Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48421 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Depkes. RI, 1991
612.654 IND b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Duma Octavia Fransisca
"Pendahuluan. Anak perawakan pendek mempengaruhi sekitar sepertiga dari anak-anak balita di negara berkembang dan berhubungan dengan kesehatan dan pembangunan yang buruk. Golden 2009 mengusulkan bahwa anak perawakan pendek mungkin perlu MP-ASI densitas gizi lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal untuk mengejar pertumbuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh MP-ASI densitas standard SND-CF dan lebih tinggi HND-CF yang dikembangkan dari Rekomendasi MP-ASI dioptimalkan dan makanan fortifikasi pada pertumbuhan anak perawakan pendek berusia 12-23 bulan dibandingkan dengan kontrol.
Metodologi. Sebuah percobaan terkontrol berbasis masyarakat, acak-ganda-buta, dilakukan di antara anak perawakan pendek berusia 12-23 mo. Penelitian ini terdiri dari dua tahap: Tahap I untuk mengembangkan Rekomedasi MPASI dioptimalisasi menggunakan pendekatan program linear LP dan merumuskan tingkat densitas gizi yang berbeda dari MP-ASI. Tahap II, intervensi 6 bulan dengan 3 kelompok intervensi a HND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit fortifikasi lebih tinggi, b SND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit fortifikasi standar dan c ND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit tidak difortifikasi/kontrol. Panjang badan dan berat badan diukur setiap bulan. Konsumsi biskuit dicatat pada kunjungan mingguan.
Hasil. Survei pola makan menunjukkan bahwa niasin diidentifikasi sebagai zat gizi masalah sebagian dan tujuh nutrisi tidak bisa mencapai 65 kebutuhan diet. Ada peningkatan proporsi anak yang memenuhi frekuensi konsumsi makanan padat gizi mingguan yang direkomendasi oleh Rekomendasi MP-ASI, seperti makanan fortifikasi, buah semua kelompok, hati ayam SND-CF dan HND-CF dan ikan teri ND-CF. Energi, protein, vit B1, intake B6 meningkat pada semua kelompok. Kelompok HND-CF cenderung memiliki episode yang lebih tinggi dan durasi diare dan demam. Studi ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pertambahan panjang dan LAZ antara kelompok intervensi setelah disesuaikan untuk faktor perancu. Dibandingkan dengan ND-CF, ukuran efek pada pertambahan panjang -0,39 dan -0,39 untuk HND-CF dan SND-CF, masing-masing. Tidak ada pertambahan yang nyata pada berat badan, WAZ dan WHZ antara kelompok intervensi antara HND-CF dibandingkan dengan SND-CF dan kontrol. Tapi ada tren bahwa SND-CF memiliki pertambahan WAZ lebih besar. Dalam semua kelompok ada 8,5 ND-CF, 8,7 SND-CF dan 11,1 HND-CF anak perawakan pendek menjadi normal setelah intervensi 6-mo.
Kesimpulan dan Rekomendasi. Data kami menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari MP-ASI densitas lebih tinggi pada pertumbuhan anak perawakan pendek dibandingkan dengan SND-CF dan ND-CF. Studi lebih lanjut harus menyelidiki efek MP-ASI dioptimalisasi dengan kecukupan gizi dirancang pada Estimated Average Requiement EAR dibandingkan dengan Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dengan makanan fortifikasi. Program fortifikasi harus dirancang setelah mengidentifikasi kesenjangan zat gizi antara kebutuhan dan asupan gizi dioptimalkan.

Introduction. Stunting affects about one third of children underfive in developing countries and is associated with poor health and development. Golden 2009 proposed that stunted children may need higher nutrient density diets as compared to normal children to catch up their growth. The purpose of this study is to investigate the effect of Standard SND CF and higher HND CF nutrient density complementary food diets developed from optimized complementary feeding recommendation CFR and fortified foods. on growth of stunted children aged 12 23 month compare to control.
Methodology. A community based, double blind randomized, controlled trial was conducted among stunted children aged 12 23 mo. This study consisted of two phases Phase I to develop optimized CFR using linear programming LP approach and to formulate different nutrient density level of CF. Phase II, 6 month intervention with 3 intervention groups a HND CF received optimized CFR and higher fortified biscuit, b SND CF received optimized CFR and standard fortified biscuit and c ND CF received optimized CFR and unfortified biscuit control. Body length and weight were measured every month. Biscuit consumption was recorded on weekly visit.
Results. Dietary survey shows that niacin was identified as partial problem nutrient and seven nutrients could not achieve 65 dietary requirements. There were improvement on proportion of children meeting the recommended weekly frequency of promoted nutrient dense foods such as fortified foods, fruits all groups, chicken liver SND CF and HND CF groups and anchovy ND CF group. Energy, protein, vit B1, B6 intakes increased in all groups. HND CF group tend to have higher episode and duration of diarrhea and fever. Findings show there were no significant differences on length gain and LAZ gain between intervention groups after adjusting for covariates. Compared to ND CF, effect size on length gain were 0.39 and 0.39 for HND CF and SND CF, respectively. There was no significant weight gain, WAZ gain and WHZ between intervention groups between the HND CF as compared to SND CF and control. But there is a trend that SND CF has better WAZ gain. In all groups there were 8.5 ND CF, 8.7 SND CF and 11.1 HND stunted children became non stunted normal after 6 mo intervention.
Conclusion and Recommendation. Our data shows that there is no significant difference of higher nutrient density CF on the growth of stunted children as compared to SND CF and ND CF. Further study should investigate the effect of optimized CFR with nutrient adequacies designed at Estimated Average Requirement level in comparison to optimized CFR with fortified food. Fortification program should be designed after identifying nutrient gaps between the requirements and optimized intakes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizla Syabanni
"Stunting merupakan keadaan status gizi anak yang ditandai dengan tinggi badan yang pendek dan nilai TB/U < -2 SD. Prevalensi stunting di Indonesia terbilang cukup tinggi dan berstatus masalah menurut batasan WHO. Untuk menurunkan prevalensinya perlu mengetahui faktor risiko yang mungkin. PHBS merupakan serangkaian perilaku yang mempengaruhi status kesehatan setiap anggota keluarga, khususnya status gizi seorang anak yang masih bergantung pada orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penelitian cross sectional dengan teknik consecutive sampling dan uji chi-square ini bertujuan untuk mengetahui hubungan PHBS dengan kejadian stunting pada anak usia 12-59 bulan di Puskesmas Kecamatan Tanjung Priuk. Sampel penelitian ini berjumlah 97 pasangan ibu dan balita.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan antara PHBS dengan kejadian stunting pada anak usia 12-59 bulan p>0.05, ?=0.05 . Perlu untuk dikembangkan kembali cara penilaian pelaksanaan PHBS yang baku dan asupan nutrisi balita terhadap kejadian stunting perlu untuk diteliti pada penelitian selanjutnya."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69393
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kesehatan , 2000
612.3 IND g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Finka Reztya Sutanto
"Anemia pada balita di Indonesia masih tergolong cukup tinggi diantara Negara di wilayah Asia dengan hasil yang tidak mengalami perubahan selama 6 tahun (tahun 2007-2016). Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi anemia balita pada wilayah pedesaan ditemukan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Ibu merupakan pintu terdepan dalam pemenuhan kebutuhan zat gizi balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor ibu dengan kejadian anemia pada balita umur 12-59 bulan. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2013, jumlah sampel penelitian 986 balita dan analisis data menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ibu yang menentukan kejadian anemia pada balita umur 12-59 bulan di wilayah perkotaan adalah sosial ekonomi sedangkan di wilayah pedesaan tidak ada faktor ibu yang dapat menentukan kejadian anemia pada balita umur 12-59 bulan. Disarankan kepada pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk mengadakan edukasi kepada ibu rumah tangga, kader dan petugas kesehatan untuk mendeteksi gejala awal anemia dan pemanfaatan sumber dana keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi balita.

In Indonesia, anemia among preschool children under five years old is still quite high among countries in region Asia with the result that has not changed for 6 years (2007-2016). Various studies show that prevalence of anemia among preschool children in rural areas is higher than in urban areas. Mother is a main people to fulfillment of nutritional substances of preschool children. The purpose of this study is to determine the relationship of maternal factors with the incidence of anemia in infants aged 12 – 59 months. This study uses secondary data Riskesdas 2013, with total sample of 986 preschool children and data analysis using multiple logistic regression. The results show that the maternal factors that determine the incidence of anemia among preschool children in urban areas is the social economy while in rural areas there is no maternal factors that may determine the incidence of anemia among preschool children. The study suggest to the Government especially the Ministry of Health to conduct education to mothers of preschool children, framework and health officials to detect early symptoms of anemia and utilization of family funds to fulfill nutritonal needs of infants."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah Khusnayain Wijayanti
"Anemia merupakan suatu masalah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pada anak-anak, anemia telah diketahui berdampak pada perkembangan kognitif dan keterlambatan pertumbuhan. Pertumbuhan anak yang terhambat berdasarkan tolak ukur usia sebagai dampak dari anemia disebut stunting. Istilah risiko stunting dalam penelitian ini mengacu kepada HAZ score berdasarkan standar dari NCHS yakni antara -1,1 hingga -2. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dan melibatkan seluruh populasi terjangkau (total sampling) pada anak usia 3-9 tahun di pesantren Tapak Sunan Condet pada tahun 2011. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui prevalensi anemia dan hubungannya dengan risiko stunting. Dari penelitian ini didapatkan data hasil pengukuran tinggi badan, tanggal lahir untuk menentukan usia, dan kadar hemoglobin. Hasilnya, 13 (26%) anak menderita anemia dan 1 dari 13 penderita anemia terkena risiko stunting. Hasil analisis statistik chi-square menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara anemia dengan risiko stunting (p=0,962).

Anemia has been known as one of the worst health problems in develop country, such as Indonesia. Based on study, anemia has impact on children’ cognitive development and growth failure. Children growth failure related age is called stunting. The term of mild stunting is derivated from HAZ score based of NCHS standard which is between -1,1 to -2. This study, which use cross sectional design and included 50 children aged 3 to 9 years old, was held in Pesantren Tapak Sunan in 2011. This study has goal which are to determine the prevalence of anemia and its association with mild stunting. This study use data of height of the children, their date of birth to determine thier age, and hemoglobin levels. The result, 13 (26%) children was known suffering anemia and 1 of 13 of them was in mild stunted. The result of statistic analyze used chi-square showed there was no association between anemia and mild stunting (p=0,962).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Tri Sulistyaningrum
"Menurut Data Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, proporsi balita dengan asupan gula, natrium, dan lemak yang melebihi batas yang dianjurkan, yaitu untuk asupan gula sebesar 1,9%, asupan natrium sebesar 15%, dan asupan lemak sebesar 22,2%. Preferensi makanan dan perilaku makan anak-anak dipengaruhi oleh pengalaman masa balita dan erat kaitannya dengan pilihan dan
perilaku makan orang tuanya. Preferensi rasa saat usia dini ini akan menjadi kebiasan
makan dikemudian hari dan menjadi perilaku negatif, hal inilah yang menimbulkan timbulnya Penyakit Tidak Menular tidak hanya terjadi pada usia dewasa tetapi juga pada usia anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku ibu dalam pola pemberian gula, garam, lemak pada makanan balita umur 6-59 bulan di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2019 di wilayah Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Sampel pada penelitian ini berjumlah 200 responden dengan subjek ibu yang memiliki balita umur 6-59 bulan di wilayah Kecamatan Cipayung yang didapat dengan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan sebesar 53% Ibu memiliki perilaku negatif dalam pola pemberian gula, garam, lemak pada makanan balita. Sebesar 73,5% Ibu memiliki pengetahuan yang rendah dalam pola pemberian gula, garam, lemak pada balita dan sebesar 95,5% responden memiliki sikap negatif dalam pemberian gula,
garam, lemak pada makanan balita. Berdasarkan uji multivariat regresi logistik diketahui bahwa perilaku ibu dalam pemberian gula, garam, lemak pada makanan balita memiliki hubungan yang signifikan dengan pengetahuan p-value=0,005 (p<0,05), pemanfaatan media sosial p-value=0,001 (p<0,05) dan dukungan petugas kesehatan pvalue=0,005 (p<0,05). Oleh karena itu diperlukan adanya pengembangan strategi dalam meningkatkan pengetahuan ibu akan penggunaan gula, garam, lemak di dalam
konsumsi makanan balita sehari-hari melalui program indonesia sehat pendekatan keluarga.

According to the 2014 DKI Jakarta Province Individual Food Consumption Survey (SKMI), the proportion of children under five with sugar, sodium, and fat intake that exceeds the recommended limit, namely for sugar intake by 1.9%, sodium intake by 15%, and fat intake by 22.2%. Food preferences and childrens eating behavior are influenced by the experiences of infancy and are closely related to the choices and eating behaviors of their parents. Taste preferences at an early age will become eating
habits in the future and become negative behavior, this is what causes the emergence of
non-communicable diseases not only occur in adulthood but also in children. The purpose of this study was to determine maternal behavior in the pattern of providing sugar, salt, fat in toddler food aged 6-59 months in Cipayung District, East Jakarta. This study uses a cross sectional study design conducted in July-August 2019 in the Cipayung District area, East Jakarta. The sample in this study amounted to 200 respondents with the subject of mothers who have toddlers aged 6-59 months in the Cipayung District area obtained by purposive sampling. The results showed 53% of mothers had negative behavior in the pattern of providing sugar, salt, fat in toddler food. 73.5% of mothers have low knowledge in the pattern of providing sugar, salt, fat in infants and 95.5% of respondents have a negative attitude in providing sugar, salt, fat in toddler food. Based on the multivariate logistic regression test it is known that maternal behavior in providing sugar, salt, fat in toddler food has a significant relationship with knowledge p-value = 0.005 (p <0.05), social media utilization p-value = 0.001 (p <0 , 05) and the support of health workers p-value = 0.005 (p <0.05). Therefore it is necessary to develop a strategy to increase the mother's knowledge of the use of sugar, salt, and fat in everyday toddler food consumption through a healthy
Indonesia family approach program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Isnaini Arifianti
"Stunting adalah kondisi kegagalan pertumbuhan disebabkan oleh kekurangan zat gizi kronik dan infeksi berulang yang memiliki dampak jangka panjang. Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Provinsi Banten karena prevalensinya masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan stunting balita 6-59 bulan di Provinsi Banten. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah sampel 1.643 balita yang didapat dari total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang digunakan adalah data SSGI 2021 milik BKPK Kementerian Kesehatan RI. Variabel independen pada penelitian ini adalah faktor anak (umur, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan lahir, keragaman pangan), faktor ibu (pendidikan ibu dan pekerjaan ibu); faktor kerawanan pangan; faktor kesehatan lingkungan (kepemilikan jamban); faktor penyakit infeksi (ISPA, diare, pneumonia, TBC) dan faktor pelayanan kesehatan (pemberian vitamin A dan pengobatan balita sakit di fasilitas kesehatan). Data dianalisis menggunakan analisis data kompleks. Analisis bivariat menggunakan uji chi-square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan proporsi stunting pada balita 6-59 bulan adalah 22,7%. Berdasarkan analisis multivariat, determinan stunting balita 6-59 bulan di Provinsi Banten adalah jenis kelamin (p-value 0,021; AOR 1,351; CI 95% 1,047 – 1,744); pendidikan ibu (p-value 0,009; AOR 1,484; CI 95% 1,103 – 1,998); panjang badan lahir (p-value 0,001; AOR 2,094; CI 95% 1,512 – 2,899); kerawanan pangan (p-value 0,009; AOR 1,629; CI 95% 1,131 – 2,347). Faktor dominan kejadian stunting balita 6-59 bulan di Provinsi Banten adalah panjang badan lahir pendek (AOR 2,09). Bayi panjang lahir pendek perlu mendapatkan intervensi KIE gizi dan kesehatan untuk ibu balita; mendapat makanan tambahan balita dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas serta pemantauan rutin setiap bulan di Posyandu agar tidak tumbuh menjadi balita stunting.

Stunting is a condition of growth failure caused by chronic nutritional deficiencies and repeated infections that have long-term effects. Stunting is still a public health problem in Banten Province because the prevalence is still high. This study aims to determine the determinants of stunting in toddlers aged 6-59 months in Banten Province. The research design used was cross sectional with a total sample of 1,643 toddlers obtained from total sampling based on inclusion and exclusion criteria. The data used is the SSGI 2021 data belonging to the Indonesian Ministry of Health's BKPK. The independent variables in this study were child factors (age, sex, birth weight, birth length, dietary diversity), maternal factors (mother's education and mother's occupation); food insecurity factor; environmental health factors (latrine ownership); infection disease factors (ARI, diarrhea, pneumonia, tuberculosis) and health service factors (giving vitamin A and treating sick toddlers in health facilities). Data were analyzed using complex data analysis. Bivariate analysis used the chi-square test and multivariate analysis used multiple logistic regression. The results showed that the proportion of stunting among toddlers aged 6-59 months was 22.7%. Based on multivariate analysis, the determinant of stunting for children aged 6-59 months in Banten Province is gender (p-value 0.021; AOR 1.351; 95% CI 1.047 – 1.744); mother's education (p-value 0.009; AOR 1.484; 95% CI 1.103 – 1.998); birth length (p-value 0.001; AOR 2.094; 95% CI 1.512 – 2.899); food insecurity (p-value 0.009; AOR 1.629; 95% CI 1.131 – 2.347). The dominant factor in the incidence of stunting in toddlers aged 6-59 months in Banten Province is short birth length (AOR 2.09). Short-born babies need to receive health and nutrition communication, information, education interventions for mothers under five and get supplementary food for toddlers from the District/City Health Office and Community Health Centers as well as routine monitoring every month at the Posyandu so they don't grow into stunted toddlers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelvin Halim
"Prevalensi stunting pada balita di Indonesia, khususnya Kabupaten Bogor masih tergolong tinggi. Keragaman konsumsi pangan, salah satu penilaian pada praktik pemberian makan bayi dan anak, merupakan salah satu determinan utama dalam kejadian stunting. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan keragaman konsumsi pangan dan faktor lainnya dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan jumlah sampel 149 anak usia 6-35 bulan di Kecamatan Babakan Madang selama bulan April-Juni 2019. Skor keragaman konsumsi pangan diambil dari 1x24hr food recall berdasarkan 7 kelompok pangan dan dikategorikan berdasarkan beragam (<4 kelompok pangan) dan tidak beragam (≥4 kelompok). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stunting pada anak sebesar 32.2%. 31.5% anak mengonsumsi pangan tidak beragam. Hasil uji chi-square menunjukkan adanya hubungan bermakna antara keragaman konsumsi pangan (p=0.033), minimum acceptable diet (p=0.013), dan konsumsi sayur dan buah sumber vitamin A (p=0.015). Maka dari itu, upaya intervensi perlu dilakukan dengan meningkatkan keragaman pangan dan kualitas makan bayi dan anak dalam menurunkan risiko kejadian stunting di tingkat keluarga dan masyarakat.

Prevalence of stunting among under children in Indonesia, particularly in Bogor, East Java, is still considered high. Dietary diversity, one of the important assessments in infant and child feeding practice, is one of important determinants of stunting. This study is aimed to examine associations between dietary diversity with other factors with prevalence of stunting among children. A cross-sectional design study involving 149 children aged 6-35 months in Babakan Madang District from April-June 2019 was performed in this study. Dietary diversity scores were collected from 1x24hr food recall based on 7 food groups and categorized as low (<4 food groups) and high (≥4 food groups). Results showed the prevalence of stunting in this study is 32.2%. 31.5% of the children had low dietary diversity. Using chi-square analysis, there was significant associations in prevalence of stunting in children in dietary diversity (p=0.033), minimum acceptable diet (p=0.013), and consumption of vitamin A-rich fruits and vegetables (p=0.015). Interventions should be taken by improving dietary diversity to reduce the burden and prevalence of stunting in both household and community level."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Ayu Diani
"Upaya penurunan stunting di Indonesia salah satunya menetapkan wilayah prioritas lokus. Angka stunting di Indonesia ditargetkan turun dari 21,6% (2022) menjadi 14% (2024). Pada desa lokus dilakukan intervensi sensitif dan spesifik secara lebih intensif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui determinan stunting pada balita di 15 desa lokus dan 15 desa non lokus di Kabupaten Garut, Indonesia. Desain studi cross-sectional dari data sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut dengan jumlah sampel 2.359 balita usia 0-59 bulan. Analisis determinan stunting pada penelitian ini dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan uji Cox Regression. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stunting pada balita di desa lokus dan non lokus Kabupaten Garut sebesar 30,56% dengan perbandingan proporsi stunting lebih tinggi pada desa non lokus dibandingkan dengan desa lokus. Hasil analisis multivariat menunjukkan determinan stunting secara keseluruhan adalah infeksi anak, riwayat gangguan kehamilan, dan PMT anak sedangkan di desa lokus adalah infeksi anak, dan PMT anak adapun di desa non lokus adalah infeksi anak, riwayat gangguan kehamilan, dan PMT anak. Faktor kontekstual yang berhubungan dengan stunting keseluruhan adalah jenis desa dan merokok  sedangkan di desa lokus maupun non lokus adalah merokok. Faktor yang paling memengaruhi stunting di desa lokus maupun non lokus intervensi penurunan dan pencegahan stunting Kabupaten Garut tahun 2022 adalah infeksi anak (PR 1,76; 95% CI 1,49-2,08). Hasil penelitian menyarankan pihak Pemerintah Daerah, Dinas Kesehatan, dan masyarakat dapat mencegah stunting melalui pencegahan infeksi dengan pola hidup bersih, bekerja sama dalam program desa lokus, dan melakukan kampanye anti rokok dalam rangka pencegahan dan penurunan angka stunting.

One of the efforts to reduce stunting in Indonesia is to determine locus priority areas. The stunting rate in Indonesia is targeted to decrease from 21.6% (2022) to 14% (2024). In locus villages, sensitive and specific interventions are carried out more intensively. The purpose of this study was to determine the determinants of stunting in toddlers in 15 locus villages and 15 non-locus villages in Garut District, Indonesia. The study design was cross-sectional using secondary data from the Garut District Health Office with a total sample of 2,359 toddlers aged 0-59 months. Analysis of the determinants of stunting in this study was carried out univariately, bivariately and multivariately using the Cox Regression test. The results showed that the prevalence of stunting in toddlers in locus and non-locus villages in Garut District was 30.56% with a higher proportion of stunting in non-locus villages compared to locus villages. The results of multivariate analysis showed that the overall determinants of stunting were child infection, history of pregnancy disorders, and child PMT, while in the locus village it was child infection, and child PMT while in non-locus village it was child infection, history of pregnancy disorders, and child PMT. Contextual factors related to overall stunting are the type of village and smoking, while in both locus and non-locus villages is smoking. The factor that most influences stunting in locus and non-locus intervention villages to reduce and prevent stunting in Garut District in 2022 is child infection (PR 1.76; 95% CI 1.49-2.08). The results of the study suggest that the Regional Government, the Health Service, and the community can prevent stunting by preventing infection with a clean lifestyle, working together in locus village programs, and conducting anti-smoking campaigns in the context of preventing and reducing stunting rates."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>