Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109610 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Satya Nazmi
"Penyelesaian restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tertunggak, sangat serius ditangani pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berbagai upaya terus dilakukan dan dikembangkan, baik secara sistem, pola, maupun peraturan. Tujuannya agar proses penyelesaiannya dapat dipercepat tanpa menimbulkan masalah. DJP menerbitkan dua ketentuan baru terkait proses penyelesaian restitusi. Pertama, PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN/PPnBM. Kedua, PER-124/PJ/2006 tentang Pelaksanaan Analisis Risiko dalam Rangka Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN Lebih Bayar. Hal menarik dalam aturan baru ini adalah ditetapkannya analisis risiko untuk setiap permohonan restitusi PPN. Output dari proses ini akan berakibat pada ruang lingkup maupun jangka waktu pemeriksaan yang akan dilakukan. Kenyataannya tidak semua Pemeriksa memanfaatkan analisis risiko tersebut. Adapun masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana latar belakang dikeluarkannya kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak dalam proses pemeriksaan restitusi PPN yang berlaku saat ini? Bagaimana pemanfaatan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak oleh pemeriksa pajak dalam proses penyelesaian restitusi PPN?, dan bagaimana pengaruh analisis risiko Pengusaha Kena Pajak terhadap waktu penyelesaian pemeriksaan restitusi PPN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan latar belakang dikeluarkannya PER-124/PJ/2006 pada dasarnya untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Permasalahan seputar tertundanya proses penyelesaian restitusi PPN mendorong DJP untuk menetapkan suatu prosedur yang mampu mendeteksi ketidakbenaran pelaporan Wajib Pajak sekaligus menentukan tingkat prioritas penyelesaian restitusi. Kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak diharapkan mampu mengakomodir kedua hal tersebut. Pemeriksa Pajak umumnya tidak menggunakan analisis risiko yang diatur dalam PER-124/PJ/2006 sebagai alat yang membantu pemeriksaan restitusi PPN, karena analisis risiko PKP terlalu bersifat umum dan sederhana serta tidak dapat menunjukkan indikasi pelanggaran Wajib Pajak. PER-124/PJ./2006 tidak memiliki pengaruh terhadap waktu penyelesaian restitusi PPN di KPP PMA Empat. Hal itu terbukti dari tidak adanya percepatan waktu penyelesaian restitusi antara sebelum dengan setelah diberlakukannya ketentuan tersebut. Saran yang disampaikan adalah ketentuan PER-124/PJ/2006 tidak diberlakukan lagi. Untuk mempercepat proses penyelesaian restitusi, ketentuan yang mengatur prosedur pemeriksaan restitusi dan ketentuan yang mengatur dokumen-dokumen pendukung restitusi harus segera diperbaharui. Ketentuan analisis risiko harus dapat mengukur tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, bukan berdasarkan salah satu jenis pajak seperti yang dianut saat ini. Penentuan risiko seharusnya tidak hanya mengandalkan data hasil pemeriksaan, akan tetapi melibatkan juga data eksternal yang disusun dalam bentuk database, dikelola secara professional dan selalu diperbaharui. Hasil pengolahan database dapat dimanfaatkan guna menentukan tingkat pelayanan yang seharusnya diberikan kepada Wajib Pajak.

The government, especially the Directorate General of Tax is seriously handling the settlement of arrears of VAT restitution. Numerous attempts are done and improved concerning the system, the model as well as the regulation. The purpose is to settle the process as quickly as possible without creating any problem. Directorate General of Tax issued two regulations which concern with the restitution settlement process. The first regulation, PER-122/PJ/2006, deals with the settlement timing and the system of VAT/ luxurious goods tax. The second regulation, PER-124/PJ./2006, deals with Risk Analysis implementation in Audit Framework towards Notification Letter regarding the SPT masa on VAT overpayment. The interesting part found about the regulations is the conduct of risk analysis for each restitution request. The output of the analysis will affect the audit scope as well as the timing. Unfortunately, not all auditors make good use of the risk analysis. The main problems discussed in this research are: What is the background of issuing the policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution, which is effective now? How do tax auditors make good use of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution settlement? And How does risk analysis on Taxable Entrepreneurs affect the time needed for examination of VAT restitution settlement? The research methodology applied is descriptive methodology with qualitative approach.
The research finding shows that the background of issuing the Directorate General of Tax regulation number PER-124/PJ./2006 is to implement what is stated in article 17B in Edict number 6 year 1983 begarding the General Rules and Conduct of Tax which has been amended several times. The last amendment is as in Edict number 16 year 2000. Issues concerning the delayed of restitution settlement process pushed Directorate General of Tax to implement a procedure to be able to detect dishonesty report of tax payers along with deciding priority level in settling the restitution. Policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs (PKP) in auditing hoped accommodate both condition. Auditor used to be not using analysis risk which has been arranged in PER-124/PJ/2006 as a tool to help the audit restitution on VAT, since analysis risk on Taxable Entrepreneurs (PKP) is too general and simple also can not show the failure of taxpayers. PER-124 does not affect the length of time needed for VAT settlement process at Tax Service Office for Foreign Capital Investment Four. It is proven by the absence of time acceleration regarding restitution settlement compared to the previous condition in which PER-124 was not implemented. Suggestion is the regulation of PER-124/PJ/2006 should not be implemented anymore. To speed up the restitution process, the regulation which set up the procedure of restitution process and the regulation which set up additional documents for restitution should be renewed. Criteria of risk analysis should be formulated to measure disobedience of taxpayers overall, not based on one kind of tax which is currently used. Decision on risk should not depend on record on tax audit results, however it should also consider the external records from data base which is professionally managed and up to date. Results of processed data base should be able to access and give benefits to the service quality given to the taxpayers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24610
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indrianto Kusbandono
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S10218
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Senny Tussytha
"Dalam perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai diupayakan perbaikan dan pembaharuan dalam beberapa sisi peraturan perpajakan yang pada dasarnya mengarah kepada tercapainya target pengamanan penerimaan Negara dari sektor pajak guna pembiayaan pembangunan. Dalam prakteknya, ternyata masih terdapat beberapa hambatan yang salah satunya adalah hambatan tercapainya pengamanan penerimaan Negara dalam hal pemungutan pajak yang dilakukan oleh Pemungut.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN? Apa dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN? Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN? Apakah ada pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak?
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua sedangkan hasil penelitian yang diperoleh adalah mengingat bahwa status penunjukan Pemungut tersebut hanya didasarkan pada Keputusan Presiden, maka dalam perubahan UU PPN di tahun 1994 diatur kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut tersebut. Penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang dari prinsip dasar PPN.
Sesuai dengan sifat Tidak Langsung dan PPN maka yang berlaku sebagai pemikul beban Pajak secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran Pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau JKP.
Kewajiban Pemungut PPN adalah yaitu memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh PKP kepada mereka. Status Pemungut tersebut semula didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya Pemungut diharapkan agar pemungut tersebut dapat menjadi perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan negara. Setelah beberapa tahun diberlakukan, belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terealisasinya penerimaan Negara. Berdasarkan hal tersebut pula, maka sejak Januari 2004 yang termasuk dalam kategori pemungut tersebut dibatasi dan diberlakukan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dalam penghapusan status Pemungut PPN tersebut, didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa dengan adanya status Pemungut menimbulkan inefisiensi dan distorsi dalam kinerja petugas DJP. Hal itu terlihat dari kenyataan di lapangan saat itu bahwa dengan adanya pemungutan PPN oleh Pemungut mengakibatkan terjadinya pajak lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN yang tentunya mendorong Wajib Pajak tersebut untuk meminta restitusi atau pengembalian kepada Negara.
Timbulnya Pajak yang lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut Pajak adalah sebagai akibat perhitungan secara matematis dalam pelaporan Surat Pemberitahuan PPN. Dalam ketentuan Pasal 16 A UUU PPN 1984 diatur bahwa Pajak yang terutang atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut. Hal itu mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran yang hams dipungut sendiri oleh PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN menjadi berkurang dan bila diperhitungkan dengan Pajak yang dapat diperhitungkan maka hal tersebut akan menimbulkan Pajak lebih dibayar. Atas kelebihan bayar tersebut, PKP dapat meminta pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Sebagai akibat dari permintaan pengembalian pajak lebih bayar tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja DJP yang harus meneliti kebenaran proses pemberian restitusi tersebut sehingga menyita waktu dan tenaga pegawai pemerintah yang harus memberikan pelayanan dalam proses pengembalian kelebihan Pajak, dan tentunya secara tidak langsung berpengaruh terhadap penerimaan Negara.
Setelah satu tahun diberlakukan pembatasan terhadap status pemungut sebagaimana dikemukakan di atas, sejak bulan Februari tahun 2005, status pemungut diberlakukan lagi dengan kriteria tertentu. Proses pelaporan dan penyetoran pajak atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sehingga tujuan dari penunjukan Pemungut sebagai perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan Negara dengan cepat dapat mencapai sasaran. Namun demikian, dalam praktek dilapangan banyak Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang telah ditunjuk Pemerintah tidak memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terrealisasinya penerimaan negara.

The second change of the value-added tax law rules improvement and renewal of taxation regulations in order to secure the state's income from tax to finance the development. In reality it's still found many obstacles.
The research question is how the mechanism of collecting value-added tax (VAT) by the collector is? What consideration is used to carry out the tax collecting by the collector and the background of the revocation of the tax collecting board's status? The tax service office's obstacles in watching the report and tax deposit. And finally to know the influence of the revocation of the tax collector's status toward the tax service office's income.
The research method is analytical description at the office of the second foreign capital investment tax service. The result of the research is the obligation of VAT collecting by the board that is arranged in the change of value-added tax law in 1994 reminding the status of the appointing collecting board based on the president's decision. The determination to oblige value-added tax collecting by the board deviates the basic principals of VAT.
As the value-added tax's indirect character, the tax burden lies in the buyers or the consumers of service. And the taxpayers are the entrepreneurs who sell goods and services. The obligation of the tax collector is collecting, deposing, and reporting owed tax. The early status of the tax collector board is the government's representation to quicken the state's income. Some years go by this board hasn't done much. For that reason its authority has been limited since January 2004 and the general mechanism on collecting the value-added tax has been carried out.
The government's revocation of the collector board's status was caused by the collector's inefficiency and distortion. It can be seen that the taxpayers pay more. This encourages them to ask for restitution from the state.
They have to pay tax more because of the mathematical counting. In the law of value-added tax 1984 article 16 says the collecting, deposing, reporting the owed tax by the collector's board. This results the lessening of tax paid and if it is counted it caused some surplus.
Such condition causes many problems, 1. Taxpayers ask restitution. 2. The tax official have to work hard in investigating the report of the asking for restitution, 3. Influence the state's income.
As it's stated before about the limitation of the collectors' status, the new one has been carried out since February 2005. The process of reporting and deposing tax of goods and services from taxpayers to the collector should be done according to the rules in order to increase and quicken the state's income. In fact it hasn't been done.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S10348
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
S10022
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Reinhard
"Era reformasi menuntut pemerintahan yang transparan, kredibel dan akuntabel sebagai perwujudan dari hal tersebut pemerintah diharapkan mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Sebagai salah satu instansi pemerintah dibawah Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyadari pentingnya peningkatan kualitas layanan. Hal ini tercermin dalam visi Direktorat Jenderal Pajak yaitu: "Menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat." Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (KPP PMA Satu) sebagai salah instansi vertikal di bawah Direktorat Jenderal Pajak berusaha dan turut andil dalam mewujudkan visi dan misi DJ P. Untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sudah selayaknya DJP memantau secara konsisten tingkat kepuasan Wajib Pajak atas layanan yang diberikan.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kualitas layanan KPP PMA Satu menurut persepsi Wajib Pajak, mengetahui tingkat kepuasan Wajib Pajak terhadap kualitas layanan KPP PMA Satu dan mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor (dimensi-dimensi) yang mempengaruhi kualitas layanan KPP PMA Satu.
Penilaian kualitas layanan KPP PMA Satu dengan mengembangkan dan menggunakan konsep dan terori Service Quality (Servqual) yang dikembangkan oleh Parasuraman dkk., yaitu: Tangible, Reliability, Responsiveness, Assurances dan Empathy. Layanan pajak merupakan salah satu layanan publik yang tidak berorientasi pada laba dan asumsi yang dipakai pada penelitian ini, KPP PMA Satu merupakan layanan publik tanpa ada pesaing.
Dalam penelitian ini dilakukan terhadap 80 responden (Wajib Pajak) dengan menggunakan dengan menggunakan teknik sampel acak sederhana (simple random sampling) dan metode pengumpulan data yaitu observasi, kuesioner, wawancara dan studi kepustakaan.Kuesioner ditujukan untuk mengukur tingkat kepuasan Wajib Pajak, yaitu dengan membandingkan harapan dan persepsi Wajib Pajak. Sebelum dilakukan perhitungan servqual dilakukan uji validitas data dan uji reliabilitas data. Analisis data dan perhitungan servqual dengan menggunakan analisis statistik deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan tidak ada satupun dimensi layanan yang memperoleh mean skor tingkat kepuasan lebih dari atau sama dengan 4 ( O ). Hal ini menandakan bahwa layanan KPP PMA Satu belum memenuhi harapan dari Wajib Pajaknya. Oleh karena itu, KPP PMA Satu masih harus berusaha terus-menerus untuk meningkatkan kualitas layanan pada setiap dimensi layanan. Faktor-faktor (dimensi) yang paling panting atau berpengaruh terhadap kualitas Iayanan KPP PMA Satu adalah (a) Wajib Pajak mendapatkan kepastian hukum dalam melaksanakan kewajiban perpajakan (dimensi Reliability) (b) Pegawai cepat tanggap dalam menangani keluhan Wajib Pajak (dimensi Responsiveness) dan (c) Pegawai menjaga kerahasiaan informasi dan data Wajib Pajak (dimensi Assurances). Nilai standar deviasi yang besar pada statistik deskriptif kinerja menandakan belum standarnya layanan yang diberikan oleh KPP PMA Satu kepada Wajib Pajaknya.
Agar kualitas layanan KPP PMA Satu dapat ditingkatkan, maka disarankan KPP PMA Satu lebih memfokuskan dan memperhatikan Iayanan pada dimensi Reliability yang berkaitan dengan kepastian hukum karena hal tersebut merupakan unsur utama yang diinginkan oleh Wajib Pajak yang membawa image yang baik bagi KPP PMA Satu. Secara keseluruhan kualitas layanan KPP PMA Satu masih jauh dari harapan para Wajib Pajak, terutama untuk dimensi Reliabilty dan Responsiveness, Perlu komitmen para pegawai KPP PMA Satu untuk memberikan pelayanan prima dan mewujudkan visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak dan perbaikan budaya organisasi KPP PMA Satu agar lebih kondusif dalam memberikan layanan kepada Wajib Pajak antara lain memperpendek jarak kekuasaan, tleksibel dan luwes dalam memberikan layanan. Untuk meningkatkan motivasi kerja para pegawai, perlu Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan kebijakan mengenai penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) kepada para pegawai.
KPP PMA Satu diharapkan meningkatkan layanan kepada Wajib Pajak dengan cara konsisten menerapkan aturan perpajakan yang berlaku terhadap semua Wajib Pajak, mengirimkan para pegawai untuk dididik dan dilatih baik dalam intern Direktorat Jenderal Pajak maupun di Iuar Direktorat Jenderal Pajak agar dapat menguasai aturan perpajakan, bahasa asing, teknik-teknik komunikasi yang baik dan efektif dan paham kegiatan industri Wajib Pajak, mengefektifkan sistem layanan on-line untuk mempercepat proses layanan dan mempermudah dan menyederhanakan sistem dan prosedur layanan agar mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. KPP PMA Satu diharapkan mengoptimalkan pelaksanaan standar pelayanan yang telah diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sehingga layanan yang dirasakan oleh Wajib Pajak sama (fair).

Era of Reformation urges transparent, credible and accountable government, so as the form of that government is wished to be able to provide an excellent service to society. As one of government institution under Department of Finance, Directorate General of Taxes realizes the importance of service quality. This thing is explained in vision of Directorate General of Taxes that 'to be a public model that performs a world class tax system and management, trustworthy, and becoming a pride to the public'. Tax Service Office for Foreign Investment One as one of the office under Directorate General of Taxes tries to realize vision and mission of Directorate General of Taxes. To reach that vision and mission, Directorate General of Taxes monitors Taxpayer's satisfaction level.
The purpose of this research is to know the service quality of Tax Service Office for Foreign Investment One according to taxpayer's opinion, to know Taxpayer's satisfaction level upon service quality of Tax Service Office for Foreign Investment One and to identify as well as to analyze the factors which influence the service quality of Tax Service Office for Foreign Investment One.
The value determination of the service quality of Tax Service Office for Foreign Investment One with developing and using concept and theory of Service Quality (Servqual) which is created by Parasuraman and others i.e.: Tangible, Reliability, Responsiveness, Assurances, and Emphaty. Tax service is one of public service that not orients to profit and assumes which is used in this research, Tax Service Office for Foreign Investment One's service is public service without competitors.
This research is conducted to 80 (eigthy) respondences (Taxpayers) with use simple random sampling and data collecting method that observation, questioners, interview, and library study The questioners purpose is to measure Taxpayer's satisfaction level, with comparing taxpayers hope and opinion. Before servqual calculating, data validity test and data reliability test had done first. Analyze of data and servqual calculating use descriptive statistic analyze.
The research result indicates that there is no one service dimension, which obtain mean score of service quality exceed or same 0 (>=Q). This research marks that Tax Service Office for Foreign Investment One's quality does not fulfill the wish of taxpayers. So Tax Service Office for Foreign Investment One still to improve service quality in every dimensions of service. The important factors upon Tax Service Office for Foreign Investment One's service quality are (a) Taxpayers get law certainty to fulfill the tax obligations (Reliability dimension) (b) The official can solve complaints from taxpayers immediately (Responsiveness dimension) and (c) The official can save information secret and taxpayer's data (Assurances dimension). The great deviation of standard values in descriptive statistic of performance marks the Tax Service Office for Foreign Investment One's service does not fulfill standard yet.
In order the service quality of Tax Service Office for Foreign Investment One can be increased, so we suggest Tax Service Office for Foreign Investment One to make a focus and cares a service in reliability dimension which connects to law certainty because that thing is the main point which is wished by taxpayer. Generally the quality of Tax Service Office for Foreign Investment One does not fulfill the wish of taxpayer, especially in Reliability and Responsiveness dimension. The officials of Tax Service Office for Foreign Investment One should have a commitment to provide an excellent service and to realize vision and mission of Directorate General of Taxes in order to be more conducive to provide an excellent service to taxpayers with reducing power range, flexible and smooth in providing service. To improve working motivation of officials, Directorate General of Taxes creates a policy about a reward or punishment.
Tax Service Office for Foreign Investment One is wished to increase the service to taxpayer consistently with implementing taxation rules to all taxpayers, send the officials to be trained both in internal of Directorate General of Taxes and external of Directorate General of Taxes in order to know taxation rules, foreign languages, communication technics, on line system of service. Tax Service Office for Foreign Investment One is wished to make optimal service procedures, which implemented by Directorate General of Taxes in order taxpayer, can feel the service taxpayer.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S10093
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S10100
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>