Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57695 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jamal D. Rahman
"Cerpen "Langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin, yang diumumkan majalah Sastra edisi Agustus 1968, telah memancing reaksi dan kontroversi tentang apakah personifikasi Tuhan atau antropomorfisme dalam cerpen tersebut dapat dibenarkan dari sudut pandang agama Islam. Lebih jauh, kontroversi berkembang ke arah apakah cerpen tersebut menghina Nabi Muhammad dan merendahkan Tuhan. Reaksi dan kontroversi, mulai pelarangan peredaran majalah Sastra, unjuk rasa, pernyataan sikap, diskusi, polemik, hingga sidang pengadilan, terus berlanjut hingga awal tahun 1970-an,dan seringkali dikenang setiap kali ada masalah menyangkut hubungan sastra, imajinasi, kebebasan mencipta, dan agama atau Tuhan.
Menggunakan pendekatan sintaksis semiotis, tesis ini membuktikan bahwa perbedaan pendapat antara para pembela dan pendukung antropomorfisme Kipandjikusmin ⎯sampai sikap masin-masing yang sangat keras⎯ merupakan konsekuensi dari cara kerja sistem tanda semiotis dalam cerpen "Langit Makin Mendung" itu sendiri. Sedemikian rupa mekanisme operasi tanda-tanda itu, sehingga bahkan memungkinkan juga perbedaan interpretan (tafsir) yang amat jauh. Kian jauh interpretan dari pusat tanda semiotis, perbedaan interpretan cenderung mengarah pada pertentangan, dan semakin jauh lagi dari pusat tanda, pertentangan cenderung mengarah pada pertentangan yang lebih keras. Semua ini dimungkinkan oleh tata kerja tandatandadalam cerpen "Langit Makin Mendung"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firmiani
"ABSTRAK
Cerita pendek Langit Makin Mendung menimbulkan Heboh Sastra pada tahun 1968. Hal ini disebabkan, personifikasi Tuhan di dalam cerita pendek tersebut menyinggung perasaan sebagian umat Islam. Faktor-faktor penyebab timbulnya kehe_bohan itu merupakan masalah yang menarik untuk ditelaah. Karena itu, skripsi ini bertujuan mengaitkan beberapa unsur Langit Makin Mendung dengan segi-segi Heboh Sastra tahun 1968, yaitu antara lain konsep agama, situasi penerbitan, dan masalah sosial politik.Karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya jika di_pisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya karena ia bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri. Isi sebuah karya sastra tidak jarang dikendalikan atau disensor oleh sistem penguasa. Pengetahuan mengenai struktur teks dapat dipergunakan untuk lebih memahami gejala-gejala sosial yang ada di luar sastra. Hal ini dikemukakan oleh S.N. Grebstein, Ronald Tanaka, dan Sapardi Djoko Damono. Pendekatan sosiologi sastra terhadap Langit Makin Mendung membuahkan suatu ke simpulan , yaitu percampuran berbagai konsep agama dalam cerita pendek itu menimbulkan gejolak so_sial sehingga mengaburkan arah kritiknya. Faktor inilah anta_ra lain yang menyebabkan Heboh Sastra tahun 1968.

"
1986
S11296
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pattynama, Rizky Aisis
"Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra adalah gambar kehidupan yang ada di sekitar kita karena sastra adalah cerminan masyarakat. Sastra adalah dunia kecil yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat masalah-masalah kehidupan yang bersumber dari realitas sosial atau kehidupan lingkungan sosial yang ada di alam pikiran pengarang maupun yang dilihat oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Damono dalam Najid (2003:9) bahwa sastra adalah cermin kehidupan. Sastra merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Jurnal ini akan membandingkan aspek sosiologi sastra pada novel Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin dan Rue Deschambault – Les Deux Nègres Karya Gabrielle Roy.

Literature was not born out of nothing. Literature is an image of life that is all around us because literature is a reflection of society. Literature is a little world created by the author in which there are the issues of life that comes from the social reality or social environments of life that is in the minds of the authors and are seen by the author. This is in line with what was said by Damono in Najid (2003:9) that literature is a mirror of life. Literature is the crystallization of values ​​and life experiences. This journal will compare aspects of the sociology of literature on the novel Langit Makin Mendung by Ki Panji Kusmin with Rue Deschambault - Les Deux Nègres by Gabrielle Roy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Soedarsono
Jakarta: Departemen P dan K, 1986
D 899.2 S 424 u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Apipudin
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Diani Rizki Inirakha
"Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai antropomorfisme yang ada di dalam film Porco Rosso karya Hayao Miyazaki. Teori yang digunakan adalah teori antropomorfisme kesusastraan menurut Carolyn L. Burke dan Joby G. Copenhaver. Melalui teori tersebut dapat terlihat bahwa Miyazaki menggunakan antropomorfisme sebagai gaya karya sastra dalam kesusastraan untuk menyampaikan gagasannnya yang mengkritik sifat manusia melalui ide-ide yang dikemukakan dan digambarkan oleh Porco. Fisher mengkategorikan antropomorfisme menjadi dua, yaitu antropomorfisme interpretatif dan antropomorfisme imajinatif. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa antropomorfisme dalam Porco Rosso bersifat imajinatif bukan interpretatif, artinya objek atau hewan yang digunakan di dalam animasi diperlakukan seperti manusia yaitu memiliki kepribadian dan melakukan kegiatan.

In this research I will discuss anthropomorphism reflected in Hayao Miyazaki 39 s film, Porco Rosso. The theory used is the theory of antropomorphism literature according to Carolyn L. Burke and Joby G. Copenhaver. Through this theory we can perceive that Miyazaki used antropomorphism as a literature style that criticizes human characteristics through the ideas illustrated by Porco. Fisher categorized two types of antropomorphism, which include interpretative antropomorphism and imaginative antropomorphism. Through this research it is concluded that the antropomorphism reflected in the film Porco Rosso is imaginative and not interpretative, which means the objects or animals used in the animation is treated like human that have personality and activities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Kusumaningrum
"Antropomorfisme adalah salah satu perangkat sastra yang tidak hanya digunakan dalam karya sastra, namun juga sering digunakan dalam film, terutama film animasi. Studio Ghibli, sebuah studio animasi dari Jepang, sering kali menggunakan antropomorfisme dalam film mereka, salah satunya dalam film Neko no Ongaeshi (2002). Untuk mengkaji antropomorfisme dalam film ini, penulis menggunakan teori-teori antropomorfisme dari Wells (1998; 2009) dan Danielsson (2020). Temuan dari penelitian ini adalah tokoh-tokoh hewan antropomorfik dalam film ini sebagian besar masih tetap mempertahankan beberapa perilaku alami hewan mereka. Tokoh-tokoh ini juga tentunya memiliki karakteristik dan perilaku manusia, antara lain adalah berjalan tegak dengan dua kaki, berbicara, memakai pakaian atau aksesoris, dan memiliki kebangsaan atau etnik. Tokoh-tokoh antropomorfik juga berperan sebagai pembawa pesan yang sesuai dengan tema film ini. Pesan-pesan yang dibawa adalah pentingnya percaya pada diri sendiri dan membalas kebaikan orang lain, kritik terhadap pemerintahan totaliter, dan representasi perbedaan cara pandang antara generasi tua dan generasi muda.

Anthropomorphism is a literary device that is not only used in literary works but also in films, especially animated ones. Studio Ghibli, a Japanese animation studio, often uses anthropomorphism in their films. One of them is Neko no Ongaeshi (2002). To study anthropomorphism in this film, anthropomorphism theories from Wells (1998; 2009) and Danielsson (2020) are used. The results are most of the anthropomorphic animal characters in this film still show some of the animal's natural behavior. They also show human characteristics and behaviors such as walking upright on two legs, talking, wearing clothes or accessories, and having nationality or ethnicity. This film also uses anthropomorphic characters to convey messages related to the themes of this film. These messages are the importance of believing in yourself and returning others’ favors, a critique of totalitarian government, and representations of different perspectives between the older and younger generations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa , 1984
899.209 SAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Lesmana
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
892.709 MAM k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Edwar Djamaris
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek penerbitan buku sastra Indonesia dan Daerah, 1984
899.221 EDW m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>