Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165203 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Hamim
"Kinetika dan mekanisme reaksi pembentukan kompleks M(II) : Co(II), Ni(II) dan Zn(II) dengan ligan 2-(5-bromo-2-piridilazo)-5 dietilaminofenol (5-Br-PADAP atau HL) pada antarmuka heksana-air telah dipelajari melalui pengukuran spektrofotometri UV-Vis menggunakan metode batch dan metode centrifugal liquid membrane (CLM) spektrofotometri. Molar rasio pembentukan kompleks Co(II), Ni(II) dan Zn(II) yang diperoleh adalah sama yaitu [M] : [HL] = 1 : 2, sehingga kompleks yang terbentuk adalah kompleks Co(II)L2, Ni(II)L2 dan Zn(II)L2.Melalui pembentukan kompleks dengan metode batch diketahui bahwa kompleks Co(II)L2 yang terbentuk akan terlarut dalam fasa air dengan ëmaks = 586 nm, kompleks Ni(II)L2 dapat terekstrak dalam fasa organik dengan ëmaks = 508 nm, sedangkan Zn(II)L2 terbentuk sangat sedikit pada fasa air. Kelarutan kompleks Zn(II)L2 pada kedua fasa sangat kecil. Pembentukan kompleks dengan metode CLM dapat diamati melalui spektra absorpsi pada waktu tertentu. Metode CLM menghasilkan spektra absorpsi monomer kompleks Co(II)L2 dengan ëmaks 574 nm, monomer kompleks Ni(II)L2 dengan ëmaks 550 nm serta kompleks Zn(II)L2 dengan ëmaks 566 nm, spektra yang berbeda dengan metode batch ini menunjukkan bahwa kompleks-kompleks tersebut berada pada antarmuka. Pembentukan kompleks M(II) ? 5-Br-PADAP yang diamati menggunakan metode CLM dipengaruhi oleh konsentrasi ion logam M(II), konsentrasi ligan dan pH.
Dari hasil kinetika reaksi pembentukan monomer kompleks, dapat diketahui mekanisme reaksi yang terjadi pada antarmuka sistem heksana-air. Untuk pembentukan kompleks Co(II)L2 diperoleh nilai Kkmp rata-rata sebesar (7,87 ±1,5) x101 M-1 s-1. Untuk pembentukan kompleks Ni(II)L2 diperoleh nilai kkmp rata-rata sebesar (1,72 0,26) x10±2 M-1 s-1, sedangkan untuk pembentukan kompleks Zn(II)L2 tidak diperoleh nilai konstanta laju reaksinya dikarenakan laju reaksi yang terlalu cepat. Penggunaan ligan dengan konsentrasi tinggi pada pembentukan kompleks dapat menghasilkan J-aggregat kompleks (kumpulan kompleks), yang ditunjukkan dengan pergeseran panjang gelombang ke arah panjang gelombang yang lebih besar (pergeseran merah atau batokromik). Bilangan aggregasi kompleks (Neff) yang diperoleh untuk kompleks Co(II)L2 adalah Neff = 3 sedangkan untuk kompleks Ni(II)L2 diperoleh nilai Neff = 4."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
KIM.027/08 Ham k
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Elly Marwati
"Penentuan stoikiometri senyawa koordinasi M: L: L? dilakukan dengan metode perbandingan mol melalui dtia pendekatan, yaitu penambahan L? ke datam senyawa koordinasi (ML2)2 dan penambahan L ke dalam (ML?2)2+, dimana L = 2,2?-bipiridin (bpy) atau 2,9-dimetil-1, 10- fenantrolin (dmfen) dan L? = 4,4?-bipiridin (bpy?) serta M = Fe(II), Co(II), atau Ni(ll). Diperoleh kesimpulan yang sama, yaitu stoikiometri senyawa koordinasi M : L : L? = 1: 2 : 1 dan 1 : 2 : 2 untuk ke tiga ion logam. Berdasarkan stoikiometri tersebut disintesis senyawa koordinasi (ML2)2+ dan (ML2 L?2)2+ seria dikarakterísasi dengan spektrofotometer UV-Vis dan JR. Kristal [ML2 ]2+ dan [ML2 L?2 ]2+ yang diperoleh umumnya berbentuk butiran halus dengan warna yang bervariasi.
Spektra UV-Vis untuk ketiga ion logam dengan ligan 2,2?-bipiridin menunjukkan kemiripan, yaitu adanya pergeseran batokromik ligan terkoordinasi terhadap ligan bebas di daerah ultraungu dan transisi d-d di daerah tampak. Pada senyawa koordinasi [Fe(bpy)2]2+ terjadi transisi Metal to Ligand Charge Transfer (MLCT) pada Å, = 522 nm dengan nilai t= 4494 M?1cm1. Adanya MLCT mengindikasikan senyawa koordinasi [Fe(bpy) 2 ]2+ spin rendah. Transisi ini tidak terjadi pada senyawa koordinasi [Fe(dmfen) 2 ]2. Begitu juga dengan senyawa koordinasi Co(ll) dan Ni(ll) dengan ligan 2,2?-bipirjdjn dan 29-dímeN-1,1O-fenantrolin tidak menunjukkan adanya MLCT di daerah tampaic dan transisi d-d umumnya tidak teramati dengan jelas.
Senyawa koordinasi [Co(dmfen)2} dan [Ni(dmfen) 2 ]2 menunjukkan kemiripan, yaltu antara spektrum ligan bebas dan ligan terkoordmnasí tidak menunjukkan pergeseran panjang gelombang walaupun e berubah. Sedangkan [Fe(dmfen) 2 ]2 menunjukkan pergeseran batokromik dan hipsokromík ligan terkoordinasi terhadap ligan bebas secara simultan. Substitusi ligan jembatan 4,4?-bipiridin pada senyawa koordinasi [ML2 ]2+ mengakíbatkan pergeseran puncak serapan dan perubahan absorbansi di UV-Vis. Spektrum IR menunjukkan pergeseran pada serapan karbon aromatís dan karbon-nitrogen serta adanya serapan baru pada daerah 200-400 cm-1 yang merupakan serapan khas dan vibrasi M-N yang membuktikankan senyawa koodínasi sudah terbentuk. Data serapan dan vibrasi M-N mengindikasikan senyawa koordinasi [FeL2L?2=]2+ spin rendah dan [CoL2L?2]2+ serta [NiL2L?2]2 spin tinggi. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
T4388
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S30375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Delfira Putri
"ABSTRAK
Selulosa telah diisolasi dari jerami padi dengan proses penghilangan lignin, hemiselulosa dan bleaching dalam satu tahapan reaksi. Pada penelitian ini, rendemen selulosa hasil isolasi yang diperoleh 36,95 %. Kemudian selulosa hasil isolasi dari jerami padi dilakukan kopolimerisasi dengan asam akrilat dan akrilamida sebagai monomer, kalium persufat sebagai inisiator dan N,N‟ dimetil-bis-akrilamida sebagai pengikat silang. Kemudian, campuran tersebut dicampurkan bentonit sebagai bahan komposit dan kopolimerisasi dilakukan selama 2 jam pada suhu 70oC. Kapasitas swelling terbaik, baik dalam air maupun urea dengan konsentrasi 200 ppm adalah pada selulosa hasil isolasi dengan kapasitas swelling berturut-turut sebesar 427,94 g/g dan 410,07 g/g. Kapasitas release air dan urea dari superabsorben yang paling baik adalah pada selulosa murni dengan kapasitas release berturut-turut yaitu 67,452% dan 41,140%. Kinetika swelling dan release superabsorben selulosa jerami padi tercangkok poli(Asam akrilat-ko-akrilamida)/Bentonit mengikuti orde reaksi pseudo kedua dan memiliki persamaan laju reaksi v = k[Absorbat]2. Karakterisasi selulosa dan superabsorben dilakukan dengan spektroskopi FTIR untuk analisis gugus fungsi, XRD untuk analisis pola difraksi, SEM untuk melihat morfologi permukaan superabsorben, dan DSC untuk analisis ketahanan termal. Karakterisasi selulosa dan superabsorben dilakukan dengan spektroskopi FTIR untuk analisis gugus fungsi, XRD untuk analisis pola difraksi, SEM untuk melihat morfologi permukaan hidrogel, dan DSC untuk analisis ketahanan termal. Proses absorpsi mengikuti model isoterm adsorpsi Freundlich. Studi termodinamika proses absorpsi urea oleh superabsorben komposit selulosa jerami tercangkok poli (asam akrilat-ko-akrilamida)/bentonit berlangsung spontan dengan nilai ΔG˚ negatif, ΔH˚ sebesar 4,996 kJ/mol dan ΔS˚ sebesar 268,79 J/mol.

ABSTRACT
Cellulose had been isolated from rice straw with removal hemicellulose and lignin process and bleaching. In this study, the average rendement of cellulose isolated from rice straw obtained 36,95%. Then cellulose isolated from rice straw was copolymerized using acid acrylate and acrylamide as a monomer, Pottasium persulfat as inisiator and N,N‟ dimethyl-bis-acrylamide as crosslinking. This mixture was mixed with bentonite as composite materials and copolymerization was further carried out for 2 hours at 70oC. Swelling capacity of superabsorbent for cellulose isolated was the best in water and urea solution (200 ppm), with the swelling capacity were 427,94 g/g and 410,07 g/g, respectively. Release capacity of superabsorbent for pure celullose was the best, and the release capacity were 67,452% and 41,140% for water and urea solution respectively. urea at 681,26 g/g, the water release at 69,716% and 12,318% release of urea. Kinetics of swelling and release produced by rice straw superabsorbent cellulose grafted poly(arylic acid-co-acrylamide)/bentonite is followed pseudo second-order reaction and has a rate equation v=k[Absorbate]2 . Characterization of cellulose and superabsorbent by FTIR for the analysis of functional groups, XRD diffraction pattern for analysis, SEM to look at the morphology of the superabsorbent‟s surface, and DSC for analysis of thermal resistance. Absorption process fitted well with Freundlich isoterm model. Thermodynamics studies showed that absorption process of urea by superabsorbent composite of cellulose form rice straw grafted poly(AA-ko-Aam)/bentonite was spontaneously with negative value of ΔG˚, ΔH˚ 4,996 kJ/mole and ΔS˚ 268,79 J/mole."
2016
S66803
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indo Aribinuko
"Sinamaldehida merupakan salah satu produk bahan alam yang paling melimpah yang ditemukan pada kulit kayu spesies Cinnamomum dan terkenal karena aplikasinya dalam medis, pemberi cita rasa, industri parfum, dan sebuah intermediet berharga untuk banyak produk organik sintesis. Pada penelitian ini, sinamaldehida disintesis dengan reaksi katalitik homogen dan heterogen. Reaksi katalitik homogen dilakukan menggunakan larutan NaOH, sedangkan reaksi katalitik heterogen dilakukan menggunakan beberapa katalis padatan basa, yang mana katalis NaOH/Al2O3 yang dipreparasi dengan mencampur dan menggerus padatan NaOH dan Al2O3 (14 % berat Al2O3) telah sukses menampilkan reaksi kondensasi aldol silang dalam menghasilkan sinamaldehida. Katalis yang telah disiapkan dikonfirmasi dengan metode XRD. Reaksi kondensasi aldol antara benzaldehida dan asetaldehida dilakukan pada 70 oC dengan memvariasikan waktu reaksi. Produk reaksi dianalisis dengan GC dan GC-MS. Konsentrasi katalis = 3,5 % (% berat total reagen); rasio molar antara benzaldehida dan asetaldehida = 1,1:1; dan waktu reaksi 6 jam; distribusi produk sinamaldehida yang didapat 8,06 %.

Cinnamaldehyde is one of the most abundant natural product found in Cinnamomum sp. bark and is well known for its application in medicine, flavor, perfumery, and also a valuable intermediate compound for many synthesized organic products. In this research, cinnamaldehyde was synthesized by homogeneous and heterogeneous catalytic reactions. The homogeneous catalytic reaction was conducted using solution of NaOH, where as the heterogeneous catalytic reaction were conducted using some solid base catalysts, in which the catalyst NaOH/Al2O3 prepared by mixing and grinding solids of NaOH and Al2O3 (14 % of Al2O3 weight) has succeeded to perform the cross aldol condensation reaction of benzaldehyde and acetaldehyde in producing cinnamaldehyde. The catalyst prepared was confirmed by XRD method. The aldol condensation reaction of benzaldehyde and acetaldehyde were conducted at 70 oC by varying the reaction times. Reaction product was analyzed by GC and GC-MS. The catalyst concentration was 3,5 % (% weight of total reagents); molar ratio between benzaldehyde and acetaldehyde was 1,1:1; and time reaction was 6 hours; the distribution product cinnamaldehyde obtained was 8,06 %."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S52454
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qotrunnada Mubasyiroh
"Tulang belakang menjadi lokasi penyakit tuberkulosis (TB) tulang paling umum yang menyumbang sekitar setengah kasus TB tulang. Pengobatan via oral menggunakan empat obat antituberkulosis (OAT) lini pertama memiliki risiko ketidakpatuhan pasien yang tinggi dan bioavailabilitas obat di jaringan infeksi yang rendah. Penelitian terkini telah membuktikan bahwa implan tulang belakang OAT berpotensi mengatasi masalah ketidakpatuhan pasien dan meningkatkan daya jangkau obat ke daerah terinfeksi. Namun, peningkatan stres oksidatif karena respon tubuh terhadap infeksi patogen berpotensi mengakselerasi degradasi OAT isoniazid (INH) dan rifampisin (RIF). Untuk menghambat degradasi, INH dan RIF ditambahkan stabilisator dari kelas antioksidan yaitu asam galat (AG) untuk INH dan asam askorbat (AA) untuk RIF. Uji degradasi paksa dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kurva kalibrasi obat serta menstandardisasi H2O2 stok. Sampel INH dan RIF disimpan selama 21 hari dalam media phosphate buffered saline (pH 7,4) dengan variasi konsentrasi oksidator (H2O2) dan konsentrasi stabilisator. Konsentrasi OAT diukur dengan instrumen high performance liquid chromatography (HPLC) dengan kolom C18 (250  4,6 mm  5 µm). Hasil uji degradasi menunjukkan bahwa sampel INH mengalami degradasi sebesar 82,36%, 96,55%, dan 100% akibat penambahan H2O2 0%, 0,5%, dan 1% (w/v), secara berurutan. Sementara itu, sampel INH mengalami degradasi sebesar 98,34%, 83,68%, dan 60,08% akibat penambahan AG dengan perbandingan massa INH:AG sebesar 4:1, 2:1, dan 1:1, secara berurutan. Penambahan stabilisator dengan konsentrasi yang tepat merupakan upaya untuk mengurangi oksidasi pada OAT yang diimplan di tulang belakang sehingga persamaan kinetika yang akurat dalam merepresentasikan reaksi degradasi OAT diperlukan untuk menentukan konsentrasi stabilisator yang optimal supaya menghasilkan laju degradasi OAT serendah mungkin. Model persamaan kinetika degradasi OAT menunjukkan stabilitas obat yang merupakan fungsi dari konsentrasi oksidator dan konsentrasi stabilisator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk reaksi degradasi INH dengan penambahan stabilisator AG dan kehadiran oksidator H2O2, parameter kinetika yang diperoleh yaitu k3 = 1,05 10-4 hari-1, kw = 538,95 mM, KA = 0,71 mM, dan KB = 11,01 mM-1

Spine is the most common site of skeletal tuberculosis (TB), which accounts for about half of skeletal TB cases. Oral treatment using four first-line antituberculosis drugs (ATD) has a high risk of patient non-adherence and low bioavailability of drugs in infected tissues. Recent research has proven that ATDs spinal implants have the potential to overcome patient non-adherence problems and it increases the drug's reach to the infected areas. However, an increase in oxidative stress due to the body's response to pathogen infection has the potential to accelerate the degradation of two ATDs, isoniazid (INH) and rifampicin (RIF). To inhibit the degradation, INH and RIF added stabilizers from the antioxidant class, namely gallic acid (GA) for INH and ascorbic acid (AA) for RIF. A forced degradation study was conducted by prior creation of calibration curves and standardization of H2O2 stock concentration. INH and RIF samples were kept for 21 days in phosphate buffered saline (pH 7,4) aqueous media with varying oxidizer concentrations (H2O2) and stabilizer concentrations. Concentration of ATDs were measured using a high performance liquid chromatography (HPLC) instrument with a C18 (250  4,6 mm  5 µm) column. The results of the degradation test showed that INH samples had a degradation of 82,36%, 96,55%, and 100% due to the addition of 0%, 0,5%, and 1% (w/v) H2O2, respectively. Meanwhile, the INH samples had a degradation of 98,34%, 83,68%, and 60,08% due to the addition of GA with a mass ratio of INH:GA of 4:1, 2:1, and 1:1, respectively. The addition of a stabilizer with the accurate concentration is an effort to reduce oxidation in ATDs implanted in the spine so that an accurate kinetic equation in representing the ATDs degradation reaction is needed to determine the optimum stabilizer concentration to produce the lowest possible ATDs degradation rate. The kinetic equation model of ATDs degradation shows drug stability, which is a function of the oxidizer concentration and the stabilizer concentration. The results showed that for INH degradation reaction with the addition of GA as stabilizer and the presence of H2O2 as oxidizer, the kinetic parameters obtained were k3 = 1,05 10-4 day-1, kw = 538,95 mM, KA = 0,71 mM, and KB = 11,01 mM-1."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vogel, Arthur I.
Jakarta: Kalman Media Pusaka, 1985
544 VOG b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ruslin Hadanu
"Suatu metode sintesis yang unik telah digunakan dalam membuat senyawa turunan 2-(4-metoksifenil)-4-fenil-1,10-fenantrolin (5) dari 4-metoksibenzaldehida (1), asetofenon (2), dan 8-aminokuinolin (4)
dengan reaksi kondensasi aldol dan reaksi siklisasi. Turunan-turunan senyawa tersebut diuji aktivitasnya melalui uji aktivitas antiplasmodial. Sintesis turunan senyawa 5 dilakukan dalam tiga tahap. Senyawa 3-(4-metoksifenil)-1-fenilpropenon3 disintesis melalui reaksi kondensasi aldol dari senyawa1 dan 2 dengan hasil 96,42%. Senyawa 5 disintesis melalui siklisasi senyawa 4 dan 3 dengan hasil 84,55%. Turunan senyawa 5 disintesis dari senyawa 5 menggunakan DMS dan DES yang direfluks
berturut-turut selama 21 dan 22 jam untuk menghasilkan (1)-N-metil-9-(4-metoksifenil)-7-fenil-1,10-fenantrolinium sulfat (6) dan (1)-N-etil-9-(4-metoksifenil)-7-fenil-1,10-fenantrolinium sulfat (7) dengan rendemen hasil berturut-turut 91,42 dan 86,36%. Hasil uji in vitro aktivitas antiplasmodium dari turunan senyawa 5 (senyawa 6 dan 7) terhadap P.falciparum resistan klorokuin strain FCR3 menunjukkan bahwa senyawa 7 mempunyai aktivitas antimalaria lebih tinggi dari senyawa 5 and 6. Sedangkan, hasil uji in vitro aktivitas antiplasmodium terhadap P. falciparum sensitif klorokuin
strain D10 menunjukkan bahwa senyawa6 mempunyai aktivitas antimalaria lebih tinggi dari senyawa 5 and 7.

Abstract
A unique of synthetic methods was employed to prepare 2-(4 methoxyphenyl)-4-phenyl-1,10-phenanthroline (5) derivatives from 4-methoxy-benzaldehyde (1), acetophenone (2), and 8-aminoquinoline (4)
with aldol condensation and cyclization reactions. The derivatives were tested through antiplasmodial test. The synthesis of derivatives compound 5 was conducted in three steps. The 3-(4-methoxyphenyl)-1 penylpropenone 3 was synthesized through aldol condensation of 1 and 2 which has a yield of 96.42%. The compound 5 was synthesized through cyclization of compound 4 and 3 with 84.55% yield. The derivative of compound 5 was synthesized from compound 5 using DMS and DES reagents which refluxed for 21 and 22 h, to produce (1)-N-methyl-9-(4-methoxyphenyl)-7-phenyl-1,10-phenanthrolinium sulfate (6) and (1)-N
-ethyl-9-(4-methoxyphenyl)-7-phenyl-1,10-phenanthrolinium sulfate (7) with 91.42 and 86.36% yields, respectively.
Results of in vitro
testing of antiplasmodial activity of compound 5 derivatives
(i.e., compound 6 and 7 ) against chloroquine-resistant
P. falciparum
FCR3 strain showed that compound 7
had higher
antimalarial activity than compounds 5 and 6 .
Whereas, results of in vitro
testing against chloroquine-sensitive P.falciparum
D10 strain showed that compound 6
has higher antimalarial activity than compounds 5 and 7. "
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Universitas Pattimura. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan;Universitas Pattimura. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pattimura. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan], 2012
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>