Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25084 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prajna Wisakha
"Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kelangsungan perekonomian. Ditinjau dari jenisnya, bank di Indonesia terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank dalam menjalankan usahanya, tidak lepas dari ancaman terjadinya tindak pidana pencucian uang (money laundering), termasuk juga BPR yang merupakan lembaga keuangan mikro. Tujuan dari pencucian uang adalah agar uang yang diperoleh secara ilegal dapat berubah statusnya seolah-olah menjadi uang yang legal sehingga uang hasil tindak kejahatan tersebut akan sulit dilacak keberadaannya oleh aparat penegak hukum. Sejalan dengan kompleksitas kegiatan pencucian uang, Indonesia telah mendirikan sebuah lembaga khusus yang independen yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menangani masalah pencucian uang dan berfungsi mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperolehnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) bagi Bank Perkreditan Rakyat. Terkait masalah pencucian uang, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undangundang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Namun dalam mengimplementasikan UU TPPU ini, BPR masih menemui berbagai masalah, baik secara intern maupun ektern, yang berarti akan menghambat penerapan undang-undang tersebut sekaligus menghambat kesehatan dan perkembangan BPR itu sendiri. Dengan latar belakang tersebut, maka timbul permasalahan yaitu bagaimana implementasi UU TPPU oleh BPR, dan kendala yang dihadapi berkenaan dengan hal tersebut beserta cara penanggulangannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan bersumber pada data sekunder dan data primer berupa wawancara dengan narasumber, baik dengan menganalisis bahan hukum primer yang berupa undang-undang dan peraturan pendukung lainnya, serta bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, dan dilengkapi dengan hasil wawancara dengan Direktur BPR ?ABC? dan Deputi Direktur Bidang Pengawasan BPR pada Bank Indonesia.

Bank is one of the financial institutions that have very important role in the survival of economy. Viewed from the type, the Indonesian bank consists of 2 (two) types of commercial bank and rural bank. Bank in the operations, not free from the threat of money laundering, including rural bank, which is micro-finance institutions. The purpose of money laundering is that the money was obtained illegally can change its status as if the money is legal so that the proceeds of crime will be difficult to trace its existence by law enforcement officers. In line with the complexity of money laundering activities, Indonesia has established a special independent agency of the Central Financial Transaction Reports and Analysis (INTRAC), which handles the problem of money laundering and serves to collect, analyze and evaluate information that is available. In this regard, Bank of Indonesia has issued Bank Indonesia Regulation (PBI) No. 5/23/PBI/2003 on the Implementation of Know Your Customer Principle for rural bank. Related to the problems of money laundering, the Indonesian government has issued Act No. 15 of 2002 as amended by Act No. 25 of 2003 concerning of Money Laundering. However, in implementing the Money Laundering Act, the rural bank is still encountering many problems, both internal and external, which means it will hamper the implementation of the laws as well as inhibit the health and development of rural bank itself. With this background, cause the problems: how to implement Money Laundering Act by rural bank, obstacles encountered to these things and how to overcome with it. The research method used in this thesis is a normative juridical approach by using secondary data and interviews, either by analyzing the primary legal materials in the form of law and regulations of other supports, as well as secondary legal materials in the form of books and equipped with the results of interviews with Director of rural bank ?ABC? and Deputy Director Directorate of Credit, Rural Bank and MSME at the Bank of Indonesia. Data collection tool used herein is in the form of document study with qualitative data analysis as the analysis method."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27400
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Atin Sri Pujiastuti
"Penelitian ini berfokus pada implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilaksanakan oleh Bank X. Disini, penulis mendeskripsikan dan menganalisa kepatuhan penerapan peraturan-peraturan mengenai TPPU yang dilaksanakan oleh Bank X guna mencegah dan memberantas TPPU. Peneliti berusaha mencari tahu hambatan-hambatan yang muncul dalam melaksanakan implementasi Undang-Undang tersebut serta strategi apa saja yang digunakan untuk mengatasi kendala tersebut.
Hasil penelitian menggambarkan adanya kepatuhan penerapan Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan TPPU yang dilaksanakan oleh Bank X. Kepatuhan tersebut meliputi kepatuhan dalam penerapan CDD, Penerapan program pelatihan berkelanjutan mengenai Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT), Kepatuhan meratifikasi UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, Kepatuhan penerapan Unit Kerja Khusus.
Penulis juga menemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh Bank X yakni kendala internal dan kendala eksternal. Kendala Internal yang dihadapi adalah Keterbatasan SDM tersebut terdapat pada Kantor Cabang Bank X dimana tidak memiliki unit kerja khusus tetapi Independent Unit karyawan Bank yang merangkap tugas dan perannya sebagai unit kerja khusus. Padahal, berdasarkan aturan PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum mewajibkan setiap Bank memiliki unit kerja khusus dan memiliki:1) pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau 2) pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT.
Selanjutnya, kendala eksternal yakni terbatasnya tenaga pengawas bank Indonesia., terbatasnya tenaga pengawas PPATK, banyaknya jenis pelapor yang harus diawasi oleh PPATK meliputi 21 jenis Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan 5 jenis Penyedia Barang/Jasa, treatment pengawasan yang disesuaikan dengan kondisi pelapor baik PJK maupun Penyedia Barang/Jasa. Ketiga, Kurangnya cooperative nasabah/calon nasabah dalam memberikan informasi yang benar serta melengkapi sejumlah dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

This research focuses on the implementation of the ACT on the prevention and eradication of the crime of money laundering (TPPU) implemented by the ?X? Bank . here, the author describes and analyzes the compliance of implementing the rules about TPPU implemented by the ?X? Bank in order to prevent and eradicate TPPU. Researchers are trying to figure out the obstacles that appear in the implementation of the ACT and what are the strategies used to overcome these barriers.
Results of the study has described about the existence of compliance in the application of the prevention and eradication ACT (TPPU) implemented by the ?X? Bank. This compliance includes the implementation of CDD, implementation of sustainable training programmes on Anti-money laundering and Terrorism Funding Prevention (APU/PPT), compliance to ratify the ACT of TPPU, compliance of application of special work unit. The author also find some obstacle faced by the ?X? Bank that is internal and external constraints.
The internal constraints that faced is the limited human resource at the branch office of the ?X? Bank which is hasn?t special work unit but independent unit of Bank employee that work doubles at their task and role as a special work unit.
Furthermore, external constraint is the limited supervisory labour of the main Bank og Indonesia (BI), limited supervisory labour of the Central reporting and analysis of financial transactions (PPATK). The excessive number of reporters who must be supervised by the ppatk include 21 kinds of financial Service Providers (PJK) and 5 types of goods/services providers. The last is obstacle from the customer that lack of cooperative in providing true information as well as a willingness in case to complete a number of documents in accordance with the valid regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T39213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Gani Jaya
"Kejahatan kerah putih (white color crime), layaknya dunia bisnis, sudah tidak lagi mengenal batas negara. Bahkan uang hasil kejahatan dari sebuah negara dapat ditransfer ke negara lain dan diinvestasikan ke dalam berbagai bisnis yang sah. Kegiatan ini disebut sebagai praktik pencucian uang (money laundering). Dengan dimungkinkannya praktik pencucian uang maka memberi peluang bagi pelaku kejahatan untuk terus melakukan tindakan kejahatannya. Untuk mencegah ini maka setiap negara diharapkan mempunyai aturan yang melarang uang hasil kejahatan untuk ditanamkan di berbagai bidang usaha yang sah. Indonesia menjadi salah satu negara yang dari para pelaku kejahatan kerah putih untuk melakukan pencucian uang. Hal ini disebabkari karena pertama, Indonesia selama ini belum memiliki ketentuan yang mengatur larangan bank atau pelaku bisnis untuk menerima uang hasil kejahatan. Tidak ada ketentuan yang membolehkan pelacakan dari mana uang tersebut diperoleh tetapi justru memiliki sistem kerahasiaan perbankan yang ketat, dan kedua, para pelaku kejahatan melihat banyaknya peluang bisnis yang sah yang mereka dapat masuki. Apalagi dengan keterpurukan perekonornian Indonesia belakangan ini dan kebutuhan Indonesia untuk mendatangkan investor asing yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dimasuki. Praktik kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan institusi perbankan dan proses pencucian uang ini dilakukan melalui tiga fase, yaitu: placement, layering, dan integration. Fase pertama, placement, dimana pemilik uang tersebut menempatkan dana haramnya ke dalam sistem keuangan (financial system), melalui bank. Dan satu bank kemudian dipindahkan ke bank yang lain (acount to acount}, dan dari satu negara ke negara yang lain (state to state) maka uang haram tersebut telah menjadi bagian dalam satu jaringan keuangan global (global finance). Dengan demikian bank merupakan pintu utama dari fase pertama tindak kejahatan money laundering. Fase kedua, layering, dimana pemilik dana telah memecah uang haramnya ke dalam beberapa rekening dan antar negara. Hal dilakukan untuk menghindari kecurigaan otoritas moneter mengenai jumlah uang yang demikian besar menjadi beberapa rekening dengan nilai nominal yang relatif, tidak mencurigakan juga diatasnamakan beberapa nasabah yang tidak saling mengenal satu sama lain. Pemecahan ke dalam beberapa lapis nasabah melalui beberapa lapis rekening antarbank antarnegara maka tindakan ini disebut pelapisan dengan maksud menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul dana tersebut. Fase ketiga integration, dilakukan setelah proses layering berhasil mencuci uang haram tersebut menjadi uang bersih (clean money), untuk selanjutnya dapat digunakan dalam kegiatan bisnis atau kegiatan membiayai organisasi kejahatan (crime organization) yang mengendalikan uang tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T17285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Indra Junardi
"Penerbitan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 23. Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ternyata belum dapat membatasi ruang gerak peredaran uang haram melalui perbankan yang beroperasi di Indonesia, namun disamping itu juga berdampak positif dan negatif terhadap Penanaman Modal Asing. Semua pihak masih pesimis apakah undang-undang ini akan mampu mengurangi praktik pencucian uang di Indonesia. Pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah apa hubungan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.25 Tahun 2003 dengan PMA di Indonesia, dan apa yang menjadi dampak Positif dan Negatif dari pemberlakuan Undang-Undang anti Money Laundering terhadap Penanaman Modal Asing, dan bagaimana cara memecahkan masalah tersebut. Tujuan penulisan ini adalah: mencoba untuk memberikan data dan analisa tentang investasi oleh Penanaman Modal Asing di Indonesia; bagaimana upaya untuk mempertahankan dan menarik Penanaman Modal Asing di Indonesia. Penulisan ini dilakukan dengan metode penelitian yang bertitik tolak pada penulisan secara desktiptif analitis. Data yang diperoleh meliputi literature hukum, data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), data dari BPS, pendapat ahli hukum yang ditulis dalam Koran ataupun buku serta peraturan perundang¬undangan yang berkaitan dengan masalah Tindak Pidana Pencucian Uang dan wawancara langsung dengan narasumber di BKPM. Penanggulangan dampak negatif UU Money Laundry yaitu dengan menjaga investasi asing yang ada dan menarik investasi asing yang baru dengan melaksanakan kebijakan yang menyeluruh, menjamin para investor yang menanamkan modal, membangun hubungan yang baik dengan investor, memberikan jaminan keamanan, dan menetapkan kebijakan moneter yang menjamin kestabilan mata uang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irham Hanif
"Kemajuan tekhnologi, semakin mempermudah akses manusia dalam melakukan interaksi antar sesamanaya, sehingga dunia tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat "berjarak" dan "besar". Hal ini berdampak kepada kegiatan pencucian uang yang bisa dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dan mempunyai jangkauan yang sangat luas dalam peredarannya. Kegiatan pencucian uang ini memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat karena selain tergolong pada financial crime, pencucian uang juga melibatkan banyak pihak, sehingga perlu ditangani secara khusus. Dengan adanya aturan tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (UU Nomor 8 Tahun 2010) diharap bisa menanggulangi tindak pidana pencucian uang sesegera mungkin.Adanya paradigma baru dalam penanganan tindak pidana pencucian uang yakni follow the money and follow the suspect menjadi suatu terobosan dalam menangani tindak pidana lain yang berhubungan dengan pencucian uang.
Tesis ini membahas mekanisme dan problematika yang muncul terkait penelusuran aset yang diduga merupakan bagian dari tindak pidana pencucian uang. Mekanisme penelusuran aset, masih didominasi oleh PPATK yang bekerjasama dengan penyidik. PPATK melakukan mekanisme penelusuran aset yang berasal dari laporan-laporan yang diterima oleh PPATK dan menganalisa laporan tersebut menjadi Laporan Hasil Analisa, dan laporan hasil analisis PPATK ini yang dijadikan penyidik acuan awal dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang.
Permasalahan yang paling utama dalam mekanisme penelusuran aset adalah bila pihak penyedia jasa keuangan menolak melapor kepada PPATK, karena dalam mekanisme penelusuran aset ini masih didominasi berdasarkan laporan yang diberikan penyedia jasa keuangan kepada PPATK. Hasil penelitian menyarankan perlu adanya penambahan kewenangan yang dimiliki oleh PPATK untuk bisa memberikan sanksi kepada pihak penyedia jasa keuangan agar nantinya PPATK dapat memberikan upaya paksa terhadap penyedia jasa keuangan yang tidak mau melapor.

Technological advances, more and easier access to the interaction between humans, so that the world no longer be something really distance and large. This affected the money laundering activity that can be done in a relatively short time and have a very wide range in the circulation. The money laundering activities have a great impact on the community because in addition to belonging to financial crime, money laundering involves many parties, so that needs to be addressed. With the rules on the prevention and combating of money laundering (Law No. 8 of 2010) is expected to tackle money laundering as soon as possible. A new paradigm in handling money laundering that follow the money and follow the suspect to be a breakthrough in dealing with other offenses related to money laundering.
This thesis discusses the mechanisms and the problems that arise related to asset tracking is part of the alleged money laundering. Asset tracking mechanism, is still dominated by PPATK in collaboration with investigators. PPATK perform asset tracking mechanism derived from reports received by PPATK and analyze the report become Report Results Analysis, PPATK analysis report is used as the starting point in the process of investigating money laundering investigation.
The most important problem in tracking mechanism when the asset is a financial services provider refused to report to the PPATK, because the search mechanism of this asset is dominated by the reports given financial services provider to the PPATK. The results suggest the need for additional authority possessed by PPATK to be able to impose sanctions on the financial services provider, so that later PPATK can provide forceful measures against financial service providers who do not want to report.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35451
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Rahayu
"Pentingnya kewajiban pelaporan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris berupa studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber. Penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan: Bagaimana pengenaaan sanksi administratif bagi bank yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? Bilamana bank sebagai penyedia jasa keuangan yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dikenakan sanksi pidana karena melakukan tindak pidana pencucian uang? dan Apakah kendala yang dihadapi PPATK untuk menarik bank sebagai penyedia jasa keuangan sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang?
Dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (4) UU TPPU jo Pasal 30 ayat (1) UU TPPU, pengenaan sanksi administratif bagi bank yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan baik berdasarkan hasil pengawasan kepatuhan yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun oleh PPATK dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang. Selanjutnya, jika terdapat indikasi tindakan pencucian uang, harusnya bank dapat pula dikenakan sanksi pidana oleh penegak hukum.
Namun dalam pelaksanaannya PPATK memiliki beberapa kendala untuk menarik bank sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana Pencucian Uang. Kendala pertama adalah regulasi yang dibuat lebih mementingkan bank taat pada sistem dan prosedur sehingga pengenaan sanksi pidana akan menjadi pilihan terakhir serta masih kurang jelas dan tegasnya aturan pelaksanaan dalam pengenaan sanksi. Kendala kedua adalah belum adanya kesatuan pandangan organisasi yang menegakan hukum mengenai kapan bank terindikasi tindak pidana pencucian uang. Kendala ketiga adalah budaya masyarakat perbankan yang memiliki kepentingan bisnis sedapat mungkin tidak ingin terganggu karena pelaporan kepada PPATK.

The importance of reporting obligation is stated in Law Number 8 Year 2010 concerning the Prevention and Eradication of Money Laundering. The research was conducted by using empirical juridical research method with literature study and interview. The research aims to answer some questions: How does the imposition of administrative sanctions for banks that do not implement the reporting obligations based on The Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering? what If a bank as a financial service provider that does not implement the reporting obligations based on the Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering can be gotten penalties or may be imposed for a criminal offense of money laundering? and what’s the obstacle will faced by PPATK to attract banks as financial service providers as those involved in money laundering?
In the regime of anti-money laundering in Indonesia, under the provisions of Article 25 paragraph (4) in conjunction with Article 30 paragraph (1) based on The Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering, imposition of administrative sanctions for banks which do not obey on duty reporting based on results of compliance monitoring conducted by Bank of Indonesia in spite of PPATK, in this case Bank of Indonesia as the competent authority. Furthermore, if there are any indications of money laundering, the bank should also be sanctioned by criminal law enforcement.
But in practice, PPATK has some obstacles to attract banks as parties to the crime of Money Laundering. Firstly, the regulation was created more consider important banks to obedient to the systems and procedures, so that the imposition of criminal sanctions would be the last option as well as still less clear and explicit of rules to implementation the sanctions. Secondly, the same view of organization in law enforcement about when the banks do not implement the reporting obligation it can be subjected to criminal sanctions. Thirdly, the bank users do not want the disruption of the bank for reporting to PPATK.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Pratomo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia dan menjelaskan hambatanhambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia serta solusi penanggulangan dari faktor-faktor yang menghambat aparat penegak hukum dalam mengungkapkan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan kerahasiaan bank. Karena dari sini dapat diketahui sampai sejauh mana PPATK sebagai lembaga yang berwenang melakukan kinerja serta hambatan dalam menjalani tugasnya.
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam karya tulis ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif. Penelitian ini bersifat deskriptik-analitik, yaitu memaparkan secara lengkap gambaran tentang tindak pidana money laundering dan penerapannya, hubungannya dilapangan yang ditinjau dengan ketentuan kerahasiaan bank, hambatan-hambatan dan penanggulangannya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap hal tersebut dengan menggunakan teknik analisis data nonstatistik dengan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis, dapat diperoleh kesimpulan bahwa dengan adanya ketentuan rahasia bank, kepentingan antara nasabah dan bank dapat terlindungi. Di satu sisi, rahasia bank merupakan hal yang wajib dilakukan oleh bank dengan menggunakan prinsip Know Your Customer (KYC) dan hal ini merupakan prinsip yang sangat mendukung dan hal terpenting bank dalam melakukan kegiatan usaha. Pada sisi yang lain, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga merupakan peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh pihak penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tersangka-terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal ini, kelemahan peraturan mengenai rahasia bank sudah bisa ditanggulangi dengan adanya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, misalnya dengan adanya kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang istimewa dalam menerobos rahasia bank dan memberkan laporan tentang dugaan rekening berindikasi terhadap pencucian uang. Akan tetapi penerapan di lapangan masih terjadi penafsiran hukum yang berbeda antara pihak bank dengan penyidik, dengan kurangnya data yang diberikan sehingga menimbulkan ambiguitas dan koordinasi yang tidak jelas dilapangan, terutama masalah birokrasi dalam pengungkapan dan penanganan kasus yag dibawa ke pengadilan.
Implikasi penelitian ini di lapangan terutama dalam aspek penegakan hukum bagi pihak penyidik yaitu dengan meminta kepada tersangka atau terdakwa untuk memberikan kuasanya kepada polisi agar dapat menembus ketentuan rahasia bank dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil langkah yang tercepat, dengan mengingat birokrasi yang sangat ketat untuk mengajukan izin pembukaan rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Waktu pemberian izin membuka rahasia bank yang diberikan Gubernur Bank Indonesia adalah 14 (empat belas) hari, sementara teknologi yang sangat maju dapat menguntungkan tersangka atau terdakwa untuk memindahkan rekeningnya ke tempat lain hanya dalam hitungan menit. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya informasi atau bukti-bukti yang diperlukan oleh polisi untuk memproses tindak pidana tersebut.

This study aims to determine the application of bank secrecy against money laundering (money laundering) in Indonesia and describes the obstacles that arise in the application of bank secrecy against money laundering (money laundering) in Indonesia as well as mitigation solutions of the factors that hinder enforcement the law in revealing money laundering related to bank secrecy. Because from here it can be seen to what extent INTRAC as an institution that is authorized to exercise performance as well as obstacles in undergoing his job.
This type of research used in this paper the author is the legal research doctrinal / normative. This study is descriptive-analytic, which describes a complete picture of criminal money laundering and its application, its relationship in the field who reviewed with the provisions of bank secrecy, obstacles and overcome them. Types of data used are secondary data. Data collection techniques used, namely through the study of literature, for further analysis on the issue by using data analysis techniques non statistic with a qualitative approach.
Based on the analysis has been done writer, can be obtained the conclusion that the existence of bank secrecy provisions, between the customer and the bank's interests can be protected. On the one hand, bank secrecy is something that must be done by the bank using the principle of Know Your Customer (KYC) and this is a rinciple that is very supportive and most important banks in conducting business. On the other hand, the Act Money Laundering is also the rule of law must be upheld by the investigating authorities in the investigation and the investigation of suspects, accused of money laundering.
In this case, the weakness of bank secrecy regulations can be addressed by the Act Money Laundering, for example, by the authority of the Center for Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC) is special in and through secret bank accounts give reports about the alleged indications of laundering money. However, application in the field still occur between different legal interpretation of the bank with the investigator, with the lack of data provided, giving rise to ambiguity and no apparent coordination in the field, especially the problem of bureaucracy in the disclosure and handling of cases brought to court.
The implications of this research in the field, especially in the aspect of law enforcement on the part of investigators that is by asking the give their proxies to the police in order to penetrate the bank secrecy provisions and obtain needed information from the bank concerned. It is intended to take the fastest, with a very tight given the bureaucracy to apply for license for establishment of bank secrecy from the Chairman of Bank Indonesia. When granting permission to open a secret bank that granted the Governor of Bank Indonesia is 14 (fourteen) days, while the highly advanced technology that can benefit the suspect or defendant to move his account to another place in just minutes. This can result in loss of information or evidence required by the police to process the crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28857
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tomi Aryanto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai penuntutan tindak pidana pencucian uang oleh
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam Undang-Undang Nomor : 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 6 huruf
c disebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi”, tidak menyebutkan tentang tindak pidana pencucian uang. Namun
dalam Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 74 dan 75 menyatakan
bahwa penyidikan tindak pidana pencucian dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, yang merupakan
tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang, apabila
menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian
uang, dalam penyidikannya maka penyidikannya digabung, antara tindak pidana
korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Demikian juga dengan penuntutannya
digabung antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. Hal
ini sudah terbukti dengan dilakukanya penyidikan dan penuntutan terhadap
perkara atas nama terdakwa Wa Ode Nurhayati, S. Sos (anggota DPR RI) oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta telah diputus terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

ABSTRACT
This thesis discusses money laundering lawsuit by prosecutors with the
Corruption Eradication Comission. Based on Law number 30 of 2002 on
Corruption Eradication Comission Article 6’s letter c, money laundering is not
explicitly stipulated as the chapter says: “Corruption Eradication Comission has
the duty to preliminarily investigate, fully investigate, and file a lawsuit on a case
of corruption”. Nevertheless, Law number 8 of 2010 on Prevention and
Eradication of Money Laundering Articles 74 and 75 states that the duty of
investigating a money laundering case fully is in the hand of the predicate
prosecutor, that is, one with the Corruption Eradication Comission who is in
charge of investigating fully a corruption law case which is a predicate crime
from money laundering provided that he finds a preliminary evidence of money
laundering. Thus, both the full investigation of a corruption case and that of a
money laundering case shall be combined; so shall the prosecution of both cases.
Such has applied in the case of parliament member Wa Ode Nurhayati, S. Sos in
which she was found guilty by the Council of Judges with the Anti-Corruption
Court of committing both corruption and money laundering as charged by the
Corruption Eradication Comission."
2013
T35913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhiawan
"Laporan hasil penelitian ini tentang penyidikan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Perhatian atau fokus penelitian adalah kegiatan unit Perbankan Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tersangka pencucian uang. Kegiatan para penyidik setelah menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang dugaan adanya pencucian uang. Kemudian pemahaman para penyidik dengan penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tnndak Pidana Pencucian Uang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap para tersangka. Metode penelitian dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan informan untuk mengumpulkan data dalam rangka memperoleh informasi atau gambaran secara holistik tentang obyek studi yang diteliti, kemudian dengan metode wawancara dan metode penelitian dokumen serta kajian dokumen. Penelitian dokumen dengan mempelajari contoh kasus yang nyata terjadi yaitu kasus pencucian uang di Jawa Timur dan kasus pencucian uang yang terjadi di Jakarta, yaitu dari kasus BNI Rp. 1,2 trilyun,-. Kedua kasus tersebut sudah mendapat persetujuan dan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan untuk slap disidangkan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa setelah dilakukan penelitian melalui wawancara dengan para penyidik di Unit perbankan dapat ditemukan beberapa hal dan memerlukan pemecahan lebih lanjut, antara lain :
a. pasal-pasal dalam perundang-undangan saling bertentangan, misainya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dalam pasal 41 berbunyi :
1. di sedang pengadilan saksi, penuntut umum, hakim dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
2. dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hal tersebut bertentangan dengan pasal 160 KUHAP, dimana saksi disebutkan secara jelas nama, alamat dalam proses persidangan terbuka. Dengan demikian belum ada aturan yang mengatur secara jelas yang dapat mengecualikan ketentuan tersebut.
b. Penerapan ketentuan khusus dalam penanganan pencucian uang dengan mengabaikan kejahatan umum dengan kata lain penanganan pencucian uang didahulukan daripada kejahatan umum.
c. Penegakan hukum tetap mengacu pada Hukum Acara Pidana sebagai payung umum) "back up".
d. Setiap penanganan tetap dibuatkan Berita Acara sesuai pasal 75 KU HAP karena pelanggaran pasal tersebut dapat dituntut dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Contohnya dengan Berita Acara Pendapatan yang ditandatangani penyidik dan memenuhi syarat.
Penanganan tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang hanya berdasarkan laporan dari PPATK saja, sebenarnya laporan langsung dari masyarakat juga bisa, asalkan didukung dengan adanya bukti-bukti yang kuat berdasarkan KUHAP. Demikian halnya adanya laporan dari penyidik unit lain misalnya dalam penanganan kasus penggelapan (primary crime) ternyata terdapat predicate crime yaitu pencucian uang. Unit tersebut langsung melakukan penyidikan tanpa menyerahkan kasus tersebut ke unit perbankan.
Kedudukan penyidik unit perbankan merupakan bagian dari Bareskrim, sehingga masih adanya hubungan antara atasan dan bawahan. Hubungan tersebut memungkinkan adanya intervensi dari atasan terhadap bawahan yang melakukan penyidikan terhadap kasus pencucian uang. Penyidik selaku bawahan tersebut tidak berani menentang apa yang diperintahkan atasan, yang sebenarnya bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Jika berani menentang perintah atasan maka akan menerima sanksi kemungkinan dipindahkan ke lingkungan kerja lainnya yang lebih kering. Demikian halnya terjadi hubungan atau interaksi antara tersangka dan penyidik, pada waktu dilakukan perneriksaan. Dengan demikian kedudukan penyidik lebih tinggi daripada tersangka. Dad hasil wawancara antara peneliti dengan penyidik dinyatakan ada kalanya terjadi kolusi dan korupsi, walaupun tidak ada bukti otentik, namun hai itu ada dan nampaknya biasa terjadi dalam segala tingkat pemeriksaan.
Selain daripada itu terjadi perbedaan persepsi antara penyidik dengan jaksa sehingga sering terjadi bolak baliknya berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dibuktikan dalam penanganan kasus BNI, dimana jaksa meminta seluruh barang-bukti agar diserahkan, tetapi penyidik menyerahkan hanya barang bukti penyisihannya saja_ Maka dari itu memerlukan pertemuan rutin tingkat Mahkamah Agung, Kepala Kepolisian RI, Kejaksaan Agung untuk membahas perbedaan persepsi.
Demikian hasil penelitian yang dapat saya kemukakan menurut kemampuan saya, saran dan koreksi dari pembimbing dan penguji sangat diperlukan untuk perbaikan tesis ini."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Dwi Sartika
"ABSTRAK
Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup kesepakatan menghapus terorisme, penyelundupan senjata (arm smugling), peredaran gelap narkotika dan psikotropika, pencucian uang (money laundry), penyelundupan orang (people smuggling) dan perdagangan orang termasuk anak (child trafficking). Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penghapusan kejahatan transnasional tersebut. Saat ini sedang dalam proses ratifikasi protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghapus dan mencegah perdagangan orang termasuk anak. Penelitian tentang Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang terdiri atas 2 (dua) masalah, yaitu: Bagaimanakah praktek kejahatan perdagangan anak?, bagaimanakah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan anak sebagai predicate crime dalam UUTPPU? Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai praktek kejahatan perdagangan anak, penanggulangan kejahatan perdagangan anak, dan bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) sebagai salah satu kebijakan dalam bidang hukum pidana untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan perdagangan orang termasuk terhadap anak di bawah umur. Dalam pencegahan pencucian uang, inisiatif pemerintah terlihat dari telah diundangkannya Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terbaru yaitu UU No.8 Tahun 2010. Peneliti menyarankan agar Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur kriteria khusus tentang kejahatan perdagangan anak di bawah umur yang dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga pencucian uang tidak dipratekkan.

ABSTRACT
Agreement of abolition of child commerce as global issue, in line with agreement scope vanish the terrorism, gunrunning (arm smuggling), dark circulation of narcotic and psikotropika, money wash (money laundry), people smuggling (people smuggling) and people commerce is inclusive of child (child trafficking). Indonesia have ratified and invite the protocol of United Nations for the abolition of the badness transnational. In this time in the process of ratify the protocol of United Nations to vanish and prevent the people commerce is inclusive of child. Research about Badness of Child Commerce As Predicate Crime In Law of Doing An Injustice of Money Laundring consisted of by 2 (two) problem, that is : What will be practice of underage child commerce badness?, what will be regulated of badness of child commerce? and, what will be renewal form punish about child commerce as predicate crime of Law of To Doing An Injustice of Money Laundring? Nature of this research is analytical descriptive, that is to describe, depicting, analyzing and explaining analytically those opened problems. Research have the character of descriptive analyze is a research trying to depict the fact and data of concerning practice of badness of child commerce, regulated of badness of child commerce, and renewal form punish about child commerce. Result of research indicate that the republic government of Indonesia release the Decision of Number President 88 Year 2002 about Plan of Action of National of Abolition of Commerce of Woman and Child (RAN P3A) as one of policy in the field of criminal law to prevent and overcome the badness of people commerce is inclusive of to underage child. In the prevention of money laundering, the government initiatives is the enactment of Law Money Laundering crime No. 8 year 2010. Researcher suggest that Law of To Doing An Injustice of Money Laundring arrange the special criterion about underage child commerce badness which can be qualified as collision to human right so that money wash do not practiced."
Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>