Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126265 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hartoyo
"ABSTRAK
Penelitian ini dengan judul Dinamika Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pemilihan judul tersebut dengan pertimbangan :warganegara merupakan salah satu syarat pembentukan negara, kebijakan di bidang kewarganegaraan merupakan amanat konstitusi, permasalahan kewarganegaraan terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, dan merupakan salah satu bentuk pembaruan kebijakan.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif bertipe deskriptif untuk mengetahui 2 hal pokok yaitu dinamika partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan dan menjelaskan faktor-faktor yang mendorong partisipasi. Data diperoleh dari sumber sekunder dan primer. Sumber sekunder berasal dari dokumentasi dalam bentuk cetakan dan media online, sedangkan data primer diperolah dari hasil wawancara dengan informan. Analisis data dilakukan dengan teknik triangulasi yaitu melakukan pengecekan silang terhadap data yang dikumpulkan. Analisis dilakukan simultan dengan pengumpulan data secara berulang-ulang.
Setelah dilakukan analisis data, maka diperolah simpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemerintahan diperlukan dalam rangka meningkat kualitas demokrasi. Intensitas dinamika partisipasi masyarakat terjadi pada tahap persiapan, formulasi, dan paska pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan. Proses interaksi partisipasi mengikuti pola siklus kebijakan. Faktor-faktor yang mendorong partisipasi masyarakat adalah aktor, media massa, lobi, soliditas masyarakat, dinamika masyarakat, dan keterbukaan. Partisipasi masyarakat dilaksanakan melalui mekanisme menyampaikan pendapat, memberi masukan, menjawab permasalahan, menyampaikan petisi, sebagai narasumber dalam diskusi, menyusun draft rancangan undang-undang, peserta dengar pendapat dengan DPR, turut membahas rancangan undang-undang di DPR dalam rapat panitia khusus dan dalam rapat panitia kerja, ?mengawal? pembentukan undang-undang secara formal dan informal, maupun sebagai pelobi.
Partisipasi merupakan salah satu unsur dalam good governance, tetapi apabila dikelola dengan baik dapat berperan sebagai pemicu terwujudnya good governance. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan dapat dijadikan acuan/benchmark dalam menciptakan good regulatory governance. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diperlukan institusionalisasi partisipasi masyarakat, peningkatan kapasitas masyarakat, dan keterbukaan pembentuk undang-undang.

ABSTRACT
This research with the title of Public Participation in Law Formation Number 12 of 2006 on Citizenship of The Republic of Indonesia. The title selection with the consideration: the citizenship is term and condition of the state establishment, policy in the field of citizenship is also mandate of constitution, the problem of citizenship is directly connected with the public necessity, and it is one of the forms of political renewal.
The research is implemented with qualitative approach in the type of descriptive in knowing 2 main cases, namely: (1) public participation dynamic in law formation of citizenship, (2) to explain the factors encourage participation. Data is required from the source of secondary and primary. The secondary source is coming from documentation in the form of printed matters and online media, while primary data is required from the result of interview with the key informant. Analysis data is implemented by using the triangulation technique, namely to do the cross-check against the collected data. The analysis is implemented simultaneously and to collect data in repetition.
After performing the data of analysis, it is simultaneously required that the public participation in the government is needed in the framework of the enhancement of democracy quality. Intensity of public participation dynamic happened in the stage of preparation, formulation, and after the law formation of citizenship. Interaction process in participation follows policy cycles. The factors that encourage the public participation is an actor, mass media, lobby, public solidity, public dynamic, and transparency. The public participation is implemented through mechanism of public hearing, provide with input, problem response, petition submission, and as the source of information in the discussion is to arrange the draft of regulation structure, the participation in the opinion exchange and take a part in discussing regulation structure in The House of People?s Representative in the special committee session and working committee session, to escort the formation of law either formally or informally, and as a lobbies.
Participation is one of the elements in good governance, but if it is well managed, it will function as a trigger of realization of good governance. The public participation in law formation of citizenship can be created as benchmark in establishment of good regulatory governance. In the framework of public participation enhancement in laws formation is required institutionalization of public participation, public capacity enhancement, and transparency of law formation."
Depok: 2010
D996
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2007
R 323.6598 Law
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dep. Hukum dan HAM RI, 2007
323.6 IND u (1);323.6 IND u (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Husniyati
"Esensi Demokrasi adalah kebebasan berbicara dan partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan publik. Aspirasi masyarakat sebagai figur sentral demokrasi harus diserap oleh Negara dalam proses pembentukan undang-undang. Karakter responsif pada proses pembentukan undang-undang belum dapat diwujudkan di Indonesia karena partisipasi masyarakat belum dapat dilaksanakan secara maksimal dan lebih dari itu kompromi-kompromi politik masih ada. Lebih dari pada itu, karakter responsif pada proses pembentukan undang-undang tidak hanya bergantung pada konfigurasi politik yang demokratis namun membutuhkan partisipasi masyarakat secara intensif dan luas. Sama seperti undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-undang No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan masih mempunyai sifat yang represif dan ortodok karena Undang-undang No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum mengedepankan karakter responsif yang menampung dan menyerap aspirasi masyarakat dalam proses pembentukannya walaupun proses pembentukan undang-undang tersebut telah memenuhi standar ketentuan partisipasi masyarakat.

The essence of Democracy is freedom of speech and public participation in any public policy. As the central figure of democracy, the aspiration of citizen shall be absorbed by the country ragarding in law making process. The responsive character in law making process could not yet be fully implemented in Indonesia due to public participation has not been fully performed and the existence of political compromises. Moreover, the responsive character in law making process shall not only depend on democratic political configuration but also intensively and widely public participation. Same as the previous law, which is Law of the Republic of Indonesia Number 8 of 1985 on Community Organization, Law of the Republic of Indonesia Number 17 of 2013 on Community Organization still has repressive and orthodox characteristic due to it does not put the priority on the responsive character by accomodating and absorbing the public's aspiration on its law making process despite of the law making process on Law of the Republic of Indonesia Number 17 of 2013 on Community Organization has already complied with the standard requirement of public participation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinaldi Wiriawan
"Aliansi Pelangi Antar Bangsa yang terdiri dari berbagai komunitas perkawinan campuran di dalamnya adalah organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepentingan dan misi yang sama untuk memperjuangkan perubahan UU kewarganegaraan khususnya UU No. 62 Tahun 1958 yang dianggap masih mengandung diskriminasi terhadap pelaku perkawinan campuran. Untuk mencapai tujuan ini APAB harus mendapatkan dukungan DPR-RI agar perubahan UU No. 62 Tahun 1958 ini menjadi agenda untuk diubah sesuai proses perubahan UU yang berlaku. Sehingga penelitian ini memfokuskan pada pertanyaan penelitian yaitu bagaimana peran dari APAB dalam mempengaruhi proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dijelaskan dengan menggunakan konsep civil society, civil society organization, kelompok kepentingan, serta mekanisme proses pembentukan undang-undang yang berlaku pada konteks penelitian. Penggunaan konsep tersebut didasarkan pada asumsi bahwa APAB berperan sebagai sebuah kelompok kepentingan, salah satu bentuk dari organisasi masyarakat sipil, dalam mempengaruhi proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informasi yang diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan narasumber yang memiliki pengalaman dan pengetahuan langsung terhadap proses perubahan UU tersebut. Dalam menjalankan upayanya, APAB menjalankan perannya dengan melakukan direct lobbying, information campaign dan coalition building. Tujuan penelitian ini adalah melihat bagaimana peran APAB dalam mempengaruhi proses pembuatan UU No. 12 Tahun 2006. Dari hasil penelitian terlihat bahwa APAB dengan menjalankan perannya sebagai kelompok kepentingan berhasil mempengaruhi DPR-RI dalam melakukan proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Aliansi Pelangi Antar Bangsa is a civil society organization that consist of many mixed marriage communities with common mission and objective, which is to change the Law No. 62 Year 1958 about citizenship that was considered by them still consisted discriminative aspects toward mixed marriage families. To reach this objective, APAB must attain the support of DPR (Peoples’ Representatives Board) to put this revision of the Law No.62 Year 1958 to be put into an agenda as the law that is to be revised by DPR according to the existing law. In that case, this research focusing on a question on how is the role of APAB in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006 making process This research will be using some concepts of civil society, civil society organization, pressure groups, and also the mechanism of law making process that applied in this research context to answer that research question. Using these concepts is based on a assumption that APAB role as a pressure group, one kind of a civil society organization, in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006 making process. This research uses qualitative approach to the description. The information was obtained by conducting in depth interviews with the people who were the actors having the direct experience and the direct knowledge about the process of the formation of the new law. In their effort, APAB applies political roles by doing direct lobbying, information campaigning and coalition building. The study aims to observe the role of APAB in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006. The research shows that APAB was successful in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sinar Grafika, 2006
323.602 UND
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Anjelika
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan asas persamaan derajat di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mana asas tersebut diterapkan berdasarkan semangat untuk menghapus segala bentuk diskriminasi yang ada di sistem kewarganegaraan Indonesia khususnya diskriminasi gender terhadap perempuan yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Asas persamaan derajat adalah asas yang menentukan status kewarganegaraan berdasarkan perkawinan campuran yang mana ikatan perkawinan tersebut tidak mempengaruhi status kewarganegaraan para pelaku perkawinan baik itu perempuan maupun laki-laki, atau dengan kata lain baik itu perempuan maupun laki-laki dapat dengan bebas memilih, mempertahankan dan mengganti kewarganegaraan sesuai dengan yang dikehendakinya walaupun mereka terikat oleh suatu perkawinan yang sah. Penerapan asas ini dimaksudkan untuk menghapus segala bentuk disriminasi terhadap perempuan yang ada di sistem kewarganegaraan Indonesia pada saat sebelum berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Naturalisasi yang dilakukan oleh Cristian Gonzales adalah perwujudan perlindungan hak kewarganegaraan berdasarkan asas persamaan derajat karena Cristian Gonzales yang melakukan perkawinan dengan seorang WNI yang bernama Eva Norida sama-sama dapat dengan bebas memilih, mempertahankan dan mengganti kewarganegaraan seperti yang dikehendakinya walaupun mereka terikat suatu perkawinan yang sah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang dilakukan untuk dapat mengetahui sebanyak mungkin pendapat dan/atau konsep para ahli bidang hukum tata negara terutama dalam hal penerapan asas persamaan derajat dalam permohonan Naturalisasi sebagai suatu perlindungan hak kewarganegaraan.

This thesis discussed the applications of the principle of an equation degrees inside the Act of No. 12/2006 on the nationality of the Republic of Indonesia which is implemented based on the principle of spirit to remove all forms of discrimination in the system of citizenship Indonesia, especially in gender discrimination against women which resulted in a violation of human rights. The principle of an equation degrees is the principle that determines status of citizenship based on mixed marriages in which the bonds of marriage was not affecting the status of the nationality of the players in marriage both female and male or in other words whether it?s female and male can be freely chosen, retain and replace citizenship in accordance with they desired even if they were bound by a lawful matrimony. The application of the principle of is intended to remove all forms of discrimination against women in the system of citizenship Indonesia at the time before enactment of the Act No. 12/2006 on the nationality of the Republic of Indonesia. Naturalized done by Cristian Gonzales is the embodiment of the protection of the rights of citizenship based on the principle of an equation degrees because Cristian Gonzales who performs marriage with the one Indonesian citizens who were named Eva Norida equally can be freely chosen, retain and replace citizenship as they desired even though they were tied a lawful matrimony. Methods used in this research is a method of research juridical normative by using data secondary. Data collection is carried out by the library study conducted to be able to know as much as possible of opinions and/or the concept of experts the field of law, especially in the event that the application of the principle of an equation degrees in supplication naturalized as a protection of the rights of citizenship."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42552
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Rini
"Sebagai sebuah negara besar, Indonesia harus menerima perbedaan dan keragaman sebagai sebuah berkah. Perbedaan fisik dan budaya adalah asset. Keragaman tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk saling menjatuhkan dan melanggar hak asasi manusia. Dalam kurun waktu puluhan tahun, warga etnis Tionghoa selalu menjadi sorotan tajam di negeri ini. Mereka sering dipersulit saat mengurus berbagai dokumen kewarganegaraan, disudutkan, dan dijadikan kambing hitam ketika masalah-masalah berbau rasialis muncul di negeri ini. Melalui Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 lah pertama kalinya SBKRI diatur dan ternyata menjadi kewajiban bagi warga etnis Tionghoa untuk mendapatkan pelayanan publik. Hal ini menjadi suatu perlakuan yang diskriminatif bagi mereka. Ratifikasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan pada 11 Juli 2006 oleh DPR dianggap bersejarah karena undang-undang ini menggantikan undang-undang kewarganegaraan yang sudah berumur 48 tahun. Undang-undang kewarganegaraan yang baru dianggap lebih manusiawi dan memuat aspirasi warga etnis Tionghoa untuk diperlakukan sama dengan warga negara yang lain. Memang, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mengatur mengenai SBKRI sebagai bukti kewarganegaraan secara khusus, akan tetapi bila ditafsirkan dari norma yang terkandung di dalamnya, pemaknaan ?orang-orang bangsa Indonesia asli‟, maka secara jelas undang-undang ini mengandung konsep natural born citizenship. Dengan demikian, warga keturunan Tionghoa merupakan warga Indonesia asli yang tidak memerlukan bukti kewarganegaraan, sebagaimana WNA yang melakukan naturalisasi. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan studi dokumen. Studi dokumen tersebut diperoleh dari sejumlah fakta atau keterangan yang terdapat di dalam dokumen, buku-buku, artikel-artikel, dan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian. Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa SBKRI tidak lagi valid setelah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 terbit hanya saja dalam prakteknya masih ada warga etnis Tionghoa yang harus menyertakan SBKRI ketika mengurus dokumen kewarganegaraan dengan berbagai alasan.

As a large country, Indonesia should accept difference and diversity as a blessing. Physical and cultural differences are assets. Diversity should not be used as an excuse to bring down each and violate human rights. In a period of decades, ethnic Chinese have always been under the spotlight in this country. They are often compounded when arranging various documents of citizenship, cornered, and scapegoats when problems arise smelling racist in this country. Through Law No. 62 of 1958, SBKRI for the first time set and turned out to be an obligation for citizens of ethnic Chinese to public service. This becomes a discriminatory treatment to them. Ratification Law No. 12 of 2006 concerning citizenship on July 11, 2006 by the House of Representatives is considered historic because this law replaces legislation citizenship 48 years old. Citizenship legislation recently considered more humane and load aspirations of ethnic Chinese to be treated equally with other citizens. Indeed, Law No. 12 of 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia does not regulate SBKRI as proof of citizenship in particular, but when interpreted from the norms contained in them, meaning 'people of Indonesia native', then clearly the law this contains the concept of natural born citizenship. Thus, an ethnic Chinese Indonesian citizens who do not require the original proof of citizenship, as well as foreigners who commit naturalization. In this study, the writers collected data using interviews and document research. The study documents obtained from a number of facts or information contained in the documents, books, articles, and legislation related to the research topic. The writer can conclude that SBKRI is no longer valid after Law No. 12 of 2006 published, but the reality is there are people who still need SBKRI when issuing citizenship documents with a variety of reasons."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahmawati
"Terjemahan istilah yang mengalami kehilangan dan tambahan tidak jarang ditemukan dalam dokumen hukum karena ketiadaan standardisasi terjemahan istilah hukum di Indonesia. Tesis ini memaparkan fenomena kehilangan dan tambahan dalam terjemahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menerapkan metode studi pustaka, penelitian kualitatif ini dianalisis menggunakan analisis komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 19 istilah yang mengalami kehilangan dan lima istilah yang mengalami tambahan. Berdasarkan jenis makna, kehilangan diklasifikasikan menjadi lima, yakni makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstuaal/situasional, makna tekstual, dan makna sosial budaya. Sementara itu, tambahan yang terjadi hanya tambahan dalam makna leksikal. Faktor penyebab kehilangan ada empat, yaitu masalah kebahasaan, perbedaan budaya, dan sistem hukum/pemerintahan, istilah yang terikat pada sistem hukum, dan kemampuan penerjemah. Faktor penyebab tambahan ada dua, yaitu istilah yang terikat pada sistem hukum dan kemampuan penerjemah. Kehilangan yang dapat dihindari ditemukan pada 16 istilah, sementara kehilangan yang tidak dapat dihindari ditemukan pada lima istilah. Tambahan yang dapat dihindari ditemukan pada lima istilah, sementara tambahan yang tidak dapat dihindari tidak ditemukan. Kehilangan dan tambahan dalam penelitian ini sebagian besar menyebabkan kesalahpahaman karena pesan yang ada pada TSu tidak tersampaikan pada TSa. Semakin banyak kehilangan dan tambahan yang mengakibatkan kesalahpahaman, semakin rendah kualitas terjemahan istilah suatu dokumen dan sebaliknya.

Loss and gain in the translation of legal terminology are unavoidable as there is no standardization of English legal terminologies in Indonesia. This thesis aims to describe the process of loss and gain in the translation of Act Number 12 Year 2011 concerning the Establishment of Laws and Regulations. Applying literature study method, this qualitative research was analyzed by using comparative analysis. The results showed that there were 19 loss and five gain cases in the research. Grouped by the meaning type, there were five classifications of loss, namely loss in lexical meaning, grammatical meaning, contextual/situational meaning, textual meaning, and socio-cultural meaning. Meanwhile, gain cases were classified into one type of meaning, namely gain in lexical meaning. Furthermore, there were four factors that cause loss, namely linguistic problems, cultural and legal / government system differences, legal-system bound, and ability of translators. Factors causing gain were legal-system bound and the ability of translators. In addition, there were 16 avertable loss and five inevitable loss in this research. Avertable gain were found in five cases, while inevitable gain was not found. Most of loss and gain cases in this study led to misunderstanding because the TSu message was not properly conveyed to TSa. The more loss and gain leading to misunderstanding, the lower the quality of the terminology translation of a document and vice versa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T54386
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2006
R 323.659 8 Und
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>