Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95874 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pandu Utama Manggala
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan assessment terhadap Politik Luar Negeri Indonesia di ASEAN, khususnya setelah ASEAN berupaya mengembangkan diri menjadi organisasi regional yang lebih terintegrasi dengan visinya ASEAN Community 2015. Sejak saat itu, negara-negara anggota ASEAN berupaya melakukan berbagai cara untuk menjadikan ASEAN lebih solid secara entitas regional dan juga berupaya mengubah orientasi ASEAN lebih dekat kepada masyarakatnya. ASEAN yang lebih solid dinilai akan dapat membuat negara-negara anggotanya menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di kawasan, serta juga memberikan banyak manfaat bagi negara anggotanya di tengah dunia internasional yang semakin kompleks. Berdasarkan pandangan tersebut, Indonesia selalu menempatkan ASEAN ke dalam lingkaran politik luar negerinya. Sebagai implementasinya, Pemerintahan Indonesia di bawah SBY berupaya memainkan peran yang lebih aktif dan besar ASEAN, yang diharapkan akan memberikan banyak manfaat buat masyarakatnya. Selain itu, visi ASEAN Community 2015 dilihat dapat memberikan momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan peran kepemimpinannya di ASEAN yang sempat memudar akibat terhempas krisis pada periode akhir 1990-an. Terlepas dari itu semua, ada beberapa pertanyaan yang sering mengemuka mengenai peran Indonesia di ASEAN ini, yakni apakah Politik Luar Negeri Indonesia yang dijalankan telah efektif dalam mendorong ASEAN untuk menjadi entitas regional yang lebih solid dan lebih berorientasi kepada masyarakat; apakah Indonesia telah menunjukkan peran kepemimpinan yang kuat di ASEAN; dan apakah Indonesia telah secara berhasil menjadikan ASEAN lebih dekat kepada masyarakatnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian berupaya dijawab dengan menggunakan kerangka berpikir New Regionalism dari Bjorn Hettne. Kerangka New Regionalism Bjorn Hettne sendiri adalah sebuah pendekatan baru regionalisme yang mengeksplorasi integrasi dan kerja sama cross border berdasarkan pemahaman komparatif, historis, dan perspektif multi-level. Dengan menggunakan kerangka New Regionalism Bjorn Hettne, dapat dianalisa jalan menuju pembangunan regionalisme yang lebih komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan teoretis New Regionalism Bjorn Hettne ini akan digunakan sebagai alat analisa dalam melihat efektivitas peran yang dijalankan Indonesia dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN, pada masa Pemerintahan SBY.

This research tries to assess Indonesia?s foreign policy towards ASEAN, especially after ASEAN tries to rejuvenate itself with its vision of ASEAN Community 2015. Since then, ASEAN member countries have attempted on bringing ASEAN into a more solid of regional entity and a more people centered organization. A stronger ASEAN is perceived by its member will make them can solve every problem that occurs in the region. Moreover, by having a more solid regional entity, ASEAN member countries will get benefits as the world becoming more dynamic and challenging. By that viewpoint, Indonesia still consider ASEAN as the first concentric circle of its foreign policy. The onsequence of that outlook is in the current Indonesia government, the SBY administration, Indonesia tries to play a more active and bigger role in ASEAN, that will eventually give benefits to its own citizen. Furthermore, ASEAN vision to become a more solid regional entity is perceived will bring momentum for Indonesia to rise its leadership role after being shattered by the crisis in the late 1990s. However, questions remain arouse are whether Indonesian Foreign Policy towards ASEAN is effective to push ASEAN into a more solid regional entity and a more people centered organization or not; whether Indonesia has put its leadership role in ASEAN that will eventually bring prosperity for Indonesia citizen or not; and wheter Indonesia has been successful in bringing ASEAN into the heart of the society or not. By using Bjorn Hettne theoretical approach of regionalism, the New Regionalism approach, this research tries to explore and answer those questions. Bjorn Hettne New Regionalism is an approach that explores cross border integration and cooperation based on comparative, historic, and multilevel perspective. By using Bjorn Hettne New Regionalism, we can analyze in what ways a more comprehensive regionalism can be built. Therefore, this theoretical approach then will be used as an analytical tool to measure the Indonesian Foreign Policy toward ASEAN, in the current SBY dministration."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ali Wahyu Imanullah
"ABSTRACT
Analisis kebijakan luar negeri seringkali mengetengahkan bahwa
kebijakan merupakan konsekuensi logis dari faktor-faktor material, seperti
kapabilitas militer dan ekonomi, maupun ideasional, seperti visi, identitas, dan
ideologi negara. Namun demikian, bagaimana kedua hal ini bergabung
membentuk praktik kebijakan luar negeri di suatu negara tetap menjadi
pertanyaan, baik di kalangan praktisi maupun akademisi. Penelitian ini akan
mencoba menawarkan diskusi khusus terhadap pertanyaan tersebut dengan cara
memperhatikan kontinuitas agenda di dalam kebijakan luar negeri suatu negara
yang dihasilkan oleh praktik sehari-hari yang mengombinasikan kedua faktor di
atas. Dengan menggunakan kasus kontinuitas agenda ASEAN di dalam kebijakan
luar negeri Indonesia, penelitian ini akan menunjukkan bahwa diplomat berperan
penting dalam mengombinasikan kedua pandangan tersebut sehingga membentuk
kebijakan luar negeri suatu negara. Secara lebih spesifik penelitian ini akan
menggunakan pemikiran Bourdieu yang diaplikasikan melalui gabungan metode
induktif, interpretivis, dan historis untuk menggali pemahaman dan pertimbangan
diplomat Indonesia dalam melanggengkan agenda ASEAN di dalam kebijakan
luar negeri Indonesia.

ABSTRACT
Over time, the Foreign Policy Analysis (FPA) has been setting forth the
idea that foreign policy is a logical consequence from material factors, such as
military capability and economy, as well as ideational factors, such as country?s
vision, identity, transparancy making process. More specifically, this research will be
using Bourdieu's thoughts through the mixture of several methods, such as
inductive, interpretive, and historical, to further scrutinize the Indonesian
diplomat's understanding and reasoning in perpetuating ASEAN position as the
cornerstone in Indonesia's foreign policy."
2016
S63948
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasjim Djalal, 1934-
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1997
327.598 HAS p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Leifer, Michael
Jakarta: Gramedia, 1989
327.598 LEI t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R.A. Arief
"Perjanjian Camp David yang ditandatangani oleh Mesir dan Israel menyebabkan terjadinya perubahan kondisi politik di kawasan Timur Tengah. Negara-negara Arab yang tidak menyetujui perjanjian tersebut memboikot dan memutuskan hubungannya dengan Mesir. Mesir yang mengharapkan bahwa dengan perjanjian damainya dengan Israel dapat menciptakan stabilitas politik di kawasan ini melalui kesediaan Israel untuk mengembalikan wilayah-wilayah Arab yang didudukinya, sampai saat ini belum terwujud.
Permasalahan yang dihadapi oleh Mesir untuk melanjutkan proses perdamaian khususnya setelah perjanjian tersebut adalah mengembalikan kepercayaan bangsa-bangsa di kawasan yang rawan konflik ini terhadap Mesir, di samping menjalin hubungan dengan negara-negara besar Iainnya seperti Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Dengan menggunakan teori Willian D Coplin yang menyatakan bahwa politik luar negeri ditentukan oleh konteks internasional,perilaku pengambil keputusan, dampak kondisi ekonomi dan militer terhadap suatu negara dan peran politik dalam negeri dan teori dari Dale J.Hekhuis dkk yang menyatakan bahwa terdapat dua indikator menyangkut stabilitas yaitu pecahnya perang dengan daya hancur yang tinggi dan penaklukan atas orang-orang yang telah merdeka, serta pendapat dari Robert Gilpin yang menyatakan bahwa jika variabel kualitatif dalam determinan domestik berubah maka kepentingan dan kekuatan negara tersebut juga berubah, maka dengan menggunakan metode eksplanatif, penulis ingin mengetahui bagaimana peran Mesir di Timur Tengah sebagai upaya untuk mewujudkan stabilitas politik di kawasan.
Proses perdamaian yang tidak mengalami kemajuan khususnya selama tahun 1980-an, menuntut Mesir untuk lebih banyak mengarahkan politik Iuar negerinya ke negara-negara di kawasan Timur Tengah di samping tetap mempertahankan hubungan baiknya dengan Amerika. Sedangkan selama tahun 1990-an, Mesir aktif sebagai mediator dan fasilitator dengan terlibat Iangsung sebagai "Full Partner" dalam berbagai perundingan di tingkat bilateral dan multilateral. Amerika Serikat sebagai mitra Mesir masih mempunyai peran yang dominan dalam membantu kelangsungan proses perdamaian. Sementara Israel yang berkonflik dengan negara-negara Arab, kerap kali dapat mempengaruhi kebijaksanaan luar negeri AS terhadap negara-negara di Timur Tengah yang cenderung merugikan.
Oleh karena itu, agar Mesir tetap berperan dalam proses perdamaian untuk mewujudkan stabilitas politik di Timur Tengah maka Mesir harus menggali potensi (ekonomi) dalam negeri sendiri disamping dari luar negeri kecuali AS, dan tetap menjaga hubungan baiknya dengan negara-negara tetangga. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prawirasaputra, Sumpana
Bandung: Remadja Karya, 1984
327.598 Pra p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Ernawati
"Skripsi ini terssun ke dalam dua babak. Babak pertama adalah periode 1945-1966 yang rnerupakan masa kekuasaan Sukarno. Kekuasaan Sukarno mencapai puncaknya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dalam mana ia tampil sebagai pembuat keputusan utama kebijaksanaan negara, termasuk kebijaksanaan-kebijaksanaan luar negeri.
Sukarno menggunakan masalah-masalah kebijaksanaan luar negeri untuk menyokong pola kekuasaan yang di dalamnya dia sendiri sebagai aktor penting yang mengambil manfaat terbesar. Dalam hal ini, Ia giat menggelorakan konfrontasi Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Salah satu alasan yang tersembunyi dalam politik konfrontasi Sukarno dengan Malaysia ini adalah untuk menjaga perimbangan kekuatan dalam negeri yang saling bertentangan yaitu antara Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ironisnya, konfrontasi dengan Malaysia malah menyebabkan semakin buruknya perekonomian Indonesia. Konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia menyebabkan macetnya usaha-usaha pembangunan yang seharusnya digiatkan lagi oleh Soekarno setelah berakhirnya konflik Irian Barat.
Konfrontasi dengan Malaysia juga membuat renggangnya hubungan Indonesia dengan masyarakat dunia. Pertentangan Indonesia dengan negara-negara Asia-Afrika semakin tajam, hubungannya dengan Inggris dan sekutu-sekutunya praktis terganggu akibat konfrontasinya dengan Malaysia, dan Uni Soviet menolak memberikan dukungan kepada kampanve Indonesia untuk mengganyang Malaysia. Sementara itu, Amerika Serikat memberikan sanksi ekonomi dan menghimbau Jepang untuk melakukan hal yang sama.
Saat itu, mitra diplomatik yang paling dekat hubungannya dengan Indonesia yang memberikan dukungan penuh kepada politik konfrontasi Indonesia dengan Malaysia adalah Cina. Hubungan kedua negara semakin mesra dengan dibentuknya Poros Jakarta-Peking.
Seimbang dengan akrabnya hubungan Indonesia dan Cina, di dalam negeri Sukarno semakin mendekatkan dirinya dengan PKI. Kedekatan ini Pula yang menyebabkan timbulnya kecurigaan akan keterlibatan Sukarno dalam kudeta yang dilancarkan PKI pada tanggal 30 September 1965.
Kudeta PKI berhasil digagalkan oleh Angkatan Darat yang kemudian memonopoli pentas politik nasional. PKI dibubarkan, Sukarno berhenti dari jabatannya sebagai Presiden. Soeharto, yang namanya semakin dikenal karena kepemimpinannya dalam menumpas pemberontakan PKI, menggantikannya pada awalnya sebagai pejabat Presiden dan kemudian dikukuhkan sebagai Presiden. Berhentinya Sukarno dan tampilnya Soeharto di atas mimbar kekuasaan ini menandai berdirinya Orde Baru.
Di bawah kepemimpinan Soeharto, politik luar negeri Indonesia diarahkan untuk menunjang pencapaian tujuan nasional, yaitu stabilisasi politik dan ekonorni. Di dalam memaksimalkan strategi politik luar negerinya, Soeharto memanfaatkan jalur-jalur yang berasal dari kalangan Angkatan Darat, Departemen Pertahanan dan Keamanan serta Departemen Luar Negeri. Jalur jalur ini pulalah yang memegang peranan penting dalam proses mengakhiri konfrontasi, normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia, dan pembentukan ASEAN.
Dukungan dan peran aktif Indonesia bagi ASEAN pada awalnya ditujukan untuk memulihkan kredibilitas Indonesia sebagai anggota komunitas dunia yang damai dan bertanggung jawab, terutania di mata negara-negara tetangganya dan negara-negara industri Barat yang kaya, Keikutsertaan Indonesia. dalam ASEAN merupakan pengukuhan atas komitmennya pada politik bertetangga baik dan merupakan isyarat yang penting dalam usahanya menarik bantuan negara-negara Barat.
Sementara itu, di dalam tubuh AD telah terdapat pernikiran bahwa pembentukan ASEAN merupakan antisipasi untuk mencegah penyebaran komunisme di Asia Tenggara seiring dengan semakin buruknya situasi di Vietnam. Pada masa itu Vietnam Utara merupakan suatu sumber kekhawatiran negara-negara nonkomunis di kawasan ini, meskipun bukan alasan yang sangat mendesak bagi pendirian ASEAN. Pada akhirnya, Perang Vietnam mempengaruhi pendirian ASEAN -- perang tersebut telah membangkitkan kesadaran negara-negara pendirinya tentang pentingnya menyelesaikan perbedaan-perbedaan politik di antara mereka di dalam suatu wadah proses regional.
Periode 1967-1969 merupakan tahap orientasi dalam perkembangan ASEAN, suatu periode dimana para anggotanya berusaha untuk saling mengenal dan mengatasi sikap saling mencurigai sebagai akibat masa sebelurnnya, terutama dalam masa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Dalam periode awal ini kemajuan ASEAN tidak menonjol dalam bentuk proyek-proyek raksasa, hasil-hasil yang telah dicapainya dalam kerjasama ekonomi dan kebudayaan sangatlah minim. Meskipun' demikian, kontak-kontak personal yang terns berlanjut, konsultasi-konsultasi bersama dan pertukaran pandangan di antara para pemimpin, para ahli dan teknokrat telah memperkuat rasa solidaritas dan good will di antara negara-negara ASEAN."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12736
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Daniel
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S7319
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>