Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160785 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Welly Freddi
"Produk Domestik Bruto (PDB) adalah besaran ekonomi yang menjadi salah satu indikator kemajuan pembangunan perekonomian suatu bangsa. PDB dapat menjadi gambaran keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam menjalankan kebijakan di bidang ekonomi. Karena itu sangatlah penting untuk mengetahui variabel-variabel yang memepengaruhi PDB tersebut. Pajak merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal. Pajak dapat memepengaruhi PDB, begitu juga seblaiknya. Pnerimaan pajak terbesar berasal dari jenis pajak Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambhana Nilai/Pajak Barang Mewah (PPN/PPnBM untuk mudahnya disingkat PPN). Dengan menggunakan Vector Autoregresive hendak diteliti apakah kedua jenis pajak ini memiliki hubungan dengan PDB dfan jenis pajak mana yang dapat diprioritaskan sebagai instrumen kebijakan fiskal Indonesia. Hasil penelitian menunjukan PPN memiliki hubungan yang signifikan dengan PDB sehingga dapat diprioritaskan sebagai instrumen kebijakan fiskal."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T27710
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Matthew Geoffrey
"ABSTRAK
Berdasarkan studi OECD tahun 2016 yang lalu, polusi udara disimpulkan menyebabkan penurunan GDP sebanyak 0.3 pada tahun 2015, dan diproyeksikan terus meningkat hingga menyentuh 1 pada tahun 2050. Oleh karena itu, cukup penting bagi kita untuk mulai meneliti tren polusi udara, khususnya di Indonesia. Untuk dapat menghasilkan informasi yang lebih bermanfaat, studi ini meneliti tren polusi udara di tingkat sektor untuk polutan CO, NOx, SO2, dam juga PM2.5. Instrumen utama yang digunakan untuk menentukan baik buruknya tren polusi udara adalah prinsip Environmental Kuznet Curve. Berdasarkan hal tersebut, metodologi yang digunakan adalah ARDL dengan variabel independen mencakup GDP per kapita, GDP per kapita kuadrat, dan variabel penjelas trade openness. Hasil kemudian menunjukkan keberadaan tren yang cukup mengkhawatirkan pada sektor transportasi dan juga energi. Adapun keberadaan EKC hanya ditemukan pada sektor manufakturdan agrikultur.Trade juga ditemukan signifikan dan bernilai negatif pada sektor agrikultur, manufaktur, dan juga transportasi.

ABSTRACT
Based on OECD research in 2016, damage caused by air pollution has become quite significant. Based on the study, the damage cause a decline in GDP up to 0.3 in the year of 2015 and predicted to continuously rise up to 1 in the year of 2050. Thus it has already become quite important, for us, to start studying about the trend of our own air pollution at national level. Responding to the statement, this research will study the trend of four common air pollution which includes CO, NOx, SO2, and PM2.5. The basic of Environmental Kuznet Curve is applied here as the main instrument to determine whether the trend of air pollution will tend to be controllable or not. As for the methodology, we apply ARDL with independent variables include GDP per capita, Quadratic GDP per capita, with Trade Openness as an additional explanatory variable. The result, then, indicates that there is a worrying upward trend on bothtransportation and energy sector. The study also found traces of EKC in agriculture and manufacture sector. Trade openness is also found to be significant with negative coefficients in agriculture, manufacture, and transportation sector."
2017
S68183
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Rinsan
"Pemahaman akan peranan perusahaan-perusahaan muitinasional kepada negara tuan akan memberikan pengetahuan pada negara tuan rumah agar dapat memperoieh keuntungan yang optimal bagi perkembangan perekonomian tuan rumah. Bahkan dapat memperbaiki bargaining position bagi negara tuan rumah dalam negosiasi keberadaan perusahaan-perusahaan muitinasional tersebut. Pemahaman ini juga akan dapat memberikan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan dalam menetapkan ketentuan-ketentuan akan keberadaan perusahaan multinasional di suatu negara. Motif perusahaan-perusahaan multinasional untuk memperluas jaringan usahanya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang optimal harus juga dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan perekonomian negara tuan rumah agar tercipta keharmonisan dan keseimbangan yang saling menguntungkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini mencoba melihat peranan perusahaan-perusahaan multinasional yang terdaftar di pasar modal Indonesia yaitu di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Penelitian ini mencoba melihat apakah perusahaan perusahaan multinasional tersebut mempunyai pengaruh pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektorai dimana pemsahaan-perusahaan itu dikelompokkan.
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Paolo Mauro (2002) dan Shigeyuki Hamori (2002), yang meneliti bagaimana korelasi pasar modal pada pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan indikator market capitalization dan stock return pemsahaan perusahaan multinasional yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan melihat pengaruhnya pada Produk Domestik Brute (PDB) sektoral. Penelitian ini menggunakan metode
Berdasarkan hasli estimasi yang dilakukan diperoieh kesimpulan bahwa :
1. Market capitalization dan stock return dapat menjadi indikator yang kuat (leading indicator) dalam melihat peranan perusahaan-perusahaan multinasional terhadap kontribusinya pada Produk Domestik Bruto (PDB) sektoral.
2. Market capitalization memiliki korelasi yang positif dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sektoral. Peningkatan market capitalization akan dapat meningkatkan Produk Domestik Bmto (PDB) sektoral.
3. Sedangkan stock retum memiliki korelasi negatif terhadap pembenlukan Produk Domestik Bmto (PDB) sektoral. Hal ini menunjukkan peningkatan stock retum akan mengakibatkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sektoral.
Hasil dan estimasi yang diperoleh adalah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Paolo Mauro (2002) dan Shigeyuki Hamori (2002) yang menyatakan bahwa indikator pasar modai sepertj market capitalization dan stock retum dapat digunakan sebagai indikator yang kuat untuk memprediksi pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Dengan menggunakan indikator ini dapat dilihat bahwa perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai pengaruh yang positif terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (Produk Domestik Bruto (PDB) sektoral di Indonesia.

Understanding conceming the role of multinational companies to the host country will provide knowledge to the host country in order to obtain optimal profit for economic development of the host country. Even it can improve bargaining position of the host country with regard to negotiation concerning the existence of such multinational companies. This understanding will also be capable to provide consideration in determining policy relating to the application of provisions with regard to the existence of multi national companies in a country. The motivation of multinational companies to extend their business network is to obtain optimal profit, the motivation of which shall also be capable to provide contribution for economic growth of the host country in the framework to create harmony and balance for mutual profit.
Based on the above matters, this research will try to observe the role of multinational companies registered in capital market of Indonesia i.e., in Jakarta Stock Exchange (BEJ). This research also tries to observe whether such multinational companies have inliuence to the growth of sector of Gross Domestic Product (PDB) pursuant to the category of such companies.
This research refers to the research conducted by Paolo Mauro (2002) and Shigeyuki Hamori (2002) who conducted research concerning correlation of capital market against economic growth in the future. This research uses indicator of market capitalization and stock retum of muitinational companies registered in Jakarta Stock Exchange (BEJ) and observes its influence to the sector of Gross Domestic Product (PDB). This research uses method.
Based on the result of estimation, conclusion can be made as follows:
1. Market capitalization and stock return may become leading indicator in observing the role of multinational companies against their contribution to the sector of Gross Domestic Product (PDB).
2. Market capitalization has positive correlation in the establishment of sector of Gross Domestic Product (PDB). The enhancement of market capitalization will be able to enhance the sector of Gross Domestic Product (PDB).
3. While stock return has negative correlation against the establishment of sector of Gross Domestic Product (PDB). This condition indicates that the enhancement of stock return will cause decrease in the sector of Gross Domestic Product (PDB).
The obtained result of estimation is pursuant to the research conducted by Paolo Mauro (2002) and Shigeyuki Hamori (2002) stating that the indicator of capital market such as market capitalization and stock return can be used as leading indicator In order to predict economic growth in the future. By using this indicator, it can be seen that multinational companies have positive influence against establishment of sector of Gross Domestic Product (PDB) in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dira Lukie Wardhani
"Kondisi perekonomian merupakan salah satu aspek yang diukur dalam menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara. Akibat adanya ketidakseimbangan dari jumlah tenaga medis dan sarana kesehatan di provinsi di Indonesia, pelayanan kesehatan antar provinsi di Indonesia menjadi tidak merata.
Penelitian ini menganalisis dampak dari ketersediaan tenaga medis dan sarana kesehatan terhadap peningkatan PDRB sektor jasa kesehatan di Indonesia dengan menggunakan data panel dari 27 provinsi periode 2010-2013.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tenaga medis (dokter di Rumah Sakit dan Puskesmas) serta sarana kesehatan (Rumah Sakit dan Puskesmas) berdampak terhadap peningkatan PDRB sektor jasa kesehatan. Ternyata jumlah tenaga medis dan sarana kesehatan di Pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten) tidak lebih baik daripada provinsi lain di luar Pulau Jawa. Sehingga selain penambahan di luar Jawa, penambahan di Pulau Jawa sendiri perlu dilakukan.

Economic condition is one of the aspect to measure the success of a country development. Because of the insufficient number of doctors and health facilities between the provinces in Indonesia, there are inequalities of health care in Indonesia.
This study analyzes the impact of the availability of health workers and health facilities on improvement of the health sector GDRP in Indonesia using panel data of 27 provinces in Indonesia within 2010-2013 period.
The result of this study conclude that health workers (doctors in hospitals and Puskesmas) and health facilities (hospitals and Puskesmas) are able to improve the health sector GDRP. Surprisingly, the health workers and health facilities in Java area (Central Java, East Java, West Java and Banten) have no better condition compared to other provinces outside Java. Therefore, the decision of adding health workers and health facilities not only important outside Java area, but also important in Java area.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T45026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Hendra Permana
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25425
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Sari Sjafri
"Pajak merupakan fungsi dari PDB, oleh karenanya dalam kondisi cateris paribus, penerimaan pajak akan selalu mempunyai korelasi positif terhadap perkembangan PDB. Lebih dari itu, sesuai dengan sifat-sifatnya, pada saat PDB meningkat maka penerimaan pajak akan mengalami peningkatan yang lebih besar. Sebagai contoh, Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung lainnya (PPN & PTLL). PPh mempunyai dua ciri utama, yaitu adanya minimum pendapatan bagi seseorang agar bisa dikenakan pajak dan struktur tarif yang bersifat progresif. Jika terjadi peningkatan PDB maka akan makin banyak penduduk yang penghasilannya melebihi pendapatan minimum, sehingga jumlah penduduk yang membayar pajak bertambah. Selain itu, peningkatan PDB juga akan menyebabkan semakin banyaknya wajib pajak yang membayar pajak dengan tarif tertinggi. Kedua hal ini akan menyebabkan prosentase peningkatan penerimaan pajak menjadi lebih besar dibandingkan prosentase peningkatan PDB. Contoh berikutnya adalah PPN & PTLL. Peningkatan PDB akan mempengaruhi pola konsumsi penduduk. Peningkatan PDB akan menyebabkan peningkatan penerimaan PPN & PTLL. Lebih dari itu, penerimaan PPN & PTLL akan mengalami prosentase peningkatan yang Iebih besar daripada peningkatan PDB. Hal ini sesuai dengan sifat PPN & PTLL antara lain: pertama, semakin tinggi PDB maka semakin banyak penduduk yang mengkonsumsi barang-barang yang menjadi objek PPN, kedua, semakin tinggi PDB semakin banyak penduduk yang mengkonsumsi barang-barang mewah (luks/tersier) yang menjadi objek PPnBM.
Elastisitas pajak adalah ukuran yang menggambarkan derajat kepekaan penerimaan pajak terhadap perubahan pendapatan nasional. Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk mengukur derajat sensitivitas penerimaan pajak terhadap kenaikan PDB yaitu tax buoyancy dan elastisitas pajak, kedua-duanya mengukur seberapa besar sensitivitas penerimaan pajak bila terjadi perubahan PDB. Perbedaan kedua ukuran tersebut terletak pada data yang digunakan. Tax buoyancy tidak memperhatikan perubahan penerimaan pajak yang disebabkan karena terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur pajak. Sedangkan elastisitas pajak adalah ukuran yang memperhitungkan perubahan penerimaan pajak yang disebabkan karena terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur perpajakan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar tax buoyancy dan elastisitas pajak di Indonesia, mengetahui hubungan antara tax ratio dengan PDB di Indonesia serta menganalisis pengaruh perubahan tax base dan tax rate struktur terhadap penerimaan pajak di Indonesia. Sedangkan melode penelitian yang digunakan adalah metode analisis regresi linier dengan menggunakan data sekunder, berupa data PDB dan penerimaan pajak tahun 1969 sampai dengan tahun 2006 yang diolah dari dari Nota Keuangan 2006, dan data Direktorat Jenderal Pajak.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh PUB terhadap penerimaan pajak, tax buoyancy, elastisitas pajak dan tax ratio di Indonesia cukup signifikan. Berdasarkan hasil regresi diketahui tax buoyancy tertinggi dimiliki oleh PBB dengan nilai sebesar 1.44, sedangkan tax buoyancy terendah dimiliki oleh Pajak Ekspor yaitu sebesar 0.37, Elastisitas pajak tertinggi dimiliki oleh PBB dengan nilai sebesar 1.85, dan elastisitas pajak terendah dimiliki oleh Pajak Ekspor dengan nilai sebesar 0.56. Adapun tax buoyancy total pajak adalah sebesar 1.13. dan elastisitas total pajak adalah sebesar 1.00. Hasil penelitian menunjukkan fenomena yang menarik, dimana PPh memiliki tax buoyancy 1.23 dan elastisitas sebesar 1.18, demikian juga dengan PPN yang memiliki tax buoyancy sebesar 1.24 dan elastisitas sebesar 0.97. Hal ini bertolak belakang dengan PBB yang memiliki tax buoyancy sebesar 1.44 dan elastisitas sebesar 1.85. Hal ini menunjukkan perubahan-perubahan struktur pajak yang dilakukan pemerintah (Departemen Keuangan c.q. Ditjen Pajak) memberikan hasil yang positif terhadap penerimaan PPh dan PPN. Sedangkan hasil PBB lebih disebabkan oleh sifat-sifat alami dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri seperti peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah modal, dan peningkatan teknologi sehingga semakin tinggi PDB semakin banyak penduduk yang menjadi wajib pajak dan membayar PBB. Adapun tax buoyancy total pajak sebesar 1.13 dan elastisitas total pajak sebesar 1.00. Penulis berpendapat hal ini selain disebabkan oleh perubahan-perubahan struktur pajak yang dilakukan pemerintah (Departemen Keuangan c.q. Ditjen Pajak) telah memberikan hasil yang positif terhadap penerimaan PPh dan PPN, juga karena kontribusi PPh dan PPN jauh lebih besar dari pada kontribusi PBB terhadap total pajak.
Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat korelasi yang cukup signifikan antara PDB dan tax ratio, dengan koefisien korelasi sebesar 70.32%. Sementara itu simulasi yang digunakan untuk menguji pengaruh tax base dan tax rate terhadap tax buoyancy menunjukkan hasil terjadinya peningkatan tar buoyancy dari 0.99 menjadi 1.202 jika beberapa beberapa pajak penghasilan final yang dapat diketahui dasar pengenaan pajaknya dikeluarkan dari regresi. Tax buoyancy dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, antara lain dengan menerapkan satu tarif tunggal yang bersifat proporsional untuk pajak penghasilan, termasuk menghilangkan komponen pajak final, memperjelas dan melakukan kontrol yang ketat pada proses restitusi PPN, serta pelaksanaan program modernisasi administrasi perpajakan yang terprogram dan terkontrol yang akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, produktivitas petugas, penyederhanaan administrasi perpajakan dan pada akhirnya akan menaikkan penerimaan perpajakan.

Tax revenue as a function of Gross Domestic Product (GDP), catteries paribus, will always have positive correlation to GDP. Base on its nature, increasing in GDP will cause greater increasing in tax revenue. For instance, the nature of Income Tax required minimum income to tax and progressive tax rate. Increasing in GDP will enhance number of people that has income above required minimum income, thus enhance number of people that has to pay income tax. Furthermore, increasing in GDP will improve number of people that has to pay in higher tax bracket. These will trigger greater percentage of escalation in tax revenue than GDP. Another illustration is Value Added Tax (VAT). Increasing in GDP will lead a bigger increasing in VAT because more people will consume goods and services that have VAT levied on it and more people will consume luxury goods and services that have Luxury Tax levied on it.
Tax elasticity is defined as measurements which describe degree of sensitivity of tax revenue to GDP's change. Moreover, there are two measurements that can be used to determine degree of sensitivity of tax revenue to GDP's change which are tax buoyancy and tax elasticity. Both of them appraise the degree of sensitivity of tax revenue. The difference is while tax buoyancy, defined as the percentage change in tax revenues divided by the percentage change in GDP when discretionary changes are not accounted for, tax elasticity defined as the percentage change in tax revenues divided by the percentage change in GDP when discretionary changes are accounted for.
The objectives of this research are to find out Indonesia's tax buoyancy and tax elasticity, discover correlation between tax ratio and Indonesia's GDP and to examine the impact of tax base and tax rate structure's change to Indonesia's tax revenue. This research use linear regression method and use secondary data from Ministry of Finance and Directorate General of Taxation. The findings of this research expose an overall significant correlation between tax revenue, tax buoyancy, tax elasticity and tax ratio to GDP. Land and Building Tax (LBT) has the highest tax buoyancy which is 1.44 and Export Tax has the lowest which is 0.37. LBT also has the highest tax elasticity which is 1.85 and Export Tax also has the lowest tax elasticity which in 0.56. Overall tax buoyancy is 1.13 and tax elasticity is 1.00.
The result of this research shows an interesting phenomenon, which is Income Tax has 1.23 tax buoyancy and 1.18 tax elasticity, while VAT has 1.24 tax buoyancy and 0.97 tax elasticity. On contrary, LBT has 1.44 tax buoyancy and 1.85 tax elasticity. In my opinion the result for Income Tax an VAT can be explained as an outcome which is derived by government's fiscal policy. While the result for LBT should be came from natural cause, for instance, the growth of population, capital and technology. Overall tax buoyancy and tax elasticity results can be explained as an outcome which is derived by government?s fiscal policy, furthermore tax revenue derived from Income Tax and VAT is greater than LBT's.
The results of this research also determine a significance correlation between the growth of GDP and Tax Ratio, it reflects in 70.32% of coefficient correlation. Moreover, it also shows the simulation that excludes several final income taxes from regression will boost income tax buoyancy from 0.99 to 1.202. In my opinion, there are several ways to amplify Indonesia's tax buoyancy. They are implementation a flat proportional income tax rate, including elimination of final income tax; construction a well structured and impose a tight control to VAT refund processes; and applying a progress in modernizing tax administration which improve tax compliance, enhance productivity, simplify the tax system, thus increase overall tax revenue."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Idris Soentoro
"Phenomena Permasalahan
Pemimpin Indonesia maupun perencana ekonomi semasa Pemerintahan Orde Baru sangat percaya dengan masuknya tabungan luar negeri akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Masuknya tabungan luar negeri ke Indonesia yang dianggap sebagai obat mujarab selama 30 tahun, diduga sebagai penyebab terjadinya krisis moneter tahun 1997 yang diikuti krisis ekonomi, politik dan disintegrasi bangsa. Phenomena tersebut sangat menarik perhatian saya untuk menulis thesis menganai peran masuknya Tabungan Luar Negeri terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) dan perkembangan Tabungan Domestik Bruto.(GDS).
Temuan
Dari hasil penelitan tersebut menunjukkan Hutang Luar Negeri Pemerintah (AID) mempunyai peran yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP) dan Tabungan Domestik Bruto (GDS). Tabungan Swasta (PS) mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP), disini ada indikasi investasi yang berasal dari tabungan swasta banyak yang gagal. Tabungan Pemerintah (GS), Hutang Luar Negeri Swasta (PFD), Penanaman Modal Luar Negeri Langsung (FDI) dan Hibah Luar Negeri (Grant) tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan GDP. Disini ada indikasi tabungan - tabungan tersebut diatas, diinvestasikan dengan kinerja yang sangat rendah. Hutang Luar Negeri Swasta (PFD) tidak signifikan dalam mempengaruhi perkembangan Tabungan Domestik Bruto (GDS). Disini ada indikasi Hutang Luar Negeri Swasta mengalami kegagalan dalam investasi sehingga tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk ditabung kembali. Penanarnan Modal Luar Negeri Langsung (FDI) mempengaruhi perkembangan Tabungan Domestik Bruto secara signifikan.
Saran - Saran
Masuknya tabungan luar negeri yang masih layak dipertahankan dalam jangka yang relatif panjang untuk mengatasi krisis ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ialah Hutang Luar Negeri Pemerintah yang berbunga rendah (AID), Penanaman Modal Luar Negeri Langsung (FD1) yang berorientasi ekspor dan Hibah Luar Negeri (Grant). Hutang Luar Negeri Swasta yang berbunga tinggi yang mempunyai indikasi sebagai penyebab terjadinya krisis moneter dan ekonomi Indonesia, sebaiknya dikurangi dan dikola dengan sangat hati ? hati."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T20521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Merry Marianti
"ABSTRAK
Setelah mencapai kemerdekaannya, bangsa Indonesia berusaha mewujudkan cita-citanya, antara lain yaitu memajukan kesejahteraan umum bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pada awal kemerdekaan, Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan, sehingga sulit untuk berkonsentrasi dalam pembangunan ekonomi. Pada periode 1945-1965, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, bahkan pada tahun 1960-1968 pertumbuhan pendapatan per-kapita Indonesia adalah negatip.
Mulai tahun 1969, Pemerintah Orde Baru bertekad untuk melaksanakan pembangunan nasional, dengan titik berat pembangunan di bidang ekonomi. Rencana Pembanguman jangka Panjang yang pertama, meliputi tahun 1969-1993.
Pada tahap awal pembangunan nasional, peranan pemerintah sangat besar. Sumber pembiayaan pembangunan sebagian besar berasal dari hasil ekspar minyak bumi dan bantuan luar negeri. Pada tahun 1983, harga minyak bumi di pasaran dunia turun, sehingga pendapatan pemerintah dari minyak bumi menurun. Sejak saat itu pemerintah mulai melakukan serangkaian deregulasi untuk mendorong sektor swasta agar dapat lebih berperan dalam pembangunan ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti besarnya peran Modal Pemerintah terhadap pertumbuhan PDB selama tahun 1973-1994, dibandingkan dengan input-input lainnya yaitu Modal Swasta dan Tenaga Kerja. Dengan menggunakan fungsi produksi Translog, dimana PDB sebagai output dan Modal Swasta, Tenaga Kerja serta Modal Pemerintah sebagai input, ingin dicari faktor input mana yang mempunyai, elastisitas terbesar terhadap pertumbuhan output, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman pengambilan kebijakan Pemerintah.
Berda an hasil estimasi dan analisis yang telah dilakukan, Model Translog Lengkap yang diajukan sebagai dasar untuk melakukan analisis dalam tesis ini ternyata kurang sesuai dengan data yang tersedia, karena adanya masalah kolinieritas-ganda .
Akhirnya penulis menggunakan model dimana masing-masing input nya ada kuadratnya. Lengkapnya hasil estimasi model tersebut adalah sebagai berikut:
lnQ = 23.49 + 0.99171 T + 0.73247 (0.5)(InK)2 + 0.085059 (0.5)(lnL)2 + 0.81753 (0.5)(1nP)2 - 0.73247 (InK)(InP) - 0.085059 (InL)(lnP) + 0.069545 T(InL) - 0.069545 T(InP)
Hasil uji-F dan uji-t model ini adalah significant untuk semua variabel bebasnya.
Model ini menghasilkan elastisitas parsial output terbadap masmg-masing input yang bersifat variabel yaitu:
EK = ∂InQ/∂lnK = 0.73247 (InK) - 0.73247 (InP)
EL = ∂InQ/∂InL = 0.085059 (InL) - 0.085059 (InP) + 0,069545 T
EP = ∂lnQ/∂InP = 0.81753 (InP) - 0.73247 (InK) - 0.085059 (InL) - 0.069545 T
Hasil perhitungan elastisitas untuk masing-masing inputnya dapat diliat pada Lampiran 16. Secara umum kesimpulan hasil perhitungan elastisitas (1973-1994) tersebut adalah sebagai berikut:
EK Positip, mula-mula meuurun, kemudian sejak tahun 1984 meningkat
EL Mula-mula negatip namun mengecil, kemudian sejak tahun 1990 positip dan terus meningkat
EP Mula-mula positip namun menurun, kemudian sejak tahun 1983 menjadi negatip dan semakin membesar
Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1983, telah terjadi pergeseran peran dari Modal Pemerintah (yang mempunyai peran positip terbadap pertumbuhan Ekonomi pada tahun 1973-1982) kepada Modal Swasta yang sejak awal memang positip tetapi menurun, dan kemudian sejak 1984 positip dan terus meningkat.
Sejak tahun 1983 pula, pemerintah melalui serangkaian kebijakan Deregulasi yang terus menerus dilaksanakan, telah berkurang perannya dalam pertumbuhan ekonomi, dan digeser oleh sektor Swasta yang selanjutnya memegang peranan yang positip dan terus meningkat dalam pertumbuhan ekonomi.
Jika laju perturnbuhan input sesuai tahun 1990-1994 maka output tahun 1995-2004 akan meningkat namun peningkatannya semakin menurun. Laju perturnbuhan output periode tersebut yaitu sebesar 3.67 % per-tahun.
Jika laju pertumbuhan output ingin dipertahankan pada tingkat 6 % per-tahun dan laju pertumbuhan input Modal Pemerintah, Tenaga Kerja dan Teknologi sama seperti tahun 1990-1994, maka laju pertumbuhan Modal Swasta pada periode tersebut harus mencapai minimal 10.24485 % per-tahun.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mempunyai beberapa saran atau masukan yang mungkin dapat bermanfaat bagi kebijakan pembangunan, yaitu:
1. Produktivitas Tenaga kerja perlu dipertahankan dan ditingkatkan, agar peran yang positip terhadap pertumbuhan ekonomi dapat terus dipertahankan . Misalnya melalui pelatihan kerja, peningkatan kesehatan, ketrampilan, gizi makanan yang lebih baik dan lain-lain.
2. Agar sektor Swasta yang mempunyai peran positip dan semakin meningkat terhadap pertumbuhan ekonomi dapat semakin berkembang, pemerintah perlu menciptakan iklim yang kondusif agar para pengusaha semakin tertarik untuk menanamlcan modalnya di dalam negeri, dan bukan kebalikannya yaitu menanamkan modalnya diluar negeri.
3. Semakin berkembangnya peran sektor swasta dan semakin berkurangnya peran sektor pemerintah, perlu disertai kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak dan pemerataan pendapatan. Kebjjakan tersebut antara lain yaitu pajak yang bersifat progresif dan peraturan perburuhan yang dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan buruh, dan pemerataan kesernpatan berusaha, terutama bagi pengusaha kecil. Pengusaha kecil perlu dilindungi dan didukung agar dapat lebih berkembang.
4. Sektor pemerintah perlu meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya agar dapat mempunyai peran yang positip dalam pertumbuhan ekonomi. Proyek-proyek yang akan dilaksanakan perlu dievaluasi secara cermat, mana yang betul-betul relevan dan produktif terhadap pertumbuhan output nasional.
5. Dengan adanya perkembangan teknologi baik dibidang hardware maupun software, maka manajemen input-input yang digunakan perlu diperbaiki dan ditingkatkan agar penggunaan input-input lebih efisien dan lebih produktif sehingga dapat lebih berperan dalam perturnbuhan output."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Efendi
"Penelitian ini dimaksudkan untuk meiihat pengaruh pengeluaran yang dilakukan pemerintah pusat Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia periode 1973-2004. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai variabel tidak bebasnya (dependent variable) adalah perubahan PDB, sedangkan variabel bebasnya (independent variable) adalah perubahan belanja pegawai, perubahan belanja barang, perubahan pengeluaran subsidi, perubahan belanja rutin lainnya, perubahan belanja pembangunan, serta dua variabel kontrol yaitu perubahan investasi swasta dan perubahan jumlah pekerja. Penelitian ini menggunakan data skunder urut waktu (time series) dengan periode 1973 sampai 2004 (32 tahun). Adapun data-data penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasionai (BAPEKKI) Departemen Keuangan. Dalam melakukan analisis terhadap permasalahan digunakan metode regresi linier berganda dengan menggunakan estimasi kuadrat kecil atau ordinary Least Square COLS). Adapun alat bantu yang digunakan untuk mempermudah pengolahan data digunakan software Eviews versi 4.1.
Berdasarkan hasil estimasi, didapatkan bahwa perubahan belanja pegawai, perubahan belanja rutin lainnya, perubahan belanja pembangunan dan perubahan investasi swasta mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap perubahan PDB. Perubahan belanja barang dan perubahan jurnlah pekerja tidak berpengaruh terhadap perubahan PDB. Sedangkan perubahan pengeluaran subsidi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perubahan PDB. Hasil estimasi menunjukkan bahwa model memiliki tingkat kecocokan (R2) sebesar 86,9993 persen. Sedangkan pengaruh terhadap perubahan PDB, secara signifikan variabel perubahan belanja pegawai mempunyai nilai koefisien sebesar 1,861631, variabel perubahan pengeluaran subsidi mempunyai nilal koefisien sebesar -0,989562, variabel perubahan belanja rutin lainnya mempunyal nilai koefisien sebesar 3,507640, variabel perubahan belanja pembangunan mempunyai nilal koefisien sebesar 0,995067, dan konstanta mempunyai nilai koefisien sebesar 6237,623. Sedangkan variabel perubahan belanja barang bernilai koefisien 2,535908 dengan nilai probabilita sebesar 0,2135, hal ini berarti bahwa dalam periode penelitian variabel perubahan belanja barang tidak berpengaruh terhadap perubahan PDB."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Indah Nikensari
"Kebijakan pengurangan jumlah subsidi BBM dan Listrik dalam APBN 2001 oleh Pemerintah Indonesia membawa konsekuensi pada kenaikkan harga BBM dan Listrik. Meskipun harga BBM dan Listrik selalu mengalami kenaikkan dari tahun ke tahun, akan tetapi kenaikkan harga pada tahun 2001 ini lebih banyak disebabkan oleh penurunan jumlah subsidi dalam APBN, setelah sejak tahun anggaran 1997/1998 sampai dengan tahun anggaran 2000 jumlah subsidi BBM terus mengalami peningkatan akibat naiknya biaya pengadaan. Atas rekomendasi IMF, sehubungan dengan pencairan paket bantuan dan negara-negara donor yang tergabung dalam CG1 kepada Indonesia, subsidi BBM & Listrik direkomendasikan segera dihapus supaya ada efisiensi pada APBN. Rencana penghapusan jumlah subsidi BBM dan Listrik dalam APBN direncanakan secara bertahap dan akan berakhir pada tahun 2004.
Pengurangan jumlah subsidi membawa dampak multiplier yang sangat luas pada perekonomian, termasuk pada PDB. Hal ini ditunjukkan oleh hasil simulasi dengan model INDECGE dengan tahun dasar 1998, yang menyatakan bahwa dalam jangka pendek adanya kenaikkan harga energi masih memberikan dampak positif pada kenaikkan PDB Sektoral maupun PDB Pengeluaran dengan prosentase yang menurun, akan tetapi dalam jangka panjang kenaikkan harga energi akan memberikan dampak negative pada PDB semua sektor, kecuali pada sektor yang masih ada subsidinya, dengan cacatan kondisi perekonomian saat itu tidak ada peningkatan dari kondisi tahun dasar 1998. Dampak negatif pada PDB Pengeluaran jika kondisinya belum berubah lebih baik, adaiah bahwa selain Konsumsi. Pemerintah, semua variabel pada PDB Pengeluaran seperti Konsumsi Rumah Tangga, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Stok Inventori, Ekspor serta Impor akan mengalami penurunan."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T20585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>