Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182204 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heri Kristianto
"Ekspresi transforming growth factor beta 1 (TGF β1) pada luka DM mengalami penurunan yang berdampak terhadap kenyamanan dan proses penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan menganalisa perbandingan perawatan luka teknik modern dan konvensional terhadap ekspresi TGF β1 dan respon nyeri pada luka DM. Penelitian menggunakan quasi experimental pretest-posttest design dengan metode pengumpulan sampel secara consecutive sampling. Pengukuran ekspresi TGF β1 dan respon nyeri dilakukan pada hari ke 0 (pretest) dan 4 (posttest). Sampel yang diambil yaitu pasien dengan luka kaki DM di Rumah Sakit Wilayah Malang dan Madiun. Ekspresi TGF β1 diukur dengan metode imunohistokimia di laboratorium Faal Divisi Fisiologi Molekuler dan Histologi FK Universitas Brawijaya Malang, sedangkan pengukuran respon nyeri dengan skala nyeri numerik yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Hasil penelitian didapatkan data pada kelompok modern terjadi peningkatan ekspresi TGF β1 dan penurunan respon nyeri, sedangkan pada kelompok konvensional terjadi penurunan ekspresi TGF β1 dan peningkatan respon nyeri. Hasil uji t menunjukkan ada perbedaan perawatan luka teknik modern dan konvensional terhadap ekspresi TGF β1 dan respon nyeri pada luka DM (p value <0,05). Hasil uji korelasi pearson menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara perubahan respon nyeri dengan perubahan ekspresi TGF ß1 (p= 0,0005). Dapat disimpulkan bahwa teknik perawatan luka secara modern mampu meningkatkan ekspresi TGF β1 dan menurunkan respon nyeri dibandingkan teknik konvensional yang akan berpengaruh terhadap kenyamanan pasien secara fisik.

Reduction of expression of transforming growth factor beta 1 (TGF β1) in diabetic ulcers affects overall wound healing and patient?s comfort. This study tried to draw a comparison of Transforming Growth Factor Beta 1 (TGF β1) level and pain response between modern dressing and conventional dressing in diabetic ulcer. This study applied a quasi-experimental pretest-posttest design and a consecutive sampling method of data collection. The data were collected from patients with diabetic foot ulcer at general hospitals in Malang and Madiun. Immunohistochemical analysis of TGF β1 level was measured on the day 0 (pretest) and the day 4 (posttest) in Physiology and Histology Laboratories, University of Brawijaya Medical Faculty. Pain response was also measured on the day 0 and day 4 using a validated and reliable numerical rating scale. In this study, the modern dressing application improves TGF β1 level and reduces pain response. Meanwhile, the conventional dressing application decreases TGF β1 level and intensifies pain response. T-test analysis showed significant differences between modern and conventional dressings in both TGF β1 level and pain response (p value < 0.05). Pearson?s correlation analysis showed a significant relation between pain response and TGF β1 level (p value = 0.0005). Thus, it can be concluded that the modern dressing application can increase TGF β1 level and decrease pain response. The combined effect of those may eventually promote physical comfort.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28549
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Alhaura
"Hipertensi umum dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah yang salah satu penyebabnya adalah kerusakan pada ginjal. Fenomena ini disebut juga sebagai hipertensi renovaskular. Pada hipertensi ini, kerusakan ginjal menyebabkan peningkatan renin dan angiotensin II yang kemudian akan meningkatkan produksi mediator inflamasi seperti Transforming Growth Factor beta 1 (TGF-β1) yang dapat mengindikasikan hipertensi renovaskular sebagai respon inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian ekstrak resep jamu kuno au fere II yang berasal dari Maluku menggunakan hewan uji tikus galur wistar yang akan diinduksi hipertensi renovaskular dengan metode 2K1C. Diamati parameter respon inflamasi (TGF-β1), berat badan, tekanan darah, serta morfologi ginjal tikus. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok: kelompok normal (Sham, n=4); kelompok induksi 2K1C (n=4); kelompok kontrol positif kaptopril (n=4); 3 kelompok dosis 1 (0.495 mL/200 gr BB), 2 (0.99 mL/200 gr BB) dan 3 (1.98 mL/200 gr BB) jamu kuno au fere II (n=4/kelompok). Tikus yang diinduksi 2K1C perkembangan berat badannya tidak terganggu namun mengalami peningkatan tekanan darah setelah lima minggu dan setelah dibedah, ginjal kiri tikus yang diklip mengalami fibrosis dan menyusut sementara ginjal kanan mengalami pembesaran. Pemberian resep jamu kuno diamati mampu menurunkan nilai tekanan darah secara signifikan, namun tidak mempengaruhi kondisi fibrosis ginjal hasil induksi dan berat badan. Selain itu, konsentrasi TGF-β1 plasma pada kelompok induksi 2K1C menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan kelompok sham. Penurunan konsentrasi TGF-β1 (p>0.05, kecuali dosis 2) diamati pada kelompok perlakuan kaptopril dan au fere II. dengan kelompok induksi 2K1C dan tidak ada korelasinya dengan nilai tekanan darah. Dapat disimpulkan bahwa au fere II mampu menurunkan tekanan darah dan memperbaiki respon inflamasi dengan menurunkan kadar TGF-β1 pada tikus 2K1C.

Hypertension is often linked with blood pressure increase which one of the causes is renal damage. This phenomenon is also known as renovascular hypertension. Renal damage causes renin and angiotensin II increase which will upregulate inflammatory mediators like Transforming Growth Factor beta 1 (TGF-β1) that can indicate renovascular hypertension as an inflammatory response. The study aims to discover administration effects of au fere II ancient herbal concoction extract, originated from Maluku, using Wistar rats that are induced renovascular hypertension by the 2K1C method. Inflammatory response (TGF-β1), body weight, blood pressure and renal morphology are observed. Rats were grouped into 6: normotensive (Sham, n=4); 2K1C induction (water, n=4); positive control (captopril, n=4); 3 groups of ancient herbal concoction dose 1 (0.495mL/200grBB), 2 (0.99mL/200grBB) and 3 (1.98mL/200grBB) (n=4/group). Body weight development on rats induced with 2K1C were not disturbed, but after operating, the clipped left renal was found to have fibrosis and have shrunk, while the right renal enlarged. Treatment with ancient herbal concoction was observed able to alleviate blood pressure significantly but does not affect renal fibrosis as well as body weight. TGF-β1 concentrations on 2K1C induction group were also shown to have increased compared to sham. TGF-β1 concentrations decreased (p>0.05, except Dose 2: <0.05) for positive control and au fere II groups after treatment compared with 2K1C induction group and has no correlation with blood pressure values. Au fere II can be concluded to help alleviate blood pressure and fix inflammatory response by downregulating TGF-β1 on 2K1C rats."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladys
"

Proliferative vitreoretinopathy  (PVR) pada ablasio retina rhegmatogen (ARR) menurunkan tingkat keberhasilan anatomis dan fungsional. Transforming growth factor-β (TGF-β) merupakan pro-fibrotik yang berperan penting dan dapat menjadi target terapi dan masih belum ada data mengenai TGF-β3 pada PVR. Penelitian ini bertujuan menguji kadar TGF-β2 dan TGF-β3 pada kasus PVR A dan B.  Penelitian ini berdesain potong lintang pada pasien ARR PVR A dan B yang menjalani vitrektomi di RSCM Kirana. Sampel vitreus diambil intra-operasi dan diperiksa di protein total, TGF-β2 dan TGF-β3 dengan metode ELISA. Didapatkan 20 sampel; 10 mata untuk PVR A dan 10 untuk PVR B. Tidak didapatkan perbedaan bermakna untuk karakteristik kedua grup maupun berdasarkan TGF-β2 dan TGF-β3. Secara umum didapatkan level TGF-β2 yang lebih tinggi pada PVR A dan B namun tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05). Didapatkan korelasi negatif (Spearman r-0,468)  antara TGF- β2 dengan TGF- β3 pada seluruh grup PVR (p=0,037) namun tidak didapatkan korelasi yang signifikan per grup PVR. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan TGF- β3 dengan primary attachment rate. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan 3 pada ARR yang terjadi sebelum atau sesudah 14 hari namun ditemukan tren rasio TGF- β2/protein total yang semakin rendah 14 hari pasca ARR Studi ini merupakan studi pertama yang membandingkan kadar TGF- β2 dan TGF- β3 pada pasien dengan PVR A dan B. Secara tren, ditemukan kadar TGF-β2 yang lebih tinggi pada ARR dengan PVR  B dibanding A dan kadar TGF-β3 yang lebih rendah pada ARR dengan PVR B dibanding A.


Proliferative vitreoretinopathy (PVR) in rhegmatogenous retinal detachment (RRD) reduces anatomical and functional success rate. Transforming growth factor-β (TGF-β) is a pro-fibrotic that plays an important role and can be a therapeutic target and there is still no data on TGF-β3 in PVR. This study aims to examine the levels of TGF-β2 and TGF-β3 in cases of PVR A and B. This study used cross-sectional design in ARR PVR A and B patients who underwent vitrectomy at RSCM Kirana. Vitreous samples were taken intra-operatively and examined for total protein, TGF-β2 and TGF-β3 using ELISA. A total of 20 samples were obtained; each 10 eyes for PVR A and 10 for PVR B. There were no significant differences in the characteristics of the two groups or based on TGF-β2 and TGF-β3. In general, higher TGF-β2 levels were found in PVR A and B but there was no significant difference (p>0.05). A negative correlation (Spearman r-0.468) was found between TGF-β2 and TGF-β3 in all PVR groups (p=0.037) but no significant correlation was found per PVR group. There was no significant difference between TGF-β2 and TGF-β3 with primary attachment rate. There was no significant difference between TGF-β2 and 3 in ARR that occurred before or after 14 days, but a trend was found in the ratio of TGF-β2/total protein that was getting lower ≥14 days after ARR. This study is the first study to compare TGF-β2 and TGF-β3 levels in patients with PVR A and B. In terms of trend, higher TGF-β2 levels were found in ARR with PVR B compared to A and lower TGF-β3 levels in ARR with PVR B compared to A."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Nurachmah
"Kenyamanan merupakan salah satu aspek penting dalam perawatan luka diabetes mellitus (DM). Penelitian ini bertujuan menganalisis ekspresi transforming growth factor beta 1 (TGF â1) dan kadar kortisol pada perawatan luka teknik modern dan konvensional pada luka DM dikaitkan dengan aspek kenyamanan. Penelitian menggunakan true experimental design dengan metode pengumpulan sampel secara stratified random sampling. Pengukuran ekspresi TGF â1 dan kadar kortisol dilakukan pada hari ke 0 (pretest) dan 4 (posttest). Sampel yang diambil berasal dari pasien luka kaki DM di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Ekspresi TGF â1 diukur dengan metode imunohistokimia, sedangkan pengukuran kadar kortisol dilakukan dengan metode ELISA di laboratorium Fisiologi dan Histologi FK Universitas Brawijaya Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok modern terjadi peningkatan ekspresi TGF â1, sedangkan pada kelompok konvensional terjadi penurunan ekspresi TGF â1. Kadar kortisol pada kelompok modern menunjukkan penurunan lebih besar dibandingkan kelompok konvensional. Hasil uji t menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara perawatan luka teknik modern dan konvensional terhadap ekspresi TGF â1 dan kadar kortisol pada luka DM (p value < 0,05). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang signifikan antara perubahan ekspresi TGF â 1 dengan perubahan kadar kortisol (p = 0,028). Dapat disimpulkan bahwa teknik perawatan luka secara modern mampu meningkatkan ekspresi TGF â1 dan menurunkan kadar kortisol dibandingkan teknik konvensional.

Comfort is one among several aspects that should be considered in the treatment of diabetic wounds. This study aimed to analyze the expression of TGF β1 and the level of cortisol in modern and conventional wound care techniques of diabetic wounds. TGF β1 expression and cortisol levels were measured on day 0 (pretest) and 4 (posttest). Samples were taken from patients with diabetic ulcer in the Saiful Anwar District Hospital at Malang. The expression of TGF β1 was measured by immunohistochemical methods in the Department of Physiology, Brawijaya University Faculty of Medicine. Cortisol level was measured with ELISA method. The results obtained from the modern group were increased TGF β1 expression and decreased cortisol level. The conventional group yielded decreased TGF β1 expression and decreased cortisol level. The cortisol level decrease was greater in the modern group. T test results showed no significant differences of modern wound care techniques and conventional on the expression of TGF β1 and cortisol levels in diabetic wounds (p value < 0,05). Pearson correlation test results showed a significant relationship between changes in cortisol levels with changes in expression of TGF β1 (p = 0,028). It can be concluded that the techniques of modern wound care is more able to increase the expression of TGF β1 and to decrease the cortisol levels compared with conventional techniques."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Maghfuri
Jakarta : Salemba Medika, 2016
616.462 ALI b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini
"Luka Bakar merupakan suatu kondisi dimana terjadi kerusakan integritas kulit yang dapat menimbulkan nyeri pada pasien. Perawatan luka yang dilakukan dapat menyebabkan nyeri ringan sampai berat. Dampak dari nyeri adalah pelepasan adrenalin yang berdampak pada peningkatan tekanan darah. Metode : menggunakan Quasi-experimental dengan Cross Over Design. Analisa data yang digunakan untuk data numerik skala nyeri pada kelompok kontrol dan intervensi menggunakan uji T berpasangan, sedangkan untuk tekanan darah pada responden yang tidak mendapatkan terapi musik dan yang mendapatkan terapi musik saat perawatan luka menggunakan uji Chi Square. Hasil : secara statistik terdapat perbedaan tingkat skala nyeri yang diberikan terapi musik saat perawatan luka dengan nyeri saat perawatan luka tanpa musik dengan (p=0,001), sedangkan untuk tekanan darah tidak ada pengaruh yang signifikan (p=0,057) . Simpulan : terapi musik dapat digunakan sebagai terapi penunjang saat dilakukan perawatan luka bakar.

Burns is a condition where the skin has damage and cause pain in patients. Wound care can cause unpleasant or painful feelings of pain intensity from mild to severe. The impact of pain is the release of adrenaline which can result in increased blood pressure. Methods: This study used a quasi-experimental with cross over design. Pain scale using the Numeric Pain Scale measuring tool, whereas blood pressure using spignomanometer. To compare the pain scale before being given music therapy and after given music therapy using paired t test analysis, for blood pressure using Chi square analysis. Results: Musical therapy gave a significant effect related to patient’s pain scale during wound care (p=0.001), while it has insignificant effect on blood pressure (p = 0,057). Conclusions: Musical therapy could be use as an adjuvant therapy when wound care is applied on burn patient."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T41942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianti Pranoto
"Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik (infark miokard) merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Tindakan reperfusi miokardium merupakan tatalaksana utama PJK. Cedera iskemia-reperfusi (IRI) merupakan cedera lanjutan otot jantung akibat disfungsi seluler yang dapat terjadi setelah reperfusi. Transforming growth factor-beta (TGF-β) merupakan sitokin anti-inflamasi yang berperan dalam resolusi inflamasi dan inisiasi perbaikan infark, namun TGF-β juga mengaktivasi jalur fibrogenik yang menyebabkan fibrosis, hipertrofi dan percepatan gagal jantung. Kolkisin dosis rendah diketahui menurunkan ekspresi TGF-β. Penelitian ini bertujuan menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap perubahan kadar TGF-β pada serum pasien infark miokard akut-elevasi segmen ST (IMA-EST) sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi. Penelitian dilakukan menggunakan desain uji klinik tersamar ganda (double blinded randomized clinical trial) yang melibatkan 64 subjek. Pada hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar TGF-β yang lebih tinggi pada 48 jam pasca reperfusi, terutama pada kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada analisis perubahan (delta) kadar TGF-β sebelum dan pada 48 jam pasca tindakan reperfusi antara kedua kelompok. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai pengaruh pemberian kolkisin terhadap kadar TGF-β pada pasien IMA-EST pasca reperfusi. Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lanjutan untuk menilai perubahan kadar TGF-β dengan pemberian kolkisin dalam jangka panjang.

Coronary heart disease or ischemic heart disease (myocardial infarction) is one of the leading causes of death worldwide. The primary management for CHD is myocardial reperfusion. Ischemia-reperfusion injury is a type of secondary cardiac muscle injury induced by cellular dysfunction following reperfusion. Transforming growth factor-beta (TGF-β) is an anti-inflammatory cytokine that aids in inflammatory resolution and initiation of infarct healing, but it also stimulates fibrogenic pathways that promote fibrosis, hypertrophy and accelerated heart failure. Low doses of colchicine have been shown to inhibit TGF-β expression. The purpose of this study is to see how colchicine affects TGF-β serum levels in patients with acute ST-segment elevation myocardial infarction (IMA-EST) before and 48 hours after reperfusion. This study used a double blinded randomized clinical trial design involving 64 subjects. This study’s findings revealed a larger increase in TGF-β levels 48 hours after reperfusion, particularly in the study group. There was no significant difference in TGF-β level changes before and 48 hours after reperfusion between the two groups. This is the first study to evaluate the effect of colchicine on TGF-β levels in IMA-EST patients and can be used to guide future research into the effects of long-term colchicine administration on TGF-β levels

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wandy Afrizal Putra
"Latar Belakang: TGF-β1 memiliki peran penting dalam proses diferensiasi sel punca pulpa (hDPSCs) menjadi sel odontoblast dan asam hialuronat (AH) sebagai perancah alami memiliki sifat biokompabilitas dan berperan dalam pembentukan jaringan keras gigi. Tujuan: Mengetahui potensi berbagai konsentrasi AH (10 mg/mL, 20 mg/mL, 30 mg/mL) pada media kultur (MK) hDPSCs terhadap ekspresi TGF-β1 dengan waktu observasi 7 hari dan 14 hari. Metode: Kultur hDPSCs didapatkan dari penelitian sebelumnya (persetujuan etik dilampirkan) yang merupakan passage 3 dan 4. Setelah 24 jam inkubasi, MK digantikan oleh media osteogenic. hDPSCs dipuasakan selama 24 jam. AH kemudian ditanam ke dalam 96 well kultur jaringan yang terdiri dari 5x103 sel/well. MK AH dibagi menjadi tiga konsentrasi (10 mg/ml, 20 mg/ml, dan 30 mg/ml) dan diinkubasi dalam atm 5% CO2, 37o C. Ekspresi TGF-β1 dianalisis menggunakan ELISA reader setelah inkubasi selama 7 hari dan 14 hari dan secara kualitatif dengan pewarnaan Alizarin Red. Analisis statistik menggunakan uji One-way ANOVA dan uji Post Hoc LSD (SPSS IBM 26). Hasil: Terdapat perbedaan potensi berbagai konsentrasi AH (p<0,05) terhadap ekspresi TGF-β1 hDPSCs pada observasi 7 dan 14 hari. Kelompok AH 30 mg/mL memiliki ekspresi TGF-β1 tertinggi. Pewarnaan Alizarin Red menunjukkan nodul berwarna merah semakin pekat dan banyak pada konsentrasi AH 30 mg/mL. Kesimpulan: AH berpotensi untuk meningkatkan ekspresi TGF-β1. Kelompok AH 30 mg/mL merupakan konsentrasi yang paling berpotensi dibandingkan kelompok lain pada waktu observasi 7 hari

Background: TGF-β1 plays an important role in the process of differentiation of human dental pulp stem cell (hDPSCs) into odontoblast cells and hyaluronic acid (HA) as a natural scaffold has biocompatible properties and plays a role in the formation of dental hard tissue. Objective: To determine various concentrations potential of HA (10 mg/mL, 20 mg/mL, 30 mg/mL) as hDPSCs culture media (CM) towards TGF-β1 expression on 7 and 14 days observations. Methods: hDPSCs culture were obtained from those of previous research (ethical approval form attached) at P3 and P4. After 24 hours of incubation, CM was replaced with osteogenic media. hDPSCs undergo 24 hours of serum starvation and then implanted into 96 well tissue culture consisting of 5x103 cells/well. hDPSCs CM divided into three concentrations and incubated in 5% CO2 atm, 37o C. TGF-β1 expression was analyzed using an ELISA reader and qualitatively by Alizarin Red staining. Statistical analysis using One-way ANOVA and Post Hoc LSD test (SPSS IBM-26). Results: At 7 and 14 days, there is a statistically significant different potential of HA CM in various concentrations (p<0,05) towards expression of TGF-β1 hDPSCs. HA 30 mg/mL group have the highest TGF-β1 expression. Alizarin Red staining showed corellate results with more dense red nodules at HA 30 mg/mL group. Conclusion: HA have the potential to increase TGF-β1 expression hDPSCs. HA 30 mg/mL was the most potential concentration compare to other groups at 7 days observation."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarifuddin
"Latar Belakang: Tingginya angka kejadian kanker paru menyebabkan diperlukan pemanfaatan suatu penanda biologis spesifik kanker paru untuk menilai progresifitas penyakit. Transforming growth factor-β adalah protein yang disekresi untuk meregulasi proliferasi, diferensiasi dan kematian dari berbagai jenis sel. Semua jenis sel kekebalan termasuk sel B, sel T, sel dendritik dan makrofag mensekresi TGF-β. Jenis TGF-β yang terbanyak adalah TGF-β1. Diperlukan pengukuran kadar TGF-β1 serum darah tepi sebagai faktor prognostik pada kanker paru khususnya KPKBSK stage lanjut
Metode: Penelitian ini merupakan studi perbandingan dengan disain potong lintang pada pasien kanker paru yang telah tegak diagnosis dan bersedia diambil serum darah tepi untuk pemeriksaan kadar TGF-β1 serum menggunakan Human TGF-β1 Quantikine ELISA kit dari R D. Kadar TGF-β1 serum diukur pada 68 subjek yang terdiri dari 30 subjek kelompok kanker paru dan 38 subjek kelompok bukan kanker paru.
Hasil: Kadar TGF-β1 serum pada kelompok kanker paru meningkat signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan kanker paru (median; min-max) (3601.85; 2006.87-14995.25 pg/mL vs 2510.11; 646.31-5584.07 pg/mL) (P = 0.000). Tidak ditemukan hubungan antara kadar TGF-β1 serum dengan jenis kelamin, umur, riwayat merokok, gejala klinis, gambaran bronkoskopi, jenis sitologi/histopatologi, KPKBSK stage lanjut, dan status tampilan umum. Median Survival Time (95% CI) TGF-β1 < 3601.85 pg/mL adalah 9.7 (2.4-16.9) bulan sedangkan TGF-β1 ≥ 3601.85 pg/mL adalah 16.7 (7.7-25.7) bulan. Over all survival TGF-β1 13.3 (5.8-20.8) bulan
Kesimpulan: Kadar TGF-β1 serum meningkat pada kelompok kanker paru dibandingkan kelompok bukan kanker paru. Kadar TGF-β1 serum belum dapat digunakan sebagai marker prognostik kanker paru.

Beckground: The high incidence rate of lung cancer leads to the utilization of a specific biological marker of lung cancer to assess disease progression. Transforming growth factor-β is a secreted protein to regulate the proliferation, differentiation and death of different cell types. Types of immune cells are B cells, T cells, dendritic cells and macrophages secreting TGF-β. The most common type of TGF-β is TGF-β1. Therefore, measurement of serum level of TGF-β1 as a prognostic factors in lung cancer, especially advanced stage NSCLC, to assess progressivity of lung cancer is needed. Method: This study is a comparative study with cross-sectional design in lung cancer patients who had been diagnosed and were willing to be taken for examination of peripheral blood serum levels of TGF-β1 using the Quantikine Human TGF-β1 ELISA kit from R&D system. TGF-β1 serum levels were measured in 68 subjects consisted of 30 subjects with lung cancer group and 38 subjects controlled group.
Result: Serum level of TGF-β1 in lung cancer group increased significantly higher than control group (median; min-max) (3601.85; 2006.87-14995.25 pg/mL vs. 2510.11; 646.31-5584.07 pg/mL) (P = 0.000). There was no association between serum level of TGF-β1 with gender, age, smoking history, clinical symptoms, bronchoscopy, cytology/histopathology, advanced stage of NSCLC, and performance status. Median Survival Time (95% CI) TGF-β1 <3601.85 pg/mL was 9.7 (2.4-16.9) months while TGF-β1 ≥ 3601.85 pg/mL was 16.7 (7.7-25.7) months. Over all survival TGF-β1 13.3 (5.8-20.8) months.
Conclusion: Serum level of TGF-β1 is higher in the lung cancer group compared to controlled group. Serum TGF-β1 levels can not be used as a prognostic markers of lung cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Dewi sartika SLI
"ABSTRAK
Diabetes millitus merupakan gangguan metabolisme karbohidrat yang berlangsung
kronis, penyakit ini mempunyai beberapa komplikasi jangka panjang. Salah satu
komplikasinya adalah luka diabetes yang pada tahap lanjut dapat dilakukan amputasi.
Perawatan luka merupakan intervensi keperawatan yang dapat menghindarkan pasien
dari amputasi. Prinsip perawatan luka yang baik adalah memberikan lingkungan yang
lembab dan hangat untuk dapat meningkatkan proses perkembangan luka. Selain itu
perawatan luka juga harus efektif dalam pembiayaan, efektif dalam pembiayaan tidak
harus selalu murah tapi dilihat dari banyaknya manfaat yang didapat pasien.. Penelitain
ini merupakan penelitian kuasieksperimen pretest-postest with control group design.
Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling, dan dipilih secara acak.
Instrument pengkajian luka yang digunakan adalah instrument pengkjian luka Bates-
Jansen dan lembar pencatatan biaya material perawatan luka. Perbedaan proses
perkembangan luka dan efektifitas pembiayaan antara balutan modern dibandingkan
baluatan konvensional diuji dengan uji t independen dengan tingkat kepercayaan 95 %.
Hasil uji t independen menunjukkan ada perbedaan proses perkembangan luka antara
kelompok perlakuan dan kontrol (p=0,031) dan terdapat perbedaan efektifitas
pembiayaan antara kelompok perlakuan dan kontrol (p=0,002). Dengan demikian
institusi pelayanan perlu mengembangkan metode perawatan luka diabetes menggunakan
balutan modern.

ABSTRACT
Diabetes mellitus is a chronic carbohydrate metabolism disturbance which has many long term complications. One of its complications is diabetic wound which has risk for amputation. Wound care is nursing intervention that prevents patient form being amputated. A good principle of wound care is giving a moist and warm environment in order to improve wound healing process. Wound care should be cost effective which does not mean to be cheap but can give benefits for patient. This research used quasi-experiment with pretest and post test with control group design. Sample was chosen randomly with purposive sampling. Instrument for wound assessment are Bates-Jansen wound assessment and the documentation of wound care material cost. The difference of wound healing process and cost effectivity between modern and conventional dressing was tested with independent t test with 95% confidence interval. The result of independent t test showed a difference in healing process between treated and controlled groups (p=0,031), and a difference in cost effectivity between treated and controlled groups (p=0,002). It is concluded that health services need to improve diabetic wound care method with modern dressing."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-24790
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>