Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86947 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The technical performance of shallow groundwater irrigation schemes (SGWIS) might be able to be increased, either by improvement of pump operation management, improvement of the conveyance system, or improvement in the technology of irrigation application. The objective of this research is to develop sub-unit hydraulics criteria for designing drip irrigation within SGWIS that can ensure a high level of irrigation efficiency. The sub-unit hydraulics design criteria of drip irrigation have been developed in from of table , nomogram, as well as computer program, with parameters of diameter and length of manifold and lateral pipelines...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R. Surachman
"Pembangunan yang dilaksanakan selama ini, tidak terlepas dari peranan pemerintah yang sangat menonjol sebagai agen pembangunan dengan melaksanakan sendiri kegiatan-kegiatan operasional di berbagai bidang termasuk bidang pengairan. Seluruh pembiayaan pembangunan irigasi, baik pembiayaan investasi maupun pemeliharaan seluruhnya berasal dari Pernerintah khususnya pembangunan di bidang irigasi. Dengan perkataan lain Pemerintah memberikan subsidi yang besar terhadap pembangunan bidang irigasi.
Namun kondisi itu tidak dapat dipertahankan terus menerus, karena pemerintah sejak tahun 1983 dihadapkan kepada kendala anggaran pendapatan (budget constraint). Untuk mengantisipasi kendala tersebut Pemerintah segera melakukan langkah-langkah penghematan. Partisipasi masyarakat terus digali dan dikernbangkan. Kebijaksanaan dalam rangka menggali sumber dana masyarakat tidaklah mudah. Para ahli telah mengemukakan beberapa pemikiran antara lain mengenai Water Pricing, Cost Recovery, Cost Sharing, Built Operate and Transfer, Incentif atau Disentif yang menyangkut jumlah dan kualitas air serta produk pelayanan lainnya yang berasal dari layanan sistem prasarana pengairan dan yang terpenting adalah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang selama ini bersumber dari APBN, Loan dan APBD. Untuk menjawab permasalahan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, Pemerintah dengan bantuan dana dari IBRD dan ADB pada tahun 1987 telah menetapkan serangkaian kebijaksanaan di bidang pembiayaan operasi dan pemeliharaan yaitu antara lain dengan memperkenalkan Iuran Pelayanan irigasi (IPAIR) atau Irrigation Service Fee (ISF) di beberapa Daerah Tingkat II antara lain Kabupaten Daerah Tingkat Il Subang.
IPAIR di Subang telah dilaksanakan sejak tahun 1989. Secara institusi partisipasi masyarakat Petani Pemakai Air melalui P3A telah diatur melalui beberapa perangkat hukum yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1992 tentang luran Pelayanan Irigasi, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1993 tentang Petunjuk Teknis Iuran Pelayanan Irigasi dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 1994 tentang Perencanaan, Penganggaran dan Penatausahaan luran Pelayanan Irigasi.
Untuk mengetahui keberhasilan IPAIR di Subang, perlu dilakukan evaluasi mengenai pelaksanaan IPAIR, hasil yang telah dicapai dan kontribusi IPAIR terhadap pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Most of the existing water gates in Indonesia was made of iron or/and wood. Both materials are relatively easy to rusted , damaged or decayed and also attractive to be stolen. Alternative material and design was needed to overcome this issues. This study aim to design water gates using alternative material rather than iron.i.e GFRP (Glass Fiber Reinforced Plastics). This material has several advantages compared to the other material [such as metal] especially its weight, strength and price. The gate in this study was designed for width of 50 cm and 120 cm. Estimated optimal thickness for these width respectively 12 and 30 mm. Mechanical strength testings were conducted according to the Japanese Industrial standard for flexural strength. Testing conducted on two tipes of samples that have different thicknesses, i.e 12 mm and 30 mm. The average density of sample was 1,5 gr/cm, sample with 12 mm and 30 mm thickness reach fexural strength respectively about 200 kg/cm and 299 kg/cm at 10 mm strain. This result comply mechanical strenght requirement for water gate. Thus, recommended thickness for GFRP water gate was thicker than estimated,i.e was 10 mm for width of 50 am and 20 mm for width of 120 cm. The GFRP water gate with round shape in the bottom has contraction coefcient (c)= 0,951 and a value of dischage coefcient (c) can be determined by C=C {h-w); with ko =15 and K1=0,062"
JUIRIGA
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, R.U. Maruasas
"ABSTRAK
Daerah Bekasi pusat pertanian tanaman pangan dan industri di Jawa Barat. Akan tetapi peran pertanian akan terganggu oleh kehadiran industri, yang mengakibatkan keseimbangan air untuk lahan terganggu. Oleh karena itu, faktor dampak industri yang berakibat pada kualitas irigasi akan diteliti, untuk dikelola bagi pertanian.
Dalam rangka tersebut, pokok penelitian meliputi a) debit dan kualitas air sebagai variabel kualitas irigasi, kebutuhan air dan air limbah sebagai variabel dampak industri, serta dampak kualitas irigasi pada lahan sawah dan produksi sebagai variabel produktivitas lahan, b) korelasi antara kebutuhan air dan air limbah industri dengan kualitas irigasi, c) korelasi antara kualitas irigasi dengan pemberian air untuk lahan. Sehubungan dengan korelasi antara variabel diatas, dirumuskan dua hipotesis sebagai berikut :
1) Penurunan debit air dari sistem irigasi ada korelasinya dengan pemasokan air irigasi untuk industri, jika air limbahnya dibuang ke sistem drainasi.
2) Penurunan pemberian air untuk lahan tidak ada korelasinya dengan penurunan debit air irigasi dari sistem irigasi, jika kebutuhan air untuk industri dipenuhi dari air tanah.
Dengan menggunakan data perkembangan industri, kualitas irigasi dan produktivitas lahan pada MT Gadu dalam kurun waktu 9 tahun (thn 1983-1991), diduga ada korelasi antara kebutuhanair dan air limbah industri dengan perubahan kualitas irigasi. Indikasinya, intensitas tanam 65,5 persen (38.313 ha), produktivitasnya 6,68 ton/ha, pemberian airnya 12,685 m3/det, lahan kurang air 17,2 persen karena debit air irigasi menurun 0,21 persen dari 44.940 m3/det, akibat air limbah industri 56,8 persen dari pemasokan airnya (0,167 m'}/det) dibuang ke sistem drainasi. Kualitas air irigasi khususnya S Bekasi meningkat sebagai dampak Prokasih. Data diungkapkan secara deskriptif dari hasil registrasi instansi terkait.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan sampel air 10 titik sampling termasuk 2 titik sampling limbah industri, 25 unit industri untuk pemasokan airnya dan 21 responden untuk produktivitas lahan (metoda cluster). Pengujian hipotesis dengan analisis statistik, menggunakan variabel kebutuhan air dan air limbah industri, debit air irigasi dan pemberian air untuk lahan.
Hasil analisis data memperlihatkan, 1) Dampak industri pada kualitas irigasi, adalah sebagai akibat pemasokan air untuk industri tersebut dari sistem irigasi yang lebih besar dari air limbah yang dialirkan ke sistem tersebut, sehingga debit air irigasi menurun (0,21 persen) dan kualitas air S Bekasi menurun (2,6 persen) (non significant); 2) Dampak kualitas irigasi pada produktivitas lahan, sebagai akibat penurunan debit air irigasi (1,51 persen) hingga pemberian air untuk lahan menurun (significant). Akibatnya, lahan kurang air (27,9 persen) dan produktivitas lahan menurun (12,3 persen).
Air limbah sebagai faktor dampak industri diharapkan dapat dimanfaatkan lagi dan diprioritaskan untuk dikelola dengan baik agar memenuhi sebagai air irigasi namum pelaksanaannya relatif sulit. Dampak lebih jauh swasembada pangan dan kebutuhan air wilayah Barat akan terganggu, karena peruntukan air untuk industri meningkat menjadi 5,2 m3/det. Diversifikasi tanaman tahunan hemat air berpeluang, untuk mempertahankan kualitas irigasi dan swasembada pangan, tetapi timbal tantangan karena produknya berbeda dengan beras.
Kesimpulan yang diberikan, akibat air limbah industri yang cenderung dibuang ke sistem drainase adalah terjadinya penurunan kualitas irigasi (debit dan kualitas airnya). Akibatnya pemberian air untuk lahan menurun, swasembada pangan dan kebutuhan air wilayah Barat terganggu. Diversifikasi tanaman tahunan hemat air berpeluang, untuk mengatasi masalah kualitas irigasi dan swasembada pangan, hanya kualitasproduknya perlu disesuaikan agar setara dengan beras.

ABSTRACT
Bekasi region is the center of food crops agriculture and industry in West-Java. The agriculture role will be disturbed with the presence of industry and which is also important for the regional economy, due to the disturbance of the water balance for land plots. Therefore, the factor of the industry impact on the quality of irrigation will be surveyed, in order to be able to be managed for irrigation (agriculture).
In said frame, the priority of research shall cover : a) the discharge and quality of water as a variable of irrigation quality, the requirement of water and waste water as a variable industrial impact and the impact on the irrigation quality on rice fields and production as a variable of the land plot's productivity, b) the correlation between the requirement of water and industrial waste water with the irrigation quality, c) the correlation between the quality of irrigation with the discharge of water for land plots. In relation to the correlation between the variables above, two hypothesis are formulates as follows :
1) The declination of the water discharge of irrigation has its correlation with the supply of the water for the industry of the irrigation system, if its waste water to be disposed to the drainage system,
2) The decrease of the water supply for the land plots has no correlation with the decline of the irrigation water discharge of the irrigation system, if the need of water for the industry is fulfilled from ground water.
By using the industrial development data, the irrigation quality and land productivity at MT Gadu in the duration of 9 (nine) years (year 1983-1991), at is guessed that there is a correlation between the need of water and industrial waste water and the change of the irrigation quality.
Its indication comprises the intensity of planting 65.5 percent (38,313 ha), its productivity : 6.68 ton/ha, the discharge of its water : 12.685 m3/sec, land plots with insufficient water : 17.2 percent as the irrigation water discharge decreases with 0.21 percent of 44.940 m3/sec, consequence of industrial waste water : 56.8 percent of itswater supply (0.167 m3/sec) is disposed to the drainage system. The quality of the irrigation water particularly Bekasi river increases as the impact of Prokasih (Clean River Program). The data are revealed descriptively based on the results of registration of linked government agencies.
The collection of data shall be conducted with the sampling of 10 points of water samplings including the 2 points of industrial waste samplings, 25 industrial units for the supply of its water and 21 respondents for the land productivity (cluster method). The testing of the hypothesis with the statistic analysis, uses variables on the requirement of water and industrial waste water, irrigation water discharge and the discharge of water for the land plots.
The results on analysis of data shows, 1) The industrial impact on the irrigation quality is as the consequence of the water supply for said industry of the irrigation system which is larger than a waste water which is discharged to said system, so that the irrigation water discharge -decreases of (0.21 percent) and the quality of the water of Bekasi River declines (2.6 percent) (non significant) ; 2) The impact of the quality of irrigation on the productivity of land plots, as the consequence of the decrease of the water discharge of irrigation (1.51 percent) so that the discharge of water for land plots declines (significant). The consequence thereof is that the land plots with insufficient water (27.9 percent) and the productivity of land plots decreases (12.3 percent).
Waste water as the factor of industrial impact is expected to be able to be made use of and priority is given to be managed well in order to fulfill the purpose as irrigation water butits implementation is relatively difficult. The further impact of self-supporting food and the need of water for the Western territory will be disturbed, because of the allocation of water for industry increases to 5.2 m3/sec. The diversification of annual plants which do not require much water shall have the opportunity to maintain the irrigation quality and self-supporting on food, but challenge will arise as its production differs from rice.
The conclusion given, that the consequence of industrial waste water which has the tendency to be discharged into the drainage system shall be the decrease of the quality of irrigation (its water discharge and quality). The consequence thereof is that the discharge of water for land plots decreases, the self-supporting of food and the need of water for the Western territory becomes disturbed. The diversification of annual plants which do not need much water shall have the opportunity to overcome the problem of the quality of irrigation and the self-supporting of food, only the quality of its production should be adjusted in order that it is equal to rice.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Up to Indonesia has already developed irrigation more and less 7.4 million Ha, covering more and less 17,500 irrigation service area consist of small and large one...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Setiawan
"Pertanian, sebagai mata pencaharian utama dalam kehidupan manusia, telah mengalami suatu proses perkembangan yang cukup panjang. Penemuan kepandaian bercocok tanam atau pertanian merupakan suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, bahkan sering kali peristiwa itu disebut sebagai suatu "revolusi" dalam peradaban umat manusia (Gordon Childe, 1953). Masa ini amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan mulai dipelihara, cara untuk memanfaatkan hutan belukar dengan menebang dan membakar pohon-pohon serta pemanfaatan lahan pertanian mulai dikembangkan, sehingga tercipta ladang-ladang dan persawahan yang memberi hasil-hasil pertanian (Soejono, 1975 : 153)
Namun demikian, hingga saat ini para ahli masih sulit menentukan kapan sesungguhnya manusia mulai melakukan kegiatan bercocok tanam atau pertanian tersebut. Sehubungan dengan hal itu, Koentjaraningrat.mengemukakan : "sejak makhluk manusia timbul di muka bumi ini kira-kira 2.000.000 tahun yang lalu, ia hidup dari berburu, sedangkan baru kira-kira 10.000 tahun yang lalu ia mulai menemukan bercocok tanam. Tentu sekarang timbul suatu pertanyaan yang amat menarik, ialah : di manakah di muka bumi timbul revolusi kebudayaan yang merobah pola hidup itu ? Soal asal mula bercocok tanam hanya bisa menjadi lapangan untuk berbagai dugaan dan spekulasi yang sebenarnya sukar dibuktikan dengan nyata. Rupa-rupanya bercocok tanam tidak terjadi sekonyong-konyong, tetapi kepandaian itu timbul berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia. Mungkin usaha percocok tanam yang pertama mulai dengan aktivitas mempertahankan tumbuh-tumbuhan di tempat-tempat yang tertentu, terhadap serangan binatang-binatang, atau membersihkannya dari rumput-rumputan yang merusak. Dalam pekerjaan ini, manusia tentu mudah dapat mengobservasi bagaimana misalnya biji yang jatuh dapat tumbuh lagi, atau mendapatkan bagaimana potongan batang singkong misalnya dapat menjadi tumbuh-tumbuhan baru apabila ditancapkan di tanah, dan sebagainya. Demikianlah dapat dibuat berbagai teori yang mencoba menjawab soal bagaimana manusia itu untuk pertama kali mulai bercocok tanam, tanpa dapat dibuktikan (1974 : 37)
Kelompok masyarakat yang hidup dari bercocok tanam, biasanya tinggal di dalam lingkungan alam yang memiliki curah hujan yang cukup, sehingga menjamin kelangsungan tanam-tanaman. Selain itu, daerah-daerah yang didiami oleh masyarakat ini terdiri dari areal hutan lebat, tanahnya basah, dan mungkin pula berawa,-rawa, dan masyarakat yang demikian biasanya memiliki pola perkampungan yang bersifat menetap. Untuk kelangsungan hidupnya, mereka melakukan kegiatan bercocok tanam, yaitu menanam berbagai jenis tanam-tanaman, dan salah satu diantaranya adalah padi.
Padi, merupakan tanaman pertanian kuno yang sampai sekarang menjadi tanaman utama di Asia Tenggara. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa padi telah dibudidayakan oleh masyarakat petani1 sejak lama. Beberapa daerah yang diduga menjadi daerah asal tanaman padi adalah India utara bagian timur, Bangladesh utara, Burma, Thailand, Vietnam dan Cina bagian selatan (Chang, 1976). Hasil penelitian Chang juga menunjukkan bahwa padi telah dibudidayakan di Asia sejak masa Neolitik, yaitu 5000 SM.
Kebudayaan bercocok tanam padi menurut Bellwood (1985 : 119 - 121) dibawa oleh para migran dari Asia Tenggara bagian utara, yang dulunya mendiami daerah sekitar pulau Formosa dan kepulauan Filipina bagian barat. Mereka bermigrasi ke selatan, akhirnya tinggal menetap di kepulauan nusantara2, menularkan ke budaya mereka dan..."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A research of river water quality for irrigation purposes was conducted in West Java-Indonesia. Water samples from seven rivers and fourteen locations were taken and analyzed in the field and laboratory."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wili Andri Utama
"Irigasi mempunyai peran vital, karena berfungsi sebagai penyediaan air untuk lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Untuk merancang saluran irigasi, perencanaan yang matang sangat diperlukan supaya tujuan pembuatan saluran tercapai. Namun di lain pihak, pada pelaksanaan proyek konstruksi di Indonesia secara umum jumlah kecelakaan kerja juga meningkat. Merujuk data Badan Penyelenggara Jasa Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, secara nasional angka kecelakaan kerja sektor konstruksi tercatat sebagai sektor terbanyak nasional angka kecelakaan kerja. Peraturan dan ketentuan tentang pembiayaan K3 yang ada di Indonesia belum diatur secara jelas dan terukur. Peraturan yang ada mengenai pembiayaan K3 diatur di tiga peraturan yaitu, Peraturan Menteri No. 31 Tahun 2015, Surat Edaran Menteri PUPR No. 66 Tahun 2015, Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2016 serta yang terakhir Surat Edaran Menteri PUPR No. 11 Tahun 2019. Menurut Cooper dan Kaplan (1992), perhitungan biaya berbasis aktivitas telah muncul sebagai pendekatan baru yang menghubungkan biaya yang terkait langsung dengan kegiatan bisnis dengan produk manufaktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi risiko apa saja yang berpotensi bahaya pada pekerjaan irigasi, pembuatan safety plan dengan menggunakan standar WBS berbasis risiko, dan hasil dari peneltian ini dapat membuat analisa struktur biaya K3 untuk pekerjaan irigasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis deskriptif. Data Primer diperoleh dengan melakukan survey kepada para pakar dan responden. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jatuh dari ketinggian merupakan potensi bahaya dengan nilai risiko tertinggi pada proyek Saluran/Irigasi. Pengendalian yang dilakukan dengan pengendalian administratif, penggunaan APD serta APK dengan Komponen Biaya K3 Umum dan Khusus. Dari hasil perhitungan biaya K3 berbasis WBS pada 2 proyek, diperoleh rata-rata sebesar 0.862% dimana persentase tersebut masih sesuai dengan kebijakan beberapa BUMN Konstruksi.

Irrigation have a vital role, because serves the provision of water for agricultural, plantation and fisheries lands. To design irrigation channels, careful planning is needed so that the goal of making the channel is achieved. But on the other hand, the implementation of construction projects in Indonesia in general the number of work accidents also increased. Referring to the data from the Social Services Provider Agency (BPJS), nationally the number of work accident accidents in the construction sector was recorded as the national sector with the highest number of occupational accidents. The regulations and provisions regarding HSE financing in Indonesia have not been clearly and measurably regulated. Existing regulations regarding HSE financing are regulated in three regulations, namely, Ministerial Regulation No. 31 of 2015, Circular of the Minister of Public Works and Public Housing No. 66 of 2015, the Minister of Public Works and Public Housing Regulation No. 28 of 2016, and the last in Circular of the Minister of Public Works and Public Housing No. 11 of 2019. According to Cooper and Kaplan (1992), Activity-Based Costing (ABC) has emerged as a new approach that connects costs directly related to business activities with manufactured products. This study aims to identify any risks that are potentially hazardous in irrigation work, making a safety plan using risk-based WBS standards, and the results of this research can make Analysis cost of safety for irrigation works. This research uses a qualitative approach and descriptive analysis. Primary data is obtained by conducting surveys of experts and respondents. Based on the results of the study it was found that falling from a height is a potential hazard with the highest risk value in the Irrigation/Channel project. Controlling proceed by administrative controls, the use of PPE as well as GER with General and Special OSH Cost Components. From the results of WBS-based OSH cost calculations on 2 projects, an average of 0.862% was obtained where the percentage is still in accordance with the policies of several Construction SOEs."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Plant productivity is determined by watercontent management in the root zone with respect irrigation. A proper irrigation or irrigation scheduling requires a program which questions of when to irrigate, how much water at apply and what best method to apply the water. A way to calculate the amounts of water available and required for supplemental irrigation is to analyse the water balance. The principal of water balance analysis is the total water additions (from all source) must equal the total water losses. soil water must be maintained at the range of available for plant. Information about water balance components in the root zone will assist in decision making leading to improvement of irrigation efficiency. The water balance approach to irrigation scheduling choses a strarting point total soil water in the root zone. Then the water balance equation is solved on a daily basis, considering the amounts of water that move into and out of the root zone for that day. Actual readings of soil water using gravimetric soil water sampling or a calibrated soil-monitoruing device such as a neutron probe, time domain reflectometry, or transiometers should be taken to calibrate the estimated balance."
JUIRIGA
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hansen, Vaughn E.
Jakarta: Erlangga, 1986
631.7 HAN it (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>