Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 414 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wong, Cynthia A.
New York: McGraw-Hill, 2007
617.964 WON s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Banyak keuntungan yang ditawarkan pada penggunaan tehnik anestesi epidural, namun dibalik itu terdapat pula beberapa masalah, diantaranya mula kerja yang relatif lama (lebih-lebih bila menggunakan bupivakain); padahal kasus-kasus emergency yang membutuhkan tehnik anestesi dengan mula kerja cepat semakin meningkat akhir-akhir ini. Dilandasi upaya memecahkan masalah tersebut, yaitu mempercepat mula kerja bupivakain, dilakukan uji klinis potong lintang acak buta ganda pada 40 penderita yang akan menjalani bedah abdomen dan ekstremitas bagian bawah dengan blok epidural, untuk mempelajari mula kerja bupivakain dengan penambahan natrium bikarbonat. Subyek diambil secara consecutive sampling dengan kriteria seleksi ASA I – II, umur 20-60 tahun, berat badan 50-60 kg, tinggi badan 150-170 cm. Secara acak subyek tersebut dialokasikan ke dalam 2 kelompok, dimana kelompok perlakuan mendapatkan blok epidural (penusukan pada L3 – 4, posisi tidur miring ke kiri) menggunakan campuran 20 cc bupivakain 0,5 % + 0,5 cc natrium bikarbonat 1,4 %, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan 20 cc bupivakain 0,5 % + 0,5 cc aquabides. Waktu untuk mencapai blok sensorik setinggi dermatom torakal 10 diukur berdasarkan hasil “pin-prick” dan waktu untuk mencapai blok motorik berdasarkan “Skala Bromage”. Hasil penelitian menunjukkan pemendekan mula kerja blok sensorik yang sangat bermakna (p<0,01) pada kelompok perlakuan (10,2 + 1,4 menit) dibanding kelompok kontrol (19,5 + 1,3 menit). Demikian pula mula kerja blok motorik juga mengalami pemendekan yang sangat bermakna (p<0,01) pada kelompok perlakuan (13,3 + 1,6 menit) dibanding kelompok kontrol (23,0 + 1,2 menit). Disimpulkan bahwa penambahan natrium bikarbonat dapat mempercepat mula kerja bupivakain pada blok epidural. (Med J Indones 2004; 14: 7-10)

There are many advantages in using epidural anesthesia technique. However, there are also some constraints, such as the relatively long onset, particularly in the case of bupivacaine. Whereas the need of a rapid onset of anesthesia technique for emergency cares is increasing lately. The objective of this study was to find a method to hasten the onset of bupivacaine. This is a cross sectional randomized double blind controlled clinical trial performed on 40 patients who would undergo lower abdomen and extremity surgery with epidural block. We evaluated the onset of action of bupivacaine which has been added with sodium bicarbonate. Consecutive sampling method was applied to get the sample. The criteria of sample are ASA I – II patient, aged of 20-60 years old, 50-60 kg of weight, 150-170 cm of height. Patients were allocated randomly into two groups. The treatment group would get epidural block using mixture of 20 cc of bupivacaine 0,5 % + 0.5 cc of sodium bicarbonate 1.4 %, whereas the control group received 20 cc bupivacaine 0.5 % + 0.5 cc aqua bides. Time to reach sensoric block at the level of thoracal 10 dermatome using the pinprick method and time to reach motoric blockade using the bromage scale was recorded. The result of this study showed a significant shortening of the onset of sensory blockade (p<0.05) in the treatment group (10.2+1.4 minutes) compared with the control group (19.5+1.3 minutes). The onset of motor blockade had also a significant shortening (p<0.05) in the treatment group(13.3+1.6 minutes) compared with the control group (23.0+1.2 minutes). It was concluded that the addition of sodium bicarbonate can hasten the onset of bupivacaine on epidural block. (Med J Indones 2004; 14: 7-10)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2004: 7-10, 2004
MJIN-14-1-JanMar2005-7
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Raymond
"Latar Belakang: Tindakan pembedahan dengan invasi minimal seperti laparoskopi abdomen seringkali menjadi modalitas terpilih dengan perkembangan teknologi. Selama pembedahan, digunakan teknik anestesi umum pada pasien. Teknik anestesi yang ideal adalah teknik yang dapat menjaga kestabilan kardiovaskular dan respirasi, mengurangi kejadial mual muntah pascabedah, serta dapat mengurangi derajat nyeri pascabedah. Namun, prosedur laparoskopi menyebabkan perubahan fisiologis akibat kondisi pneumoperitoneum yang disebabkan oleh insuflasi gas karbon dioksida selama pembedahan, yang merupakan sebuah tantangan tambahan dalam pemberian anestesi yang ideal. Maka, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penggunaan kombinasi anestesi umum dan spinal dengan anestesi umum saja dalam pembedahan laparoskopi abdomen.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak terkendali tanpa penyamaran pada pasien laparoskopi abdomen di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemberian anestesi umum menggunakan lidokain, fentanyl, propofol, dan rocuronium. Pemberian anestesi spinal menggunakan bupivakain 10 mg. Luaran yang dinilai berupa kebutuhan opioid intraoperatif, kestabilan MAP, nyeri pascabedah, dan kejadian post-operative nausea and vomiting (PONV).
Hasil: Kombinasi anestesi umum dan spinal menyebabkan penurunan kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif (p<0.001), kestabilan MAP yang lebih baik (p<0.009), dan penurunan nyeri pascabedah secara signifikan dibandingkan kelompok anestesi umum. Tidak terdapat perbedaan signifikan dari tingkat kejadian PONV. Simpulan: Kelompok anestesi umum dan spinal menunjukan penurunan kebutuhan opioid intraoperatif dan MAP yang lebih stabil pada tindakan laparaskopi dibandingkan dengan kelompok anestesi umum.

Background: Minimally invasive surgical procedures such as laparoscopic abdominal surgery have often become the preferred modality with technological advancements. During surgery, general anesthesia techniques are employed in patients. The ideal anesthesia technique is one that can maintain cardiovascular and respiratory stability, reduce postoperative nausea and vomiting, and alleviate postoperative pain. However, laparoscopic procedures induce physiological changes due to pneumoperitoneum conditions caused by the insufflation of carbon dioxide gas during surgery, posing an additional challenge in achieving ideal anesthesia. Therefore, this study aims to compare the effectiveness of using a combination of general and spinal anesthesia with general anesthesia alone in laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This research is a controlled randomized clinical trial without masking on patients undergoing laparoscopic abdominal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. General anesthesia is administered using lidocaine, fentanyl, propofol, and rocuronium, while spinal anesthesia is administered using bupivacaine. The assessed outcomes include intraoperative opioid requirements, MAP stability, postoperative pain, and the incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV).
Results: The combination of general and spinal anesthesia resulted in a significant reduction in intraoperative fentanyl opioid requirements (p<0.001), better MAP stability (p<0.009), and a significant decrease in postoperative pain compared to the general anesthesia group. There was no significant difference in the incidence of PONV .
Conclusion: The combination of general and spinal anesthesia group showed decreased intraoperative opioid requirements and more stable in mean arterial pressure (MAP) during laparoscopic procedures compared to general anesthesia group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
hapus4
"Epidural hematoma merupakan perdarahan yang terjadi antara tulang kranium dan duramater. Dua pertiga penderita epidural hematoma terjadi pada usia kurang dari 40 tahun, jarang terjadi pada usia diatas 60 tahun, hal ini disebabkan pada usia tua secara anatomis terdapat perlekatan-perlekatan antara kranium dan duramater. Usia kurang dan 40 tahun merupakan usia dengan aktivitas yang sangat tinggi, sehingga merupakan masa yang rawan terjadinya trauma kapitis akibat kecelakaan lalu lintas atau faktor trauma lain yang banyak menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.
Penegakan diagnosis perdarahan epidural selain dari anamnesis dan pemeriksaan klinis pasien, juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang seperti Brain CT-Scan sehingga dapat ditentukan kriter+a inklusi dan ekslusi penderita perdarahan epidural sesuai dengan tujuan penelitian. Tidak semua kasus epidural hematoma yang dibawa ke IGD RSUPN CM memerlukan tindakan operasi, hal ini disebabkan disamping karena memang tidak terindikasi juga disebabkan hal - hal lain yang berakibat batalnya tindakan operasi yang bersifat non medis.
Berdasarkan data - data kasus perdarahan epidural yang datang ke bagian Gawat Darurat RSUPN CM selama periode tiga tahun ( 2001 - 2004) serta keterkaitannya dengan berbagai faktor yang berhubungan dengan kasus tersebut, kami membuat suatu penelitian bersifat retrospektif yang diambil dari rekam medik penderita perdarahan epidural yang datang ke IGD RSUPN CM selama tiga tahun. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menelaah berbagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan epidural yang dibuat dalam bentuk variabel - variabel tertentu yang sangat berkaitan, sehingga diharapkan dapat membenkan masukan bagi pihak - pihak yang membutuhkan khususnya bagian bedah saraf RSCM guna menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat kasus trauma kepala khususnya yang disebabkan oleh perdarahan epidural.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Belum ada data penelitian penderita perdarahan epidural pada tiga tahun terakhir, di RSUPN CM, khususnya di Bagian Bedah Saraf
2. Belum ada data demografis penderita trauma kepala umumnya dan penderita perdarahan epidural khususnya, baik menyangkut umur, jenis kelamin, penyebab perdarahan maupun hal - hal lain yang berhubungan dengan kasus perdarahan epidural
3. Belum pemah diteliti faktor - faktor yang mempengaruhi prognosis penderita perdarahan epidural di RSUPN - CM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rahmawati
"Latar belakang : Penelitian ini membandingkan efek ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dengan ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg untuk bedah sesar dengan analgesia spinal.
Metode : Dilakukan secara acak tersamar Banda. Hipotesis yang dibuat adalah Ropivakain hiperbarik 12 mg dengan morfin 0,15 mg intratekal, mempunyai mula kerja hambatan sensorik dan motorik yang sama dengan ropivakain hiperbarik 15 mg ditambah morfin 0,15 mg intratekal, namun dengan masa kerja hambatan sensorik dan motorik lebih singkat, dan dapat digunakan untuk anestesia spinal pada bedah sesar. Sebanyak 66 wanita hamil yang akan menjalani beddah sesar, ASA I -- II diberikan ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg (n=33) atau ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg (n-33) dengan teknik blok subaraknoid. Perubahan blok sensorik diukur dengan tes pinprick, dan perubahan hambatan motorik diukur dengan modifikasi skala bomage, VAS diukur 3 kali.
Basil : Tidak ada perbedaan bermakna pada data demografi kedua kelompok. Kelompok ropivakain 15 mg mempunyai penyebaran hambatan sensorik maksimal lebih tinggi (median [min-max]) : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 -- 6), tidak ada perbedaan bermakna pada mula kerja hambatan sensorik (median [min-max]) : 3,2 mnt (2 - 5 mnt) vs 3,0 (1- 5 mnt), tidak ada perbedaan bermakna pada mula keija hambatan motorik (median [min-max]) : 3,3 mnt (1-10 mnt) vs 3 mnt (1-7 mnt), masa kerja hambatan sensorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median [min-max]) : 60 mnt (45 -120mnt) vs 52 mnt (30 - 103 mnt), masa kerja hambatan motorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median[min-max]) : 60 mnt (35-118 mnt) vs 57 mnt (32 -102 mnt), dan basil yang sama pada pengukuran VAS sebanyak 3 kali.
Simpulan : Ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dan ropivakain hiperbarik 12 mg + mofin 0,15 mg dapat digunakan untuk analgesia spinal untuk operasi bedah sesar.

Background This study was designed to evaluate the effects of intrathecal hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morln 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg in women undergoing cesarean section.
Methods : This was a prospective, randomized, doubleblinded study. We hypothesized that hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphin 0,15 mg has the same onset of sensory and motoric block, with longer duration of sensory and motoric block with hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg. Sixtysix parturients, physical status ASA I - II were given either hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg (n=33) or hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg (n=33), for cesarean section with spinal analgesia. Changing of sensory block was assessed by pinprick test and motoric block was assessed by bromage score (modification). Visual analogue score was measured three times.
Results : There were no significant differences in demographic variable between groups. Higher cephalic spread (median [range]) maximum block height to pinprick hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 - 6), no significant difference of sensory block onset (median [range]) : 3,2 min (2 - 5 minutes) vs 3,0 (1 - 5 min), no significant difference of motoric block onset (median [range]) : 3,3 min (1-10 min) vs 3 min ( 1-7 min), longer sensoric block duration hyperbaric ropivacaine 15 mg compare to hyperbaric ropivacaine 12 mg (median [range]) : 60 min (45 -120min) vs 52 min (30 -- 103 min), longer motoric block duration in hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg (median[range]) : 60 min (35-118 min) vs 57 min (32 - 102 min), and no significant difference in visual analogue score in three times measurements.
Conclusion : Hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg are sufficient for spinal analgesia in patients undergoing cesarean section."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wismaji Sadewo
"Trauma atau kecelakaan di beberapa negara maju cenderung meningkat dari tahun ke tahun, bahkan merupakan penyumbang angka kematian dan kesakitan tertinggi menggantikan infeksi, penyakit cardio vaskuler, neoplasma dan carat bawaan.
Di negara maju epidemiologi kecelakaan berubah seiring dengan perubahan masyarakat moderen dalam pandangan mereka tentang penggunaan helem, sabuk keselamatan, kebiasaan minum dan Cara mengendara; yang lebih penting lagi adalah peningkatan penanganan pra rumah sakit oleh masyarakat awam dan penanganan rumah sakit oleh tenaga medic.
Hingga ini belum ada penelitian yang mencari kaitan kondisi klinis radiologis dan temuan operatif untuk membuat prediksi pada pasien dengan epidural hematoma traumatika dan hat ini berguna untuk edukasi dan persetujuan medis bagi keluarga pasien.
Berdasar dari pemikiran inilah maka penelitian ini dilakukan dengan harapan bahwa hasil yang diperoleh dapat dipakai sebagai salah satu acuan ataupun menjadi rujukan dalam menentukan standar baku pengelolaan epidural hematoma akibat trauma kepala di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
RUMUSAN MASALAH
Belum ada data karakteristik klinis, radiologis dan temuan operatif penderita dengan epidural hematoma traumatika di Bagian Bedah Saraf FKUI/RSUPNCM. Belum adanya acuan atau prosedur standar yang dtetapkan untuk membuat prediksi penderita dengan epidural hematoma baik yang perlu tindakan operasi maupun yang diiakukan konservasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Lippincott-Raven, 1995
617.96 REV
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Kumara Anindhita
"Latar Belakang: Penjadwalan operasi yang baik adalah yang mengoptimalkan workflow suatu kamar operasi, mengurangi kasus pembatalan operasi, dan ketidaktepatan prediksi waktu operasi. Unit Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo memiliki peran besar terhadap berlangsungnya operational efficiency sehingga hal-hal terkait efisiensi kerja yang termasuk didalamnya penjadwalan pasien di kamar operasi menjadi fokus perhatian utama. Penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi waktu persiapan, induksi, dan pemulihan anestesi berdasarkan pemilihan teknik anestesi terhadap anesthesia-controlled time (ACT). Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilaksanakan di Unit Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak Maret 2019 hingga Desember 2020, dengan total 1727 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Tim anestesi kamar operasi dengan menggunakan jam digital melakukan observasi, pengambilan, dan pencatatan data waktu secara manual kedalam lembar kuesioner yang disediakan di kamar operasi atau secara daring dengan mengakses tautan yang tersedia.Hasil: Terdapat hubungan linier positif yang bermakna antara waktu persiapan anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.1, p 0.009), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.253, p 0.028), dan anestesi umum-ETT/LMA, blok saraf perifer, CVC, ABP (r=0.489, p 0.013); waktu pemasangan monitor dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.125, p 0.001), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.502, p 0.000), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.372, p 0.001), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.436, p 0.006), sedasi (r=0.516, p 0.001), spinal (r=0.501, p 0.000), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.321, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.445, p 0.001); waktu induksi anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.513, p 0.000), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.391, p 0.001), anestesi umum-LMA (r=0.312, p 0.017), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.818, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC, ABP (r=0.559, p 0.000), spinal (r=0.503, p 0.000), kombinasi spinal-epidural (r=0.779, p 0.000), blok saraf perifer (r=0.729, p 0.000), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.511, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.543, p 0.000); waktu insersi CVC dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT/LMA, CVC (r=0.553, p 0.002), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.434, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.415, p 0.010), dan anestesi umum-ETT, epidural CVC, ABP (r=0.288, p 0.023); waktu pemulihan anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.157, p 0.000), anestesi umum-ETT/LMA, CVC (r=0.664, p 0.000), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.374, p 0.001), anestesi umum-LMA (r=0.299, p 0.023), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.557, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.338, p 0.035), anestesi umum-ETT, epidural, CVC, ABP (r= 0.343, p 0.006), sedasi (r=0.351, p 0.033), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.424, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.589, p 0.000). Simpulan: Waktu persiapan, induksi, dan pemulihan anestesi tidak berkorelasi dengan anesthesia-controlled time berdasarkan pemilihan teknik anestesi di Unit Pelayanan Bedah Terpadu Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo.

ackground: An ideal operating schedule is the one that optimizes the workflow of an operating room, reduces case cancellation and inaccurate prediction of total procedural time. Central Surgical Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital has a major role of ensuring the continuity of operational efficiency so that matters related to work efficiency, including patient scheduling in the operating room, are the main focus of attention. This study aims to assess the correlation of time of preparation, anesthesia induction and recovery time with anesthesia-controlled time (ACT) based on the choice of anesthesia technique. Methodes: This observational research was done in Central Surgical Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from March 2019 to December 2020, with a total of 1727 samples that fulfilled inclusion criteria, without exclusion criteria. By means of using a digital clock, anesthesia team performs observations, retrieval, and recording of time data manually into a questionnaire sheet provided in the operating room or an online document by accessing the link provided.Results: There is a significant positive linear correlation between anesthesia preparation time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.1, p 0.009), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.253, p 0.028), and general anesthesia-ETT/LMA, peripheral nerve block, CVC, ABP technique (r=0.489, p 0.013); basic monitoring placement time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.125, p 0.001), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.502, p 0.000), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.372, p 0.001), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.436, p 0.006), sedation (r=0.516, p 0.001), spinal (r=0.501, p 0.000), pediatric general anesthesia-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.321, p 0.000), and pediatric general anesthesia-ETT/LMA, caudal technique (r=0.445, p 0.001); anesthesia induction time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.513, p 0.000), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.391, p 0.001), general anesthesia-LMA (r=0.312, p 0.017), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.818, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC, ABP (r=0.559, p 0.000), spinal (r=0.503, p 0.000), combined spinal-epidural (r=0.779, p 0.000), peripheral nerve block (r=0.729, p 0.000), pediatric general anesthesia-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.511, p 0.000), and pediatric general anesthesia -ETT/LMA, caudal technique (r=0.543, p 0.000); CVC insertion time and ACT on general anesthesia-ETT/LMA, CVC (r=0.553, p 0.002), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.434, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.415, p 0.010), and general anesthesia-ETT, epidural CVC, ABP technique (r=0.288, p 0.023); anesthesia recovery time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.157, p 0.000), general anesthesia-ETT/LMA, CVC (r=0.664, p 0.000), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.374, p 0.001), general anesthesia-LMA (r=0.299, p 0.023), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.557, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.338, p 0.035), general anesthesia-ETT, epidural, CVC, ABP (r= 0.343, p 0.006), sedation (r=0.351, p 0.033), pediatric general anesthesia-ETT/L anesthesia-ETT/LMA, caudal technique(r=0.589, p 0.000). Conclusions: Time of anesthesia preparation, induction, and recovery do not correlate with ACT based on the anesthesia technique used to fascilitate surgery in Central Surgical Unit of Dr Cipto Mangunkusumo Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Madeline F.N.
"[ABSTRAK
Latar belakang. Penyuntikan berulang pada prosedur anestesia spinal berkaitan dengan tingginya angka komplikasi dan ketidaknyamanan pasien. Sistem prediksi praoperatif yang akurat terhadap kemungkinan kesulitan penempatan jarum spinal dapat membantu mengurangi insiden penyuntikan berulang sehingga mengurangi risiko komplikasi terhadap pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan prediksi kesulitan penempatan jarum spinal berdasarkan gambaran radiologis dan penanda anatomis pada pasien bedah urologi.
Metode. Penelitian ini bersifat observasional analitik terhadap pasien bedah urologi yang menjalani anestesia spinal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan April sampai Mei 2015. Sebanyak 109 subyek diambil dengan metode consecutive sampling. Data pasien (usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, status fisik, gambaran radiologis vertebrae lumbal, dan kualitas penanda anatomis tulang belakang), jumlah penusukan kulit dan redireksi jarum spinal, serta angka kesulitan penempatan jarum spinal dicatat. Kesulitan penempatan jarum spinal ditentukan berdasarkan jumlah penusukan kulit dan redireksi jarum spinal. Variabel yang signifikan ditentukan melalui uji Pearson?s Chi-square dan uji Fisher, kemudian analisis multivariat dengan metode regresi logistik digunakan untuk melihat hubungan antara kesulitan penempatan jarum spinal dengan variabel-variabel yang signifikan.
Hasil. Faktor usia memiliki hubungan yang bermakna hanya pada analisis bivariat (p=0,028). Kualitas penanda anatomis dan gambaran radiologis vertebrae lumbal memiliki nilai prediksi terhadap kesulitan penempatan jarum spinal (p=0,000 dan p=0,006). Hasil uji kalibrasi menunjukkan kualitas prediksi yang baik. Dari uji diskriminasi didapatkan AUC sebesar 0,84 (IK 95% 0,751-0,929).
Simpulan. Kualitas penanda anatomis dan gambaran radiologis vertebrae lumbal mampu memprediksi kesulitan penempatan jarum spinal dengan tepat pada pasien bedah urologi. ABSTRACT Background. Multiple attempts at spinal puncture have been related to many complications and patient discomfort. Accurate preoperative prediction of spinal needle insertion difficulty would reduce the incidence of multiple puncture and minimize the complications consequently. This study was designed to determine the accuracy of lumbar vertebrae radiological characteristics and spinal bony landmark quality in predicting the difficulty of spinal needle insertion in patients undergoing urologic procedure.
Methods. This was an analytic observational study in urologic patients scheduled for spinal anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital between April and May 2015. A total of 109 subjects were included in the study by consecutive sampling. Patient data (age, sex, body mass index, physical status, radiological characteristics of the lumbar vertebrae, and quality of spinal bony landmark), number of skin puncture and needle redirection, and the prevalence of spinal needle insertion difficulty were recorded. The first skin puncture success and number of needle redirection were used to assess the difficulty. Significant variables were first determined by Pearson?s Chi-square and Fisher test, and then multivariate analysis using logistic regression method tested the association of the skin puncture success and number of needle redirection with the significant variables.
Results. Age was significant only in bivariate analysis (p=0,028). The quality of spinal bony landmark and the radiological characteristics of the lumbar vertebrae had predictive value on spinal needle insertion difficulty (p=0,000 and p=0,006 respectively). Calibration test showed that the prediction quality was good. The discrimination test resluted in AUC of 0,84 (CI 95% 0,751 to 0,929).
Conclusion. The quality of spinal bony landmark and the radiological characteristics of the lumbar vertebrae were accurate in predicting the difficulty of spinal needle insertion in patients undergoing urologic procedure. ;Background. Multiple attempts at spinal puncture have been related to many complications and patient discomfort. Accurate preoperative prediction of spinal needle insertion difficulty would reduce the incidence of multiple puncture and minimize the complications consequently. This study was designed to determine the accuracy of lumbar vertebrae radiological characteristics and spinal bony landmark quality in predicting the difficulty of spinal needle insertion in patients undergoing urologic procedure.
Methods. This was an analytic observational study in urologic patients scheduled for spinal anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital between April and May 2015. A total of 109 subjects were included in the study by consecutive sampling. Patient data (age, sex, body mass index, physical status, radiological characteristics of the lumbar vertebrae, and quality of spinal bony landmark), number of skin puncture and needle redirection, and the prevalence of spinal needle insertion difficulty were recorded. The first skin puncture success and number of needle redirection were used to assess the difficulty. Significant variables were first determined by Pearson?s Chi-square and Fisher test, and then multivariate analysis using logistic regression method tested the association of the skin puncture success and number of needle redirection with the significant variables.
Results. Age was significant only in bivariate analysis (p=0,028). The quality of spinal bony landmark and the radiological characteristics of the lumbar vertebrae had predictive value on spinal needle insertion difficulty (p=0,000 and p=0,006 respectively). Calibration test showed that the prediction quality was good. The discrimination test resluted in AUC of 0,84 (CI 95% 0,751 to 0,929).
Conclusion. The quality of spinal bony landmark and the radiological characteristics of the lumbar vertebrae were accurate in predicting the difficulty of spinal needle insertion in patients undergoing urologic procedure. , Background. Multiple attempts at spinal puncture have been related to many complications and patient discomfort. Accurate preoperative prediction of spinal needle insertion difficulty would reduce the incidence of multiple puncture and minimize the complications consequently. This study was designed to determine the accuracy of lumbar vertebrae radiological characteristics and spinal bony landmark quality in predicting the difficulty of spinal needle insertion in patients undergoing urologic procedure.
Methods. This was an analytic observational study in urologic patients scheduled for spinal anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital between April and May 2015. A total of 109 subjects were included in the study by consecutive sampling. Patient data (age, sex, body mass index, physical status, radiological characteristics of the lumbar vertebrae, and quality of spinal bony landmark), number of skin puncture and needle redirection, and the prevalence of spinal needle insertion difficulty were recorded. The first skin puncture success and number of needle redirection were used to assess the difficulty. Significant variables were first determined by Pearson’s Chi-square and Fisher test, and then multivariate analysis using logistic regression method tested the association of the skin puncture success and number of needle redirection with the significant variables.
Results. Age was significant only in bivariate analysis (p=0,028). The quality of spinal bony landmark and the radiological characteristics of the lumbar vertebrae had predictive value on spinal needle insertion difficulty (p=0,000 and p=0,006 respectively). Calibration test showed that the prediction quality was good. The discrimination test resluted in AUC of 0,84 (CI 95% 0,751 to 0,929).
Conclusion. The quality of spinal bony landmark and the radiological characteristics of the lumbar vertebrae were accurate in predicting the difficulty of spinal needle insertion in patients undergoing urologic procedure. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>