Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158159 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imelda Julia
"Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas mengenai kemungkinan penyimpangan terhadap harta benda suami dan istri di dalam perjanjian perkawinan. Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan kemungkinan kepada calon suami dan calon istri untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan mengenai pembentukkan harta bersama, penyimpangan tersebut dilakukan dengan membuat suatu perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan bersama antara calon suami dan calon istri yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta benda mereka yang menyimpang dari persatuan harta kekayaaan. Dalam hal terjadi perkawinan di luar wilayah Indonesia, yang mana sebelum perkawinan calon suami dan calon istri telah membuat perjanjian perkawinan, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan di Indonesia, dengan demikian status perjanjian perkawinan yang demikian tetap berlaku tidak menjadi batal, kecuali dalam proses pembuatannya menyalahi hukum, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan tersebut berlaku sebagai akta otentik bagi para pihak yang membuatnya, akan tetapi akta perjanjian perkawinan tersebut hanya mengikat kedua belah pihak yang membuatnya. Dengan status perjanjian perkawinan tersebut, maka Perlindungan hukum terhadap harta kekayaan suami dan istri adalah apabila terdapat permasalahan atau sengketa yang menyangkut harta kekayaan suami dan istri maka perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku terhadap mereka saja sedangkan terhadap pihak ketiga tetap menganggap mereka melangsungkan perkawinan dengan percampuran harta. Agar perjanjian perkawinan tersebut dapat disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka suami dan istri dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri dalam bentuk Surat Penetapan Pengadilan Negeri yang memerintahkan agar Kantor Catatan Sipil bersedia untuk mengesahkan perjanjian perkawinan tersebut.

In the Law Number 1/1974 on Marriage, it doesn’t explicitly provide the possible aberration on a married couple’s property in a marriage contract. Article 29 of Law Number 1/ 1974 on Marriage gives possibility to the prospective husband and prospective wife to commit violation of the provisions on the formation of joint property, such violation is committed by entering into a marriage contract before a marriage takes place. A Marriage Contract forms a joint agreement between prospective husband and prospective wife that is legalized by Marriage Registrar to govem the marriage consequences against their properties that aberrate from the unity of property. If a marriage takes place outside the territory of Indonesia, in which prior to a marriage the prospective husband and wife have entered into a marriage contract, the said mairiage contract doesn’t obtain an approval from a Marriage Registrar in Indonesia, there by such marriage contract status remains in effect and not invalid except, its drafling process violating the law, public order and morality. Such marriage contract shall become effective as an authentic deed for the parties who entered into it; however such marriage contract deed shall only bind on both parties who entered into it. With such marriage contract status, the Legal Protection against a married. couple’s property is, in case of any problem or dispute in respect of a married couple’s property then such marriage contract shall be effective for them only while against the third party remains considering them to have solemnized a marriage with the confusion of property. In order that the said marriage contract can be legalized by a Marriage Registrar then a married couple may file an application for obtaining an approval from the District Court in the form of a Stipulation of the District Court instructing the Civil Registration Office is willing to legalize the said marriage contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26389
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Julia
"Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas mengenai kemungkinan penyimpangan terhadap harta benda suami dan istri di dalam peijanjian perkawinan. Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan kemungkinan kepada calon suami dan calon istri untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan mengenai pembentukkan harta bersama, penyimpangan tersebut dilakukan dengan membuat suatu peijanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Peijanjian perkawinan merupakan persetujuan bersama antara calon suami dan calon istri yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta benda mereka yang menyimpang dari persatuan harta kekayaaan. Dalam hal teijadi perkawinan di luar wilayah Indonesia, yang mana sebelum perkawinan calon suami dan calon istri telah membuat peijanjian perkawinan, maka peijanjian perkawinan tersebut tidak mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan di Indonesia, dengan demikian status peijanjian perkawinan yang demikian tetap berlaku tidak menjadi batal, kecuali dalam proses pembuatannya menyalahi hukum, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan tersebut berlaku sebagai akta otentik bagi para pihak yang membuatnya, akan tetapi akta peijanjian perkawinan tersebut hanya mengikat kedua belah pihak yang membuatnya. Dengan status perjanjian perkawinan tersebut, maka Perlindungan hukum terhadap harta kekayaan suami dan istri adalah apabila terdapat permasalahan atau sengketa yang menyangkut harta kekayaan suami dan istri maka perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku terhadap mereka saja sedangkan terhadap pihak ketiga tetap menganggap mereka melangsungkan perkawinan dengan percampuran harta. Agar peijanjian perkawinan tersebut dapat disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka suami dan istri dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri dalam bentuk Surat Penetapan Pengadilan Negeri yang memerintahkan agar Kantor Catatan Sipil bersedia untuk mengesahkan peijanjian perkawinan tersebut.

In the Law Number 1/1974 on Marriage, it doesn?t explicitly provide the possible aberration on a married couple?s property in a marriage contract. Article 29 of Law Number 1/ 1974 on Marriage gives possibility to the prospective husband and prospective wife to commit violation of the provisions on the formation of joint property, such violation is committed by entering into a marriage contract before a marriage takes place. A Marriage Contract forms a joint agreement between prospective husband and prospective wife that is legalized by Marriage Registrar to govern the marriage consequences against their properties that aberrate from the unity of property. If a marriage takes place outside the territory of Indonesia, in which prior to a marriage the prospective husband and wife have entered into a marriage contract, the said marriage contract doesn?t obtain an approval from a Marriage Registrar in Indonesia, thereby such marriage contract status remains in effect and not invalid except, its drafting process violating the law, public order and morality. Such marriage contract shall become effective as an authentic deed for the parties who entered into it; however such marriage contract deed shall only bind on both parties who entered into it. With such marriage contract status, the Legal Protection against a married couple?s property is, in case of any problem or dispute in respect of a married couple?s property then such marriage contract shall be effective for them only while against the third party remains considering them to have solemnized a marriage with the confusion of property. In order that the said marriage contract can be legalized by a Marriage Registrar then a married couple may file an application for obtaining an approval from the District Court in the form of a Stipulation of the District Court instructing the Civil Registration Office is willing to legalize the said marriage contract.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37368
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggyka Nurhidayana
"

ABSTRAK

Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri mengenai harta benda perkawinan, selain harus dibuat di hadapan Notaris harus pula disahkan/dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan agar perjanjian perkawinan yang dibuat berlaku pula terhadap pihak ketiga. Dalam penelitian tesis ini, dibahas mengenai bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap suami-istri dan pihak ketiga serta bagaimana perlindungan hukum bagi istri terhadap perbuatan hukum yang dilakukan suami atas harta bersama yang diikat dalam  perjanjian perkawinan yang belum disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, dengan menganalisis Putusan Nomor 82/Pdt.G/2018/Pn.Skt. dan kesesuaian putusan tersebut dengan KUHPerdata, UU Perkawinan, dan KHI. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan tipologi penelitian preskriptif. Pasal 29 UU Perkawinan mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus disahkan/didaftarkan oleh pagawai pencatat perkawinan. Akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang belum disahkan adalah tetap mengikat kedua belah pihak, namun tidak mengikat pihak ketiga. Sehingga keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum disahkan/dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan tetap mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian perjanjian perkawinan dapat menjadi salah satu bentuk perlindungan hukum kepada salah satu pihak saat terjadi sengketa pembagian dan pemisahan harta kekayaan. Dapat diambil kesimpulan bahwa Notaris harus mensosialisasikan perjanjian perkawinan secara jelas kepada para penghadapnya, sehingga mereka mengetahui akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang telah disahkan kepada pihak ketiga dan perjanjian perkawinan yang dibuat di hadapan Notaris dapat menjadi alat bukti yang kuat untuk mengajukan gugatan pemisahan harta kekayaan dalam  perkawinan.

 

Kata Kunci: Perjanjian perkawinan, Notaris, Pegawai Pencatat Perkawinan.

 


ABSTRACT

Marriage agreements made by prospective spouses regarding marital property, other than to be made in the presence of the Notary, must also be confirmed / signed by the marriage registrar in order for the marriage agreement to be valid with the third party. In the study of this thesis, it discusses how the validity of the marriage agreement has not been ratified by the marriage registrar against the spouse and the third party and how the legal protection of the wife against the lawful act of the husband on the common property is bound by the marriage agreement which has not been confirmed by the employee marriage registrar, by analyzing Decision No. 82 / Rev.G / 2018 / Pn. and the suitability of the decision in accordance with the Penal Code, the Marriage Law, and the KHI. The type of research used is descriptive analysis with typological research typology. Article 29 of the Marriage Law stipulates that the marriage agreement must be ratified / signed by the marriage registrar. The legal consequences of unresolved marriage agreements remain binding on both parties, but not third parties. So that the validity of the marriage agreement not yet signed / signed by the marriage registrar remains binding on both parties. Thus the marriage agreement can be one form of legal protection to either party in the event of a division of property and property disputes. It can be concluded that the Notary must explicitly negotiate the marriage agreement with his or her party, so that they are aware of the legal consequences of the marriage agreement being passed to the third party and that the marriage agreement made before the Notary can be a powerful tool for filing a suit of separation of property in marriage.

 

Keywords: Marriage agreement, Notary, Marriage Registrar.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulina Riza
"Perkawinan campuran dapat menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari, antara lain apabila Warga Negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Undangundang Perkawinan dan Undang-undang Kewarganegaraan yang berlaku. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar wilayah Republik Indonesia adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kemudian agar dapat memiliki akibat hukum bukti perkawinan tersebut harus didaftarkan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah pasangan suami istri kembali ke wilayah Indonesia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing dapat kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istri atau suaminya mengikuti kewarganegaraan istri atau suaminya tersebut sepanjang tidak menyebabkan kewarganegaraan ganda, jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia setelah 3 (tiga) tahun sejak tinggal perkawinannya. Warga Negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing kemudian bertempat tinggal diluar wilayah Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun berturutturut juga dapat kehilangan kewarganegaraannya jika dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia sebelum 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya.
Penelitian menggunakan metode preskriptif dan pendekatan kualitatif. Data yang dipergunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian bahan-bahan kepustakaan, kemudian data tersebut diseleksi, dikelompokkan dan disusun secara sisimatis untuk selanjutnya dianalisis. Warga Negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing dan atau bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraannya jika tidak menyampaikan surat pernyataan keinginan untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia.

A mixed marriage could bring about a problem in the future due to some reasons, one of which is in case it is not conducted in accordance with the applicable Law concerning the Marriage and the Law of Citizenship. A mixed marriage held outside the territory of Republic of Indonesia is considered as valid if it is conducted in accordance with the applicable law of the country in which the marriage is held, and particularly for the Indonesian citizen, as long as he/she doesn't break the Indonesian Law No.l Year 1974 concerning marriage. Furthermore, in order to make the marriage possessing a legal impact, the marriage should be registered within at most I (one) year after the couple arrived in the territory of Republic of Indonesia.
The Law No.12 Year 2006 concerning Citizenship states that an Indonesian citizen who is married to a foreign citizen could Ioose his/her Indonesian citizenship if the law of the couple's origin country determines that the Indonesian couple should be imposed with the nationality of the other couple, as long as it doesn't bring a risk to have a double nationality. On the other hand, if the couple origins from Indonesia would like to keep his/her Indonesian citizenship, then he/she could express this wish to the concerned official or the Representative of Republic of Indonesia after 3 (three) years of the marriage. An Indonesian citizen who is married to a foreigner and domiciles beyond the territory of the Republic of Indonesia for 5 (five) years in sequence also faced to a risk of loosing his/her Indonesian citizenship if deliberately doesn't show any intention to state his/her wish to remain as an Indonesian citizen before the 5 (five) years pass, and in every next 5 (five) years.
This research uses the prescriptive method and qualitative approach. The data utilized is the secondary one, that is, the data gained from the library study, which were then selected, grouped and arranged systematically to be then analyzed. An Indonesian citizen who is married to a foreigner and/or domiciles beyond the territory of Republic of Indonesia could loose his/her Indonesian nationality if he/she doesn't submit a wish statement keep his/her citizenship as an Indonesian.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
"Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta perjanjian perkawinan agar tidak melanggar batas-batas hukum dan agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Jika kemudian pasangan suami-istri yang berbeda agama ingin membuat perjanjian perkawinan (postnuptial agreement) yang isinya tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, apakah sesuai kewenangannya Notaris kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut atau justru Notaris tidak dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat mengenai batasan para pihak dalam membuat perjanjian perkawinan dan akibat hukum pembuatan klausula moralitas dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri. Bentuk penelitian ini yuridis-normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah batasan dalam membuat perjanjian perkawinan terdiri dari batasan hukum berupa peraturan perundang-undangan seputar harta kekayaan dan batasan agama berupa hukum agama para pihak. Apabila Notaris membuatkan perjanjian perkawinan antara para pihak yang perkawinannya dilangsungkan di luar negeri akan tetapi perkawinan tersebut merupakan perkawinan beda agama dan kehendak para pihak yang akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, maka akan memiliki implikasi terhadap tiga pihak, yaitu terhadap Notaris, terhadap para pihak, dan terhadap pihak ketiga. Saran berupa dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan yang memperjelas ketentuan Pasal 29 dan mempertegas larangan perkawinan beda agama serta timbulnya kewenangan PP-INI untuk mengadakan seminar dengan pembahasan mengenai substansi perjanjian perkawinan yang hanya berisikan tentang harta kekayaan.

Notaries as public officials who are authorized to make authentic deeds and have other authorities based on the Notary Office Law should provide legal explanation regarding the formulation of a marriage agreement deed so as not to violate legal and religious boundaries as stated in Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. If then a married couple of different religions wants to make a postnuptial agreement whose contents not only stipulate the assets of the parties but also regarding the religion that will be adhered to by the children of the parties, is it within the Notary's power to draft such an agreement or even the Notary cannot draft the marriage agreement. Issues raised regarding the limitations of the parties in making marriage agreement and the legal consequences of including morality clauses in marriage agreement for interfaith marriage held abroad. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. The results of the analysis are the limitations in making a marriage agreement consisting of legal restrictions in the form of laws and regulations regarding assets and religious restrictions are in the form of religious laws of the parties. If a Notary draws up a marriage agreement between parties whose marriage was held abroad, but it is an interfaith marriage and the will of the parties to be poured into the marriage agreement regulates not only the assets of the parties but also regarding the religion to which the children will adhere, it will have implications for three parties, namely the Notary, against the parties, and against the third party. Suggestions in the form of revising the Marriage Law which clarifies the provisions of Article 29 and reinforces the prohibition on interfaith marriage as well as the emergence of PP-INI's authority to hold seminars with a discussion of the substance of the marriage agreement, which only comprises assets."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Abidasari
"Indonesia selalu menjadi negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin menuju negara Australia dan Selandia Baru. Salah satu permasalahan sosial dan hukum yang muncul atas keberadaan pencari suaka dan pengungsi selama
menunggu di Indonesia adalah terjadinya perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dan pencari suaka atau pengungsi. Perkawinan semacam ini
mengalami permasalahan dihadapan hukum Indonesia. Dalam praktiknya, perkawinan antara pengungsi asing dan WNI dilakukan sah secara agama saja atau
perkawinan dibawah tangan karena tidak dapat dipenuhinya syarat formal sahnya perkawinan yaitu mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi tidak diperolehnya akta nikah yang merupakan satu-satunya alat bukti otentik atas
peristiwa perkawinan tersebut. Dari perkawinan yang hanya sah secara agama ini tidak hanya berdampak negatif terhadap anak yang dilahirkan tetapi berdampak negatif pula terhadap perempuan (isteri). Dengan status perkawinan yang sah secara
agama ini maka seorang perempuan tidak dapat menuntut atas pemenuhan hakhaknya sebagai selayaknya seorang isteri sah. Tesis ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana status hukum akibat hukum perkawinan yang dilakukan antara WNI dengan orang asing berstatus Pengungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan antara WNI dengan pengungsi asing seharusnya diatur lebih jelas dalam peraturan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan khusus untuk perkawinan tersebut sehingga perkawinan itu hanya sah secara agama dan tidak dimungkinkan diterbitkannya akta nikah yang merupakan akta otentik suatu perkawinan.

Indonesia has always been a transit country for asylum seekers and refugees who
wish to travel to Australia and New Zealand. One of the social and legal problems that arise with the existence of asylum seekers and refugees while waiting in Indonesia is the occurrence of marriages between Indonesian citizens (WNI) and
asylum seekers or refugees. Such marriages run into problems before Indonesian law. In practice, marriages between refugees and WNI are only legally valid or marriage under hand because the formal requirements for validity of marriage, namely regarding the registration of marriage, cannot be fulfilled. This has the consequence of not obtaining a marriage certificate which is the only authentic evidence for the marriage incident. From this religious marriage not only has a
negative impact on the child born but also has a negative impact on the woman (wife). With such marriage status, a woman cannot claim the fulfillment of her rights as a legal wife. This thesis tries to answer the question of how the legal status and the legal consequences of marriage between Indonesian citizens and foreigners
with refugee status according to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Marriages between Indonesian citizens and foreign refugees should be regulated more clearly in Indonesian national regulations. This is because there is no special
provision for such marriage so that the marriage becomes valid only on religiousbased
thus it is impossible to issue a marriage certificate which is an authentic
marriage certificate.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Abidasari
"Indonesia selalu menjadi negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin menuju negara Australia dan Selandia Baru. Salah satu permasalahan sosial dan hukum yang muncul atas keberadaan pencari suaka dan pengungsi selama menunggu di Indonesia adalah terjadinya perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dan pencari suaka atau pengungsi. Perkawinan semacam ini mengalami permasalahan dihadapan hukum Indonesia. Dalam praktiknya, perkawinan antara pengungsi asing dan WNI dilakukan sah secara agama saja atau perkawinan dibawah tangan karena tidak dapat dipenuhinya syarat formal sahnya perkawinan yaitu mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi tidak diperolehnya akta nikah yang merupakan satu-satunya alat bukti otentik atas peristiwa perkawinan tersebut. Dari perkawinan yang hanya sah secara agama ini tidak hanya berdampak negatif terhadap anak yang dilahirkan tetapi berdampak
negatif pula terhadap perempuan (isteri). Dengan status perkawinan yang sah secara agama ini maka seorang perempuan tidak dapat menuntut atas pemenuhan hak haknya sebagai selayaknya seorang isteri sah. Tesis ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana status hukum akibat hukum perkawinan yang dilakukan antara WNI dengan orang asing berstatus Pengungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan antara WNI dengan pengungsi asing seharusnya diatur lebih jelas dalam peraturan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan khusus untuk perkawinan tersebut sehingga perkawinan itu hanya sah secara agama dan tidak dimungkinkan diterbitkannya akta nikah yang merupakan akta otentik suatu perkawinan.

Indonesia has always been a transit country for asylum seekers and refugees who wish to travel to Australia and New Zealand. One of the social and legal problems that arise with the existence of asylum seekers and refugees while waiting in Indonesia is the occurrence of marriages between Indonesian citizens (WNI) and asylum seekers or refugees. Such marriages run into problems before Indonesian law. In practice, marriages between refugees and WNI are only legally valid or marriage under hand because the formal requirements for validity of marriage, namely regarding the registration of marriage, cannot be fulfilled. This has the consequence of not obtaining a marriage certificate which is the only authentic evidence for the marriage incident. From this religious marriage not only has a negative impact on the child born but also has a negative impact on the woman (wife). With such marriage status, a woman cannot claim the fulfillment of her rights as a legal wife. This thesis tries to answer the question of how the legal status and the legal consequences of marriage between Indonesian citizens and foreigners with refugee status according to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Marriages between Indonesian citizens and foreign refugees should be regulated more clearly in Indonesian national regulations. This is because there is no special provision for such marriage so that the marriage becomes valid only on religiousbased thus it is impossible to issue a marriage certificate which is an authentic marriage certificate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisha Ramadina
"Skripsi ini membahas mengenai pembatalan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan Selain itu juga akan dibahas mengenai pelaksanaan perjanjian perkawinan yang tidak sesuai dengan isi yang telah disepakati suami dan isteri dalam Putusan No 25 Pdt G 2013 PN Tbn Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif dengan studi kepustakaan Metode penelitian ini digunakan untuk menjawab suatu permasalahan hukum yaitu apakah suatu perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan serta dilaksanakan tidak sesuai dengan isi dapat dibatalkan atau tidak Hasil dari penelitian ini menyarankan agar dilakukan perubahan secara mendesak terhadap Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan khususnya mengenai pengaturan perjanjian perkawinan.

This thesis discusses about annulment of the declined nuptial agreement by officer of marriage registration office Furthermore it also discuss about the unsuitable nuptial agreement implementation with the agreed contents by the parties which stated in court stipulation number 25 Pdt G2013 PN Tbn This thesis research is a juridicial normative with the literature study which used to solve the legal issues The legal issues on this thesis are the declined nuptial agreement by officer of marriage registration office and unsuitable nuptial agreement implementation with the agreed contents can be annulled or not This research suggests to urgently modifying act No 1 1974 about marriage especially regarding nuptial agreement arrangements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"ABSTRAK
Pasangan suami isteri sebelum melangkah ke jenjang perkawinan ada kalanya
membuat suatu perjanjian perkawinan. Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan isi perjanjian perkawinan bukan hanya mengatur harta benda dan
akibat perkawinan saja juga meliputi hak-hak serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.
Perjanjian perkawinan memiliki syarat yang harus terpenuhi salah satunya adalah
dilakukannya pencatatan pada lembaga perkawinan. Namun seringkali terjadi dimasyarakat
perjanjian perkawinan yang telah dibuat lalai untuk dimintakan pencatatan. Atas dasar latar
belakang diatas dapat dirumuskan pokok permasalahan pada penulisan tesis ini yaitu :1.
Bagaimana akibat hukum yang timbul apabila perjanjian perkawinan lalai untuk dimintakan
pencatatan kepada pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil? 2.Bagaimana
upaya hukum yang harus dilakukan agar perjanjian perkawinan yang lalai dimintakan
pencatatan menjadi sah mengikat secara hukum?. Metode penelitan yang digunakan adalah
yuridis normatif, dengan data sekunder, kemudian didapatkan kesimpulan yaitu Perjanjian
perkawinan yang lalai dimintakan pencatatan pada pegawai kantor catatan sipil tidak
memiliki akibat hukum mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang perkawinan, dan upaya
hukum yang dapat dilakukan adalah meminta penetapan pengadilan untuk dimintakan
pencatatan kepada kantor catatan sipil.

"
[, ], 2016
T44754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vionee Carla
"ABSTRAK
Perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pengertian maupun pengaturan mengenai isi perjanjian perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan secara tertulis dan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian tersebut tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Tesis ini membahas mengenai isi suatu perjanjian perkawinan dan keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan, serta pertimbangan hakim mengenai keabsahan surat kesepakatan pembagian harta bersama dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 539/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Pst. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan tetap berlaku sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, akan tetapi tidak berlaku bagi pihak ketiga. Pertimbangan hakim mengenai keabsahan surat kesepakatan pembagian harta bersama kurang tepat dikarenakan isi surat kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat mengenai proses perceraian tidak berkaitan dengan harta kekayaan dalam perkawinan, sehingga ketentuan yang berlaku secara sah dan mengikat Penggugat dan Tergugat hanya terkait pembagian harta bersama serta daftar harta bersama yang wajib dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat kesepakatan tersebut.

ABSTRACT
Prenuptial agreement as arranged in Article 29 Marriage Law does not provide definition nor regulation regarding the contents of the prenuptial agreement. The law only regulates prenuptial agreement can be made at the time of or prior to the marriage performance, in writing, and takes effect as from the marriage being concluded. The agreement cannot be legalized if contrary to the restrictions set by the law, religion and morality, and should be legalized by the Registrar of Marriage where upon the contents shall also be binding to third parties as long as the third party involved. This thesis discusses the content of a prenuptial agreement and the validity of the prenuptial agreement that is not legalized by the Registrar of Marriage, as well as judge 39 s consideration regarding the validity of the joint property division agreement in Central Jakarta District Court Decision Number 539 Pdt.G 2014 PN.Jkt.Pst. The author uses juridical normative research method with qualitative approach which is analytical descriptive. The results show prenuptial agreement that is not legalized by the Registrar of Marriage will remain valid and binding the parties, but will not apply to third party. The judge 39 s consideration regarding the validity of the joint property division agreement is inappropriate because the contents of the agreement concerning the divorce process are not related to the property in the marriage, so only the clause related to the division of the joint property and lists of the joint property are valid and binding the parties, which have to be carried out in accordance of what was stated in the agreement."
2018
T51390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>