediately petitioned for bankruptcy without first appeal the Debtor for bankruptcy, it certainly raises questions about the legal position and responsibility of the Guarantor in bankruptcy. This is the problems of this research.This research was conducted with normative juridical research method, which produces a descriptive analytical research. Guarantor are turning to the legal position of the Debtor after he has an obligation to pay the Debtor's debt to Creditors and responsibilities in bankruptcy should not be more than the Debtor obligation. A Guarantor can be directly applied for bankruptcy without first appeal the Debtor for bankruptcy, if the Guarantor have waived its privileges granted by law and must be explicitly stated in the personal guarantee agreement. Currently there is mismatch arrangements regarding bankruptcy Guarantors in the Civil Code with the terms of bankruptcy in UUK-PKPU, it is extremely detrimental to the Guarantor. The government should revise the bankruptcy laws of Indonesia especially about the terms of bankruptcy, so that there is certainty of law that regulates the legal position and responsibility of the Guarantor in bankruptcy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S65864
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003
347.05 IND c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Woodward, Bob
New York: Simon and Schuster, 1979
347.73 WOO b
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1982
340.095 98 IND a
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Schwartz, Bernard
New York: The Ronald Press, 1957
347.035 SCH s
Buku Teks Universitas Indonesia Library