Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90005 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djarot Nugroho
"Tesis ini membahas tentang perkawinan beda agama yang dilematis karena terjadi perbedaan antara peraturan yang berlaku dengan kenyataan yang ada. Tujuan penelitian ini untuk memberi pengertian secara akademis tentang perkawinan beda agama. Penelitian ini dengan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus, sedangkan Ruang lingkup penelitian hanya sebatas ijtihad Zainun Kamal dan ijtihad Majelis Ulama Indonesia. Ada pun data diambil langsung dari wawancara dengan partisipan, informan dari Paramadina dan dari Kantor Catatan Sipil di Bekasi. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa perkawinan beda agama adalah haram hukumnya bagi wanita muslimah dengan pria non muslim dan bagi pria muslim sangat tidak dianjurkan.

This thesis analyses about different religious marriage dilemma because the differences between the rules applicable to the fact . The purpose of this research to provide the academic understanding of the Marriage Different Religions.This research is Descriptive Qualitative research Case Study approach, whereas the scope of the research was limited to individual mterpretation of verse in the Quran of Zainun Kamal and Fatwa Majelis Ulama Indonesia, as for the data taken from direct interviews with participants, infonnants from Paramadina and from the Civil Registry Office in Bekasi and the data from the media. The results of the research is that different religious marriage is prohibited it is unlawful, especially for a Muslim woman. with a non-Muslim man but for Muslim men is not recommended."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26823
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yotia Jericho Urbanus
"Penulisan ini membahas mengenai kedudukan hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris terhadap pelaku perkawinan beda agama di Indonesia (studi kasus Notaris X di Jakarta Barat). Adanya perkembangan mengenai pengesahan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia dan juga pengalaman Notaris X yang seringkali membuat akta perjanjian perkawinan yang para penghadapnya beda agama menjadi dasar bagi Notaris X untuk membuat akta perjanjian perkawinan bagi Tuan A yang beragama Kristen dan Nyonya B yang beragama Buddha. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X dan mengenai batasan hukum serta langkah hukum bagi seorang Notaris dalam membuat akta perjanjian perkawinan beda agama di Indonesia. Bentuk penelitian ini adalah yuridisnormatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Pada akhirnya akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X ialah batal demi hukum dikarenakan tidak memenuhi ketentuan syarat objektif perjanjian. Selanjutnya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh seorang Notaris tidak boleh bertentangan dengan ketentuan agama, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana ternyata dalam Pasal 29 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun seorang Notaris dalam menghadapi akta perjanjian perkawinan beda agama, seorang Notaris harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya.

This writing discusses the legal position of the marriage agreement deed made by a Notary against interfaith marriage actors in Indonesia (case study of Notary X in West Jakarta). The developments regarding the legalization of the registration of interfaith marriages in Indonesia and also the experience of Notary X who often makes marriage agreement deeds where the parties are of different religions becomes the basis for Notary X to make a marriage agreement deed for Mr. A who is a Christian and Mrs. B who is a Buddhist. This raises questions about the position of the interfaith marriage agreement deed made by Notary X including the legal limitations and legal steps for a Notary in making the interfaith marriage agreement deed in Indonesia. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. In the end, the deed of interfaith marriage agreement made by Notary X was null and void because it did not meet the provisions of the objective conditions of the agreement. Furthermore, the marriage agreement deed made by a Notary may not conflict with the provisions of religion, morality and public order as stated in Article 29 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. As for a Notary in dealing with an interfaith marriage agreement deed, a Notary must prioritize the principle of prudence in carrying out his duties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fina Rosiana Nur
"Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga bukan hanya komitmen yang diperlukan tetapi keyakinan beragama pun diperlukan. Namun pada kenyataannya dalam kehidupan masyarakat masih sering kita jumpai perkawinan yang tidak didasari pada satu agama melainkan mereka hanya berdasarkan cinta. Fenomena perkawinan beda agama yang terjadi di kalangan masyarakat indonesia bisa menimbulkan berbagai macam permasalahan dari segi hukum hukum seperti keabsahan perkawinan itu sendiri menurut undang-undang perkawinan, karena berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974 perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan, selain itu perkawinan beda agama juga menimbulkan suatu permasalahan yaitu masalah kewarisan terhadap anak yang lahir dari perkawinan beda agama. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai keabsahan perkawinan beda agama menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan juga mengenai kewarisan terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif serta jenis data adalah data primer melalui wawancara dan data sekunder dengan studi dokumen dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang sah, karena berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dari Pasal 2 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa undang-undang perkawinan menyerahkan sahnya suatu perkawinan dari sudut agama, jika suatu agama memperbolehkan perkawinan beda agama maka perkawinan agama boleh dilakukan tetapi jika suatu agama melarang perkawinan beda agama maka melakukan tidak boleh melakukan perkawinan beda agama. dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa setiap agama di Indonesia melarang untuk melakukan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang perkawinan. Serta akibat terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama terkait masalah kewarisan yaitu tidak ada hak kewarisan dari orang yang beda agama sehingga anak yang lahir dari perkawinan beda agama hanya bisa mendapatkan kewarisan memalui wasiat wajibah yang besarnya tidak boleh lebih dari 1/3.

Marriage was a very deep and strong as a liaison between a man and a woman in the form of a family or household. In forming a family is not only necessary but a commitment that was required of religious belief. But in reality in people's lives are often encountered that marriage is not based on one religion, but they are only based on love. The phenomenon of interfaith marriages are prevalent in Indonesia could lead to a wide range of legal issues such as the validity of the marriage law itself by the laws of marriage, because according to Article 2 paragraph (1) of Law No 1 of 1974 legitimate marriage is a marriage performed according to religious laws and beliefs, other than that the marriage of different religions also raises an issue of the issue of inheritance of the children born of the marriage of different religions. Problems discussed in this thesis is about the validity of the marriage of different religions according to Law No. 1 of 1974 and also the inheritance of the children born of the marriage of different religions. The method used in this study is normative juridical and type of data is primary data through interviews and secondary data to study the document and literature studies. The results showed that inter-religious marriages under the Act No. 1 of 1974 is a valid marriage, because according to Article 2 paragraph (1) Marriage Law No. 1 of 1974 legitimate marriage is a marriage conducted according to the laws of each religion and confidence. Of Article 2 paragraph (1) it can be concluded that the law gave a legal marriage marriage from the point of religion, if a religion allows marriage then the marriage of different religions, but religion should be done if a religion forbids the marriage of different religions do not perform interfaith marriages . of the results of research conducted in Indonesia that every religion forbids to perform interfaith marriages. Therefore, marriage is a marriage of different religions that are not valid under the law of marriage. And due to the children born of the marriage of different religions inheritance related issues ie no inheritance rights of people of different religions so that children born of the marriage of different religions can only get the inheritance of wajibah that magnitude will not be more than 1/3."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42529
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Maysaroh Inayyah
"Perjanjian perkawinan merupakan suatu kesepakatan yang dituangkan oleh calon pasangan suami isteri untuk mengatur harta benda yang mereka miliki masing-masing setelah dan selama perkawinan berlangsung. Landasan dari suatu perjanjian perkawinan ialah perkawinan. Oleh karena itu dalam pembuatan perjanjian perkawinan harus dilihat status dari perkawinannya. Permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah, bagaimana keabsahan suatu perjanjian perkawinan yang berlandaskan perkawinan beda agama, sedangkan hukum di Indonesia tidak mengenal jenis perkawinan tersebut. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah analisis data secara kualitatif. Dengan bentuk penelitian yuridis normatif, dan menggunakan jenis data sekunder serta data pendukung data sekunder berupa hasil wawancara dengan Informan. Keabsahan perjanjian perkawinan yang dilandaskan dari perkawinan beda agama jika dipandang dari ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka perjanjian perkawinan tersebut merupakan akta otentik, karena telah sesuai dengan kriteria yang disebutkan dalam ketentuan tersebut. Namun akta perjanjian perkawinan itu tidak dapat disahkan dan batal demi hukum karena perkawinan yang melandasinya melanggar syarat material khusus perkawinan yaitu ketentuan Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dikarenakan perkawinan tersebut mengandung cacat hukum maka berlakulah ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Prenuptial agreement is an agreement entered into by and between prospective husband and wife so as to manage their respective properties during and after their marriage. Basis for the prenuptial agreement is a marriage. Therefore, drafting of a prenuptial agreement shall consider the status of the marriage. This work attempts to study the legality of a prenuptial agreement between prospective husband and wife of different religions since Indonesian laws do not recognize such inter-religion marriage. Method used herein is qualitative data analysis in the form of normative juridical and using secondary data and supporting data thereof in the form of interviews with informan. According to Article 1868 of Indonesia Civil Code, a prenuptial agreement between prospective husband and wife of different religions constitutes an authentic deed as it meets the criteria specified therein. However, deed of prenuptial agreement can not be authenticated and shall be void at law as the inter-religion marriage does not meet the special material requirement as set out in Article 8(f) of Law No. 1/1974 concerning Marriage. As such marriage is legally defective, the provisions of Article 29(2) of Law Number 1/1974 concerning Marriage shall apply."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anangia Annisa Putri Abdurahman
"Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah adanya harta bersama serta hubungan hukum antara orang tua dan anak, dimana orangtua bertanggung jawab untuk memelihara, menjaga, serta mencukupi kebutuhan hak – hak dari anak tersebut. Selain itu akibat hukum dari perkawinan akan menimbulkan status hukum dan hak perwalian terhadap seorang anak. Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan beda agama, maka akan menimbulkan akibat yang sangat berpengaruh terhadap hak dan status hukum anak tersebut. Status anak yang dilahirkan dalam perkawinan beda agama kemudian dapat menimbulkan pertanyaan apakah kedudukannya sebagai anak luar kawin atau anak sah. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan termasuk ke dalam golongan anak luar kawin dalam arti sempit mereka tidak memiliki status dan kedudukan yang sama dalam sebuah hubungan peristiwa hukum antara orang tua dengan anak. Kemudian, apakah hal tersebut juga diperlakukan terhadap keberadaan anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama masih menjadi sebuah pertanyaan. Oleh karena itu, Penulis menggunakan dua rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimana pengaturan mengenai perkawinan beda agama menurut peraturan hukum di Indonesia? 2) Bagaimana analisis pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 410/Pdt.G/2022/PN Mks. terhadap anak akibat perkawinan beda agama? Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif yang datanya dikumpulkan dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan beda agama dapat dilakukan apabila mengajukannya ke Pengadilan dan telah dicatatkannya oleh pegawai catatan sipil sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Kemudian, mengenai perkawinan beda agama, Undang- Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara jelas dan terperinci. Berkaitan dengan anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama, maka dalam hal ini kedudukannya adalah dinyatakan sebagai anak sah dari perkawinan beda agama tersebut dikarenakan secara hukum ketika perkawinan telah dicatatkan dan didaftarkan sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka akibat hukum perkawinan tersebut termasuk terhadap anak dinyatakan sah secara hukum.

One of the legal consequences of marriage is the existence of common property and the legal relationship between parents and children, in which parents are responsible, caring for, and satisfying the needs of the rights of the child. In addition, the legal consequences of marriage will result in the legal status and custody of a child. If the child is born from a marriage of different faiths, it will have a significant impact on the rights and legal status of the child. The status of a child born in a marriage of different religions can then raise the question of whether his status as an out-of-marriage or legal child. Children born from unregistered marriages are included in the group of children outside of marriage in the narrow sense they do not have the same status and position in a legal relationship between parents and children. Then, whether it is also treated against the existence of children born from different religious marriages is still a question. Therefore, the author uses two formulas of the problem, namely: 1) How is the arrangement concerning marriage of different religions according to the laws of Indonesia? 2) How to analyze the judge’s consideration in the Makassar State Court Decision No. 410/Pdt.G/2022/PN Mks. against children due to marriage of different religions? The authors use a juridic-normative research method with a qualitative approach whose data is collected from library studies. The results of the study show that a marriage of different religions can be entered into when it is applied to the Court and has been recorded by a civil register officer as described in the Occupation Administration Act. Then, concerning the marriage of different religions, the Marriage Act and the Book of the Perdata Law are not explained clearly and in detail. Related to children born from marriages of different religions, in this case the position is to be declared as a legal child of a marriage of different religion due to the law when the marriage has been recorded and registered as the provisions of the applicable laws, then as a result of the law such marriage includes against the child declared legal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Tiladaini
"Fenomena perkawinan beda agama di Indonesia dapat menimbulkan masalah dari segi hukum yaitu terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama tersebut. Di Indonesia tidak terdapat aturan yang tegas mengenai perkawinan beda agama. Sebagai perbandingan mengenai pengaturan hukum perkawinan beda agama, Penulis bandingkan dengan negara Malaysia yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakan dan dengan Pendeketan Perbandingan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Di Indonesia, mengenai perkawinan beda agama, dikembalikan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Di Malaysia, terdapat ketentuan mengenai perkawinan beda agama di dalam peraturan perundang-undangan bagi yang beragama Islam dan bagi yang beragama non Islam. Setelah adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dapat dimungkinkan pasangan yang berbeda agama dicatatkan perkawinanya melalui Penetapan Pengadilan. Di Indonesia, pada praktiknya perkawinan beda agama meskipun melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan dapat dicatatkan. Sedangkan di Malaysia, perkawinan beda agama yang melanggar ketentuan perundang-undangan tidak dapat didaftarkan.

The phenomenon of inter religious marriage in Indonesia can cause problems in terms of law that is related to the validity of the inter religious marriage. In Indonesia there are no strict rules regarding to the inter religious marriage. In comparison to the legal arrangement of inter religious marriage, the author compares the Malaysian state with the majority of the population are Muslims. This research used literature research methods and with the Comparative Approach. Data analysis method used qualitative analysis method. In Indonesia, concerning the inter religious marriage, it is returned to the religious law and beliefs in accordance with Article 2 Paragraph 1 of the Act No. 1 of 1974. In Malaysia, there are provisions on inter religious marriage in the legislation for Muslims and for non Muslims. After the existence of Act No. 23 of 2006, it is possible for inter religious marriage couples to register their marriages through the Court Decision. In Indonesia, in practice, inter religious marriage even though violating Article 2 paragraph 1 of the Act No. 1 of 1974 can be registered. While in Malaysia, inter religious marriage that violate statutory provisions can not be registered.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69054
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Fitriana
"Perkawinan beda agama tidak diatur pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sementara dalam praktek, masyarakat berinteraksi membutuhkan suatu aturan untuk menjadi dasar hubungan perkawinan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menjadi sarana untuk mendapatkan penetapan agar perkawinan tersebut di catatkan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah wewenang pengadilan negeri dalam memberi keputusan terhadap permohonan pengesahan perkawinan beda agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan pertimbangan hukum hakim Pengadilan Negeri Bogor dalam memberi keputusan dalam perkara Nomor 527/P/Pdt/2009/PN.Bgr. dan perkara Nomor 111/Pdt.P/2007/PN.Bgr.
Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dan menggunakan analisis kualitatif, dengan tipe penelitian yang bersifat deskriptif-eksplanatoris, serta bentuk penelitian yang preskriptif. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa wewenang Pengadilan Negeri dalam memberi keputusan terhadap permohonan pengesahan perkawinan beda agama sesuai dengan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 yang memungkinkan pencatatan perkawinan beda agama harus melalui penetapan Pengadilan Negeri.
Penetapan hakim yang menolak permohonan pencatatan perkawinan beda agama dalam kasus No. 527/P/Pdt/2009/PN.Bgr., hakim tetap mendasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975. Jadi ketentuan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang memungkinkan pencatatan perkawinan beda agama, tidak mempengaruhi majelis hakim untuk mengabulkan permohonan para pemohon dalam kasus ini. Tetapi dalam kasus No. 111/Pdt./P/2007/PN.Bgr., hakim telah menjadikan ketentuan pasal 35 huruf a sebagai acuan dikabulkannya permohonan pencatatan perkawinan beda agama, disamping para pemohon dianggap sudah tidak lagi mengindahkan prosesi perkawinan menurut agama mereka.

Interfaith marriages are not arranged in the implementation of Law No. 1 of 1974. While in practice, people interact requires a rule to be the basis of marital relationships. With the existence of Law Number 23 Year 2006 be a means to get a determination that the marriage is in please register. As for which are at issue in this study is given authority in the state court decision against interfaith marriage legalization petition after the enactment of Law No. 23 of 2006 and legal considerations in the Bogor District Court judge gave the decision in case Number 527/P/Pdt/2009 / PN.Bgr. and case Number 111/Pdt.P/2007/PN.Bgr.
In this thesis the author uses the juridical-normative research methods and the use of qualitative analysis, with the type of research that is descriptive-explanatory, and prescriptive forms of research. From these results it can be concluded that the authority of the District Court in giving a decision on the application for approval of marriage of different religions in accordance with article 35 letter a of Law Number 23 of 2006 which allows the recording of marriages of different religions must go through the determination of the District Court.
Determination of the judge who rejected the registration of marriages of different religions in the case of No.. 527/P/Pdt/2009/PN.Bgr., Judges continue to rely on the Act No. 1 of 1974 and Government Regulation No. 9 of 1975. So the provisions of Article 35 letter a of Law Number 23 of 2006 which allows the recording of marriages of different religions, did not affect the panel of judges to grant the petition of the petitioner in this case. No. But in the case. 111/Pdt./P/2007/PN.Bgr., The judge has made provisions of section 35 as a reference point a petition is granted registration of marriages of different religions, as well as the applicants are considered no longer heed the marriage procession according to their religion.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29445
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Khalisah
"ABSTRAK
Salah satu cara mencegah konflik dalam perkawinan adalah membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta perkawinan mereka. Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan memberikan batasan dalam membuat perjanjian tersebut, yakni batasan hukum, agama, dan kesusilaan. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut hukum mana yang menjadi rujukan, begitu pula untuk agama dan kesusilaannya. Skripsi ini merupakan penelitian yang bertujuan mengetahui tiga batasan perjanjian perkawinan tersebut di Indonesia. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang didukung hasil wawancara dengan narasumber terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan di Indonesia, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dibatasi oleh hukum hanya tentang harta kekayaan perkawinan saja, dan tidak boleh melanggar ajaran agama dan kesusilaan di daerah masing-masing.

ABSTRACT
One of the ways to prevent conflict in a marriage is to make a marriage agreement. A marriage agreement is an agreement made by a husband and wife to regulate the effect of marriage on their marital property. Article 29 of the Marriage Law provides restrictions on making the agreement, namely legal, religious and moral boundaries. However, there is no further explanation of which law is the reference, as well as for religion and morality. This thesis is a research which aims to find out the three limits of the marriage agreement in Indonesia. The method used in this thesis is juridical normative by examining library materials or secondary data which is supported by interviews with related sources. The results showed that the marriage agreement in Indonesia, which is regulated in the Civil Code, Islamic Law Compilation, and Law No. 1 of 1974 concerning Marriage, is limited by law to only marital assets, and may not violate religious and moral teachings in their respective regions. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adera Sembodotitis
"ABSTRAK
Undang-Undang Perkawinan menyerahkan pengesahan perkawinan kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Mengenai perkawinan beda agama, ada agama yang membolehkan dan ada juga yang melarang. Namun, walaupun sudah jelas diatur oleh agamanya, masih banyak terjadi perkawinan beda agama. Selain itu, dalam Undang-Undang Perkawinan belum jelas dan tegas pengaturan tentang perkawinan beda agama. Salah satu akibat dari adanya perkawinan beda agama, ada pihak-pihak yang ingin membatalkannya. Hal ini menarik untuk dikaji, tentang bagaimana pengaturan masing-masing agama tentang perkawinan beda agama dan apakah pembatalan perkawinan beda agama dapat dilakukan. Dalam skripsi ini, penulis membahas mengenai pengaturan perkawinan beda agama serta pembatalannya oleh pihak ketiga. Untuk mendukung pembahasan, penulis melakukan analisis Putusan Nomor 119/Pdt.G/2015/PN.Sby terkait dengan gugatan pembatalan perkawinan. Untuk menemukan jawaban, Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis agar dapat memecahkan masalah. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan beda agama oleh pihak ketiga dimungkinkan terjadi. Oleh karenanya, sebaiknya menghindari terjadinya perkawinan beda agama, karena akan muncul permasalahan dalam rumah tangga untuk ke depannya, dan tentunya karena dapat dibatalkan.

ABSTRACT
Marriage Law refers to each partys respective religion and belief for its marriage legitimation. Regarding interfaith marriage, some religions will allow and some will forbid. However, even though each religion clearly has its own set of rules, there have been many cases where interfaith marriages occur. Furthermore, there is no clarity in the Marriage Law in its arrangement on interfaith marriage. One of the consequences of an interfaith marriage is there could be a risk of a marriage cancellation by other party. This issue is indeed appealing to be studied, on how the arrangement of each religion regarding interfaith marriage and whether an interfaith marriage cancellation possible. In this thesis, the author discusses interfaith marriages and its cancellations by third parties. To support the discussion, the author conducted a legal analysis of Verdict Number 119/Pdt.G/2015/PN.Sby concerning the lawsuit for marriage cancellation. In order to solve the problem, the method used to facilitate the research for this thesis is normative juridical descriptive analysis. The type of data used in this research is secondary data. From this research, it is concluded that the cancellation of interfaith marriage done by a third party is indeed possible. Therefore, the decision to commit interfaith marriages should be avoided, for in the future there will be problems arise in the household, and surely because it is possible to cancel them."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestariani
"Kesepakatan kedua calon mempelai dalam perkawinan menjadi syarat materil yang sifatnya absolut. Pada kasus diketahui bahwa kesepakatan/janji kawin dapat menjadi faktor terjadinya hubungan seks pra nikah. Hal ini sangat merugikan perempuan terlebih terjadi ingkar janji kawin dari pihak lelaki. Karenanya diperlukan suatu perangkat hukum untuk melindungi perempuan. Namun, apakah peraturan yang mengatur janji kawin telah memberikan perlindungan yang cukup bagi perempuan, apakah ingkar janji kawin telah mendapat pengaturan yang cukup sehingga dapat melindungi perempuan ataukah perlu pengaturan khusus, serta mengapa tindakan ingkar janji kawin dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan bukannya wanprestasi, hal ini menjadi bahasan dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan metoda penelitian lapangan yang bersifat empiris, yaitu identifikasi terhadap hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan (adat) yang terkait janji kawin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan tentang janji kawin dalam Pasal 58 KUHPerdata dan Pasal 11, 12, 13 KHI serta penjelasan Pasal 6 (1) UU Perkawinan telah memberikan perlindungan yang cukup bagi kaum perempuan pada umumnya, yaitu dalam bentuk pencegahan agar perempuan tidak mempercayai janji kawin. Ingkar janji kawin tidak diatur dalam undang-undang, namun dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986, telah cukup untuk dijadikan acuan bagi perempuan yang dirugikan akibat ingkar janji kawin, sehingga tidak diperlukan pengaturan khusus. Ingkar janji kawin termasuk perbuatan melawan hukum karena ingkar janji kawin telah melanggar norma-norma adat dan kesusilaan dalam masyarakat. Sedangkan wanprestasi merupakan suatu bahasan dalam hukum perikatan yang hanya menyangkut keperdataan saja. Namun janji kawin perlu juga diatur secara jelas dalam UU Perkawinan agar dapat diketahui oleh masyarakat luas.

An agreement between two parties (in this case refers to a couple) to get into a marriage has been considered as an absolute material requirement. There is cases in which such an agreement would lead the couple to engage in a pre-marital sexual intercourse, which definitely brings harm more to the woman, and even worse if the agreement were violated by the man. However, is the law regulating the marriage promise has already provided a sufficient protection for the woman? Is the violation of the promise has been well regulated so that it can ensure that the woman victimized is really protected? Is there any need to make a new specific regulation concerning this matter? Why is the violation of this promise considered as a violation against the law, instead of misachievement? Such questions are those to be addressed in this research.
The research applies an empirical field research method, that is, identification on the unwritten law or customary law (traditional law) concerning the promise to a marriage.
The result shows that the jaw concerning this promise in the Article 58 of the Book of Civil Law and the Article 11, 12, and 13 of the Book of Islamic Law, as well as the Article 6 91) of the Law concerning Marriage have already provided a sufficient protection for the women in general, manifested in a prevention for the woman not to trust in such a promise. Such a false promise indeed is not regulated in the law. However, the Supreme Court's Jurisprudence No.3191 R/Pdt/1984 dated February 8th 1986 is considered to be sufficient to be treated as reference for the victimized women on this matter."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>