Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127271 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulika Harniza
"Resistensi bakteri terhadap antibiotik sudah menjadi masalah di rumah sakit Indonesia dan dunia. Banyaknya penggunaan antibiotik dengan dosis yang tidak adekuat, dan pemakaian antibiotik dalam jangka waktu lama memberikan andil besar pada peningkatan resistensi antibiotik. Bangsal Bedah RSUPN CM merupakan salah satu unit kesehatan yang memiliki insiden tinggi terjadinya infeksi. Pola bakteri beserta pola resistensi penting diketahui sebagai pertimbangan dalam penatalaksanaan infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola resistensi bakteri yang diisolasi dari bangsal bedah. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang; data merupakan data sekunder hasil uji kepekaan bakteri yang diisolasi dari bangsal bedah RSUPN CM pada tahun 2003-2006 yang didapat dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI. Data dibagi dua berdasarkan kurun waktu 2003-2004 dan 2005-2006. Dari data didapatkan tujuh bakteri terbanyak yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Staphylococcus epidermidis, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis, dan Streptococcus viridans. Staphylococcus aureus mempunyai nilai resistensi terbesar pada Chloramphenicol. Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis, dan Pseudomonas aeruginosa mempunyai nilai resistensi yang besar pada Amoxicillin dan Trimethoprim-Sulfamethoxazole. Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae juga mempunyai nilai resistensi besar pada Ciprofloxacin. Terjadi peningkatan persentase resistensi beberapa antibiotik uji pada 2003-2004 ke 2005-2006. Namun ada pula uji yang menurun atau menetap. Perbedaan ini dapat terjadi karena berbagai hal dan dipengaruhi bebagai faktor. Harus dilakukan upaya-upaya pengendalian dalam penggunaan antibiotika dan pencegahan resistensi dengan berbagai strategi.

Bacterial resistance to antibiotics has been an issue in hospitals in Indonesia as well as around the world. Inappropriate usage of antibiotics for a long period and errors in prescribing inadequate antibiotics dosages have been the main cause of the resistance. Due of its nature, The Surgery ward of RSUPNCM is one of the medical units that has high infection occurrence rates. The knowledge of bacterial resistence patterns must be studied and understood to successfully execute the right antibiotic for a certain infection. The purpose of this study is to evaluate bacterial resistance patterns which were isolated from the surgical ward of Cipto Mangunkusumo Hospital in 2003-2006. During the study, secondary data of bacterial isolation report from Clinical Microbiology Laboratory FKUI in 2003-2006 are also used. The data are divided into two time spans, 2003-2004 and 2005-2006. From the data gathered, we have found the top seven bacteria quantity wise; they are Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Staphylococcus epidermidis, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis, and Streptococcus viridans. Staphylococcus aureus has the highest resistance to Chloramphenicol. Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis, and Pseudomonas aeruginosa have the highest resistance to Amoxicillin and Trimethoprim-Sulfamethoxazole. Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae also have the highest resistance to Ciprofloxacin. The Antibiotics resistance tests show an increasing trend of the isolated bacteria resistance to antibiotics in the comparative study of the two years time spans. Nonetheless, we did also find some of the resistances that are decreasing in trend or stayed constant. These alterations are caused by many factors. Correct procedural usage of antibiotics and, management of infection preventions and treatments for controlling the bacterial resistance growth are essentials.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Anandita
"Infeksi nosokomial atau infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit masih menjadi masalah di rumah sakit di Indonesia dan dunia. Lebih dari 20% infeksi nosokomial terjadi di ICU. Infeksi nosokomial akan meningkatkan angka kematian, waktu perawatan pasien serta biaya. Resistensi terhadap antibiotik kini juga menjadi masalah dalam mengatasi infeksi nosokomial. Pengetahuan mengenai pola bakteri di ICU RSUPNCM beserta pola resistensi penting diketahui sebagai pertimbangan dalam penatalaksanaan infeksi nosokomial. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan data sekunder isolat yang berasal di ICU RSUPNCM pada tahun 2003-2006 yang didapat dari LMK FKUI. Data dibagi dua berdasarkan kurun waktu 2003-2004 dan 2005-2006. Didapatkan 142 isolat dalam kurun waktu 2003-2006, 91 isolat dalam kurun waktu 2003-2004 serta 51 isolat pada 2005-2006. Dari data didapatkan lima bakteri terbanyak yaitu Pseudomonas aeruginosa(31), Klebsiella pneumoniae(29), cinetobacter anitratus(21), Staphylococcus aureus(19) dan Enterobacter aerogenes(18). Pada kedua kurun waktu didapatkan lima besar bakteri yang sama namun dalam urutan yang berbeda. Pola resistensi terhadap antibiotik menunjukkan persentase resistensi yang meningkat pada Pseudomonas aeruginosa terhadap tikarsilin, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter anitratus, dan Enterobacter aerogenes terhadap sefepim, Staphylococcus aureus terhadap eritromisin, lainnya turun atau menetap. Berdasarkan perbandingan dengan hasil uji resistensi di negara-negara lain ditemukan beberapa perbedaan. Perbedaan ini dapat terjadi karena berbagai hal dan dipengaruhi berbagai faktor. Harus dilakukan upaya-upaya pengendalian infeksi nosokomial dan pencegahan resistensi dengan berbagai strategi.

Nosocomial infection or infection associated with or derived from hospital is still a problem in Indonesia and around the world. More than 20% nosocomial infection occurred in the ICU. Nosocomial infection will increase cost, mortality rate, length of stay and cost. Resistance against antibiotics has also become a problem in controlling nosocomial infection. Knowledge about bacterial pattern in ICU of Cipto Mangunkusumo national General Hospital and its resistance pattern will help in determining the appropriate treatment for nosocomial infection. The study design is cross-sectional and using secondary data obtained from bacteria isolated from ICU of Cipto Mangunkusumo national General Hospital during 2003-2006. The data is then divided into two periods, 2003-2004 and 2005-2006. The highest numbers of microbes found were Pseudomonas aeruginosa(31), Klebsiella pneumoniae(29), Acinetobacter anitratus(21), Staphylococcus aureus(19) and Enterobacter aerogenes(18). In both period the big five bacterias are the same, but in a different order. Increased percentage of resistance is shown in Pseudomonas aeruginosa against ticarcillin, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter anitratus and Enterobacter aerogenes against cefepime, and Staphylococcus aureus against erythromycin, other shows decreased or constant percentage. Comparison of the resistance pattern with study in other countries show some differences. There are various reasons and factors that may affect this outcome. Efforts must be made on controlling nosocomial infection and prevent resistance againsts antibiotics through various strategies.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Ambarwulan
"

Latar Belakang : Infeksi intraabdomen (IIA) merupakan respons inflamasi peritoneum oleh mikroorganisme penyebab sepsis dan kematian kedua terbanyak di ruang intensive care unit (ICU).1,2Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) menunjukkan angka kematian infeksi intraabdomen komplikata sebesar 10,5%. Terapi antimikroba atau antibiotik merupakan hal penting dalam penanganan IIA. Dalam mendukung keberhasilan penanganan kasus IIA dibutuhkan informasi akurat mengenai karakteristik dan pola kepekaan terhadap antibiotik yang dapat digunakan sebagai acuan penggunaan antibiotik pada kasus IIA. Tujuan: Mendapatkan karateristik mikrobiologis dan klinis pada kasus IIA dan mengetahui hubungan antara faktor klinis dan mikrobiologi dengan luaran klinis pasien.

Metode: Data diambil secara prospektif  dengan desain pontong lintang. Sampel penelitian berupa jaringan intraabdomen dan darah yang diambil saat pembedahan. Uji identifikasi dan uji kepekaan dilakukan untuk deteksi bakteri aerob dan bakteri anaerob. Hasil:. Infeksi intraabominal komplikata lebih banyak dibandingkan IIA non-komplikata (63,63%), kasus sepsis (63,63%) dan peritonitis (45,45%). Infeksi intraabominal terkait rumah sakit lebih banyak dibanding IIA komunitas yaitu 56,36%). Patogen yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli (34,78%), Klebsiella pneumoniae (10,86%) dan Enterococcus faecalis ((8,69%). Pola kepekaan terhadap amikasin, meropenem, ertapenem dan tigesiklin adalah 100% pada isolat E. coli, sementara piperasilin/tazobaktam lebih rendah (90,62%), seftazidim dan sefepim (68,75%). Ditemukan E. coli resisten multiobat  (62,5%), K. pneumoniae resisten multiobat (50%) dan E. faecalis resisten multi obat (50%). Terdapat hubungan antara faktor klinis sepsis dengan luaran klinis. Pemberian terapi antimikroba sebaiknya mengacu kepada rekomendasi yang dibuat berdasarkan pola kuman dan pola kepekaan setempat.

Kesimpulan: Bakteri Gram negatif masih merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada kasus IIA. Dengan tingginya temuan bakteri resisten multiobat makan pemberian antimikroba harus mempertimbangkan cakupan antimikroba terhadap patogen penyebab.

<

Background: Intraabdominal infection (IAI) is the peritoneum inflammatory process due to microorganisms, the leading cause of sepsis, and the second cause of death in the intensive care unit (ICU). Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) showed the mortality rate of complicated IAI of 10.5%. Antimicrobial therapy or antibiotics is important in managements of IAI. Accurate information is needed to improve IAI management; regarding the characteristics and patterns of sensitivity of antibiotics as a reference for antibiotics use in IAI.

Aim: This study aims to obtain microbiological and clinical pictures in IAI and the correlation between clinical and microbiological factors with the patient’s clinical outcomes.

Method: Data were collected prospectively using a cross-sectional design. The sampel in this study is intraabdomen tissue and blood that was taken during surgery. Identification and antimicrobial sensitivity testing was carried out to detect aerob and anaerob bacteria.

Result: Complicated cases is larger in number more than non-complicated IAI (63.63%), sepsis (63.63%) and peritonitis (45.45%). Hospital-related IAI much more than community IAI (56.36%). The most common pathogens are Eschericia coli 34.78%), Klebsiella pneumoniae (10.86%) and Enterococcus faecalis (8.69%). The sensitivity of amikacin, meropenem, ertapenem and tigesycline was 100% in E. coli, while piperacillin/ tazobactam was lower (90.62%), ceftazidime and cefepime (68.75%). It was found that multi-drug E. coli was (62.5%), multi-drug resistant K. pneumoniae (50%) and multi-drug resistant E. faecalis (50%). There is correlation between sepsis clinical factors with patient’s outcome. The administration of antimicrobial therapy should refer to recommendations made based on local microba and sensitivity patterns. 

Conclusion: Gram-negative bacteria are still the most common bacteria found in patient intraabdominal infections. With the high findings of multi-drug resistant bacteria, antimicrobial administration must consider the antimicrobial coverage of the causative pathogen.

 

"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Fitria
"Kontaminan yang paling sering dijumpai pada makanan adalah bakteri. Bakteri dapat berasal dari berbagai sumber di lingkungan, termasuk dari tinja manusia dan hewan yang tertular ke dalam makanan karena perilaku penjamah makanan, pencucian peralatan yang tidak bersih, dan penggunaan air pencuci yang berulang kali. Salah satu tempat pengolahan makanan yang mendapat perhatian adalah Kantin FKM UI, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa air bilasan dan piring makan yang tersedia di kantin tersebut telah terkontaminasi bakteri Coliform dan Faecal Coliform. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menurunkan jumlah bakteri kontaminan pada air bilasan dan piring makan dari kantin tersebut dengan cara penambahan asam cuka dengan volume tertentu ke dalam air bilasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan asam cuka sebanyak 9 ml pada 2 liter air bilasan hingga mencapai pH 4 berhasil menurunkan jumlah bakteri selain E. coli pada air bilasan dan pada piring makan. Sedangkan penurunan jumlah bakteri E. coli baru tampak setelah penambahan asam cuka sebanyak 90 ml pada 2 liter air bilasan hingga mencapai pH 3. Namun hal tersebut dianggap bias, karena keterbatasan teknik pemeriksaan bakteri dengan Total Plate Count yang sangat mengandalkan kemampuan penaamatan visual.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati efek penambahan asam cuka dalam air bilasan terhadap penurunan E. coli dengan menggunakan metode pemeriksaan laboratorium yang lebih khusus (menggunakan media selektif untuk pertumbuhan E. coli)."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Marvella Nethania
"Enam isolat bekteri pembentuk histamin telah ditapis untuk melihat kemampuannya menghasilkan histamin pada medium Niven termodifikasi. Hasil penapisan menunjukkan ke enam isolat mampu menghasilkan histamin dengan ditandai terjadinya perubahan warna merah jambu/pink pada medium. Produksi histamin ke enam isolat pada medium Niven cair diukur menggunakan metoda Hardy & Smith. Hasil uji menunjukkan ke enam isolat menghasilkan histamin pada medium cair sebanyak 92,35 - 305,49 mg/100 ml medium. Dari enam isolat tersebut, Enterobacter spp. menghasilkan aktivitas tertinggi (305,49 mg/100 ml). Medium sintetik digunakan untuk mempelajari pola pertumbuhan dan waktu optimum produksi enzim HDC pada Enterobacter spp and Morganella morganii (kontrol). Hasilnya menunjukkan bahwa untuk kedua jenis bakteri tersebut, jam ke 8 merupakan waktu optimum untuk memproduksi enzim.

Selection and test of L-histidine decarboxylase enzyme activity of six isolates of histamine forming bacteria. Six isolates of histamine forming bacteria were screened to see the degree of ability in producing histamine on modified Niven?s medium. The result showed that the six bacteria were able to produce histamine by giving a pinkish color on the medium, which could be used as a preliminary identification of histamine-forming bacteria (HFB). The isolates were grown in liquid modified Niven medium to measure the production of histamine. The histamine produced were determined by Hardy and Smith method. The result showed that all of the isolates produced high level of histamine (92.35 - 305.49 mg/100 ml of the medium). From all of them, Enterobacter spp. produced the highest level of histamine (305.49 mg/100 ml). A synthetic medium was used to measure the growth pattern and optimum time required by Enterobacter spp and Morganella morganii (as control bacteria) to produce the L-histidine decarboxylase enzyme (HDC) which is responsible for histamine production. The result showed that for both bacteria, the optimum enzim production was 8 hours after incubation."
Lengkap +
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Santoso
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pH pertumbuhan optimum dari 3 strain Acetobacter xylinum yang dimiliki oleh Universitas Indonesia Culture Collection, yaitu strain UICC-B,UICC-P, dan UICC-T.
Substrat fermentasi berupa limbah cair tahu yang ditambahkan dengan 12,5% sukrosa (gala pasir) dan 0,5% NH4H2PO4 yang disterilisasi pada suhu 115°C selama 5 menit. Substrat dibagi atas 4 kelompok yang masing-masing diatur sehingga mempunyai pH awal 4,5 ; 5,0 ; 5,5 ; atau 6,0. Ke dalam setiap kalompok substrat fermentasi diinokulasikan dengan 105 (vlv) Axylinum UICC-B, UICC-P, atau UICC-T. Biakan diinkubasi pada suhu ruang selama 14 hari untuk strain UICC-P dan UICC-T sedangakan strain MCCB diperpanjang hingga 21 hari.. Pertumbuhan diukur melalui ketebalan nata yang terbentuk. Pada akhir fermentasi dilakukan juga pengukuran pH substrat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan rata rata strain UICC-P (1,384 -1,514cm) dan. UICC-T (0,910 - 1,132 cm) lebih besar dari ketebalan rata rata UICC-B (0,420 - 0,978 cm), walaupun waktu inkubasi UICC-B telah diperpanjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa strain UICC-P merupakan strain terunggul dan berpotensi untuk dikembangkan dalarn industri fermentasi nata. Pertumbuhan ke dua strain, UICC-P dan UICC-T, tidak dipengaruhi oleh pH awal substrat fermentasi sedangkan strain UICC-B walaupun pertumbuhannya lambat, tampak akan tumbuh lebih baik pada pH di atas pH 5, 0."
Lengkap +
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Sulfate reducing bacteria utilize sulfate as their terminal electron acceptor and reduce it to sulphide. acid mine drainage, by-products of mining activities, is an acidic sulfate - rich wastewater suitable habitat for sulfate reducing bacteria. Isolation and identification of sulfate reducing bacteria collected from Muara Enim coal mining, South Sumatera was carried out at Laboratory of Environmental Biotechnology, Indonesian center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor and Laboratory of Microbiology, Faculty of Veterinary, Bogor Agricultural University...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Sedimen salah satu factor yang dapat mempengaruhi kualitas air tambak udang. Pada sedimen terjadi akumulasi dan perombakan bahan organik oleh bakteri. Kelimpahan dan aktivitas bakteri di sediment berpengaruh terhadap konsentrasi senyawa toksik di tambak yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit dan amonium pada sedimen tambak udang sistem semi intensif, dan hubungannya dengan konsentrasi amonium, nitrit yang dihasilkan. Penelitian dilakukan di Tambak Pandu Karawang, DKP Karawang- Jawa Barat, pada Bulan April sampai september 2009. Sampel sedimen diambil pada 3 tambak semi intensif pada kedalaman berbeda, yaitu : 0-5 cm, dan 10-15 cm, yaitu pada tahap persiapan, 0 hari, 30 hari, 60 hari,90 hari,120 hari. Sampel diambil secara acak menggunakan core sampler.Analisis kelimpahan bakteri dengan metode MPN (Most Probable Number). Kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit terbanyak pada sedimen berumur 120 hari di kedalaman 0-5 cm, yaitu sebanyak 9x10(pangkat 22)sel/g dan paling sedikit pada sedimen berumur 30 hari di kedalaman 10-15 cm,yaitu sebanyak 1,5x10(pangkat 6) sel/g. Kelimpahan bakteri penghasil amonium terbanyak pada sedimen berumur 120 hari di kedalaman 10-15 cm, yaitu sebesar 1,2x10(pangkat 20) sel/g dan paling sedikit pada sedimen berumur 0 hari di kedalaman 0-5 cm, yaitu sebanyak 4,3x10(pangkat 5) sel/g. Terlihat adanya korelasi positif antara kelimpahan bakteri dengan konsentrasi amonia dan nitrit yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan kelimpahan bakteri berpengaruh terhadap proses perombakan bahan organik dan senyawa nitrit dan amonium yang dihasilkan pada sedimen tambak "
Lengkap +
2010
551 LIMNO 17:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Y. Muliawan
"buku ini berisi tentang penjelasan berbagai kasus yang disebabkan oleh bakteri yang hidup intraselular obligat serta aspek klinisnya."
Jakarta : Erlangga, 2009
579.1 SYL b (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ariadna Adisattya Djais
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan Cara Penelitian : Umumnya pada masyarakat Indonesia pencabutan gigi masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan gigi. Pasca pencabutan gigi seringkali menimbulkan bakteremia, yang dapat melanjut menjadi endokarditis atau infeksi pada organ lain. Profilaksis yang dilakukan berupa pemberian antibiotika dan upaya profilaksis lain yaitu berkumur, untuk mengurangi jumlah bakteri oral yang dapat masuk dalam darah akibat tindakan pencabutan gigi. Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan Hexetidine 0,1% dalam mereduksi jumlah bakteri oral, dan juga daya Hexetidine 0,1% dalam mencegah kasus bakteremia pasca pencabutan gigi terhadap bakteri aerob maupun anaerob. Telah diteliti empat puluh subyek penelitian yang dibagi dalam dua kelompok. Sebelum pencabutan gigi kelompok kontrol berkumur dengan air garam faal steril dan kelompok perlakuan dengan Hexetidine 0,1%, dilakukan pemeriksaan terhadap hasil kumuran, plak gigi dan darah peserta yang diambil dari vena cubitis.
Hasil dan kesimpulan : Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa besar reduksi bakteri oral setelah berkumur dengan Hexetidine 0,1% dan air garam foal steril, terdapat perbedaan yang bermakna dengan p < 0,05. Pada pemeriksaan darah lima menit, pada kelompok kontrol terdapat kasus bakteremia sebesar 85% dan pada kelompok perlakuan sebesar 50%. Pada pemeriksaan darah sepuluh menit, pada kelompok kontrol terdapat kasus bakteremia 40% dan kelompok perlakuan sebesar 25%. Disimpulkan bahwa dengan berkumur Hexetidine 0,1% sebelum pencabutan gigi, akan mereduksi bakteri oral dengan persentasi tinggi dan menurunkan insidens kasus bakteremia pasca pencabutan gigi. "
Lengkap +
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>