Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Samadaya Zendrato
"Penjelasan dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) menyebutkan bahwa semua unsur-unsur lainnya yang terdapat di belakang unsur opzettelijk, turut diliputi oleh opzet. Begitu juga pada unsur culpa, berlaku ketentuan yang sama seperti pada opzet. Ketentuan ini dapat pula diterapkan pada unsur kesalahan pro parte dolus pro parte culpa, dimana penempatannya berpengaruh pada pengetahuan pelaku mengenai keadan-keadaan yang disebutkan dalam unsur-unsur yang mengikutinya. Dalam rumusan tindak pidana pencucian uang, unsur pro parte dolus pro parte culpa diikuti oleh unsur hasil tindak pidana, dimana definisi unsur hasil tindak pidana mencakup predicate crimes dan double criminality principle.
Dengan perumusan yang demikian, secara teoritis unsur pro parte dolus pro parte culpa turut meliputi predicate crime dan double criminality principle. Artinya,harus dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga predicate crime-nya dan terpenuhi tidaknya double criminality principle. Akan tetapi, jika melihat tujuan pembentuk undang-undang, perumusan predicate crimes dan double criminality principle tidak ditujukan untuk dikaitkan dengan pengetahuan pelaku, karena pada terdakwa tidak dituntut pengetahuan semacam itu, melainkan sekedar pengetahuan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan/pelanggaran hukum. Dalam praktik peradilan di Indonesia, pembuktian pengetahuan pelaku mengenai asal-usul harta kekayaan ternyata masih menunjukkan belum adanya keseragaman pola.

Elucidation of Memorie van Toelichting (M.v.T) states that all other elements behind the element opzettelijk, are also influenced by opzet. Likewise on the element culpa, the same provision on opzet applies. This provision can also be applied on the element of pro parte dolus pro parte culpa, where its placement affect on perpetrator?s knowledge of conditions mentioned in the following elements. In the formulation of money laundering crime, pro parte dolus pro parte culpa element is followed by elements of proceeds of crime, while proceeds of crime are defined covering predicate crimes and double criminality principle.
With such definition, theoretically pro parte dolus pro parte culpa element influences predicate crime and double criminality principle. That is to say, it has to be proven that the perpetrator knows or should suspect the predicate crime and whether or not double criminality principle fulfilled. However, if we consider legislator?s intention, the formulation of predicate crimes and double criminality principle are not intended to be associated with perpretator's knowledge, because perpatrator is not supposed by that sort of knowledge, but mere knowledge that the proceeds of crime derived unlawfully/from crime. In Indonesian judicial practice,the process of proving on perpetrator's knowledge of deprivation of proceeds of crime still doesn't have a uniformed pattern.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Richard Loekito
"Pertanggungjawaban pidana korporasi bukan hal yang baru di hukum Indonesia. Terbukti dengan sejak tahun 1951 sudah terdapat perundang-undangan di Indonesia yang menerima korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selanjutnya perkembangan pertanggungjawaban korporasi semakin terlihat dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Namun sangat di sayangkan bahwa di dalam KUHP, korporasi belum dianggap sebagai subjek hukum pidana. Ditambah dalam KUHAP yang kita milikipun belum terdapat hukum acara mengenai korporasi. Dengan tidak adanya pedoman pasti mengenai pertanggungjawaban korporasi baik dalam KUHP dan KUHAP, maka dalam setiap perundangundangan pengertian dan sebutan korporasi pun berbeda-beda, sehingga hal tersebut menimbulkan permasalahan.
Dalam tesis ini akan dibahas secara khusus apakah partai politik termasuk kedalam pengertian korporasi, khususnya dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kemudian akan dibahas mengenai bagaimana melakukan pencucian uang melalui partai politik, apa dampak yang ditimbulkan apabila terdapat partai politik yang melakukan pencucian uang serta, apa akibat hukum dari partai politik yang terlibat melakukan tindak pidana pencucian uang. Sebagai bagian terakhir akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai permasalahan tersebut agar hukum Indonesia dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum.

Indonesia is already acknowledge Corporate crime responsibility. Its proven that since 1951 indonesia already have a regulation that accepted corporation as a subject of criminal law. After that in the progress about corporate criminal responsibility, theres a lot of regulation outside the criminal code that legislate about it. That makes in Indonesia criminal code, does not have the regulation about corporate criminal. The same goes to the regulation of procedural law in Indonesia. The problem that we have is because the rule about corporate criminal responsibility is spread in many regulations, that makes the definitions about it is based on many regulation.
This thesis will explain about the definition about corporate criminal responsibility especially about political parties. Is the definition of political parties are included in the definition of corporation based on regulation about money laundering. It will be discussed about how to do it in political party. Last but not least it will discuss about legal consequences if political parties are proven doing a money laundering. At the end of this thesis there will be a conclusion and suggestion about the problems so that Indonesia will have a better regulation about corporate criminal responsibility especially about political party criminal responsibility.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Pratomo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia dan menjelaskan hambatanhambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia serta solusi penanggulangan dari faktor-faktor yang menghambat aparat penegak hukum dalam mengungkapkan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan kerahasiaan bank. Karena dari sini dapat diketahui sampai sejauh mana PPATK sebagai lembaga yang berwenang melakukan kinerja serta hambatan dalam menjalani tugasnya.
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam karya tulis ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif. Penelitian ini bersifat deskriptik-analitik, yaitu memaparkan secara lengkap gambaran tentang tindak pidana money laundering dan penerapannya, hubungannya dilapangan yang ditinjau dengan ketentuan kerahasiaan bank, hambatan-hambatan dan penanggulangannya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap hal tersebut dengan menggunakan teknik analisis data nonstatistik dengan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis, dapat diperoleh kesimpulan bahwa dengan adanya ketentuan rahasia bank, kepentingan antara nasabah dan bank dapat terlindungi. Di satu sisi, rahasia bank merupakan hal yang wajib dilakukan oleh bank dengan menggunakan prinsip Know Your Customer (KYC) dan hal ini merupakan prinsip yang sangat mendukung dan hal terpenting bank dalam melakukan kegiatan usaha. Pada sisi yang lain, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga merupakan peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh pihak penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tersangka-terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal ini, kelemahan peraturan mengenai rahasia bank sudah bisa ditanggulangi dengan adanya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, misalnya dengan adanya kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang istimewa dalam menerobos rahasia bank dan memberkan laporan tentang dugaan rekening berindikasi terhadap pencucian uang. Akan tetapi penerapan di lapangan masih terjadi penafsiran hukum yang berbeda antara pihak bank dengan penyidik, dengan kurangnya data yang diberikan sehingga menimbulkan ambiguitas dan koordinasi yang tidak jelas dilapangan, terutama masalah birokrasi dalam pengungkapan dan penanganan kasus yag dibawa ke pengadilan.
Implikasi penelitian ini di lapangan terutama dalam aspek penegakan hukum bagi pihak penyidik yaitu dengan meminta kepada tersangka atau terdakwa untuk memberikan kuasanya kepada polisi agar dapat menembus ketentuan rahasia bank dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil langkah yang tercepat, dengan mengingat birokrasi yang sangat ketat untuk mengajukan izin pembukaan rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Waktu pemberian izin membuka rahasia bank yang diberikan Gubernur Bank Indonesia adalah 14 (empat belas) hari, sementara teknologi yang sangat maju dapat menguntungkan tersangka atau terdakwa untuk memindahkan rekeningnya ke tempat lain hanya dalam hitungan menit. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya informasi atau bukti-bukti yang diperlukan oleh polisi untuk memproses tindak pidana tersebut.

This study aims to determine the application of bank secrecy against money laundering (money laundering) in Indonesia and describes the obstacles that arise in the application of bank secrecy against money laundering (money laundering) in Indonesia as well as mitigation solutions of the factors that hinder enforcement the law in revealing money laundering related to bank secrecy. Because from here it can be seen to what extent INTRAC as an institution that is authorized to exercise performance as well as obstacles in undergoing his job.
This type of research used in this paper the author is the legal research doctrinal / normative. This study is descriptive-analytic, which describes a complete picture of criminal money laundering and its application, its relationship in the field who reviewed with the provisions of bank secrecy, obstacles and overcome them. Types of data used are secondary data. Data collection techniques used, namely through the study of literature, for further analysis on the issue by using data analysis techniques non statistic with a qualitative approach.
Based on the analysis has been done writer, can be obtained the conclusion that the existence of bank secrecy provisions, between the customer and the bank's interests can be protected. On the one hand, bank secrecy is something that must be done by the bank using the principle of Know Your Customer (KYC) and this is a rinciple that is very supportive and most important banks in conducting business. On the other hand, the Act Money Laundering is also the rule of law must be upheld by the investigating authorities in the investigation and the investigation of suspects, accused of money laundering.
In this case, the weakness of bank secrecy regulations can be addressed by the Act Money Laundering, for example, by the authority of the Center for Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC) is special in and through secret bank accounts give reports about the alleged indications of laundering money. However, application in the field still occur between different legal interpretation of the bank with the investigator, with the lack of data provided, giving rise to ambiguity and no apparent coordination in the field, especially the problem of bureaucracy in the disclosure and handling of cases brought to court.
The implications of this research in the field, especially in the aspect of law enforcement on the part of investigators that is by asking the give their proxies to the police in order to penetrate the bank secrecy provisions and obtain needed information from the bank concerned. It is intended to take the fastest, with a very tight given the bureaucracy to apply for license for establishment of bank secrecy from the Chairman of Bank Indonesia. When granting permission to open a secret bank that granted the Governor of Bank Indonesia is 14 (fourteen) days, while the highly advanced technology that can benefit the suspect or defendant to move his account to another place in just minutes. This can result in loss of information or evidence required by the police to process the crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28857
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
T. Indra Junardi
"Penerbitan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 23. Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ternyata belum dapat membatasi ruang gerak peredaran uang haram melalui perbankan yang beroperasi di Indonesia, namun disamping itu juga berdampak positif dan negatif terhadap Penanaman Modal Asing. Semua pihak masih pesimis apakah undang-undang ini akan mampu mengurangi praktik pencucian uang di Indonesia. Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah apa hubungan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.25 Tahun 2003 dengan PMA di Indonesia, dan apa yang menjadi dampak Positif dan Negatif dari pemberlakuan Undang-Undang anti Money Laundering terhadap Penanaman Modal Asing, dan bagaimana cara memecahkan masalah tersebut. Tujuan penulisan ini adalah: mencoba untuk memberikan data dan analisa tentang investasi oleh Penanaman Modal Asing di Indonesia; bagaimana upaya untuk mempertahankan dan menarik Penanaman Modal Asing di Indonesia. Penulisan ini dilakukan dengan metode penelitian yang bertitik tolak pada penulisan secara desktiptif analitis. Data yang diperoleh meliputi literature hukum, data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), data dari BPS, pendapat ahli hukum yang ditulis dalam Koran ataupun buku serta peraturan perundang¬undangan yang berkaitan dengan masalah Tindak Pidana Pencucian Uang dan wawancara langsung dengan narasumber di BKPM. Penanggulangan dampak negatif UU Money Laundry yaitu dengan menjaga investasi asing yang ada dan menarik investasi asing yang baru dengan melaksanakan kebijakan yang menyeluruh, menjamin para investor yang menanamkan modal, membangun hubungan yang baik dengan investor, memberikan jaminan keamanan, dan menetapkan kebijakan moneter yang menjamin kestabilan mata uang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Gani Jaya
"Kejahatan kerah putih (white color crime), layaknya dunia bisnis, sudah tidak lagi mengenal batas negara. Bahkan uang hasil kejahatan dari sebuah negara dapat ditransfer ke negara lain dan diinvestasikan ke dalam berbagai bisnis yang sah. Kegiatan ini disebut sebagai praktik pencucian uang (money laundering). Dengan dimungkinkannya praktik pencucian uang maka memberi peluang bagi pelaku kejahatan untuk terus melakukan tindakan kejahatannya. Untuk mencegah ini maka setiap negara diharapkan mempunyai aturan yang melarang uang hasil kejahatan untuk ditanamkan di berbagai bidang usaha yang sah. Indonesia menjadi salah satu negara yang dari para pelaku kejahatan kerah putih untuk melakukan pencucian uang. Hal ini disebabkari karena pertama, Indonesia selama ini belum memiliki ketentuan yang mengatur larangan bank atau pelaku bisnis untuk menerima uang hasil kejahatan. Tidak ada ketentuan yang membolehkan pelacakan dari mana uang tersebut diperoleh tetapi justru memiliki sistem kerahasiaan perbankan yang ketat, dan kedua, para pelaku kejahatan melihat banyaknya peluang bisnis yang sah yang mereka dapat masuki. Apalagi dengan keterpurukan perekonornian Indonesia belakangan ini dan kebutuhan Indonesia untuk mendatangkan investor asing yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dimasuki. Praktik kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan institusi perbankan dan proses pencucian uang ini dilakukan melalui tiga fase, yaitu: placement, layering, dan integration. Fase pertama, placement, dimana pemilik uang tersebut menempatkan dana haramnya ke dalam sistem keuangan (financial system), melalui bank. Dan satu bank kemudian dipindahkan ke bank yang lain (acount to acount}, dan dari satu negara ke negara yang lain (state to state) maka uang haram tersebut telah menjadi bagian dalam satu jaringan keuangan global (global finance). Dengan demikian bank merupakan pintu utama dari fase pertama tindak kejahatan money laundering. Fase kedua, layering, dimana pemilik dana telah memecah uang haramnya ke dalam beberapa rekening dan antar negara. Hal dilakukan untuk menghindari kecurigaan otoritas moneter mengenai jumlah uang yang demikian besar menjadi beberapa rekening dengan nilai nominal yang relatif, tidak mencurigakan juga diatasnamakan beberapa nasabah yang tidak saling mengenal satu sama lain. Pemecahan ke dalam beberapa lapis nasabah melalui beberapa lapis rekening antarbank antarnegara maka tindakan ini disebut pelapisan dengan maksud menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul dana tersebut. Fase ketiga integration, dilakukan setelah proses layering berhasil mencuci uang haram tersebut menjadi uang bersih (clean money), untuk selanjutnya dapat digunakan dalam kegiatan bisnis atau kegiatan membiayai organisasi kejahatan (crime organization) yang mengendalikan uang tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T17285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leo Jimmi Agustinus
"Membahas penagnanan perkara tindak pidana pencucian uang khususnya dalam hal perlu tudaknya pembuktian tindak pidana asal dalam penanganan tindak pidana pidana pencucian uang dan kaitan antara dua tindak pidana tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersipat deskriptis analisis, dimana data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, Penelitian ini berkesimpulan bahwa adanya hubungan berkelanjtan yang terpisah dan berdiri sendii sendiri antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, adanya kesamaan bentuk antara tindak pidana pencucian uang dngan tindak pidana penadahan, dan dalam penanganan tindak pidana pencucian uang tidak diperlukan untuk pembuktian terlebih dahlu tindak pidana asalnya. Penelitian ini juga menyarankan agar setiap komponen dalam sistem peradlan pidana untuk mempunyai kesamaan sikap mengenai kesimpulan penelitian ini menyarankan bagi penegak hukum untuk memberikan ruang seluasnya bagi terdakwa tindak pidana pencucian uang untuk menggunakan haknya sesuai UUPPTIPPU.

This thesis details on administering cases on money laundering criminal act specifically on whether or not os required origin criminal act burden of proof in money laundering criminal act and connection between both criminal act. This study shall be a normative legal study and analysis descriptive in nature, whereby the collected data will be analyzed qualitatively. This study concluded that there exists a separate and independent sustainable relationship between origin criminal act and money laundering criminal act, a similarity of form between money laundering criminal act and fencing criminal act, and in administering money laundry criminal act it is not required to first proof its origin criminal act. Further, this study suggests for each component in the criminal justice system to have a unity of attitude to the conclusion of this study for the formation of an integrated criminal justice system. This study also encourages legal practitioners to provide the broadest space to money laundering criminal defendant to utilize his/her right under UUPPTPPU."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28944
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Safira
"Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana yang cukup serius di Indonesia karena memiiki dampak terhadap kestabilan ekonomi dan keuangan negara. Selain itu tindak pidana pencucian uang ini juga memiliki modus kejahatan yang beraneka ragam, salah satunya adalah dengan menggunakan sarana KUPVA Bukan Bank (money changer). Penggunaan money changer sebagai alat dalam melakukan pencucian uang tidak terlepas dari alasan bahwa money changer merupakan penyedia jasa keuangan yang dalam hal pengawasan dan pengaturannya dapat dikatakan tidak terlalu ketat bila dibandingkan dengan penyedia jasa keuangan lainnya. Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang kongkrit terutama dari pihak-pihak terkait untuk mencegah penyalahgunaan money changer sebagai alat pencucian uang. Selain pencegahan, masalah penegakan hukum juga merupakan hal yang perlu dipertegas karena selama ini, jika terbukti terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, maka pihak yang dimintai pertanggungjawaban pidana hanyalah para pengurusnya saja, sedangkan korporasinya tidak pernah dijadikan sebagai tersangka. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan kasus dan konseptual. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan pencegahan pemanfaatan money changer sebagai sarana pencucian uang, maka diperlukan langkah pengoptimalan dalam hal pelaksanaan kewajiban pelaporan, pelaksanaan CDD (Customer Due Diligence) dan EDD (Enhanced Due Diligence) serta pengawasan terhadap money changer itu sendiri. Selanjutnya, terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi money changer dalam tppu, maka hal yang perlu diperhatikan adalah sejauhmana keterlibatan dari money changer tersebut serta yang perlu juga diperhatikan adalah pemenuhan persyaratan yang diatur dalam UU PPTPPU untuk dapat menjerat suatu korporasi. Dalam Pasal 10 UU PPTPPU mengatur ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam hal menjerat suatu korporasi, sehingga apabila dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang melibatkan money changer ada salah satu dari syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka korporasi money changer tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, melainkan hanya kepada pengurusnya saja.

Money laundering is a serious crime in Indonesia because it has an impact on the stability of the economy and the country finances. In addition, criminal sanctions for money laundering also have a variety of modes of crime, one of which is using the KUPVA facility, not a bank (money changer). The use of money changers as a tool in conducting money laundering is inseparable from the reason that money changers are providers of financial services that are a little loose in terms of supervision and regulation when compared to other financial service providers. For this reason, concrete steps are needed, especially from related parties to prevent misuse of money changers as a means of money laundering. In addition to prevention, the issue of law enforcement is also a matter that needs to be emphasized because so far, if proven to be involved in criminal acts of money laundering, only those administered for criminal responsibility, while the money changer corporation has never been made a suspect. This study uses the Normative Juridical method using a case and conceptual approach. The results of this study conclude that in preventing the use of money changers as a means of money laundering, optimization measures are needed in terms of reporting obligations, the implementation of CDD and EDD and supervision of the money changer itself. And related to the corporate criminal liability money changer in TPPU, the thing that needs to be considered is the extent of the involvement of the money changer and how to fulfill the requirements stipulated in the PPTPPU Law to be able to ensnare a corporation. In Article 10 of the PPTPPU Law, there are four conditions that must be met in the case of ensnaring a corporation, so that in cases of money laundering involving a money changer, one of these conditions is not met, the money changer corporation cannot be held liable for criminal liability, but only the administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunus Husein
"Money Laundering it considered as a transnational organized crime. T he logic of elimination money laundering it to omit the criminal motivation to enjoy their proceed of crime. The efforts to eliminate money laundering is much related to the issues of national jurisdiction. Thus, it requires international cooperation among countries, where international law is needed Even though there is still no specifyc convention about money laundering, but regulation about money laundering is* partially arranged in some conventions such os Wanna Convention l988 and in UN Convention on Transnational Organized Crimes 2000. ,indonesia has enected a regulation about money laundering that is' UU no. I5 year of.2000, which is amended by no. 25 year of 2003. This article will describe the implementation of international law on money laundering in Indonesia and the reason why Indonesia it still included in the list of non-cooperatives countries and territories (NCCI)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
JHII-1-2-Jan2004-342
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ghozi
"Skripsi ini membahas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang. Korporasi Tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Namun Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP. Salah satu undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subyek hukum adalah Undang-Undang No. 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam praktik, belum pernah ada putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana pencucian uang. Walaupun hampir semua kegiatan pencucian uang melibatkan korporasi. Sebagai contoh dalam kasus PT. Ilhung Muliasarana, jika melihat uraian dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum maka sebenarnya PT. Ilhung Muliasarana dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sebagai korporasi dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana bentuk keterlibatan korporasi dalam tindak pidana pencucian uang dan bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang.

This study discusses corporate criminal liability in money laundering. Corporation is known not as the subject of criminal law in the Code of Penal (Penal Code), but Corporation is recognized as a subject of criminal law through legislation outside the Criminal Code. One law that recognizes corporations as subjects of law is Act No. 08 of 2010 on the Prevention and Combating of Money Laundering. The aim of this study was to ascertain the application of corporate criminal liability in Money Laundering. In practice, there has never been a court decision that makes corporations legal subjects in money laundering although almost all money laundering activities involve the corporation. In the case of PT. Ilhung Muliasarana, the description of the charges made by the public prosecutor, PT. Ilhung Muliasarana should actually be accountable for the crime as a corporation in the case of money laundering. This situation raises many questions, such as how to shape the corporation's involvement in money laundering cases and how corporate criminal liability is applied in money laundering."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>