Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158853 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Tulisan ini tidak ditujukan untuk memberi jalan keluar bagi perdebatan mengenai
hubungan antara negara atau kekuasaan dan Islam, namun hanya memetakan subtansi
pemikiran-pemikiran mengenai hal tersebut sebagai kajian yang seolah tak berujung.
Seperti diketahui, Islam memiliki konsep politik mengenai negara Islam. Setidaknya
terdapat tiga aliran dalam memahami hal tersebut; Pertama, Islam merupakan satu agama
yang sempurna dan mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan
bernegara. ; Kedua, Islam merupakan agama dalam pengertian Barat yang tidak ada
hubungannya dengan urusan kenegaraan; Ketiga, Islam bagi aliran ini mempunyai tata
nilai etika bagi kehidupan bernegara, tetapi tidak mempunyai sistem ketatanegaraan.
Keyakinan Islam adalah tunggal adanya, tapi di dalamnya, Islam adalah agama atau
ajaran yang multitafsir, dan ini sangat membuka kemungkinan lahirnya begitu banyak
penafsiran mengenainya"
Lengkap +
320 JIPP 1:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Jakarta P3I Sekretariat Jenderal DPR RI, 1998
350.532 IND b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Choirul Fuad Yusuf
"Agama merupakan fenomen sosio-historik dan sosio-filosofis yang memiliki arti penting bagi manusia. Signifikansi agama bagi manusia sebagai homo religiosus adalah karena agama dipersepsi memiliki kekuatan atau kesanggupan merumuskan, mengatur dan memecahkan berbagai persoalan hidup manusia. Begitu besar pengaruh agama atas kiprah kehidupan, menyebabkan agama menduduki posisi yang berperan membentuk proses struktur kondisi sosio-kultural masyarakat, terutama pada zaman-zaman pra-moderen. Agama dipersepsi sebagai institusi yang tidak semata mengatur urusan pengabdian kepada tuhan dengan segenap implikasi atau manifestasinya, tapi juga agama berperan membentuk, memberi model, serta menggalang dan melahirkan berbagai ikatan sosial masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi kondisi dan sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat luas. Hadirnya pemikiran filsafati moderen dan gerakan humanistik yang antroposentrik serta bangkitnya ilmu pengetahuan dan teknologi,ternyata, berpengaruh besar terhadap persepsi masyarakat mengenai agama atau eksistensi tuhan dalam kehidupan. Disamping perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan dengan segenap implikasi sosiokulturalnya yang menggiring percepatan terwujudnya proses humanisasi sebenarnya, juga tak luput menjadi penyebab hadirnya fenomen sosio-relijius dan sosio-filosofisbaru berujud sekularisasi dan sekularisme. Dengan pendekatan deskriptif, analitik, dan sintetik, digambarkan dan dianalisis secara komprehensif tentang bagaimana konsep dasar dari sekularisasi dan sekularisme beserta perkembangannya sebagai fenomen sosiohistorik. Selain itu, juga dianalisis bagaimana kecenderungan sekularisasi sebagai suatu proses yang mengarah kepada rasionalisasi dan sekularisme. Disamping dibahas pula bagaimana hubungan antara sekularisasi di satu 'pihak dan sekularisme di pihak lain. Meskipun, antara keduanya memiliki keterkaitan yang jelas, namun suatu hal yang harus dibedakan adalah bahwa sekularisasi merupakan proses perubahan persepsi masyarakat terhadap persoalan yang berkaitan dengan tata nilai, sistem norma, - sistem kredo dan segenap sektor kehidupan sebagai totalitas, sementara sekularisme adalah suatu idiologi yang ateistik, atau suatu ajaran/doktrin yang menyangkal adanya transendensi Tuhan serta menolak agama dalam kehidupan masyarakat."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S16008
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masyhuri
"Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang hubungan agama dan negara pada dasarnya bertititik tolak pada kerangka membangun masyarakat bangsa melalui faham kebangsaan, artinya dalam berbangsa dan bernegara, ia harus dipahami dalam kerangka nasional. Begitu juga pengertian menyeluruh tentang syari'at islam, dalam pandangan Abdurrahman Wahid masalah i'tiqadi'ah dipahami sebagai wilayah politik untuk memperjuangkan ideologi negara, mu'amalah dipahami sebagai upaya memperjuangkan hak-hak warga negara melalui Undang-Undang Dasar 1945, dan akhlaqiah dipahami sebagai upaya berdakwah dengan moralitas. Oleh karena itu, negara yang menjadi keyakinan mayoritas penduduk Indonesia merupakan wilayah privat yang tidak boleh diinterversi atau disubordinasi oleh negara, begitu juga negara, sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UUD 1945, harus benar-benar dilaksanakan untuk memperjuangkan hak-hak berkeyakinan dalam kerangka pembangunan nasional.
Adapun konsepsi tentang hubungan agama dan negara Rebublik Indonesia, dalam pemahaman Abdurrahman Wahid dirumuskan dalam tiga bahasan pokok, yaitu : Pertama, finalisasi Pancasila sebagai ideologi negara, karena perjuangan mengenai ideologi tersebut, pada dasarnya bukan didasarkan pada unsur keterpaksaan umat Islam, melainkan didasarkan pada kesadaran yang diwujudkan sebagai penghormatan untuk bersama membangun masyarakat bangsa. Kedua adalah mengenai hubungan simbiotik antara agama dan negara, yang dimaksudkan untuk menjaga hubungan secara proporsional, artinya warga negara tidak boleh mencari legitimasi keagamaannya kepada pemerintah, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak boleh mencari legitimasi politiknya kepada agama tertentu, terlebih ia tidak boleh mempolitisasi agama sebagai kendaran politik. Ketiga adalah mengenai konsep pribumisasi Islam yang dimaksudkan untuk mempermudah implementasi hukum Islam menjadi negara tanpa tercerabut dari budaya lokal (bangsa). Sedangkan demokrasi yang dipraktikkan oleh negaranegara Barat adalah tergolong sekuler, yaitu ia dipahami sebagai semangat untuk memisahkan urusan agama dan negara. Implikasi negara yang berfaham sekuler adalah negara tidak satu sen pun mengeluarkan uang untuk kepentingan agama, yang berarti keberadaan seperti Departemen Agama, Peradilan Agama, urusan Haji, dan kurikulum agama dalam semua jenjang pendidikan harus dihapuskan.

The thoughts of Abdurrahman Wahid about state and religion are basically based on the framework to built nation society through nationalism, in which nation and state. Islam has to be understood in national framework. The complete meaning of Islamic Shari'a, in the Wahid's opinion, has a various meaning. The meaning of theology is understood as political region or struggling for the state ideology, mu'amalah (transaction) can be understood as struggling effort for civic rights through UUD 45 and morality can be understood as teaching effort by morality. Therefore, Islam becoming Indonesian's belief as private matter may not be intervened and subordinated by state, as well as state, according to constitutional law (UUD 45), has to really conduct the struggle for civic right to national development.
And the conceptions of Republic Indonesia and Islam relation, according to Abdurrahman's opinion, are formulated in three fundamental discussion, that concern to finalizing Pancasila as state ideology, because the struggle of ideology basically not relied on compulsory from Muslim, but based on a awareness realized as respect to develop nation state together. Matter is symbiotic relation the second between state and Islam to remain to take care of intercourse proportionally, so citizen may not look for its religious legitimacy to certain religion, particularly he may not make religion as political desire. The third matter is concept "pribumisasi Islam" intended to facilitate implementation of Islamic law as state law. While democracy foundation practiced by western countries is assumed secular, comprehended as spirit to develop political system. The implication of state, which has a secular method that they will not participate to the religion case, such as Department of Religious Affairs, Personal Islamic Court, and the religion curriculum in all education ladders have to be abolished.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Bakir Ihsan
"Tesis ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indonesia. Fenomena yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik di antara keduanya di bandingkan dengan masa sebelumnya. Adanya perubahan tersebut terlihat dari pola interaksi di antara kedunya dan wacana yang berkembang pada masa tersebut.
Model analisa yang dipakai dalam penelitian ini adalah bersifat analitis-kritis terhadap berbagai perspektif atau teori tentang hubungan agama (Islam) dengan militer di Indonesia. Data-data yang diperoleh dijelaskan secara dekonstruktif (genetic explanation) dengan berusaha menelusuri latar belakang munculnya suatu gejala. Oleh sebab itu, penjelasan ini menggunakan cara melacak masalah yang sedang diteliti dimulai dari akar sejarahnya, di samping variabel-variabel yang mempengaruhi (independent variable) hubungan di antara keduanya sebagai tolak ukur bagi hubungan tersebut. Dengan cara ini terbangun sebuah analisa yang komprehensif tentang realitas hubungan yang sesungguhnya antara Islam dan militer.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Prosedur penelitian ini menghendaki adanya analisa-analisa terhadap data-data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Bahan primer meliputi naskah-naskah, baik berupa buku, makalah, maupun karya-karya ilmiah lainnya, serta laporan jurnalistik yang terkait dengan masalah Islam dan militer di Indonesia. Wawancara juga dilakukan untuk menambah eksplorasi dan elaborasi terhadap penelitian ini.
Di samping itu, digunakan pula bahan-bahan lain, sebagai bahan sekunder, yang diperoleh melalui data lapangan (field research) dan wawancara (interview) dengan tokoh-tokoh yang dianggap representatif dan berkompeten dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, baik dari kalangan militer maupun dari kelompok Islam, serta pengamat.
Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan kedua kekuatan (Islam dan militer) tersebut mengalami kelenturan. Ketegangan hubungan yang berlangsung sejak awal tahun 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam.
Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum factor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mendorong terjadinya perubahan hubungan antara umat Islam dengan militer adalah adanya transformasi orientasi yang berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung perubahan orientasi politik dari legalistik-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakkan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan kehidupan bernegara yang pluralistik ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi yang meletakkan Islam sebagai ajaran universal yang harus disosialisasikan melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan, persamaan, dan musyawarah.
Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat Islam untuk menampilkan Islam secara legal-formal yang tidak disukai oleh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara terang-terangan terhadap asas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantif itu menjadi perekat relasi militer dengan umat Islam.
Begitu juga di kalangan militer muncul perubahan persepsi tentang Islam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabilitas negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang memiliki latar belakang pemahaman keislaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara yang menjadi faktor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik negara (penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.
Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia di berbagai negara juga ikut menjadi faktor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dan perilaku represif militer yang terjadi di Indonesia menjadi soratan dunia internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.
Berbagai faktor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh kepentingan penguasa, sementara secara kultural mereka dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwahidin
Jakarta: Midada Rahma Press, 2010
297.5 NUR i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wijaya
"Situasi konflik dalam aliran keagamaan (Islam) di Indonesia pada umumnya digolongkan pada pertentangan antara kelompok pembaharu (moderns) dan kelompok lama (tradisionalis). Meskipun sesungguhnya penggolongan tersebut tidaklah begitu tepat untuk melihat situasi konflik berbagai aliran keagamaan karena sesungguhnya kelompok pembaharu sendiri bukanlah jaminan untuk terus berjalannya suatu pembaharuan dalam arti yang sebenarnya. Tetapi setidaknya penggolongan seperti ini akan lebih mendekatkan penggambaran kondisi konflik dan ketegangan antar aliran keagamaan. Di Indonesia sejak dahulu kondisi ini diwakili oleh Muhammadiyah sebagai kelompok modernis dan Nahdatul Ulama (NU) sebagai kelompok tradisional (C. Geertz : 1960).
Dalam perspektif Bergerian (1997:107), munculnya gerakan keagamaan merupakan sebagai bentuk konsekwensi logis dari transformasi pola-pola keagamaan berupa berubahnya definisi tentang realitas, dari kerangka sakral kepada kerangka rasional. Dengan kata lain definisi religius tentang kenyataan dalam berbagai sektor kehidupan bukan lagi satu-satunya definisi. Namun dengan kerangka rasional manusia dihadapkan kepada suatu bentuk pluralitas nilai, norma, makna dan simbol-simbol. Yang menjadi persoalan adalah transformasi pola-pola keagamaan ini sering menimbulkan konflik sosial baik dalam bentuk nyata maupun latent.
Pada kasus Umat Islam di Kelurahan Sungai Buah Palembang gerakan keagamaan di daerah tersebut yang dipelopori oleh KH. Nashir Abdullah pada awalnya, dimotivasi oleh "Spirit" untuk pemumian ajaran agama (Islam) dan unsur-unsur tahayul, bid'ah dan khurafat. Kemudian permasalahan tersebut meluas dan melebar ke arah yang lebih substansial, seperti : puasa boleh merokok, wanita haid (menstruasi) atau nifas tetap wajib puasa dan lain sebagainya. Dari satu perbedaan kepada perbedaan lainnya mengakibatkan "ketegangan" dan munculnya kelompok sosial keagamaan yang baru dalam masyarakat setempat. "Ketegangan" (konflik latent) tersebut di satu sisi dilandasi oleh upaya untuk merekonstruksi dan memurnikan ajaran agama. Di sisi lain juga dilandasi oleh upaya untuk mempertahankan landasan kepercayaan dan penafsiran serta hegemoni kelompok dari masing-masing kelompok keagamaan (sekte) yang bersangkutan.
Gerakan keagamaan itu pun secara terselubung membuat umat Islam di Kelurahan Sungai Buah terbagi menjadi tiga kelompok yang meliputi :
1. Kelompok modern yaitu kelompok yang sepenuhnya mengikuti ajaran KH. Nashir Abdullah, H. Achlawi dan diteruskan oleh Nasaruddin.
2. Kelompok yang berupaya memodifikasi ajarannya dengan mengadakan `sintesa' antara ajaran agama yang dipahami secara turun menurun dan tradisional dengan kritik kelompok H. Achlawy dan kawan-kawan.
3. Kelompok yang tetap komitmen terhadap ajaran leluhur atau pendahulu-pendahulunya tanpa peduli kritik dan kecaman dari kelompok H. Nashir Abdullah. Abdullah dan kawan-kawan. Bagi mereka Syirik, Bid'ah dan Khurafat bukanlah persoalan. Yang penting adalah bagaimana hubungan mereka dengan Tuhannya.
Ketiga kelompok keagamaan ini memiliki karakter dan pola-pola rites yang khas serta berbeda satu sama lainnya. Dimana masing-masing kelompok tersebut mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar.
Dengan menggunakan metode penelitian kwalitatif serta menggali data dengan melakukan wawancara secara mendalam dan melakukan observasi baik secara partisipatif maupun non partisipatif. Dapat diungkap bahwa masing-masing sekte selain mempunyai pola ritual yang berbeda satu sama lain, juga mengembangkan "Stereotype" dan "Prejudice" antara satu sekte dengan sekte lainnya maupun kepada penganut agama lainnya.
Pendekatan teori fungsional yang menyatakan bahwa agama di dalam masyarakat memiliki dua fungsi yang meliputi fungsi integrasi (pemersatu) dan fungsi disintegrasi (pemecah) bukan saja berlaku pada kelompok masyarakat yang berbeda agama tetapi juga ternyata berlaku bagi kelompok keagamaan yang beragama sama. Dengan demikian pada umat Islam di Kelurahan Sungai Buah Palembang, munculnya gerakan keagamaan (sekte) bukan saja menyebabkan perubahan sosial dari bidang material berupa semakin banyaknya rumah ibadah yang dibangun oleh masing-masing kelompok, juga perubahan dalam aspek non material berupa modifikasi terhadap aspek perilaku keagamaan, pola ritus dan institusi keagamaan dari umat Islam di Kelurahan Sungai Buah Palembang."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Haryo H
"Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan harus berdasarkan hukum agama masing-masing pihak. Agama merupakan dasar dari suatu perkawinan. Karena UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit mengenai perkawinan campuran antar pemeluk agama yang berbeda, maka timbul permasalahan mengenai hal ini.
Menurut Hukum Perkawinan Islam, perkawinan pemeluk agama Islam dengan agama lain pada dasarnya merupakan larangan, kecuali dengan wanita ahli kita dengan syarat-syarat tertentu. Di kalangan para ahli hukum Islam terdapat perbedaan mengenai hal ini. Apakah pada masa sekarang hal itu dapat dilakukan.
Pendapat ahli hukum berdasarkan UU Perkawinan Tahun 1974 tentang perkawinan campuran antar pemeluk agama berbeda juga berbeda. Ada yang mengatakan bahwa hal itu dibolehkan, dilarang dan ada yang mengatakan terdapat kevakuman hukum.
Untuk mengkaji hal itu, penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana gambaran umum dari pendapat masyarakat Islam terhadap perkawinan campuran antar pemeluk agama yang berbeda.
Penelitian ini menggunakan "purposive sampling" sebagai metode penarikan sampel untuk dapat mewakili masyarakat Jakarta Selatan.
Dari hasil penelitian ditemukan kecenderungan bahwa masyarakat di wilayah Jakarta Selatan sebagian besar (70 ~) tidak setuju dengan perkawinan antar agama, dengan prosentase tertinggi ada pada tingkatan umur 41-50 (100%) dan pada tingkatan "masyanakat umum" dengan prosentase 90%.
Sebagian besar juga menyatakan bahwa perkawinan antar agama tidak sesuai dengan yang mereka anut (99%), di mana hal ini menunjukan pengetahuan mereka tentang agama (dalam hal ini agama Islam) dinilai sudah mencukupi.
Pengaturan perkawinan campuran antar agama dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menurut sebagian besar masyarakat di wilayah Jakarta Selatan sebaiknya diatur lebih jelas lagi.
Bahwa jika dilihat dari hasil penelitian yang menyatakan setuju dengan perkawinan campuran antar agama adalah pada tingkatan usia 20 - 30 Tahun, hal ini merupakan indikasi dari masuknya pengaruh-pengaruh Barat yang mereka anggap sebagai pola hidup modern, yang kebanyakan hanya memikirkan kesenangan dunia.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S20343
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>