Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128230 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
616.646 REP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Pritta Ameilia Iffanolida
"ABSTRAK
Latar Belakang: Metode seleksi embrio terbaik banyak dikembangkan untuk memperoleh transfer embrio tunggal dalam siklus fertilisasi in vitro (FIV). Blastokista merupakan tahap embrio terbaik yang didapat dari embrio dengan morfologi normal atau 2 pro-nukleus (2PN) maupun morfologi abnormal atau 3 pro-nukleus (3PN). Transfer blastokista masih memberikan tingkat keberhasilan implantasi dan kehamilan yang rendah karena penilaian morfologi yang baik tidak selalu mempunyai status kromosom yang baik. Aneuploidi dan mosaik diketahui masih ditemukan dalam populasi blastokista, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan kelainan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara morfologi dan perkembangan blastokista dengan kejadian aneuploidi dan mosaik, serta faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Embrio diperoleh dari siklus FIV dan dikultur sampai tahap blastokista, penilaian morfologi blastokista dilakukan menggunakan skoring Gardner dengan 3 parameter yaitu grade ekspansi blastokista, inner cell mass, dan tropektoderm. pre-implantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) dilakukan dengan cara biopsi blastokista pada hari ke 5 atau 6 dan analisis kromosom dilakukan menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Hubungan antara morfologi blastokista dan status kromosom serta faktor yang mempengaruhinya kemudian dianalisis.
Hasil: Didapatkan 70 embrio dari 25 pasien, dengan pembagian 45 embrio 2PN dan 25 embrio 3PN. Frekuensi aneuploidi pada sampel 2PN dan 3PN berturut turut 42% dan 4%, sedangkan mosaik 2PN 16% dan 3PN 8%, pada embrio 3PN juga didapati kromosom triploid sebesar 52%. Didapatkan hubungan bermakna antara grade tropektoderm embrio 2PN dengan status kromosom (p<0,05), sedangkan embrio 3PN tidak didapati hubungan antara parameter morfologi dengan kromosom. Blastokista dengan grade ³3AA memiliki persentase euploidi sebesar 46%. Usia maternal, usia paternal, jumlah oosit, laju fertilisasi, volume dan motilitas sperma berhubungan dengan status kromosom (p<0,05).
Kesimpulan: Grading blastokista berhubungan dengan status kromosom, dan usia maternal merupakan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian aneuploidi dan mosaik.

ABSTRACT
Background: Several method of assessing embryo viability have been employed over these year to obtain single embryo transfer in IVF cycle. Blastocyst, known as the best morphological embryo derived from both normal or 2 pronucleus (2PN) and 3 pronucleus (3PN) still not give the best implantation and pregnancy rate. However, morphology assesment only did not properly evaluate chromosomal status of the embryos. A good morphology blastocyst still can harbour aneuploidy and mosaic, and it is needed to find factor that effect aneuploidy and mosaic. Therefore, the aim of this study was to investigate the correlation between blastocyst morphology with aneuploidy, mosaicism and other related factor.
Methods: A cross-sectional study to compare blastocyst morphology with chromosomal status. Embryo collected from IVF-ICSI cyles then cultured until blastocyst stage, Blastocyst scoring was done by Gardner scoring system with 3 parameter including blastocyst expansion, inner cell mass and tropectoderm. Preimplantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) was done by tropectoderm biopsy on day 5 or 6 which were the screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. The relationship between blastocyst morphology and chromosomal status and other related factor were evaluated.
Results: A total 70 blastocyst were collected, 45 derived from 2PN zygot and the other 25 from 3PN zygot. The frequency of aneuploid in 2PN and 3PN continuosly 42% and 4%, meanwhile mosaic frequency were 15% and 8%. Triploidy chromosome were found 52% in 3PN embryo. Tropectoderm grading and chromosomal status was found significally different (p<0.05), while in 3PN embryo there in no correlation between blastocyst morphology and chromosomal status. >3AA blasctocyst grading had higher euploidy percentage compare to <3AA grading. Maternal age, oocyte number, fertilization rate, sperm volume and sperm motility have correlation with chromosomal status (p<0.05).
Conclusions: Blastocyst grading had correlation with chromosomal status, and maternal age is the key factor that affect aneuploidy and mosaicism."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
612.646 REP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Markus Christian Hartanto
"Frozen Embryo Transfer (FET) merupakan metode transfer embrio yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan fresh embryo transfer (ET) karena tidak melalui proses stimulasi ovulasi. Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk membandingkan tingkat keberhasilan FET dan ET, namun hasil yang didapat masing-masing penelitian menunjukkan angka yang berbeda, serta ada yang signifikan dan tidak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan kehamilan pasien yang menjalani FET dan dibandingkan dengan yang menjalani ET. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif, dengan menggunaakan 288 data rekam medis Klinik Yasmin Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Kehamilan ditentukan dengan kadar hCG ≥50 mIU/mL. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS 21.0 for Windows dengan uji chi-square untuk melihat hubungan jenis transfer embrio dengan tingkat keberhasilan kehamilan. Selain itu, faktorfaktor lain yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kehamilan juga dianalisis secara multivariat dengan metode regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan angka kehamilan FET (39,6%) lebih tinggi daripada angka kehamilan ET (38,2%) namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p=0,809). Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan keberhasilan kehamilan adalah adanya masalah ovarium, penurunan cadangan ovarium, dan masalah infertilitas pada laki-laki.

Frozen Embryo Transfer (FET) is an embryo transfer method on in vitro fertilization that has advantage compared to fresh embryo transfer (ET) because it does not need ovulatory stimulation. Several studies have been done to compare pregnancy rate outcome of FET and ET, but the results show different number and significancy. The aim of this research was to know the pregnancy rate of FET patients compared to ET. The research was retrospective cohort study and used 288 medical record datas in Obstetry and Gynecology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital.
Pregnancy was measured by hcG level ≥50 mIU/mL on day 15. All results were statistically analysed by SPSS 21.0 for windows by using chi-square test to know the relation of embryo transfer method and pregnancy rate. Besides that, the other factors that affected pregnancy rate was also analyzed with multivariate logistic regression method. The result showed FET pregnancy rate (39,6%) was higher than ET (38,2%) but not statistically significant (p=0,809). Factors that had significant correlation with pregnancy rate was ovary problem, decrease of ovarian reserve, and male infertility problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Ermanto
"Pertumbuhan janin terhambat sebagai komplikasi kehamilan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal dibandingkan janin normal, dengan angka mortalitas perinatal berkisar dari empat sampai sepuluh kali lebih besar.
Bayi dengan berat lahir rendah untuk usia kehamilan memiliki risiko tiga sampai sepuluh kali lipat dibanding bayi dengan berat lahir normal untuk terjadinya penyakit seperti hipertensi, resistensi insulin dan gangguan metabolisme kolesterol. Secara epidemiologi telah terbukti bahwa diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK) lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan berat lahir rendah. Yang menarik adalah bahwa gangguan tersebut merupakan efek jangka panjang pada orang dewasa sebagai konsekuensi gangguan nutrisi saat janin.
Hubungan antara berat lahir rendah dan prevalensi penyakit jantung koroner telah ditunjukkan dengan penelitian di India Selatan tahun 1996. Di antara pria dan wanita usia 45 tahun atau lebih, prevalensi penyakit jantung koroner ialah l1% pada yang berat lahir 2,5 kg, dan hanya 3% pada yang berat lahir 3,2 kg.
Penelitian di Inggris memperiihatkan juga bahwa neonatus dengan ukuran tubuh yang kecil dibandingkan dengan ukuran kepala, walau dalam rentang berat lahir normal, memi!iki gangguan metabolisme, kolesterol dan pembekuan darah. Salah satu organ visera yang terganggu adalah hepar yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungi sel hepar terrnasuk metabolisme kolesterol serta pembekuan darah secara permanen, yang merupakan faktor risiko terjadinya PJK.
Pada penelitian ini ingin diketahui apakah telah terjadi disfungsi hepar infra uterin berupa kelainan kadar AST, ALT, kolesterol serta panjang hepar pada bayi kecil masa kehamilan. Sehingga dengan data ini dapat nantinya menjadi dasar untuk memulai suatu intervensi 1 terapi.
Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara gangguan fungsi hepar dengan diagnosis klinis bayi kecil masa kehanti Ian?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum: Membandingkan gangguan fungsi hepar dengan panjang hepar pada janin PJT
Tujuan Khusus:
1. Membandingkan kadar AST pada PJT dengan bayi normal.
2. Membandingkan kadar ALT pada PJT dengan bayi normal
3. Membandingkan kadar kolesterol pada PJT dengan bayi normal
4. Membandingkan panjang hepar pada PJT dengan bayi normal
5. Mengetahui hubungan kadar AST dengan panjang hepar pada PJT
6. Mengetahui hubungan kadar ALT dengan panjang hepar pada PJT
7. Mengetahui hubungan kadar kolesterol dengan panjang hepar pada PJT"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T21400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Berliana Azzahra
"Latar belakang. Metode penilaian viabilitas embrio yang masih kurang akurat menjadi tantangan dalam peningkatan keberhasilan fertilisasi in vitro. Kualitas embrio dipengaruhi oleh umur kronologis dan regulator ekspresi gen. Salah satu regulator ekspresi gen tersebut merupakan MicroRNA-135b. MicroRNA-135b sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai biomarker kualitas embrio fertilisasi in vitro yang bersifat non-invasif. MicroRNA-135b terekspresi secara stabil di medium kultur embrio. Selain itu, terjadi peningkatan ekspresi MicroRNA-135b di medium kultur embrio aneuploidi dibandingkan medium kultur embrio euploidi pada fertilisasi in vitro. Kondisi aneuploidi pada embrio memiliki korelasi positif dengan umur kronologis dari pasien fertilisasi in vitro. Oleh karena itu, akan diteliti apakah terdapat korelasi antara umur kronologis dan ekspresi MicroRNA-135b pada medium kultur embrio pasien fertilisasi in vitro.
Tujuan. 1) Mengetahui sebaran umur kronologis dan ekspresi MicroRNA-135b pada pasien fertilisasi in vitro. 2) Mengetahui korelasi umur kronologis dan ekspresi MicroRNA-135b di medium kultur embrio pasien fertilisasi in vitro.
Metode. Studi ini merupakan sebuah studi cross-sectional yang dilakukan pada pasien fertilisasi in vitro Klinik Yasmin RSCM Kencana. Data umur kronologis pasien diperoleh dari data rekam medis pasien. Sampel medium kultur embrio diambil di hari ke-5 prosedur kultur embrio. Selain itu, dilakukan juga pengambilan sampel medium basal sebagai kelompok kontrol. Sampel yang telah diambil akan diperiksa nilai ekspresi MicroRNA-135b dengan analisis kuantitatif real time PCR. Analisis data dilakukan dengan IBM SPSS Statistics 25.
Hasil. Total sampel penelitian adalah sebanyak 31 medium kultur embrio dari 11 orang pasien. Umur kronologis dan ekspresi MicroRNA-135b tersebar secara tidak normal. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa terdapat korelasi positif bermakna dengan kekuatan statistik sedang antara umur kronologis dengan ekspresi MicroRNA-135b di medium kultur embrio pasien fertilisasi in vitro. Selain itu, ditemukan pula peningkatan relatif ekspresi MicroRNA-135b sebesar 4,9 fold pada medium kultur embrio dibandingkan dengan medium basal fertilisasi in vitro.
Kesimpulan. Umur kronologis yang semakin meningkat diikuti dengan peningkatan ekspresi MicroRNA-135b di medium kultur embrio pasien fertilisasi in vitro.

Background. The lack of accuracy in embryo viability assessment methods still become a challenge to increase the in vitro fertilization (IVF) success rate. The quality of embryo influenced by the chronological age and gene expression regulator. One of the gene expression regulator is MicroRNA-135b. MicroRNA-135b is very potential to become a noninvasive biomarker of IVF embryo quality. MicroRNA-135b express stably in the spent embryo media. There is an increasement of MicroRNA-135b expression in aneuploidy spent embryo media than euploidy spent embryo media of IVF. Aneuploidy embryo has positive correlation with the IVF patient’s chronological age. Therefore, in this study, we will determine whether chronological age has correlation with MicroRNA- 135b expression in spent embryo media of IVF patient.
Objectives. 1) To determine the chronological age and MicroRNA-135b expression distribution at IVF patient. 2) To determine the correlation between chronological age and MicroRNA-135b expression in spent embryo media of IVF patient.
Methods. This study is a cross-sectional study which was done to IVF patient of Yasmin Clinic in RSCM Kencana. The chronological age data were collected from the medical records of the patient. The spent embryo media sample were taken at the 5th day of the spent embryo media procedure. We also collected the basal media sample as the control group. The MicroRNA-135b expression were analysed using quantitative real time PCR analysis. The data analysis was using IBM SPSS Statistics 25.
Results. There were 31 spent embryo media from 11 patients. The chronological age and MicroRNA-135b expression distribute abnormal. We also found that there was a positive significant correlation with moderate statistical power between chronological age and MicroRNA-135b expression in spent embryo media of IVF patient. We also found that MicroRNA-135b expression increased 4,9 fold in spent embryo media than basal media of IVF.
Conclusion. The increase of chronological age followed by the increase of MicroRNA-135b expression in spent embryo media of IVF patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nining Handayani
"Latar Belakang: DNA bebas dalam medium kultur embrio dan kemajuan pemodelan berbasis kecerdasan buatan berpotensi menjadi modalitas uji genetik yang non-invasif. Saat ini, tidak diketahui apakah DNA tersebut dilepaskan oleh sel embrio euploid atau aneuploid, sehingga melemahkan dasar keilmuan penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sel sumber embrio pelepas DNA bebas dalam medium kultur, validasi potensi klinis penggunaan DNA bebas untuk skrining status ploidi embrio pasien Fertilisasi In-Vitro (FIV), dan konstruksi model pembelajaran mendalam menggunakan gambar embrio tersegmentasi untuk deteksi status ploidi embrio.
Metode: Penelitian ini terbagi dalam dua desain penelitian yaitu eksperimental in-vitro menggunakan embrio hewan model dan observasi kohort menggunakan 28 sampel medium kultur embrio dari 21 pasien program FIV di Klinik Morula IVF Jakarta, periode September 2022–Januari 2023. Konstruksi model pembelajaran mendalam menggunakan gambar embrio pasien FIV yang menjalani program bayi tabung periode Januari 2021– Juni 2023. Deteksi sel embrio sumber pelepas DNA bebas dilakukan dengan memapar salah satu embrio (galur DDY atau C57BL) dengan reversin untuk memperoleh blastomer pembawa sel-sel aneuploid. Embrio kontrol dikultur bersamaan tanpa reversin sebagai pembawa sel-sel blastomer euploid. Agregasi membentuk embrio mosaik dilakukan antara embrio pembawa blastomer aneuploid (perlakuan) dan embrio pembawa blastomer euploid (kontrol). Polimorfisme gen GABRA2 antara galur DDY (alel wildtype) dan C57BL (alel delesi) mejadi alel target yang dikuantifikasi dengan metode qPCR. Empat jenis sampel dibuat sebagai berikut: medium kultur tanpa embrio, medium kultur embrio agregasi tanpa pemaparan reversin, rev-DDY, rev-C57BL. Embrio mosaik diwarnai dengan marka apoptosis untuk deteksi mekanisme pelepasan DNA bebas. Analisis status ploidi embrio menggunakan medium kultur embrio pasien FIV dilakukan dengan metode sekuensing. Konstruksi model pembelajaran mendalam menggunakan gambar embrio tersegmentasi yang dipotong urut selama 10 jam sebelum proses biopsi. Variabel yang diamati dalam penelitian adalah konsentrasi alel delesi dan wildtype gen GABRA2, jumlah sel terwarnai marka apoptosis, Pada sampel medium kultur embrio manusia, keberhasilan amplifikasi dan interpretasi hasil sekuensing, serta tingkat kesesuaian uji antara DNA bebas dengan biopsi trofoblas dianalisis. Kemampuan prediksi model berbasis kecerdasan buatan dinilai dengan akurasi dan loss. Analisis data penelitian dan konstruksi model pembelajaran mendalam menggunakan perangkat lunak SPPS versi 21, OpenEpi. pyhton.
Hasil: Sebanyak 0,08 ng/reaksi alel wildtype ditemukan pada embrio mosaik dengan pemaparan reversin pada blastomer embrio DDY (rev-DDY, pembawa sel-sel aneuploid) dan 0,01 ng/reaksi alel delesi ditemukan pada embrio mosaik dengan pemaparan reversin pada blastomer embrio C57BL (rev-C57BL, pembawa sel-sel aneuploid). Median jumlah sel embrio terwarnai marka apoptosis antara ketiga group embrio (agregasi kontrol, rev- DDY dan rev-C57BL) tidak berbeda bermakna (nilai p = 0,95 untuk pewarnaan late apoptosis (propidium iodide) dan p = 0,42 untuk early apoptosis (Ann-V) menandakan adanya proses koreksi sel pada kedua group embrio mosaik selama masa perkembangan pra-implantasi. Keberhasilan amplifikasi DNA bebas medium kultur embrio manusia dalah 100%, dengan nilai interpretasi 92,8% (26/28). Nilai kesesuaian DNA bebas dengan biopsi trofoblas adalah rendah sebesar 65,4% (17/26) dengan kesesuaian kromosom seks adalah 61,5% (16/26). Sepuluh dari 11 embrio XY pada biopsi trofoblas terdeteksi XX pada DNA bebas. Seluruh model pembelajaran mendalam mengalami peningkatan akurasi menggunakan gambar embrio tersegmentasi dengan algoritma InceptionV3 mencapai akurasi tertinggi sebesar 0,67 dengan nilai loss sebesar 1,4.
Kesimpulan: Sel embrio anueploid adalah sel sember pelepas DNA bebas medium kultur embrio pada embrio mosaik hewan coba mencit yang dilepaskan melalui mekanisme apoptosis. Embrio masik tersebut diperkirakan melakukan self-correction dengan mengeksklusi sel-sel aneploid untuk mempertahankan euploiditasnya. Rendahnya tingkat kesesuaian antara DNA bebas dengan biopsi trofoblas disebabbkan oleh adanya kontaminasi maternal yang ditandai dengan perubahaan koromosm seks yang signifikan. Penggunaan gambar blastosis tersegmentasi meningkatkan akurasi model prediksi pembelajaran mendalam.

Background: Cell-free DNA and advanced artificial intelligence-based modeling uphold the potential of a non-invasive approach to determining embryo ploidy status. The specific embryonic cells (whether euploid or aneuploid) that release cell-free DNA are largely unknown, causing a weak scientific basis for its use. This study aimed to identify the source of embryonic cells releasing cell-free DNA in culture media, validate the clinical potential of using cell-free DNA to screen embryo ploidy status in an in-vitro fertilization (IVF) program and develop a deep learning model using segmented embryo images to detect embryo ploidy status.
Materials and Methods: This study employed two research designs including an in-vitro experimental study using animal model embryos and an observational cohort study using 28 samples of spent embryo culture media from 21 patients undergoing IVF program at Morula IVF Clinic Jakarta (September 2022 to January 2023). A deep learning model was constructed using images of embryos from IVF patients who participated in IVF program from January 2021 to June 2023. Detection of the source embryonic cells releasing cell-free DNA was achieved by exposing embryos (DDY or C57BL strains) to reversine to induce the formation of blastomeres carrying aneuploid cells. Control embryos were cultured simultaneously without reversine to serve as the source of euploid blastomeres. Mosaic embryo aggregation was performed by combining embryos carrying aneuploid blastomeres (treatment) with those carrying euploid blastomeres (control). The GABRA2 gene polymorphism between the DDY strain (wildtype allele) and the C57BL strain (deletion allele) was the target allele quantified using qPCR. Four types of samples were prepared: culture medium without embryos, culture medium of aggregated embryos without reversine exposure, rev-DDY, and rev-C57BL. Mosaic embryos were stained with an apoptosis marker to detect the mechanism of cell-free DNA release. The ploidy status of embryos using spent embryo culture media from IVF patients was determined using sequencing methods. The deep learning model was constructed using segmented images of embryos captured over 10 hours before the biopsy process. The variables observed in the study included the concentration of deletion and wildtype alleles of the GABRA2 gene, the number of cells stained with apoptosis markers, the success rate of amplification and interpretation of sequencing results from human spent embryo culture medium samples, and the concordance rate between cell-free DNA and trophectoderm biopsy analysis. The predictive ability of the artificial intelligence-based model was evaluated using accuracy and loss metrics. Data analysis and deep learning model construction were performed using SPSS version 21, OpenEpi, and Python.
Results: A total of 0.08 ng/reaction of the wildtype allele was detected in the culture media sample of mosaic embryos exposed to reversine in DDY embryo blastomeres (rev- DDY, carrying aneuploid cells), and 0.01 ng/reaction of the deletion allele was found in the sample exposed to reversine in C57BL embryo blastomeres (rev-C57BL, carrying aneuploid cells). The median number of embryonic cells stained with apoptosis markers among the three groups of embryos (control aggregation, rev-DDY, and rev-C57BL) did not differ significantly (p = 0.95 for late apoptosis staining with propidium iodide and p = 0.42 for early apoptosis with Annexin V), indicating the presence of cell correction processes in both groups of mosaic embryos during pre-implantation development. The success rate of cell-free DNA amplification in human spent embryo culture media was 100%, with an interpretability of 92.8% (26/28). The concordance between cell-free DNA and trophectoderm biopsy was low at 65.4% (17/26), with sex chromosome concordance at 61.5% (16/26). Ten out of eleven XY embryos from the trophectoderm biopsy were detected as XX in cell-free DNA analysis. All deep learning models showed improved accuracy using segmented embryo images with the InceptionV3 algorithm, achieving the highest accuracy of 0.67 with a loss of 1.4.
Conclusion: Aneuploid embryonic cells were identified as the source releasing cell-free DNA in culture media during embryo animal model experiments, releasing DNA through an apoptotic mechanism. These mosaic embryos were expected to activate embryonic cell correction mechanisms by excluding aneuploid cells to maintain their euploidy. The low concordance rate between cell-free DNA and trophectoderm biopsy was attributed to maternal contamination, as indicated by significant changes in sex chromosomes. The use of segmented blastocyst images improved the model's accuracy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anjani Larasati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sejak para ilmuwan telah sukses dalam mengekstraksi sel punca dari embrio manusia pada tahun 1998, riset mengenai sel punca menjadi sangat popular hingga sekarang. Kini, sel punca dapat dibedakan menjadi dua: Embryonic Stem Cells (ESC) dan Somatic Stem Cells dua tipe sel punca ini berbeda dalam kepuncaan mereka. Embryonic Stem Cell (ESC) adalah sel punca yang pluripoten, hal ini membuat ESC menjadi kandidat yang ideal untuk terapi regeneratif menggunakan sel punca. Akan tetapi, ESC jarang digunakan karena konsiderasi etis. Maka dari itu, kemungkinan menggunakan sel punca lainnya, termasuk Adipose Derived Stem Cells (ADSC) dan Umbilical Cord Derived Stem Cells (USC) sedang dipelajari. Sebab informasi mengenai pluripotency dari kedua sel punca ini masih terbatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tingkat pluripotency dari ADSC dan USC, melalui ekspresi gen Sox2, salah satu faktor transkripsi yang penting dalam menjaga pluripotency suatu sel.
Metode: RNA diekstraksi dari ADSC dan USC. One-Step Real-Time RT-PCR dilakukan untuk mendapatkan ekspresi relatif gen Sox2 yang menggambarkan tingkat pluripotency sel induk tersebut. Kemudian, electrophoresis dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil amplifikasi gen dari One-Step Real-Time RT-PCR.
Hasil: Ekspresi relatif gen Sox2 ditemukan 1.10 kali lebih tinggi pada USC dibandingkan ADSC, suatu perbedaan yang tidak cukup signifikan.
Konklusi: USC dan ADSC memiliki tingkat ekspresi gen Sox2 relatif yang serupa. Tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditemukan diantara keduanya, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua sel ini memiliki tingkat pluripotency yang mirip, membuat keduanya sumber sel punca yang sesuai."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wael Oemar Al Jaidy
"Latar belakang: Infertilitas merupakan gangguan dalam sistem reproduksi berupa tidak tercapainya kehamilan secara klinis setelah hubungan seksual dilakukan secara reguler selama minimal 12 bulan tanpa menggunakan kontrasepsi. Salah satu pilihan tatalaksana adalah fertilisasi in vitro. Dalam melakukan FIV, salah satu tahap yang menunjang keberhasilan adalah stimulasi ovarium terkendali dengan menggunakan gonadotropin seperti rekombinan FSH atau human menopausal gonadotropin.
Tujuan: Mengetahui hubungan stimulasi ovarium terkendali yang mendapatkan sediaan gonadotropin berupa rFSH dan hMG dengan luaran FIV berupa jumlah oosit, jumlah embrio, dan fertilization rate pada periode 2013– 2019
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang menggunakan data rekam medis yang menjalani program FIV di Klinik Melati Harapan Kita tahun 2013 – 2019. Data yang digunakan adalah data pasien yang menjalani program dengan protokol rFSH dan hMG dibandingkan dengan luaran jumlah oosit, fertilization rate, dan jumlah embrio.
Hasil: Dari 454 pasien yang memenuhi kriteria, 309 pasien menggunakan rFSH sebagai obat stimulasi ovarium dan 145 pasien menggunakan hMG sebagai obat stimulasi ovarium. Hasil uji non parametrik lebih tinggi pada kelompok pengguna rFSH dengan ketiga variabel yang diteliti ditemukan bermakana secara signifikan dengan hasil p < 0,05.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah oosit, fertilization rate, dan jumlah embrio pada kelompok rFSH dan hMG (P < 0,05) dengan rata-rata oosit, fertilization rate, dan jumlah embrio kelompok rFSH lebih besar daripada kelompok hMG

Background: Infertility is a reproductive disorder characterized by inability of a married couple to be clinically pregnant after regular sexual intercourse of 12 months duration without using any contraceptive method. One of the therapeutic options to solve the problem is in vitro fertilization. Controlled ovarian stimulation is one of the most important steps which determine the success of the procedure. Gonadotropin has been used as the drug which stimulates the ovary to produce egg. Recombinant FSH and human menopausal gonadotropin are extensively used as the drug of choice.
Aim: This research aimed to explore the relationship between gonadotropin which is used in the process of controlled ovarian stimulation, rFSH and hMG, and the in vitro fertilization outcome, which are oocyte number, embrio number, and fertilization rate during the period of 2013 – 2019.
Methods: This research was a cross sectional study. Data from medical record of patients who underwent the in vitro fertilization procedure at Melati Clinic, Harapan Kita Child and Mother Hospital were obtained. This research collected the oocyte number, embryo number, and fertilization rate of eligible patients who received rFSH or hMG stimulation.
Results: 454 patients were eligible for the research, further divided into 309 patients who received rFSH and 145 patients who received hMG. Non-parametric test revealed that patients who belong to the rFSH group had a statistically significant oocyte number, embryo number, and fertilization rate compared to hMG group with p < 0.05.
Conclusion: Significant difference of oocyte number, embryo number, and fertilization rate exists between rFSH and hMG group (p < 0.05) with the mean oocyte number, embryo number, and fertilization rate are consistently observed higher in the rFSH group compared to hMG group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zakia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Mendapatkan satu embrio dengan potensi implantasi yang tertinggi merupakan hal penting dari teknologi fertilisasi invitro. Metode yang banyak digunakan selama ini untuk seleksi embrio adalah melalui penilaian morfologi. Namun morfologi embrio belum dapat menggambarkan potensi embrio dengan baik. Teknologi metabolomik merupakan metode yang memiliki potensi yang cukup baik karena memiliki beberapa kelebihan yaitu pengukuran yang cepat dan tidak bersifat invasif. Viabilitas hasil konsepsi dipengaruhi oleh proses biologis intrasel yang menghasilkan metabolom. Embrio dengan morfologi yang baik ternyata memiliki gambaran metabolomik yang
berbeda. Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model prediksi dari pola metabolomik medium kultur embrio untuk memprediksi kemampuan pembentukan blastokista. Jika kita dapat memprediksi potensi keberhasilan pembentukan blastokista dengan cara yang nir invasif dan cepat, diharapkan dapat meningkatkan proses pemilihan embrio dengan potensi implantasi yang tinggi, tanpa memperpanjang masa kultur embrio hingga hari kelima.
Tujuan: Mengembangkan metode nir invasive dalam memprediksi kemampuan embrio berkembang menjadi blastokista.
Metode: Penelitian kohort terhadap data spektrum FTIR medium kultur embrio hari pertama dan hari ketiga dalam memprediksi keberhasilan pembentukan blastokista, dengan membuat model prediksi dari spektrum tersebut.
Hasil: Didapatkan blastokista dengan kualitas baik sebanyak 16 dari 44 embrio yang diteliti. Didapatkan nilai AUC 0,752 pada model prediksi analisis FTIR medium kultur embrio hari pertama. dengan sensitifitas 0,727 dan akurasi 72,7%. Pada analisis spektrum hari ke 3 didapatkan model prediksi dengan AUC 0,674, dengan sensitifitas 0,614 dan akurasi 0,614.
Kesimpulan: Pola metabolomik medium kultur embrio dapat membedakan antara embrio yang berhasil menjadi blastokista kualitas baik dan tidak menjadi blastokista kualitas baik. Perbedaan ini dapat dideteksi dengan menggunakan analisis dengan FTIR yang kemudian dibuat model prediksinya.

ABSTRACT
Background: To get an embryo with the highest implantation potential is an important aspect of in vitro fertilization. The most widely used method for embryo selection is morphological assessment. However, embryo morphology has not been able to describe the potential of an embryo properly. Metabolomic technology is a method that has good
potential because it has several advantages, namely rapid measurement and not invasive. Viability of the results of conception is influenced by intracellular biological processes that produce the metabolome. Embryos with good morphology have a different metabolomic profilling. From this research it is expected to produce a predictive model of the metabolomic profilling of embryo culture medium to predict the successful of good quality blastocyst formation. If we can predict the potential success of blastocyst formation in a non-invasive and fast way, it is hoped that it can improve the process of selecting embryos with high implantation potential, without extending embryo culture to
the fifth day.
Objective: To develop a non-invasive method for predicting the ability of an embryo to develop into a good quality blastocyst.
Method: A cohort study of FTIR spectrum data of first and third day embryo culture medium in predicting the success of good quality blastocyst formation, by making a prediction model of the spectrum.
Results: There were good quality blastocysts from 16 of the 44 embryos studied. AUC value of 0.752 was obtained from the FTIR analysis model prediction for the first day of embryo culture medium. with a sensitivity of 0.727 and an accuracy of 72.7%. In the spectrum analysis of day 3was obtained predictive models with AUC of 0.674, with a sensitivity of 0.614 and an accuracy of 0.614.
Conclusion: The metabolomic profilling of embryo culture medium can distinguish between an embryo that succeeds in becoming a good quality blastocyst and not a good quality blastocyst. This difference can be detected by using analysis with FTIR."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>