Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47545 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inayati Noor Thahir
"Tesis ini meneliti mengenai hak jaminan kebendaan yang dapat dibebankan atas pesawat terbang setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode analisis kualitatif. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak menyebutkan secara tegas lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas pesawat udara. Penjaminan pesawat terbang dan helikopter dengan menggunakan hipotik yang berlangsung saat ini tidaklah menimbulkan hak preferen bagi kreditor karena yang dapat dilaksanakan hanya Akta Kuasa Membebankan Hipotik. Pencatatan yang dilakukan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan hanya menghasilkan Surat Keterangan. Gadai juga tidak bisa dibebankan pada pesawat udara karena debitor harus melepaskan pesawat udara dari kekuasaannya dan menyerahkannya pada kreditor. Pesawat udara juga tidak mungkin dibebankan dengan hak tanggungan karena objek dari hak tanggungan adalah hak atas tanah dan benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan fidusia tidak dapat dibebankan pada pesawat udara. Namun dalam undang-undang tersebut tidak ada larangan untuk menjadikan bagian pesawat udara seperti mesin pesawat udara dan/atau suku cadang pesawat udara untuk dijadikan objek jaminan fidusia. Dengan demikian Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan belum memberikan jalan keluar mengenai lembaga jaminan kebendaan yang dapat dibebankan atas pesawat udara di Indonesia. Kaitan antara hak jaminan kebendaan atas pesawat terbang dan Konvensi Cape Town adalah perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan perlindungan sebagai kepentingan internasional berdasarkan Konvensi Cape Town. Ratifikasi Konvensi Cape Town dan pengaturannya dalam Undang-undang Penerbangan hanya memberikan jalan keluar bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang dibebankan atas pesawat udara yang dipasang berdasarkan hukum asing, tetapi pesawatnya didaftarkan dan dioperasikan di Indonesia. Perlindungan kreditor berdasarkan Kovensi Cape Town salah satunya adalah penghapusan pendaftaran pesawat udara dan melakukan eksport pesawat udara dengan seketika dan tanpa putusan pengadilan melalui Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor (Irrevocable deregistration and export request authorization/ IDERA) atas pesawat udara yang memiliki tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran Indonesia. IDERA hanya dapat dilaksanakan di Indonesia apabila telah didaftarkan/dicatat oleh Menteri Perhubungan. Peran Notaris dalam pembebanan jaminan fidusia atas mesin pesawat udara dan/atau suku cadang pesawat udara adalah dengan membuat akta Jaminan Fidusia dan melakukan pendaftaran fidusia pada Kantor Pencatatan Fidusia, selain itu Notaris juga dapat bertindak selaku kuasa dari debitor untuk mendaftarkan IDERA.

This thesis discusses about the security right may be charged for the aircraft after the enactment of Law Number 1 Year 2009, using a normative juridical research methods and qualitative analysis methods. Law Number 1 Year 2009 does not expressly mention the security right that can be charged for the aircraft. Security for both aircraft and helicopters using mortgage today does not give any secured right for creditors since only the Deed of Power of Attorney to Mortgage Charges is able to be exercised. The recordation conducted by the Directorate General of Air Transportation of the Ministry of Transportation only issues a statement letter. A pledge cannot also be charged to the aircraft because in this scheme the debtor must deliver it to the creditor. Moreover, aircraft is also not possible to be charged through Hak Tanggungan due to its object which is only land or others belonging to the land. On the other hand, Law Number 42 Year 1999 regarding Fiduciary Guaranty clearly states fiduciary guaranty cannot be charged to the aircraft; although, there is no provision in the law which prohibits charging parts of an aircraft, such as its engines and/or spare parts, as the object of the fiduciary guaranty. In other words, it indicates that Law Number 1 Year 2009 has not provided any solution for problems about what security right may be charged to the aircraft. The correlation between this issue and the Cape Town Convention is that security agreement is a way to gain protection as an international interest under this convention. Ratification of the Cape Town Convention and the adoption of it into the Indonesian Aviation Law only gives solution for creditors who hold security right?conducted with the foreign laws?of aircraft, but it is registered and operated in this country. One of the protections for creditors under the convention is the deregulation of aircraft registration and export immediately and without the court decision, through a power of attorney that cannot be revoked to request of nullification of the registration and export (irrevocable deregistration and export request authorization/IDERA) of the aircraft with Indonesian nationality and registration marks. The IDERA can be enforced in Indonesia only after it has been registered or recorded by the Ministry of Transportation. The roles of Notary in this fiduciary assignment of aircraft engines and/or its spare parts are to prepare the related deed and register it to the Fiduciary Registration Office. In addition, Notary also acts as an attorney of the debtor to register the IDERA."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27785
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Yuliawiranti S.
"Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Mengenai pengertian "kemerdekaan pers" itu sendiri di dunia terdapat bermacam-macam konsep dan persepsi yang berbeda, tergantung dari latar belakang, sistem sosial dan sistem politik, serta filsafat yang mendasarinya. Bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia yang merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia adalah pelaksanaan yang bersifat partikularistik relatif artinya bahwa pelaksanaan hak asasi manusia dalam konteks kemerdekaan pers ini pemberlakuannya harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, jadi bukan pelaksanaan yang tidak terbatas tetapi pelaksanaan yang bebas bertanggung jawab. Karena terdapat rambu-rambu yang harus ditaati yang membatasi kemerdekaan pers itu sendiri. Rambu-rambu itu adalah pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Jurnalistik. Perkembangan kemerdekaan pers di Indonesia pasca berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Amandemen UUD 1945 masih belum maksimal karena selama kurun waktu dua tahun terakhir kemerdekaan pers di Indonesia mengalami kemunduran citranya di mata dunia internasional."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faiz Anwar Fadjriyan
"Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, kedudukan kreditur pemegang jaminan kebendaan pesawat terbang diperoleh denganadanya pengaturan mengenai Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali (Irrevocable Deregistration and Export Request Authorization/IDERA), yakni Kreditur pemegang jaminan kebendaan pesawat udara dapat melakukan penghapusanpendaftaran pesawat udara dan melakukan ekspor pesawat udara dengan seketika tanpamemerlukan putusan pengadilan sepanjang Kreditur telah diberikan kuasa IDERAtersebut oleh Debitur. IDERA bukan merupakan jaminan sebagaimana diatur dalamketentuan peraturan perundang-undangan seperti Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotek, dan Gadai. Namun IDERA hanya merupakan surat kuasa yang diberikan oleh debitur yang memiliki nomor registrasi pesawat udara di Indonesia kepada kreditor yangtidakdapat dicabut kembali untuk melakukan penghapusan pendaftaran nomor registrasi pesawat udara sehingga kreditor dapat melakukan eksekusi dengan seketika terhadappesawat udara sebagai objek perjanjian tanpa memerlukan putusan pengadilan. Denganmenggunakan metode penelitian yuridis normatif menggunakan pendekatan peraturanperundang-undangan atau statute approach, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana Kedudukan Kreditur Pemegang Jaminan Kebendaan Pesawat Terbangsetelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

After the enactment of Law Number 1 of 2009 concerning Aviation, the holder of anaircraft material guarantee creditor is obtained by means of an arrangement regardinganIrrevocable Deregistration and Export Request Authorization / IDERA, namelytheholder of an aircraft material guarantee creditor can delist the aircraft and export theaircraft immediately without requiring a court decision as long as the Creditor has beengiven the IDERA power of attorney by the Debtor. IDERA is not a guaranteeasstipulated in the provisions of laws and regulations such as Fiduciary, Mortgage andPledge. However, IDERA is only a power of attorney given by a debitor who has anaircraft registration number in Indonesia to a creditor that cannot be revoked to deletethe registration of an aircraft registration number so that the creditor can immediatelyexecute the aircraft as the object of the agreement without requiring a dispute settlement. By using a normative juridical research method using a statutory or statutory approach, this paper will analyze how the position of a creditor having collateral for aircraft assetsafter enacting Law Number 1 of 2009 concerning Aviation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Pengayoman, 2001
323.4 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.

Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S24263
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idzhar Maulana
"Hak Cipta merupakan rezim perlindungan bagi pencipta yang didalamnya terkandung hak moral dan hak ekonomi. Dilihat dari sejarahnya, kedua hak tersebut timbul dikarenakan adanya dua sistem hukum yang berbeda, yakni sistem hukum common law yang mencampurkan antara hak ekonomi dengan hak moral, dan sistem hukum civil law yang mengedepankan hak moral dibandingkan hak ekonomi serta memisahkan diantara keduanya. Namun, Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum civil law justru mencampurkan kedua hak tersebut dengan memasukkan bentuk hak moral ke dalam pengaturan hak ekonomi pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Maka dari itu, penelitian ini mengkhususkan pembahasan pada pengaturan hak moral dan hak ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan beberapa pandangan terkait dengan kedua hak tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif yang mana berlandaskan pada bahan pustaka atau data sekunder atau dengan kata lain penelitian ini mengacu pada norma hukum peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait dengan hak cipta. Hasil penelitian ini adalah terdapat pencampuran hak moral dan hak ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menunjukkan bahwa pembuat undang-undang menggunakan monist theory dalam mengatur kedua hak tersebut. Sehingga diperlukan konsistensi dari pembuat undang-undang dalam mengatur kedua hak tersebut agar sesuai dengan sistem hukum dan filosofi bangsa Indonesia.

Copyright is a protection for the creator that includes moral rights and economic rights. Judging from its history, the two rights arise because of two different legal systems, namely the common law legal system which mixes economic rights with moral rights, and the civil law legal system which is a moral right compared to an economic right and separates the two. However, Indonesia that adheres to a civil law system, precisely mixes the two rights by incorporating a form of moral right into the regulation of rights in Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. Therefore, this study focuses on the discussion of the regulation of moral rights and economic rights in Law Number 28 of 2014 concerning copyright and several doctrines related to these two rights. This research was conducted with a juridical-normative research method, which is based on library materials or secondary data, or in other words, this research refers to the legal norms of laws and regulations and other document references related to copyright. The results of this study show that there is a mixture of moral rights and economic rights in Law No. 28 of 2014 concerning Copyright, which shows that legislators use monist theory in regulating these two rights. Therefore, the consistency of the legislators is needed in regulating these two rights so that they are in accordance with the legal system and philosophy of Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>