Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99237 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Indonesia is the 5th largest country that consumes tobacco in the world. Eighty five percent smokers, smokes local brand cigarette names clove cigarette...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Patricia Soetjipto
"Pembentukan kebijakan pengendalian dampak tembakau dipengaruhi oleh faktor diantaranya kesehatan, ekonomi, hukum dan politik. Keempat faktor tersebut merupakan faktor yang saling mempengaruhi didalam membentuk kebijakan pengendalian dampak tembakau. Faktor Kesehatan merupakan faktor yang paling utama dalam pembentukan kebijakan ini. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia, perokok dewasa pria maupun wanita, dan terutama perokok remaja dan anak-anak. Rokok menyebabkan sakit dan kematian. Faktor ekonomi tidak seluruhnya mempengaruhi, ekonomi yang terkait beban sakit dan mati saja yang merupakan faktor yang mempengaruhi bagi dibentukan kebijakan ini. Ekonomi terkait pertanian dan industri diatur dalam kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pengendalian tembakau. Faktor hukum merupakan faktor yang harus ada dalam memberikan dasar hukum, payung hukum dan menjadi hukum positif yang ditaati dan melindungi kepentingan kesehatan masyarakat dari dampak buruk rokok. Sedangkan faktor politik merupakan faktor penentu dalam mewujudkan kebijakan pengendalian tembakau. Sedangkan faktor politik merupakan kunci bagi sebuah kebijakan untuk dapat diwujudkan menjadi hukum positif. Proses, persepsi dan komitmen dari pembentuk kebijakan merupakan faktor politik yang sangat mempengaruhi pembentukan kebijakan pengendalian dampak tembakau.

The making of policies on the control of Tobacco Effects on Health is affected by various factors, including health, economy, law and politics. Those four factors are mutually affecting in the making of policies on the control of tobacco effects. The health factor is the most dominant factor in this matter, including the high level of smokers? prevalence in Indonesia, adult male and female smokers, and especially teenage and child smokers. Cigarettes cause diseases and death. The economic factor does not entirely affect the policy making, only economic aspects which are related to the burden of illness and death are influential to the policy making. Economic aspects related to agriculture and industry are regulated by policies which are separated from the policies on tobacco control. The legal factor must exist in order to provide legal basis and legal umbrella, and will also become the positive law which must be complied with and will protect public health interest from the negative impacts of cigarettes. Whereas the political factor is a determining factor in realizing policies on tobacco control. The political factor is also a key factor for enabling a policy to become a positive law. The process, perception and commitment of the policy-makers constitute the political factors which greatly affect the making of policies on the control of tobacco effects."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31521
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Auditya Firza Saputra
"Tesis ini mengulas secara kritis fenomena hegemoni industri rokok di Indonesia, yang salah satunya dibentuk lewat praktik CSR beserta berbagai persoalan implikasi hukum dan sosiologis yang tercipta karenanya. Sejak 2015, Indonesia ditetapkan sebagai salah satu negara dengan angka perokok remaja terbanyak di dunia. Tingginya angka perokok muda membawa berbagai masalah kesehatan dan kesejahteraan akibat konsumsi rokok yang eksesif. Rokok tanpa disadari telah menjadi kelaziman dalam kehidupan sehari- hari masyarakat. Permasalahan tersebut mengakar dari lemahnya regulasi di lapisan substansi hukum, penegakan yang tidak maksimal di tingkat struktur hukum, maupun kelemahan kultur hukum yang menyebabkan tidak optimalnya kerja kebijakan pengendalian tembakau yang ada. Model CSR filantropi yang dijalankan korporasi rokok dalam bentuk beasiswa pendidikan, sponsor acara olahraga dan musik, derma sosial dan sejenisnya, punya andil dalam menciptakan situasi tersebut. Begitupun persoalan pengaturan tentang periklanan rokok subliminal yang membuat produk tersebut semakin terasosiasikan dengan konstruksi sosial tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwa praktik CSR korporasi rokok masih jauh dari prinsip CSR sebagaimana mestinya, baik dalam standar ISO 26000 maupun Pedoman Bisnis dan HAM PBB. Seharusnya CSR berkonsentrasi pada upaya meminimalisir dampak buruk pada masyarakat, dan hal ini menjadi penting karena inti bisnis yang dijalankan berbahaya dan berdampak langsung pada kesehatan masyarakat. Sebaliknya, praktik CSR industri rokok selama ini justru dijadikan celah promosi atas segala pembatasan aturan yang telah dibuat terhadapnya. Lebih dari itu, CSR digunakan sebagai medium untuk mendapatkan legitimasi moral dari masyarakat agar dapat terus beroperasi dan mendominasi pasar. Temuan penelitian empiris menunjukkan adanya pengaruh signifikan antara hegemoni dan hegemoni tandingannya terhadap ekspektasi tanggung jawab sosial korporasi di mata konsumennya: semakin tinggi seorang menganggap industri rokok punya jasa-jasa dan kontribusi positif, semakin rendah pula ekspektasinya akan pertanggungjawaban korporasi rokok. Masyarakat sendiri masih gagal melihat isu etis di dalam penyelenggaraan CSR industri rokok. Solusi alternatif yang bisa ditempuh untuk mengoreksi anomali praktik CSR tadi adalah dengan dua skema: pertama, menghentikan kegiatan CSR filantropi dan mengalihkan pengalokasiannya untuk program kolaborasi dengan pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah kelompok kepentingan pengendalian tembakau, dalam hal ini stakeholder di bidang advokasi kesehatan masyarakat, untuk menjalankan program pengendalian peredaran produk rokok dalam bentuk edukasi unit-unit penjualan, agen periklanan; serta kedua, menempatkan agen pengendalian pada unit-unit penjualan yang akan berada di bawah tanggung jawab langsung korporasi rokok.

This thesis critically reviews the hegemony phenomenon in Indonesian tobacco industry, one of which was believed to be formed through the Corporate Social Responsibility (CSR) practices, along with its various legal and sociological implications created upon. Since 2015, Indonesia has been named as one of the countries with the highest number of teen and child smokers in the world. Such phenomenon has been linked into various health and welfare issues which was caused by excessive cigarrette consumption. Cigarrette-smoking had been unwittingly associated as a normal habit in society’s daily lifestyle. Some of these problems rooted in the weak regulations at the level of legal substance, the minimum act of enforcement upon the legal structure, and the permissive legal culture which causing the issued tobacco control policy failing to work optimally. The philantrophic CSR done by tobacco industries in the form of education scholarship, sport or music events sponshorship, charity, and its kind, have a stake in creating such situtaions. Not to mention the regulation problem on subliminal ciggarette advertisement which caused the product associated to particular social construction. The analysis shows that the tobacco corporation has not yet implemented the CSR as it should under the standard of ISO 26000 and UN Guidelines on Business and Human Rights’ regime, whereas the focus must be on minimalizing adverse effect on society. The issue is critical since the core business is classified as dangerous and having direct impact on public health. Instead, CSR mostly used intentionally as a promotional instrument to perpetuate the dominance of tobacco industry, due to all the restriction policy having issued against them. It became a means to gain moral and intellectual legimitacy from the community for the tobacco industry in order to keep on operating its business as usual. The research findings show significant influence between the hegemony and its counter- hegemony on its consumer expectations of business responsibilities: the higher one considers the cigarette industry having positive contributions, the lower the expectations one’s had of corporate responsibility for tobacco industries. Thus, society has been failing and unaware to detect the ethical issues within the implementation of tobacco industry social responsibilty. An alternative solution to correct such anomalous CSR practices is offered within two schemes: First, ceasing the act of corporate philanthropy and diverting its allocation for collaborative program with the third parties, in this case the tobacco control interest group consisting of public health stakeholders including professionals to run product control program in the form of education sales units, advertising agencies; and Secondly, placing controlling agents upon sales units or retails within direct responsibility of the cigarette corporation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Erlnando S.
"Pemerintah telah mengeluarkan peraturan cukai tembakau dalam rangka meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak. Peraturan ini mengatur pengenaan tarif cukai tembakau berdasarkan harga jual eceran. Pemerintah memberlakukan peraturan ini untuk mendapatkan target penerimaan negara dalam jangka waktu tertentu. Peraturan ini dibuat sebagai pertimbangan bahwa produksi dan konsumsi produk tembakau potensi untuk menjadi salah satu penerimaan negara di sektor pajak.
Produk tembakau yang memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara adalah rokok kretek mesin (SKM), rokok kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM). Produk-produk yang dibuat oleh manufaktur manufaktur besar, menengah, dan kecil.
Ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan dalam menyusun sebuah peraturan cukai: tarif, harga jual eceran, dan pendapatan per kapita. Regulasi cukai pemerintah terutama pada produk tembakau bertujuan untuk menjamin perlindungan penerimaan cukai tembakau, untuk mengontrol dan membatasi konsumsi tembakau, menciptakan keadilan, untuk membangun keadaan usaha yang sehat, dan untuk mengembangkan seluruh produsen tembakau.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang timbul sebagai akibat dari regulasi cukai dan harga jual eceran didasarkan pada produk tembakau dan skala produksi industri rokok. Analisis ini secara khusus ditujukan untuk menentukan dampak pengenaan tarif cukai tembakau di SKT, SKM, SPM dan konsumsi rokok, untuk menentukan apakah pengaruh tarif, harga dan variabel pendapatan SKT, SKM, SPM dan konsumsi rokok memiliki kepekaan sama, dan untuk menentukan apakah harga dan pendapatan mempengaruhi SKT, SKM, SPM dan konsumsi rokok. Analisis dilakukan dengan menggabungkan time series dan data cross sectional atau dengan menggunakan metode pooled data.
Hasilnya ditemukan bahwa ada perbedaan pengaruh atau efek variabel bebas antara jenis rokok dan permintaan rokok. Pola konsumsi rokok masyarakat dipengaruhi oleh harga rokok dan variabel penghasilan. Analisis juga diperoleh bahwa permintaan SKT, SKM, dan rokok SPM adalah inelastis. Oleh karena itu, mengingat bahwa penerimaan negara dari cukai rokok cukup besar, peraturan pemerintah dalam menetapkan suku cukai harus memperhatikan pada perubahan pola konsumsi rokok masyarakat serta pada kelangsungan produksi rokok.

The government has issued an excise regulation on tobacco in order to raise state revenue in tax sector. The regulation arranges the imposition of tobacco excise rates based on the retail selling price. The government imposed this regulation to obtain state revenue targets within certain period. The regulation was made as a consideration that the production and consumption of tobacco products is potential to be one of state revenues in tax sector.
The tobacco products that give big contribution for state revenue are machine-packaged cigarettes (SKM), hand-packaged cigarettes (SKT) and machine-packaged white cigarettes (SPM). Those products are produced by big, middle, small cigarette manufactures.
There are three aspects that have to be considered in composing an excise regulation: tariff, retail selling price, and salary. The government excise regulation especially on tobacco products is aimed to guarantee the protection of tobacco excise revenue, to control and limit tobacco consumption, to create fairness, to build fair business circumstance, and to develop entire tobacco manufacturers.
The aim of this thesis is to answer the problems that arise as a result of the excise regulation and the retail selling price based on tobacco products and cigarette industrial production scale. The analysis is specifically aimed to determine the impacts of the imposition of tobacco excise rates in SKT, SKM, and SPM cigarette consumption, to determine whether the effect of tariff, price and income variable on SKT, SKM, and SPM cigarette consumption have the same sensitivity, and to determine whether price and income affect SKT, SKM, and SPM cigarette consumption. The analysis was done by combining time series and cross sectional data or by using pooled data method.
The result found that there were distinction effects or independent variable effects between cigarette types and cigarette demand. Society pattern of cigarette consumption was affected by cigarette prices and income variable. The analysis also obtained that the demand of SKT, SKM, and SPM cigarettes was inelastic. Therefore, considering that the state revenue from cigarette excise tax is big enough, the government regulation in setting excise rates should concern on the changing pattern of society cigarette consumption as well as on the sustainability of the cigarette production.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T35722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risky Azlia Edrina
"Produksi tembakau nasional saat ini masih bergantung pada produksi
rokok yang sebetulnya ingin dikurangi oleh pemerintah. Pengurangan produksi rokok justru akan mengganggu kesejahteraan petani tembakau di Indonesia. Di lain pihak, tembakau yang mengandung senyawa alkaloid nikotin sebetulnya sudah diolah secara sederhana untuk diaplikasikan menjadi bahan baku biopestisida di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan potensi tembakau untuk dapat diolah menjadi produk yang lebih bermanfaat. Nikotin mengandung racun neurotoxin yang sangat efektif untuk membunuh hama. Racun ini akan berbahaya jika dipakai secara berlebihan, akan tetapi tetap sangat efektif bagi hama pada konsentrasi rendah. Metode ekstraksi dengan pelarut etanol dipakai karena dari beberapa eksperimen terlihat bahwa etanol dapat menghasilkan yield yang maksimal. Penelitian ini akan melakukan eksperimen serta pemodelan ekstraksi nikotin dari tembakau dengan pelarut etanol di dalam ekstraktor unggun diam. Yield yang yang paling tinggi dihasilkan dari laju alir 3ml/menit dan diameter partikel 0,45mm sementara yang paling rendah dari laju alir 5ml/menit dan diameter partikel 0,9mm. Model matematik pada penelitian ini disimulasikan dengan Comsol Multiphysics 5.2. Koefisien perpindahan massa didapatkan dengan mengatur nilai koefisien sedemikian rupa sehingga kurva yang didapatkan dari hasil simulasi dengan hasil eksperimen. Terdapat 3 koefisien yang didapatkan dari 3 variasi yang berbeda yatitu 9x10-8m/s; 6,5 x10-8m/s; 1,5 x10-8m/s. Dari koefisien tersebut bilangan ? bilangan Reynold, Schmidt, dan Sherwood dapat dihitung, sehingga dapat didapatkan korelasi dari bilangan ? bilangan tersebut. Korelasi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah Sh=0,00003Re-0,77Sc1/3.

Today's national tobacco production is still dependent on cigarette production which actually the government desires to be reduced. The reduction of cigarette production in Indonesia, however, will disturb the prosperity of tobacco farmer. On the other hand, tobacco plant in which contains alkaloid compound is already treated, with a simple method, as a raw material for natural pesticides. Nicotine is a neurotoxin which able to effectively kill pest, particularly agricultural pest. This toxic will be dangerous in a massive amount, but in a moderate amount nicotine can be very useful. An extraction method with ethanol solvent is used because several prior experiments have proven that utilizing ethanol results in maximum number of yield. In this research, extraction experiment and modelling is done to get mass transfer coefficient of nicotine solid-liquid extraction from tobacco leaf with etanol solvent in packed bed extractor. The highest yield resulted from the velocity of the solvent is 3ml/minute and the diameter of the particle is 0.45mm. Otherwise, the lowest yield resulted from the velocity of the solvent is 5ml/minute and the diameter of the particle is 0.9mm The mathematical model is simulated by Comsol Multiphysics 5.2. The mass transfer coefficient is obtained by constantly formulating the coefficient value to achieve the result curve which alligns with the experiment. There are three obtained coefficients from three different variations those are 9x10-8m/s; 6.5 x10-8m/s; 1.5 x10-8m /s. From those coefficients, the Reynold, Schmidt, and Sherwood numbers could be counted, therefore, the correlation between these numbers could be acquired . The result of the correlation from this research is Sh=0,00003Re-0,77Sc1/3.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64118
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdillah Ahsan
Depok: UI Publishing, 2019
338.173 71 ABD k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Istyastuti Wuwuh Asri
"ABSTRAK
Dalam rangka mencapai tujuan suatu negara diperlukan dana, daya, serta upaya yang tertuang dalam berbagai bentuk kebijaksanaan untuk mewujudkannya. Guna memenuhi kebutuhan kegiatan operasional dan pembangunan negara dalam rangka mencapai tujuan dimaksud, salah satu sumber penerimaan dalam negeri diluar ininyak bumi dan gas alam, diluar penerimaan bukan pajak lainnya, adalah pajak yang termasuk didalamnya cukai.
Penelitian ini mengacu pada konsep cukai dari Sijbren Cnosen dan John F.Due yang pada dasarnya mengatakan bahwa cukai atas barang-barang tertentu itu, mempunyai tujuan ekonomi dan tujuan social. Hal ini berbeda dengan pajak penjualan atas berbagai barang, yang mempunyai tujuan ekonomi untuk memperoleh penerimaan negara semata. Tujuan pungutan cukai dapat dijastifikasi dengan delapan alasan selain satu tujuan untuk memperoleh penerimaan negara.
Penelitian ini merupakan studi kasus cukai tembakau di Indonesia. Kebijaksanaan cukai tembakau selama ini merupakan pelaksanaan kebijaksanaan cukai tembakau induk warisan pemerintah Hindia Belanda.
Tujuan penelitian ini ingin mengungkapkan apa yang mempengaruhi proses perumusan kebijaksanaan cukai tembakau yang berlaku sejak 1969 - 1992, sehingga baru satu tujuan penerimaan negara saja yang tercapai, sedangkan tujuan social cukai tembakau yang menjadi ciri khas cukai belum tercapai. Pengungkapan pengaruh apa yang mempengaruhi kebijaksanaan ini berpedoman pada pendapat Nigro dan Nigro, James E. Anderson, juga Gerald E. Caiden bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses perumusan kebijaksanaan, baik pengaruh sikap pribadi perumus, pengaruh dari luar maupun dari dalam lingkungan institusi perumus itu sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses perumusan kebijaksanaan cukai tembakau, sehingga pelaksanaan kebijaksanaan cukai tembakau seperti yang terjadi selama ini. Institusi perumus kebijaksanaan ini selalu mengutamakan tujuan penerimaan negara dibandingkan dengan tujuan social seperti pengendalian konsumsi hasil tembakau dan penyerapan tenaga kerja, karena pengaruh kondisi ekonomi yang buruk, yang kemudian berpengaruh pada sikap pribadi perumus mengenai nilai organisasi, nilai kepentingan publik, nilai ideology nasionalis yang secara konservatis mempengaruhi sikap perumus kebijaksanaan pada masa-masa berikutnya. Dari penelitian yang menggunakan metodologi kualitatif atas pelaksanaan kebijaksanaan cukai tembakau selama tahun 1969 - 1992 maka terbentuklah hipotesa bahwa kebijaksanaan cukai tembakau selain mempunyai tujuan untuk memperoleh penerimaan negara, juga mempunyai tujuan untuk melakukan pembinaan terhadap pengusaha-pengusaha golongan lemah, yang secara eksplisit juga mengandung tujuan-tujuan terdiri dari : (a) penggolongan pengusaha hasil tembakau, (b) perlindungan pengusaha golongan lemah dan (c) perlindungan pengusaha/petani cengkeh.
Issue bahwa mengkonsumsi hasil tembakau mengganggu kesehatan masih gencar dilakukan. Sementara cukai tembakau menyumbang 89,78% dari cukai secara keseluruhan, melibatkan 599 pabrik hasil tembakau, dan menyangkut 11,4 juta tenaga kerja baik langsung maupun tak langsung. Berdasarkan hal tersebut diatas maka disarankan untuk mengusulkan agar target cukai tembakau tidak selalu dinaikkan, mempertahankan struktur tarip cukai tembakau, mengembangkan hasil tembakau jenis SKSM, menyerahkan perhitungan harga eceran kepada pengusaha hasil tembakau sendiri, dan mengusulkan pengaturan perdagangan tembakau oleh badan pemerintah. "
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tundjung
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>