Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20057 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Depok: Universitas Indonesia, T.t.
350.6 REG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Wiyoto
"Dengan diberlakukannya U.U No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah beserta beberapa peraturan pelaksanaannya pada 1 Januari 2001, salah satunya P.P No. 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Berakibat banyak perubahan dilingkungan Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, terutama struktur organisasi dilingkungan pemerintah daerah tersebut. Hal ini berkosekuensi pada perubahan jabatan-jabatan eselonnya. Perubahan yang terjadi misalnya di Propinsi Jawa Barat dan atau Kota Bandung adalah banyak kekurangan jabatan eselon 3 dan jabatan eselon 4. Dalam rangka pengisian kekurangan jabatan eselon tersebut, pemerintah Propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota mengirimkan para pegawainya, yang memenuhi persyaratan-persyaratan untuk mengikuti diktat Adumia dan atau diktat Spama di salah satu Lembaga diktat diantaranya diktat Wilayah II Departemen Dalam Negeri - Bandung.
Penelitian ini menggunakan jenis deskriptip, dimana untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar dimulai pada awal pelaksanaan diklat T.A 1999 std 2001 yang diikuti 4 angkatan diktat Adumla dan 8 angkatan diktat Spama, dilaksanakan suatu test yang disebut Pretest dengan hasil nilai rata-ratanya 51,52 untuk peserta diktat Adumia dan 48,76 untuk peserta diktat Spama sedangkan pada akhir pelaksanaan diktat para peserta memiliki nilai akhir dengan hasil nilai rata-ratanya 74,77 untuk diktat Adumia dan 74,90 untuk diktat Spama. Sehingga diperoleh peningkatan prestasi belajar, didapat dari selisih antara nilai akhir dengan nilai pretest dengan hasil 23,25 (45,15 %) untuk diklat Adumia dan 26,14 (53,61 %) untuk diktat Spama.
Sedangkan untuk memperoleh retevansi diktat di dapat dan ketika penelitian ini dilaksanakan, sebanyak 26 orang (78,79 %) bagi alumnus diktat Adumia dan 60 orang (92,31 %) bagi alumnus diktat Spama sudah menduduki jabatan eselon baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan Relevansi diktat Adumia maupun Spama belum sesuai dengan tujuan masing-masing diktat yang tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan diktat Adumia dan diklat Spama. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara usia/umur responden dengan nilai akhir digunakan Korelasi Product Moment
Didapatkan hubungan yang kuat atau dengan nilai koefisien korelasi 0,6238 antara usia/umur responden dengan nilai akhir responden diktat Adumia dan hubungan yang kuat dengan nilai koefisien korelasi 0,7344 bagi responden diktat Spama.
Dari kuisioner yang diisi mengenai Ketahanan Nasional diperoleh nilai yang cukup, baik yang diisi oleh responden diktat Adumia maupun responden diktat Spama. Hal ini berarti diktat Adumia maupun dildat Spama tidak memberi pengaruh nyata terhadap Ketahanan Nasional."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T9866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Bina Aksara, 1987
350.6 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sunggono Kh
Bandung: Nova, 1984
624 SUN b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tangerang : Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan Universitas Pelita Harpan-, 2006
JTSUPH 3:2 (2006)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Piramedia, 2010
340.115 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chandhoke, Neera
Yogyakarta: Wacana, 2001
306.2 CHA b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Primahendra
"As a discourse, the existence of civil society can be traced ever since four centuries ago, and it is still under process up to this day. In recent perspective, civil society is idealised as a precondition for the establishment of democracy and equal distribution of developmental benefits. It is clear that civil society is no panacea. Civil society has its own roles, primarily in initiating processes of catalyst of dialogue, balancing interest, picking up signals, and initiating collective action. These four roles can support the process of democratization and moving towards a better development; and therefore the empowerment of civil society is seen as a strategic action."
2003
CJCE-1-1-April2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Sutrisno
"ABSTRACT
More than two decades government applied the Assessment List of the Performance Implementation (abbreviated, DP3: Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) to assess the work achievement of the civil servant which is appointed through Government Regulation No.10 in 1979. As long as its implementation, the assessment instrument of the work achievement for the civil servant not yet changed or revised neither the substance aspect nor the mechanism of its procedure. In its development when the paradigm of public administrative experienced the change lately DP3 is gazed not relevant to used as the implement of achievement assessor on human resources of the government profession. The implementation of DP3 does not give the significant impact for the management of the civil servant that caused DP3 could not become the objective implement that could be relied on by each government profession to receive the benefit from being carried out of the achievement of the work assessment. DP3 until now is only the bundle yearly that its function only to satisfy the administrative requirement. Until now the utilization of DP3 only for the need of the mutation, the promotion and the salary increase periodically, in fact the assessment function of the work achievement of the civil servant management necessarily could be widened in order to increase the achievement of the government profession and the organization.
Municipal Government of Yogyakarta really cared on the increase efforts in the work achievement and gaze that DP3 has been inappropriate with the requirement for the individual and the organization. Therefore Municipal Government of Yogyakarta compiled the assessment instrument of the work achievement that being enrich of the DP3 implement for considering the work achievement and management. This instrument is the Score Implement of the Work Achievement (abbreviated, APKP: Alat Penilaian Kinerja Pegawai) that its substance same with DP3 especially being linked with elements of the assessment. However from the aspect of the mechanism and the procedure, this assessment is very difference with DP3. This could become added value for APKP compared with DP3, which APKP could become alternative for the achievement assessment on the government profession which could more be relied on than DP3. Municipal Government of Yogyakarta at this time use DP3 and APKP to carried out the implement of work achievement. DP3 is still carried out because this normative implement juridical became the assessment implement of the work achievement in the civil servant management system. Whereas APKP is enrich of DP3, since the results of the APKP assessment converted through DP3.
This research use the qualitative approach that meant to explore the differences and problems dealt with the implementation of the assessment instrument of DP3 and APKP from the perspective of the procedure and the assessment mechanism and also the follow-up of the assessment in order to increase the work achievement. The two assessment implements had several equalities and the difference in accordance with the characteristics and factors that formed the background of the compilation of this assessment implement. The equality between DP3 and APKP are the element of the assessment that used, the assessment ray that caused such as hallo effect, and the follow-up produced by these assessment implements that not yet clear for the government profession.
Whereas the difference are the determination of the professional who will carried out this achievement, if DP3 is only considered by the superior then in APKP the assessment could be carried out by the management, the staff, the workmate and other to become the assessor. Moreover the assessment period of APKP twice in a year whereas DP3 is yearly, APKP used in the wider scope that consider the work achievement such as the passing in the course, the passing in the task and studying permission, and also the other aspect where this does not met in DP3.
DP3 and APKP are two assessment implements of the work achievement that important to continue to be carried out together. DP3 fill the normative juridical aspect in the civil servant system whereas APKP is guided to receive the clearer work achievement at glance. Nevertheless in fact DP3 already to be replaced with the other assessment implement of the work achievement that matched the development and the latest requirement on the importance on the implement of the achievement assessment. Whereas APKP must be the implement of the assessment on work achievement that compiled by Municipal Government of Yogyakarta continue to be developed especially in explication elements of the assessment that necessarily could reflect the work achievement. The study and development of APKP must be carried out in a comprehensive and deep manner towards all the aspects that were related to the assessment of the civil servant achievement so this implement could give the real contribution for its management in Municipal Government of Yogyakarta

ABSTRAK
Lebih dari dua dasawarsa pemerintah menerapkan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) untuk menilai prestasi kerja pegawai negeri sipil (PNS) yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979. Sepanjang pelaksanaannya, instrumen penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil tersebut belum sekalipun mengalami perubahan atau revisi baik dari aspek substansi maupun prosedur mekanisme penilaiannya. Dalam perkembangannya ketika paradigma administrasi publik mengalami perubahan seperti pada masa sekarang ini DP3 dipandang sudah tidak relevan lagi untuk digunakan sebagai alat untuk menilai prestasi dan kinerja sumber daya manusia aparatur pemerintah. Pelaksanaan DP3 tidak memberi dampak yang berarti bagi pengelolaan kepegawaian negeri sipil, hal ini disebabkan DP3 tidak mampu menjadi alat yang obyektif yang dapat diandalkan oleh setiap pegawai untuk memperoleh manfaat dari dilaksanakannya penilaian prestasi kerja mereka. DP3 selama ini hanya merupakan berkas isian tahunan yang fungsinya hanya untuk memenuhi kebutuhan administratif saja. Selama ini pemanfaatan DP3 hanya untuk keperluan mutasi, kenaikan pangkat dan kenaikan gaji berkala, padahal fungsi dan kegunaan penilaian prestasi kerja pegawai mestinya dapat diperluas dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai dan organisasi.
Pemerintah Kota Yogyakarta sangat peduli terhadap upaya peningkatan kinerja pegawai dan memandang DP3 sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan individu dan organisasi. Maka dari itu Pemerintah Kota Yogyakarta menyusun instrumen penilaian kinerja pegawai yang dimaksudkan untuk menjadi alat pendamping bagi DP3 dalam menilai prestasi dan kinerja pegawai. Instrumen tersebut adalah Alat Penilaian Kinerja Pegawai (APKP) yang dari sisi substansi sebenarnya tidak jauh beda dengan DP3 khususnya berkaitan dengan unsur-unsur penilaiannya. Namun dari aspek mekanisme dan prosedur penilaian kedua alat tersebut memiliki perbedaan. Hal inilah yang dapat menjadi nilai tambah bagi APKP dibandingkan dengan DP3, dimana APKP dapat menjadi alternatif bagi penilaian prestasi dan kinerja pegawai yang dapat lebih diandalkan dibandingkan DP3.
Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini menggunakan DP3 dan APKP untuk menilai prestasi dan kinerja pegawai. DP3 masih dilaksanakan sebab secara yuridis normatif alat inilah yang menjadi alat penilaian prestasi kerja yang sah dalam sistem manajemen pegawai negeri sipil. Sedangkan APKP dimaksudkan sebagai pendamping DP3, dimana hasil penilaian melalui APKP dikonversikan ke dalam DP3.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan instrumen penilaian kinerja baik melalui DP3 maupun APKP dilihat dari perspektif prosedur dan mekanisme penilaian serta tindak lanjut hasil penilaian dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai.
Kedua alat penilaian tersebut memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan sesuai dengan karakteristik dan faktor-faktor yang melatarbelakangi penyusunan alat penilaian tersebut. Persamaan antara DP3 dan APKP antara lain meliputi : unsur penilaian yang digunakan, bias penilaian yang ditimbulkan seperti hallo effect, dan tindak lanjut hasil penilaian kedua alat tersebut yang belum jelas bagi pegawai.
Sedangkan perbedaan dari kedua alat tersebut diantaranya adalah : penentuan pegawai yang akan menilai kinerja seseorang, apabila DP3 hanya dinilai oleh atasan maka dalam APKP penilaian dapat dilakukan oleh pimpinan, bawahan, rekan kerja dan lainnya untuk menjadi penilai. Selain itu periode penilaian APKP dua kali dalam setahun sedangkan DP3 sekali setahun, APKP digunakan dalam lingkup yang lebih luas untuk menilai prestasi dan kinerja pegawai seperti kelulusan dalam diklat, kelulusan dalam tugas dan ijin belajar serta aspek lain dimana hal ini tidak terdapat dalam DP3.
DP3 dan APKP adalah dua alat penilaian prestasi dan kinerja pegawai yang sama-sama penting untuk tetap dilaksanakan. DP3 disini untuk memenuhi aspek yuridis normatif dalam sistem kepegawaian negeri sipil sedangkan APKP diarahkan untuk memperoleh gambaran dan potret yang jelas terhadap prestasi dan kinerja pegawai. Namun demikian sebenarnya DP3 sudah waktunya untuk diganti dengan alat penilaian prestasi dan kinerja yang baru disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan terkini tentang pentingnya suatu alat penilaian kinerja. Sedangkan APKP sebagai alat penilaian kinerja yang disusun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta perlu terus dikembangkan khususnya dalam penjabaran unsur-unsur penilaian yang seharusnya dapat lebih mencerminkan prestasi dan kinerja pegawai. Kajian dan pengembangan APKP harus dilakukan secara lebih komprehensif dan mendalam terhadap segala aspek yang terkait dengan penilaian prestasi dan kinerja pegawai negeri sipil sehingga alat tersebut dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembinaan dan pengelolaan pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Yogyakarta."
2007
T19214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roberia
"Tuntutan kesempurnaan Pegawai Negeri selaku aparatur negara yang memegan peranan penting dalam kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangatlah tinggi. Sementara itu, sistim penghargaan sebagai balasan atas jasa yang telah dicurahkan dengan sepenuh jiwa dan raga oleh Pegawai Negeri kepada negara diselenggarakan dengan tidak berdasarkan pada kinerja (merit system) dan sangat terkesan serta populer dengan plesetan PGPS (?pintar goblok penghasilan sama?). Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan program reformasi birokrasi yang diantaranya termasuk penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri. Kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat mulai diberlakukan bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan pada 1 Juli 2007 dan secara terbatas dan bertahap dilanjutkan penerapannya pada beberapa kementerian/lembaga. Penerapan perbaikan sistim remunerasi yang terbatas dan bertahap itu tentu telah menimbulkan diskriminasi karena tidak adanya keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagiPegawai Negeri secara keseluruhan. Di samping persoalan keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi itu, juga terdapat berbagai kelemahan yuridis dalam pelaksanaan penerapan kebijakan tersebut. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana ketaatan asas hukum dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia dalam konteks sebagai negara yang memproklamirkan dirinya Negara Hukum. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis. Mengingat topik penelitian ini terkait dengan remunerasi yang dianalisis secara yuridis, maka landasan teori didasarkan pada kerangka pemikiran hierarki kebutuhan dan keadilan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki sistim remunerasi itu haruslah mampu memberikan dan menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan dan layak masih belum terwujud dengan baik. Kedua, peraturan perundang-undang yang mengatur sistim remunerasi tidak menegaskan aturan sistim remunerasi yang berbasis kinerja. Ketiga, rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan perbaikan sistim remunerasi tersebut adalah tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk reformasi sistim remunerasi adalah dengan membuat Undang-Undang tentang Kepegawaian yang baru yang sunguh-sunguh merumuskan amanat konstitusi dan menggantikan Undang-Undang tentang Kepegawaian yang saat ini berlaku.

Civil servants, as a state apparatus have a big and an important role in the smooth organization and tasks of the government and national development. Their performance is claimed very high. Meanwhile, the award system as a reward for services rendered have been torrentialwith full life and wholeheartedly by them with no organized based onperformance (merit system) and are very impressed with the popular and the term ?PGPS? ( ?Pintar Goblok Penghasilan Sama? or "wise fool of the same"). To solve the problem, Indonesian government has been trying to reform the remuneration system. Since July 1 2007, Department of Finance of Republic of Indonesia has started to introduce a new remuneration system for its officials. The new remuneration system has implemented by limited and gradually in several ministries / agencies. The limited application of a new remuneration system has been caused discrimination due to the absence of justice in the implementation of policy for overall civil servants. In addition to the issue of fairness/justice in the implementation of the policy, there are many weaknesses in the implementation of the juridical application of these policy. This research tries to observe whether the new remuneration system for civil servants is well obeyed in accordance with law because of Indonesia as a country proclaiming itself as the Rule of Law or Rechtsstaat. This research is based on juridicalnormative, with the secondary data analysis and with the method of data processing and analysis by qualitative and descriptive-analytical and prescriptiveanalytical. Given the topic of this research related to the remuneration of the juridical analyzed, the theoretical foundation or framework of thought is based on the hierarchy of needs and theory of justice. This research produced some findings. First, the mandate of the Constitution require the remuneration system should be able to provide and create the prosperity which is proper and justice has not been realized well. Second, the regulations which set the remuneration system does not assert that the rules-based remuneration system performance. Third, the formulation of norms and norm validity of regulations made as a legal basis of the policy about reformation of the remuneration system is not compliance the principles of law and it can be said is invalid. Therefore, in order ius constituendum, there is no way that should be done to reform the system of remuneration is to make a new Act on civil servant or officialdom Act (Undang- Undang Kepegawaian) that compliance to constitution and replacing the old Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26194
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>