Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89945 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Windarto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas keberhasilan serta kegagalan pembebasan bersyarat di Bapas Semarang. Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan disain diskriptif dan prediktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keberhasilan pembebasan bersyarat di Bapas Semarang dari tahun 1998 s/d 2008 mencapai 80.9 %, yang masih dalam proses bimbingan 16.3 % dan kegagalannya mencapai 2,8 %. Dalam prediksi keberhasilan pembebasan bersyarat, bahwa klien pembebasan bersyarat dengan jenis pekerjaan yang produktif ada hubungan yang signifikan dengan keberhasilan pembebasan bersyarat.
Hasil penelitian menyarankan bahwa dalam menentukan disposisi pembebasan bersyarat dan pelaksanaan pembimbingan klien pembebasan bersyarat, perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembebasan bersyarat.

ABSTRACT
This thesis discuss about success and failure on parole of Semarang Community Correction (Bapas). This Study employs quantitative approach with descriptive and predictive design.
The result of this study reveals that the average of the success on parole of Semarang Community Correction from 1998 to 2008 indicates around 80%. In comparison, the failure on parole shows low around 2, 8%. Moreover, the study indicates prisoners on supervision process of parole as big as 16.3%. Furthermore, this study highlights a prediction of successful on parole. The prediction shows client who has stable and productive job / occupation tend to be successful on their parole.
Furthermore, this study advice to authority in charge in deciding disposition of parole and implementation of client supervision on parole should consider some factors which affect success on parole."
2009
T26730
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis
"Pembebasan bersyarat adalah salah satu upaya untuk mempersiapkan narapidana hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, dan dua pertiga masa pidana tersebut sekurang-kurangnya sembilan bulan. Narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat harus menjalani masa percobaan selama sisa masa pidananya ditambah satu tahun. Selama masa percobaan tersebut, narapidana tersebut harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus sesuai dengan ketentuan undang-undang. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang dapat melakukan pengawasan secara intensif. Salah satu pihak yang bertugas mengawasi terpenuhinya syarat-syarat tersebut adalah Balai Pemasyarakatan (Bapas). Bapas bertugas melakukan pengawasan terhadap syarat khusus, yakni hal-hal yang berkaitan dengan kelakuan narapidana selama menjalani masa percobaan. Oleh karena itu, pengawasan yang dilakukan Bapas selanjutnya disebut sebagai pembimbingan. Narapidana yang berada di bawah bimbingan Bapas disebut klien pemasyarakatan (klien). Pembimbingan terhadap klien dilakukan oleh petugas Bapas yang disebut pembimbing kemasyarakatan. Pada dasarnya, Bapas memegang peranan yang penting dalam membantu narapidana berintegrasi kembali dengan masyarakatnya. Namun sampai saat ini masih banyak pihak yang kurang memahami peran penting Bapas, sehingga dapat menjadi penghalang terwujudnya tujuan pembebasan bersyarat. Untuk itu, penulis melakukan penelitian mengenai bagaimana mekanisme pembimbingan yang dilakukan oleh Bapas Jakarta Selatan terhadap narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22361
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Arifin
"Secara umum tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang pelaksanaan pembimbingan pemasyarakatan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap Klien Terpidana Bersyarat pada Balai Pemasyarakatan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan bimbingan pemasyarakatan bagi terpidana bersyarat di Balai Pemasyarakatan.
Proses pembinaan terhadap klien Terpidana Bersyarat pada Balai Pemasyarakatan adalah tidak terlepas dari program pembinaan. Pada tahap pembinaan ini petugas mengadakan penelitian secermat mungkin pada sebab timbulnya masalah, baik menjadi penyebab pokok atau sampingan yang mendukung sebab pokok tersebut. Hasil data tersebut diolah, sehingga akan terlihat faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Agar pembinaan yang dilakukan efektif dan mencapai hasil yang disarankan maka pembimbing kemasyarakatan mengadakan evaluasi pelaksanaan pembinaan sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana perkembangan dan hasil yang dicapai dalam pembinaan ini.
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembimbingan Klien Terpidana Bersyarat yang dilakukan oleh petugas pembimbing kemasyarakatan (PK) pada Balai Pemasyarakatan adalah meliputi:
1. Faktor internal (keadaan petugas dan sarana prasarana);
2. Faktor eksternal (ldien, masyarakat, peraturan yang mengatur pelaksanaan tugas Bapas, dan koordinasi dengan instansi/pihak luar).
Pelaksanaan pembimbingan terhadap klien terpidana bersyarat belumlah sesuai antara teori yang ada dengan praktek lapangan, terutama dalam penerapan metode dan tehnik yang ada, oleh karena itu disarankan dalam pelaksanaan tugasnya, pembimbing kemasyarakatan (PK) harus mampu mengetahui tentang teori-teori yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas. Kurangnya partisipasi masyarakat terhadap upaya pembinaan Ianjutan bagi terpidana bersyarat maka disarankan bagi para petugas PK agar mengadakan sosialisasi di lingkungan masyarakat tentang peranan BAPAS dalam membimbing dan membina para klien terpidana bersyarat.

In general the target of this research is to give a descriptions of concerning technique and method used by Counselor of Sociological in execution of Counseling for Conditional Prisoner Client at `Balai Pemasyarakatan' and factors that influence of execution sociological for conditional.
Guidance process to client of Conditional Prisoner at Balai Pemasyarakatan' is not quit of guidance program. At this guidance phase, officer perform a research as accurate as possibly in emerge of problems -neither fundamental nor peripheral problem- which supporting fundamental problem. After the data result processed, will seen factors which become the cause. To reach effective guidance and reach good result, Counselor of Sociological perform an evaluation of guidance execution, so that can know until how far reached result and growth in this guidance.
The Factors which become problems in execution of counseling of Conditional Prisoner Client which done by officer of Sociological Counselor (Pembimbing Kemasyarakatan) at `Balai Pemasyarakatan' (Bapas) are :
1. Internal factor (officer condition and accomodation);
2. External factor (client, society, regulation arranging execution of duty of `Balai Pemasyarakatan' and coordination with other institutions).
Execution of guidance to client of Conditional Prisoner not yet according between existing theory with field practice, especially in applying of method and existing techniques, therefore Counselor of Sociological (PAC) have to know about the theories which bearing of with execution of duty. In the case of lack of society participation to effort continuing guidance for Conditional Prisoner, hence suggested officers at Sociological Counselor are performing a socialization in society environment concerning `Balai Pemasyarakatan' activities in counseling and guiding the Conditional Prisoner Clients.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Evi
"ABSTRAK
Kejaksaan sebagai salah satu institusi penegakan hukum yang melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan Undang-Undang. Tugas utama yang lebih dikenal luas adalah sebagai lembaga penuntutan terhadap kasus-kasus pidana di Pengadilan. Padahal tugas-tugas lain yang cukup penting juga dipegang oleh Kejaksaan, antara lain sebagai eksekutor suatu keputusan. Salah satu yang dieksekusi adalah melakukan pembebasan bersyarat dan pengawasan terhadap pembebasan bersyarat. Hal ini tidak banyak disinggung dalam berbagai literatur. Padahal pembebasan bersyarat sangat diharapkan sebagai proses pembinaan bagi narapidana diluar lembaga agar dapat lebih mudah untuk bersosialisasi. Adanya pembebasan bersyarat dipengaruhi oleh pandangan modern pemidanaan yang menghendaki kemanfaatan dan pembinaan terhadap narapidana yang dinilai telah memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat tersebut. Mekanisme pemberian bersyarat secara rinci diatur dalam dalam Pasal 12 dan 13 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.Dl.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan CuLi Menje3ang Bebas. Keputusan pemberian pembebasan bersyarat merupakan wewenang Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Pasal 30 ayat (1) huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, menyebutkan Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pembebasan bersyarat. Namun dalam melaksanakan tugasnya tersebut belum dapat dilakukan maksimal. Hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain adanya kendala administrasi, kurangnya petunjuk baku berupa juklak atau juknis pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat dan belum adanya koordinasi antar Kejaksaan dalam pengawasan pembebasan bersyarat tersebut.Dalam kendala administrasi, seharusnya setiap pembebasan bersyarat dicatat dalam suatu register, namun dalam praktek tidak semua Kejaksaan memiliki daftar tersebut. Hal ini disebabkan adanya volume pekerjaan yang cukup padat sedang pegawai sangat kurang. Di sisi lain aturan intern Kejaksaan yang mengatur bagaimana pelaksanaan pengawasan sangat kurang bahkan tidak ada. Hal ini menyebabkan Kejaksaan tidak dapat melakukan tindakan lain terhadap terpidana yang tidak melapor diri sebagai pengawasn terhadap terpidana. Diharapkan ke depannya terdapat suatu aturan baku tentang pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat. Sebab pembebasan bersyarat di masa yang akan datang akan semakin penting dalam pemidanaan Indonesia.

ABSTRACT
Judiciary as any law enforcement institution who implement duty and functions based on legislation. The well-known main duty is institution that prosecute criminal case at court. Indeed, other important relative duties is also handled by Judicature among other thing executing any judgment, i.e. conditional release and its supervision, it had not mostly be written in literature. Actually, it is highly wished as building process for criminal actor outside' of correctional facility so as to socialize easily. The conditional release is influenced by modern concept, the punishment that wishes benefit and building against prison who had had values complying with requirements to obtain such conditional release. In details the mechanism of giving conditional release is set forth in Article 12 and Article 13 of Ministerial Decree of Justice No.M.01.PK.04-10 year 1999 on Assimilation, Conditional Release and Leave Facing Release. It represent authority of Justice Minister or the officer appointed by his.
Article 30 paragraph (1) letter C Laws No.16 year 2004 on Judiciary stating that Judiciary as institution that authorize to supervise conditional release. But, to realize such duties it had not been realized maximally. It is caused by some factors among them administrative hindrances, lack of manual such as operational guidance or technique in implementing such conditional release supervision and no inter judiciary coordination to supervise such conditional release. Administratively, essentially, any conditional release is recorded in register, but, practically, not all judiciaries had such register. It is resulted by job volume is more and employee is less. In other side, internal judiciary regulating how supervision performance is it may not be wished (lack). So that, Judiciary may not implement other actions against criminal actor(s) who had not reported their selves. For the future it is wished any standard regulation on supervision performance for conditional release may be realized, because in Indonesia the punishment will be more important."
2007
T19285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cipto Edy
"Balai Pemasyarakatan merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis dalam Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang salah satu tugasnya adalah memberikan layanan kepada klien yang sedang menjalani masa pembebasan bersyarat. Penulisan tesis ini bertujuan untuk mendapatkan persepsi klien terhadap kualitas layanan yang diberikan Bapas. Persepsi kualitas layanan diperoleh dengan membandingkan antara kenyataan layanan dengan harapan klien pada layanan tersebut. Sampel diambil dari jumlah klien yang melapor pada bulan Mei 2009 dengan menggunakan metode kuisioner. Hasil pengumpulan data setelah dianalisa menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kenyataan layanan dan harapan klien sehingga dapat disimpulkan bahwa klien merasa puas terhadap layanan yang diberikan.

Parole probation office is one of unit on General Directorate of social rehabilitation is one of public institution in Law and Human Right which it have task to give service toward client who do parole period. This tesis aims to get the client perception toward parole probation office service quality. Quality service perception achive by comparation between service reality and client wishes on that`s service. Sample was got from client number that reported on mei 2009 with use quisioner method. Collection data goal after analizis show no one significant differences between service reality and client wishes thus we can make conclusion that client feel good toward service giving."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26320
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Chaidir
"Penelitian ini berfokus pada implementasi kebijakan Departemen Hukum dan Ham RI tentang program asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bekasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetehui bagaimana implementasi program asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Lapas Bekasi dan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam implementasi kebijakan tersebut yang ditinjau dari faktor komunikasi, faktor sumber-sumber, faktor kecenderungan dan faktor birokrasi. Dalam melakukan penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain diskriptif. Adapun informan dalam penelitian ini terdiri dari 10 orang yaitu 8 orang narapidana dan 2 orang pejabat struktural di Lapas Bekasi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan, sedangkan analisis dilakukan dengan merujuk pada teori implementasi kebijakan dari George C. Edward dan analisis SWOT. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa implementasi kebijakan asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Lapas Bekasi terlihat kurang optimal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor penghambat yakni ditinjau dari faktor komunikasi yaitu informasi kebijakan belum dikomunikasikan dengan baik ke narapidana dan masyarakat selaku stakeholder, sedangkan dari faktor sumber-sumber yaitu kurangnya tenaga staf secara kwantitas dan kwalitas SDM, serta kurangnya sumber dana operasional. Selanjutnya adalah faktor kecenderungan petugas pelaksana kebijakan yang menjalankan kebijakan ini lebih cenderung terhadap narapidana yang memberikan bantuan dana. Faktor terakhir yaitu faktor yakni dari Lapas, Kantor Wilayah dan Direktorat Jenderal belum lagi dengan instansi terkait seperti Pemerintahan Daerah dan Kejaksaan.

This study is focused to know how the implementation of Law Department & Human Right?s policies about assimilation program, parole, leave nearing free, and conditional leave in LAPAS Bekasi. The study also aims to know the barriers in implementing those policies. Qualitative method is used in this study. This study involves 10 informants; 8 people are prisoners and the others are functionary of LAPAS Bekasi. Data collecting is obtained by holding an interview with the informants. And data analysis is done by George C. Edward?s Theories and SWOT analysis. The result of this study indicated that the implementation of policies about assimilation program, parole, leave nearing free, and conditional leave in LAPAS Bekasi is not optimal. It?s caused by some barrier factors such as communication, human resources and bureaucracy factor. The policies are not informed well to prisoners and people. There is less of quality and quantity of operational staff. And the bureaucracy needs long time in implementing."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25015
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Titut Sulistyaningsih
"Penelitian ini berfokus pada pembebasan bersyarat yang merupakan salah satu hak narapidana dalam program pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan, yang bertujuan agar narapidana yang telah memenuhi syarat dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan. Prosedur untuk memperoleh pembebasan bersyarat dilakukan dengan beberapa tahap melalui program pembinaan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat administratif maupun substantif.
Proses pelaksanaannya kadangkala dalam memenuhi syaratnya mengalami beberapa kendala baik terhadap sumber daya manusia pada petugas maupun narapidana sendiri. Selain itu kendala yang lain adalah disebabkan oleh faktor organisasi, administrasi serta kondisi sosial masyarakat dalam mendukung proses pelaksanaanya. Oleh karena itu keberhasilan dalam memenuhi syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat dapat dipengaruhi oleh pemahaman dan peningkatan sumber daya manusia sebagai faktor pendukung.
Disamping itu pemberian pembebasan bersyarat, diperlukan juga pemahaman prosedur yang ada, pengorganisasian, koordinasi baik dalam internal lembaga pemasyarakatan sendiri maupun oleh organisasi lain yang terkait seperti Kejaksaan dan pengadilan. Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, walaupun dalam memenuhi syarat dalam mengajukan pembebasan bersyarat telah berjalan sesuai dengan prosedur namun demikian dalam pelaksanaannya masih adanya kendala-kendala dalam memenuhi syarat-syarat di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang.
Beberapa kendala tersebut diantaranya adalah, masih kurangnya sumber Jaya manusia baik tentang teknis pada petugas maupun pemahaman pada diri narapidana, juga dalam hal kurangnya pemahaman dalam hal organisasi dan koordinasi dengan pihak lain. Selain itu kendala lainnya adalah dalam pemenuhan berkas administrasi serta kondisi Iingkungan masyarakat dalam mendukung pemenuhan syarat-syarat untuk mengajukan pembebasan bersyarat.
Agar program pembinaan narapidana dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat lebih efektif dan efisien diperlukan peran dan kerjasama beberapa pihak. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi secara berkala dan berkesinambungan serta adanya peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan tentang proses pengajuan pembebasan bersyarat baik pada petugas maupun narapidana. Disamping itu adanya perhatian yang lebih oleh pimpinan lembaga pemasyarakatan
terhadap narapidana terutama pada proses administrasi yang tidak dibebankan seluruhnya pada narapidana sehingga hak narapidana untuk mengajukan pembebasan bersyarat dapat dirasakan bagi yang telah memenuhi syarat.

A conditional release is one of rights any prisoner had in prison corrective program for those prisoners parole any of requirement to interact and socialize with the community outside the prison. Procedures for getting a Parole were through several stages of corrective program by firstly parole any administrative and substantive requirements.
Prisoners faced some constraints sometimes, both from the staff of the prison and the prisoners themselves. In addition, other constraints were organizational and administrative in nature and social condition of the community in favor of its realization as well. Therefore, a successful requirement parole with respect to a parole could be influenced by an understanding and improvement of human recourses as the supporting factors.
In addition to the possible right, it was necessary to understand the existing procedure. organization, coordination among internal prisoner itself and any other related organizations such as attorney offices and courts.
The results of research indicated that, factually there were still constraints at Tangerang Women Prison; though prisoners were parole any of requirements procedurally.
Some of those contains were the lack of human resources, namely, the prison staff's technical ability, the prisoners understanding, and the organization's understanding and coordination with other paties. Moreover, other constraints were problems with parole administrative documents and social environment of community that would support the fulfillment of any requirements for conditional release.
For the program to be more effective and efficient, the role and coordination of other parties were needed. Thus, periodical and sustainable socialization and improvement in human resources were necessary also through training in the application of parole both for staff and prisoners. Besides, it was suggested for the top management of the prisoner to pay more attention, especially regarding the administration process the have been burden of prisoners as a whole so far, so that the right to the conditional release might be realized for any of prisoners parole the requirements.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fani Andika
"Pembebasan Bersyarat (PB) merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem pemasyarakatan yang berusaha mengembalikan narapidana kembali ke masyarakat. Sistem Pemasyarakatan mengenal adanya reintegrasi sosial dimana narapidana yang telah memenuhi syarat, baik secara substantif maupun administratif dapat menjalani masa pidananya di luar tembok lapas. Pembebasan Bersyarat dapat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidananya. Dalam pelaksanaan Pembebasan Bersyarat dikenal adanya proses penjaminan, yaitu suatu proses pernyataan kesediaan dari pihak keluarga untuk menjadi penjamin yang bertanggung jawab terhadap narapidana selama menja1ankan Pernbebasan Bersyarat. Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan yang hendak dijawab, yaitu bagaimana proses penjaminan dalam pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat di Lapas Narkotika Jakarta; serta apakah kendala­ kendala yang dialami selama proses penjaminan dalam pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat di Lapas Narkotika Jakarta. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan wawancara menggunakan pedoman wawancara. Informan penelitian adalah petugas lapas sebanyak 3 orang, narapidana sebanyak 9 orang, petugas Bapas sebanyak 1 orang, dan keluarga narapidana sebanyak 3 orang, dengan lokasi penelitian di Lapas Narkotika Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa.

Parole is one form of embodiment of correctional systems that try to return the prisoners back into society. Within the correctional system are the social reintegration, in which inmates who are qualified both substantive and administrative criminal can serve time outside prison wails. Parole can be granted to inmates who had undergone two thirds the criminal. In the implementation of the Parole known existence assurance processes, which is a process statement from the family's willingness to become a guarantor who is responsible for running the Parole. In this research. there are two questions to be answered, namely how the underwriting process in the implementation of the Parole program in Jakarta Narcotic Prison; and whether the constraints experienced during the underwriting process in the implementation of the Parole program in Jakarta Narcotic Prison. The method used is a qualitative method with interviews using interview guideline.The informants were prison officers as much as three people, convict as many as nine people, officials Bapas as a people, and prisoners' families as many as three people, with research sites in Jakarta Narcotic Prison. Based on research, it is found that the basic law regarding underwriting process is less strong because there is no mention of rules that are directly related to underwriting. In this."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T33688
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Made Rosarina Sagita
"Proses pemasyarakatan mengedepankan proses integrasi sosial bagi para narapidana agar mereka dapat kembali bersatu dengan masyarakat dan lingkungannya. Untuk itu diperlukan pembinaan yang mengarah kepada hal tersebut. Selain pembinaan yang dilakukan didalam lapas, juga dilakukan diluar lapas. Untuk itu permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimanakah kapasitas pembimbing dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat di Bapas Klas I Bandung.
Teori yang diguinakan dalam tulisan ini adalah tentang comunity based treatment dan konsep pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif kualitatif; Dengan pengambilan data menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam.
Pelaksanaan pembimbingan di Bapas Bandung dilakukan dengan cara wajib lapor secara berkala dari klien kepada petugas Pk yang membimbing. Selain itu juga pernah dilakukan pemberian keterampilan dalam bentuk pelatihan, namun itu tidak dilakukan secara berkala, melainkan secara insidentil.
Pelaksanaan pembimbingan dengan Cara pelaporan atau pembimbingan perorangan merupakan salah satu metode pembimbingan. Hal ini tidak bisa dilihat tingkat keberhasilannya untuk itu diperlukan metode home visit dengan mengunjungi keluarga dan lingkungan sehingga dapat dinilai tingkat pembimbingan yang dilakukan.
Kapasitas pembimbing dalam melakukan pembimbingan terhadap klien tidak tergantung dari tingkat pendidikan petugas PK. Sumber daya manusia hanya sebagain faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pembimbingan ada faktor lain yang juga mempengaruhi antara lain adalah anggaran dari pemerintah untuk pelaksanaan pembimbingan.

The rehabilitation process put forward prisoner's social integration process in order they can join again with their respective community and environment. Therefore, it is required for a building process directed to this intent. Besides building process conducted within corrective institution, it is demanded building out of it. Therefore, issue to be made into surface in this presentation is how is the counselor capacity in implementation of conditional liberation at Class I Corrective Institution, Bandung.
Theories used in this writing is talking about the community-based treatment and counseling concept. Meanwhile, research methodology used in this writing is a qualitative descriptive method. And its data collection uses observatory method and in depth interview.
The implementation of counseling at Bandung's Corrective Institution is carried out by periodical obligatory report from client to related counseling officer. In addition, it had also ever been given various know-how training; however they are not given in periodic, but incidentally.
The implementation of counseling by reporting ways or individual counseling is one of counseling methods. This instance cannot be seen its successful level, thus it is also required a home visit method by visiting client's family and environment in order to appraise counseling successful level.
The counselor capacity in execution of counseling process toward clients is not dependent on corrective institution's officer education level. A human resource factor is one of factors affecting such counseling successful level because there are some other factors affect it, among other, budget from government for this counseling implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukarno Ali
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu tempat dimana narapidana melaksanaan pembinaan, termasuk pelaksanaan pembinaan bagi narapidana warga negara asing dengan orientasi program pembinaan yang bertujuan memulihkan hubungan individu narapidana dengan keluarga dan masyarakat.
Salah satu program pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah pelaksanaan program pembebasan bersyarat. Dimana program pembebasan bersyarat tersebut merupakan hak bagi setiap narapidana tanpa terkecuali. Akan tetapi pelaksanaan program pembebasan bersyarat bagi narapidana harus memenuhi persyaratan secara substantif dan administratif dimana untuk narapidana warga negara asing ada persyaratan tambahan yang harus dipenuhi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemenuhan persyaratan administrative tambahan bagi pelaksanaan pembebasan bersyarat bagi narapidana warga negara asing adalah jaminan hukum dari kantor kedutaan dan rekomendasi dari kantor imigrasi setempat. Dimana dalam pelaksanaannya menghadapi kendala-kendala tidak terpenuhinya jaminan hukum dari kantor kedutaan dan tidak terpenuhinya rekomendasi dari kantor imigrasi, sedangkan faktor penyebabnya adalah minimnya pemahaman program pembebasan bersyarat oleh para narapidana dan oleh para petugas baik petugas Lapas, petugas kedutaan maupun petugas imigrasi. Selain itu kurangnya koordinasi dari ketiga lembaga tersebut yang mengakibatkan program ini tidak dapat berjalan dengan optimal. Disamping itu dalam program pembinaan untuk pembebasan bersyarat dikarenakan anggaran pembinaan yang kurang sehingga biaya tersebut dibebankan kepada narapidana atau pihak keluarga. Sedangkan tidak semua narapidana mampu untuk rnengeluarkan biaya yang dibutuhkan dalam mengurus pembebasan bersyarat tersebut. Hambatan-hambatan inilah yang dapat menyebabkan pembebasan bersyarat bagi narapidana warga negara asing tidak dapat berjalan optimal.

Correctional institution is a place for educating the convicts, including foreign inmates with the orientation of treatment for foreign inmates to recover individual connection with family and society.
One of the treatment programs in correction is parole. Parole is the rights for all inmates not to mention foreign inmates. But, there are some administrative and substantive conditions to be fulfilled before they get parole. The exception of parole for foreign inmates is that they must complete the additional administration.
The study concluded that additional administration fulfillment of parole for foreign inmates are law guarantee and recommendation from embassy and local immigration office.
The obstacle on the program that make the embassy is uneager to give law guarantee and no recommendation from the local immigration office, is lacks of understanding on parole of the inmates and or the correction, immigration and embassy's officers. Besides that, there is weak coordination on those three institutions. Budgets and people's stigma to the foreign inmates are also making it harder to get additional administrative condition in getting parole for foreign inmates.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20810
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>