Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134193 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taman Stevia
"ABSTRAK
Dengan diberlakukannya UNCLOS 1982 sebagai hukum positif secara internasional pada tanggal 16 November 1994 maka Indonesia telah diakui sebagai negara kepulauan (Arhipelagic State), kemudian diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS. Wilayah laut Indonesia yang demikian luas memiliki potensi kekayaan alam laut yang besar dengan tingkat keragaman hayati (Biodeversity) yang tinggi. Dalam implementasinya memerlukan pengamanan terhadap sumber daya alam dimaksud utamanya pengamanan batas maritim NKRI, termasuk di daerah Ambalat, yang sekarang juga diklaim Malaysia.

Penelitian ini menggunakan teori strategi maritime sesuai Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN), Teori Mahan dan Corbet yang mengutarakan strategi maritim atau strategi pertahanan maritim dilaut. Penelitian dimulai dengan mengkaji mengkaji teori strategi maritime Mahan dengan teori Kekuatan laut terdiri dari armada niaga, angkatan laut, dan pangkalan, Perkembangan kekuatan laut dipengaruhi oleh 6 komponen Geografi, Posisi Wilayah, Luas Wilayah, Jumlah dan karakter penduduk, Watak bangsa dan Sikap pemerintah. Corbet menggunakan fleet in being, decisive battle dan blockade. Strategi pertahanan Maritim SPLN digunakan TNI AL dengan menggabungkan teori Mahan dan Corbett dilaksanakan dengan penangkalan melalui beberapa kegiatan operasi Naval Diplomacy, Naval Presence , gun boat diplomacy dan Pembangunan Kekuatan modernisasi peralatan tempur yang dapat memberi efek penangkalan (deterrence) dan pertahanan berlapis Penelitian ini bersifat aplikasi terapan yang berusaha untuk menganalisa penerapan suatu kebijakan negara untuk mengatasi suatu kasus yang spesifik , menggunakan Teknik untuk menguji hipotesis dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik strategi maritim Mahan maupun Corbett keduanya digunakan oleh TNI AL dalam kondisi saling mendukung dan belum mendekati ideal atau masih dalam tataran MEF yang di TNI AL masih pada taraf Green Water Navy terbatas yaitu mampu mengatasi 2 trouble spot termasuk di Ambalat. Realitasnya komponen Mahan tidak terlalu kuat, demikian juga komponen Corbett yang hanya dapat melakukan Fleet in Being. Implikasi dari 2 strategi ini yang sama-sama diterapkan oleh Malaysia, deterrence strategi Indonesia terhadap Malaysia tidak akan berhasil. Kekuatan lain yang mendukung strategi Mahan yaitu dengan DIME dimana dukungan masyarakat untuk melaksanakan jihad terhadap Malaysia sebagai semangat persatuan dan kesatuan untuk melaksanakan bela negara yang merupakan pusat kekuatan bangsa dapat digunakan untuk memaksa Malaysia berpikir ulang terhadap provokasinya di Ambalat. Aplikasi dalam perang modern, SPLN lebih kepada naval strategy, sebagai SPMI belum mendapt pengakuan dari Dephan atau masih sepihak TNI AL karena Dephan baru membuat strategi pertahanan negara sedangkan pemahaman SPMI yang merupakan implementasi dari strategi pertahanan negara di laut secara substansial belum dapat diaplikasikan karena secara legal formal belum terstruktur di dalam strategi pertahanan negara Penelitian ini mendukung teori Mahan tetap bisa digunakan dalam SPLN dengan penguatan komponennya. Sedangkan teori Corbett dapat digunakan untuk ops. Laut di Ambalat dengan Fleet in Being. Baik teori Mahan atau Corbett keduanya masih relevan untuk mendukung SPMI dalam hal ini SPLN. Ini menjawab pertanyaan penelitian bahwa SPMI adalah SPLN dengan menggunakan teori Mahan dan Corbett, hipotesis pertama dan kedua dapat diterima.


ABSTRACT

With the implementation of UNCLOS in 1982 as positive international law on 16 November 1994, Indonesia has been recognized as an archipelago (Archipelagic State), and then ratified by Indonesia with Law Number 17 Year 1985 on the ratification of UNCLOS. Indonesia's marine area is so vast natural wealth has the potential of large marine biodiversity level (Biodiversity) high. In its implementation requires the security of natural resources is the main maritime boundary Homeland security, including in the Ambalat area, which now also claimed by Malaysia.

This study uses the theory of maritime strategy based on the Archipelagic Sea Defense Strategy (SPLN), the theory of Mahan and Corbet who expresses the strategy of maritime or maritime defense strategy in the sea. The study begins by examining the maritime strategy of studying the theory of Mahan with the theory of sea power consists of the merchant marine, navy, and the base, the development of sea power influenced by the six components of Geography, Regional Position, Area, Number and character of the population, the nation's character and attitude of the government. Corbet using a fleet in being, decisive battle and blockade. SPLN Maritime defense strategy used by the Navy to combine the theory of Mahan and Corbett deterrence implemented through several activities Diplomacy Naval operations, Naval Presence, gun boat diplomacy and Strength Development of fighter modernization of equipment that can give effect to deterrence and layered defense is the application of this research applied which seeks to analyze the implementation of a state policy to address a specific case, using the technique to test the hypothesis by qualitative methods.

Both results showed that Mahan and Corbett's maritime strategy used by the Navy both in conditions of mutual support and yet close to the ideal or still at the level of MEF is in the Navy is still at a limited level of Green Water Navy is able to overcome the two trouble spots, including the Ambalat. The reality is not too strong Mahan components, as well as components that can only be done Corbett Fleet in Being. The implications of these two strategies which are equally applied by Malaysia, Indonesia against Malaysia's deterrence strategy will not succeed. Other forces that support our strategy are to Dime Mahan where public support to carry out jihad against Malaysia as a spirit of unity and cohesion to carry out the defending state which is the nation's power center can be used to force Malaysia to re-think of provocation in Ambalat. Applications in modern warfare, SPLN more to naval strategy, as yet SPMI recognize by the Department of Defense is still the Navy unilaterally because of the new Department of Defense made the country's defense strategy while understanding that SPMI is an implementation of the strategy of national defense at sea cannot be applied substantially as legally not formally structured within the country's defense strategy This study supports the theory of Mahan and equipment can be used in SPLN by strengthening components. While Corbett's theory can be used for operation at sea with the Fleet in Being Ambalat. Either Mahan or Corbett's theory is still relevant both to support in this regard SPLN as SPMI. It answers questions that the SPMI is SPLN research using the theory of Mahan and Corbett, the first and second hypothesis can be accepted.

"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27809
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Luna Puspita
"Fokus dari skripsi ini adalah untuk membahas prinsip perbatasan maritime dan penerapannya pada Sengketa Laut Cina Selatan, khususnya pada batas maritim negara penuntut. Skripsi ini juga menguraikan lebih lanjut mengenai posisi Indonesia di dalam sengketa tersebut. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai Sengketa Laut Cina Selatan dan mendiskusikan lebih lanjut mengenai negara penutut yang mana yang memiliki klaim paling sah di Laut Cina Selatan.

The focus of this thesis is to discuss the maritime boundaries principle and applying the principle in the South China Sea Dispute regarding the maritime boundaries of the Claimant States. The thesis also elaborates more about Indonesia's position in the dispute. The purpose of this thesis is to give a more thorough understanding about the South China Sea Dispute, and discuss further regarding which claimant state has the most legitimate claim in the South China Sea.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56468
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramanitya Citra Khadifa
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa kerja sama keamanan berhasil dilakukan dan berjalan efektif, meskipun terdapat sensitivitas antarnegara. Hal ini terjadi dalam kesepakatan kerja sama keamanan maritim di Laut Sulu pada tahun 2016, yaitu Trilateral Cooperative Arrangement (TCA), yang berhasil mereduksi ancaman keamanan di Laut Sulu di tengah isu sengketa wilayah Sabah antara Malaysia dan Filipina. Klaim atas wilayah Sabah yang dilontarkan oleh Presiden Rodrigo Duterte pada tahun 2016 menimbulkan sensitivitas dalam hubungan antara Malaysia dan Filipina. Namun, pada saat yang sama, ancaman di Laut Sulu akibat kejahatan transnasional semakin meningkat. Dengan menggunakan teori kerja sama dalam sistem anarki, penelitian ini berargumen bahwa kerja sama antara Filipina dan Malaysia terwujud karena adanya tiga faktor. Ketiga faktor tersebut adalah adanya kepentingan bersama Malaysia dan Filipina terhadap Laut Sulu, proyeksi kekhawatiran atas ancaman di masa depan, dan jumlah aktor serta pemilihan mitra kerja sama yang sesuai. Melalui pendekatan kualitatif dan metode causal-process tracing, ditemukan bahwa ketiga faktor ini mendorong Malaysia dan Filipina untuk memprioritaskan kerja sama dalam mengatasi ancaman keamanan di Laut Sulu serta mengesampingkan sensitivitas akibat sengketa wilayah Sabah.

This research aims to explain why security cooperation can be successfully carried out and effectively run despite the sensitivities between the cooperating countries. This can be observed in the Trilateral Cooperative Arrangement (TCA) in the Sulu Sea in 2016, which effectively reduced security threats in the Sulu Sea despite the Sabah territorial dispute between Malaysia and the Philippines. In 2016, President Rodrigo Duterte's claim to the Sabah region reignited tension between Malaysia and the Philippines. But at the same time, the threat in the Sulu Sea from transnational crime was increasing. By applying the theory of cooperation under anarchy, this research demonstrates that cooperation between Malaysia and the Philippines is feasible due to three key factors: both Malaysia and the Philippines have a mutuality of interest in the Sulu Sea, they are concerned about future security threats, and numbers of actors involved and partner selection. Through a qualitative approach and causal-process tracing method, this research found that these three factors led Malaysia and the Philippines to prioritize addressing security threats in the Sulu Sea, considering it a paramount concern. As a result, the two countries prioritize forging a cooperative agreement over the issue of the Sabah dispute.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sathila Kusumaningtyas
"Tesis ini meneliti tentang hambatan yang dihadapi Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam kerja sama patroli maritim trilateral (trilateral maritime patrol) di Laut Sulu dan Sulawesi dengan menggunakan kelima variabel rezim keamanan yakni norma dan prinsip, aturan main, kepentingan nasional, kekuatan politik, dan pengetahuan yang didasari oleh ancaman yang ada di kawasan Laut Sulu dan Sulawesi. Analisis tersebut memberikan hasil bahwa ketiga negara kesulitan melakukan kerja sama dikarenakan beberapa hambatan berikut: prinsip kedaulatan dalam ASEAN Way yang dianut ketiga negara justru menghambat pelaksanaan patroli, aturan main dalam TCA tidak mengikat secara hukum dan tidak mengatur perluasan hak pengejaran seketika, adanya kepentingan nasional yang tumpang-tindih membuat negara-negara lalai akan tujuan utama kerja sama, dan terdapat ketimpangan yang cukup besar dalam kekuatan politik ketiga negara. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara dengan insentif kerja sama terbesar perlu untuk terus mendorong kedua negara lainnya untuk segera merealisasikan kerja sama. Selain itu ketiga negara perlu menunjuk keketuaan atau koordinator secara bergiliran untuk menjamin pertanggungjawaban pelaksanaan kerja sama dan merumuskan aturan main yang lebih mengikat secara hukum.Ketiga negara juga perlu untuk bekerja sama dalam capacity building untuk membantu negara yang lebih lemah menyetarakan (jenis dan teknologi) kapal-kapal yang akan digunakan untuk patroli agar memudahkan dalam komando dan pengendaliannya.

This thesis examines the obstacles faced by Indonesia, Malaysia and the Philippines in the cooperation of trilateral maritime patrols in the Sulu Sea and Sulawesi. In analyzing these obstacles, this thesis uses the five variables of the security regime: norms and principles, rules of conduct, national interests, political power, and knowledge based on the threats that exist in the Sulu and Sulawesi. The purpose of this exercise to identify the constraints that exist in the joint trilateral joint patrol cooperation between Indonesia, Malaysia and the Philippines. This thesis finds that the three countries embrace the norms and principles of the ASEAN Way which embraces the principle of sovereignty, and as such erodes the effectiveness of cooperation. In addition, the TCA principles result in the absence of legally-binding, and the regulation of the extention of the right of hot pursuit. The over-emphasis on non-intervention in the pursuit of national interests leads tothe neglect of the main purpose of cooperation, and there is considerable imbalance in the political power of the three countries. Therefore, referring to the concept of the security regime, this cooperation will not work effectively if the variables in the regime are not met. Indonesia as a country with the largest cooperation incentives needs to continue to encourage the other two countries to immediately realize the critical significan of the cooperation. In addition, the three countries also need to appoint a coordinator to ensure the accountability of the implementation of cooperation.There is also a need to formulate more legally binding rules. Finally, the states in the region need cooperate in the capacity building that helps weaker states to equalize the type and technology of vessels to be used for patrols to facilitate command and control.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Ayu Sartika Candra
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengidentifikasi kewenangan lembaga pemerintah dalam penegakan hukum di wilayah laut Indonesia. Permasalahan yang dibahas diantaranya mengenai pengaturan peran dan kewenangan lembaga pemerintah dalam menyelenggarakan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia, serta dampak terhadap kewenangan yang sama antara lembaga pemerintah dalam menyelenggarakan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif berdasarkan teori kewenangan dengan data sekunder. Hasil yang diperoleh adalah Indonesia mempunyai enam lembaga penegak hukum di wilayah laut antara lain Badan Keamanan Laut, TNI Angkatan Laut, Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Ditjen Bea Cukai, Polair, dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai. Keenam lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang sama sehingga dapat mengakibatkan tumpang tindih yang berdampak pada ego sektoral antar-lembaga penegak hukum, ambiguitas peran sebagai Indonesia sea and coast guard, respon negatif dari negara lain terhadap lembaga penegak hukum wilayah laut di Indonesia dan lemahnya pengaturan kewenangan Bakamla dalam penegakan bhukum di wilayah laut. Pemerintah perlu menerapkan konsepsi omnibus law dengan merevisi/mengubah, mengganti, mencabut atau menggambungkan agar tidak terjadi pertentangan antar peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pemerintah perlu merumuskan peraturan perundang-undangan baru dengan menetapkan lembaga yang berwenang sebagai Indonesia sea and coast guard.

The purpose of this research aims to analyze and identify the authority of government agencies in law enforcement in the Indonesian marine area. Issues discussed include regulating the role and authority, as well as the impact on the same authority between government agencies to carry out law enforcement in Indonesian marine areas. The research method used is a normative juridical method based on the theory of authority with secondary data. The results obtained are that Indonesia has six law enforcement agencies in the marine area, consist of the Indonesia Maritime Security Agency, the Directorate General of Surveillance and Control of Marine and Fishery Resources, the Directorate General of Customs and Excise, the Directorate Marine Police, and the Directorate Indonesian Sea and Coast Guard. The six agencies have the same authority that can lead to impact on sectoral egos between law enforcement agencies, ambiguity in the role of Indonesia as a sea and coast guard, negative responses from other countries to law enforcement agencies in Indonesia's marine areas and the weak regulation of Indonesia Maritime Security Agency. The government needs to implement the omnibus law concept by revising/amending, replacing, revoking or merging so that there is no conflict between laws and regulations. In addition, the Government needs to formulate new laws and regulations by establishing an authorized institution as the Indonesian sea and coast guard."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susilo Kaeri
"Tesis ini berjudul, "Pemberdayaan Industri Maritim Dalam Rangka Meningkatkan Kekuatan Laut, Perspektif Ketahanan Nasional (Studi Kasus PT. PAL Indonesia )". Tesis ini berusaha untuk menjelaskan kontribusi PT. PAL Indonesia terhadap Ketahanan Nasional, khususnya kekuatan laut, dari dimensi aspek pertahanan dan keamanan (Hankam) serta ekonomi.
Indonesia sebagai Negara kepulauan, sesuai dengan United Nations Convention on Law of The Sea (UNCLOS) 1982, untuk itu peran laut sangat penting bagi Indonesia dari aspek ekonomi, dan aspek pertahanan dan keamanan (keutuhan bangsa). Laut se4bagai medium yang akan menyatukan semua pulau-pulau dan penduduknya bersama sebagai sebuah keutuhan bangsa, sehingga saran kapal sebagai peralatan transportasi taut sangat penting. Pembangunan nasional yang berbasiskan paradigma maritim adalah penting sebagai Negara kepulauan, khususnya pembangunan industri maritim (perkapalan) sebab industri ini sebagai pemimpin untuk industri lainnya yang berbasiskan maritim seperti; industri perikanan, industri pariwisata bahari, industri Migas (off Shore), industri transportasi laut. PT. PAL Indonesia sebagai sebuah industri maritim di Negara kepulauan merupakan industri strategis. PT. PAL merupakan sebuah industri terbesar di Indonesia yang ditetapkan pemerintah sebagai industri strategis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan interpretasi dan analisis keberadaan PT. PAL Indonesia yang mencakup: 1). Produk yang dihasilkan dan kontribusinya terhadap kekuatan taut dan ketahanan nasional. 2). Produktifitas dalam menghasilkan produk barang dan jasa. 3). Menemukan strategi pemberdayaan PT. PAL dalam upaya meningkatkan kekuatan taut dan ketahanan nasional.
Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan menggunakan metode deskriftif dan analisa data menggunakan model SWOT. Metode deskriftif bertujuan untuk menggambarkan kondisi kenyataan yang ada, sedangkan analisa model SWOT bertujuan untuk menemukan sebuah strategi pemberdayaan yang tepat pada PT. PAL yang berdasarkan pada variabel internal dan ekstemal perusahaan.
Hasit Penelitian: 1) Produk yang dihasilkan PT. PAL meliputi barang dan jasa, barang terdiri dari kapal dan peralatan pembangkit tenaga listrik, sedangkan jasa meliputi jasa perbaikan dan pemeliharaan kapal dan pabrik (industri). 2) Kontribusi PT. PAL terhadap kekuatan utatna pertahanan dan keamanan (hankam) berupa kapal patron dan kapal perang (KRI) yang baru, hanya sekitar 11,84 persen. 3) Kontribusi PT. PAL dalam memberikan sumbangan pendapatan nasional barn sekitar 0,039 persen dari keseluruhan PDB nasional Tabun 2005. 4) Berdasarkan analisis menggunakan model SWOT posisi PT. PAL berada di kwadran pertama, sehingga strategi yang harus dijalankan bersifat ekspansi atau agresif.
PT. PAL dengan menggunakan strategi pemeberdayaan bersifat ekspansi atau agresif diharapkan dapat untuk meningkatkan produktifitas, selanjutnya secara tidak Iangsung akan menciptakan kesejahteraan dan pendapatan nasional. Kemampuan industri maritim yang baik akan menciptakan kekuatan laut yang kuat, dan secara tidak langsung akan meningkatkan Ketahanan nasional juga.

The title this thesis, "Maritime industry Empowerment, For to improve Sea Power, In The Perspective National Resilience (Case Study of PT. PAL Indonesia)". This Thesis is attempting to explain contribute PT. PAL Indonesia toward National Resilience, especially of Sea Power, dimension defence and security and economic aspects.
Indonesia as an archipelago state based on United Nations on Law of The Sea (UNCLOS) 1982,-for that role of the sea very important to Indonesia, for economic, defence and security aspects (united nation). The sea as medium that will unite all those island and their people together as a united nation. For that equipment ships (sea Vessel) as a sea transportation very important. National development that base on maritime paradigm is importance as archipelago state, especially development of maritime industry, because this industry as leader to others industries that based on maritime, as fishing industry, Maritime tourism industry, oil and gas industry (off Shore) and sea transportation. PT. PAL Indonesia is a madtime industry in Indonesia as archipelago state, It was estabilished by government as strategic industry.
The purpose for this research is to give interpretation and analysis exsistancy of PT. PAL Indonesia that involve : 1) Products are out of PT. PAL and their contribution toward sea power and national resilience. 2) Productivity out of PT. PAL is making materials and service products. 3) To find empowerment strategy of PT. PAL to improve sea power and national resilience.
This type of research is qualitative, with use descriftive methods and data analysis use SWOT model. Descreftive methods is aim to describing the real condition, whereas SWOT model is aim to find empowerment strategy that exact at PT. PAL that based on internal and external variable of company.
Research result: 1) Products are out of PT. PAL involve material and service, material consist of ships and equipments for electric of power energy, whereas service consist of repair and maintenance service for ships and industries. 2) PT. PAL contributed toward main power defence and security aspects involved patrol ships and war ships appmximatly 11,84 %. 3) PT. PAL had gave contribution to national income for year 2005 only 0,039 % from total national income (PDB). 4) based on SWOT analysis, the position of PT. PAL at first kwadrant (SO: Strenght-Opportunity), so strategy must be done by PT. PAL was exspancy or aggressive. PT. PAL that use expancy empowerment strategy is hoped to increase productivity, furthermore indirectly will be create prosperity and national income. Good maritime industry capability will become sea power is strong, and so indirectly this improve national resilience too."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T 17594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T36174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kalalo, Flora Pricilla
Manado: Logoz, 2009
343.096 FLO i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pudia Hwai Willy Wibowo
"Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga quasi yudisial yang melaksanakan fungsi yudisial (mengadili) dalam hal terjadinya kecelakaan kapal, walaupun tidak termasuk peradilan yang secara limitatif diatur dalam Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Permasalahan muncul saat pihak yang diperiksa dan dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Pelayaran ternyata diproses kembali secara pidana dan kemudian dalam penjatuhan sanksi pidananya, hakim juga menggunakan putusan Mahkamah Pelayaran sebagai bahan pertimbangannya dalam menjatuhkan putusan. Walaupun begitu ternyata dua kali pemrosesan tidak melanggar asas Ne Bis In Idem dengan tidak terpenuhi dua syarat keberlakuannya, serta penggunaan putusan Mahkamah Pelayaran tidak akan melanggar asas Non-Self Incrimination tergantung dari cara penggunaannya.

Voyage Court is a quasi-judicial institution which perform judicial functions (try) in the event of ship accident, although not included in the limitative regulated court in the Law of Judicial Power. Problems arise when party are examined and sanction by the Voyage Court turned out to be processed again in a Criminal Court and at the imposition of criminal sanctions, the judge also uses Voyage Court decision as a consideration material for its decision. Although the twice processing itself does not violate the principle of Ne Bis In Idem with some of the unmet requirements and the use of Voyage Court decision would not violate the principle of Non-Self-Incrimination depending on how to use it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22602
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prijanto
Malang: Bayumedia, 2007
341.7 HER h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>