Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8828 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leiden : KITLV Press , 2000
330.959 AUT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ilmi Idrus
"Tulisan ini mengkaji mengenai seks, gender, dan siri' dalam budaya Bugis. Tulisan memerikan bagaimana gender dan seksualitas dipengaruhi oleh norma-norma adat yang berasal daritradisi tulisan, pepatah dan nasihat, serta menunjukkan beberapa studi kasus hasil penelitian etnografi di Sulawesi Selatan. Siri' (kehormatan/rasa malu) merupakan sebuah konsep mendasar dalam kehidupan masyarakat Bugis. Bagi orang Bugis, perempuan dipandang sebagai simbol dari siri' keluarga dan berkaitan dengan konsep laki-laki yaitu ' bi' (perilaku yang tepat). Akibatnya, perempuan harus dipantau secara ketat dan perilaku mereka tidak hanya diawasi oleh orangtua, tetapi juga oleh anggota keluarga dekat dan jauh atau bahkan oleh anggota-anggota masyarakat sekitar, yang lebih tepat disebut sebagai tomasiri' (orang yang bertanggung jawab menjaga siri' keluarga). Kenyataan ini didukung oleh adat Bugis yaitu seorang perempuan harus selalu di bawah perlindungan seseorang. Jika ia lajang,berapa pun usianya, ia berada dalam pengasuhan dan perlindungan orangtuanya, saudara laki-laki (bila ada), dan/atau kerabat laki-laki lainnya; ketika ia menikah, ia berada dibawah perlindungan suaminya. Kekuasaan parental ditransformasikan menjadi kekuasaan konjugal dan dialihkan kepada suaminya. Tulisan ini menggali bagaimana siri' berinteraksi dengan dan memperkuat identitas-identitas gender dan hubungan kekuasaan yang membentuk seksualitas perempuan dan laki-laki Bugis."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lasker, Bruno, 1880-1965
London: Victor Gollancz, 1944
915.9 LAS p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik
"Bandit sebagai kategori sosial cenderung dikonotasikan negatif karena identik dengan penjahat, perampok atau orang-orang yang melakukan kekerasan fisik. Namun dalam sejarah sosial bandit tidak dapat dilihat secara sederhana berdasarkan opini publik. Baik dalam konteks lampau maupun kekinian, fenomena bandit tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi dan politik. Dengan mengambil kasus sejarah sosial bandit di Polombangkeng, penelitian ini menganalisis praktik perbanditan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan kolonial Belanda dari periode 1905 sampai berakhirnya intervensi politik Belanda di Sulawesi Selatan pada 1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik perbanditan yang diperankan oleh toloq dalam sejarah Polombangkeng merupakan bentuk protes atas ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Kebijakan negara kolonial yang mereduksi otoritas tradisional mendorong munculnya resistensi dari bangsawanyang posisinya marginal atau terpinggirkan dari hierarki pemerintahan kolonial. Marginalisasi ini kemudian tidak hanya menjadi masalah ekonomi dan politik semata, tetapi juga merembes ke masalah identitas dan siri’ (harga diri) yang terusik. Perbanditan bertali temali dengan ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan yang termarginalkan mempertontonkan kuasanya dengan melindungi kasus-kasus perampokan yang diperankan oleh toloq. Akibatnya muncul jaringan perbanditan sebagai bentuk extra-legal yang dipelihara oleh otoritas tradisional yang melampaui otoritas negara kolonial Belanda. Pada abad ke dua puluh, arah kebijakan kolonial Belanda yang semakin hegemonik mendorong semakin menguatkan pula koalisi toloq dengan karaeng yang kemudian disahkan secara terbuka melalui upacara ritual. Aksi perbanditan berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Realitas politik dan koalisi toloq dengan karaengsemakin dinamis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Organisasi toloq yang selama ini berkoalisi dengan karaeng memosisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan melawan kehadiran NICA di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa trajektori peran dan tindakan toloq sebagai aktor penting dalam perbanditan mengalami perubahan dalam konteks transisi politik lokal dan kolonial. Perubahan pola dan strategi perbanditan merupakan respons atas perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Bandits as a social category generally tend to have a negative connotation because they are identical to criminals, robbers, or people who often carry out physically violent acts. However, the social history of bandits cannot be labeled as simple criminals by public opinion. Both in the past and current context, bandits are inseparable from economic and political developments. Through the social history of bandits in Polombangkeng, this study analyzes the acts of banditry in relation to the changes in the Dutch colonial policies from 1905 to the end of the Dutch political intervention in South Sulawesi in 1950. By using a historical methodology that emphasizes the processes and time, the results show that Bandit acts performed by “toloq” in the history of Polombangkeng are a form of protest against social, political, and economic injustice. The colonial state's policy that reducing traditional authority led to resistance from “karaeng,” whose positions were marginal or marginalized from the colonial government hierarchy. Furthermore, the marginalization was becoming an economic and political problem and seeped into the disturbed identity and “siri'” (dignity). Bandits are closely related to economics, politics, and culture. Marginalized “karaeng” exhibited their power by protecting the robbery performed by “toloq”. As a result, a network of bandits emerged as an extra-legal form maintained by traditional authorities that surpassed the authority of the Dutch colonial state. In the twentieth century, the increasingly hegemonic policy of the Dutch colonial encouraged the strengthening of the alliance of “toloq” and “karaeng”, which was then openly legitimated through ritual ceremonies. The banditry developed into a rebellion movement. The political reality and the coalition of toloq and karaeng became more dynamic during the Indonesian independence revolution. The “toloq” organization, which has been in coalition with “karaeng”, has positioned itself as part of the struggle against the presence of NICA in South Sulawesi. This study concludes that the trajectory of the role and actions of “toloq” as an important actor in banditry has changed in the context of local and colonial political transitions. Changes in the pattern and strategy of banditry were a response to changes in the policies of the Dutch colonial government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik
"Bandit sebagai kategori sosial cenderung dikonotasikan negatif karena identik dengan penjahat, perampok atau orang-orang yang melakukan kekerasan fisik. Namun dalam sejarah sosial bandit tidak dapat dilihat secara sederhana berdasarkan opini publik. Baik dalam konteks lampau maupun kekinian, fenomena bandit tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi dan politik. Dengan mengambil kasus sejarah sosial bandit di Polombangkeng, penelitian ini menganalisis praktik perbanditan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan kolonial Belanda dari periode 1905 sampai berakhirnya intervensi politik Belanda di Sulawesi Selatan pada 1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik perbanditan yang diperankan oleh toloq dalam sejarah Polombangkeng merupakan bentuk protes atas ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Kebijakan negara kolonial yang mereduksi otoritas tradisional mendorong munculnya resistensi dari bangsawanyang posisinya marginal atau terpinggirkan dari hierarki pemerintahan kolonial. Marginalisasi ini kemudian tidak hanya menjadi masalah ekonomi dan politik semata, tetapi juga merembes ke masalah identitas dan siri’ (harga diri) yang terusik. Perbanditan bertali temali dengan ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan yang termarginalkan mempertontonkan kuasanya dengan melindungi kasus-kasus perampokan yang diperankan oleh toloq. Akibatnya muncul jaringan perbanditan sebagai bentuk extra-legal yang dipelihara oleh otoritas tradisional yang melampaui otoritas negara kolonial Belanda. Pada abad ke dua puluh, arah kebijakan kolonial Belanda yang semakin hegemonik mendorong semakin menguatkan pula koalisi toloq dengan karaeng yang kemudian disahkan secara terbuka melalui upacara ritual. Aksi perbanditan berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Realitas politik dan koalisi toloq dengan karaengsemakin dinamis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Organisasi toloq yang selama ini berkoalisi dengan karaeng memosisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan melawan kehadiran NICA di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa trajektori peran dan tindakan toloq sebagai aktor penting dalam perbanditan mengalami perubahan dalam konteks transisi politik lokal dan kolonial. Perubahan pola dan strategi perbanditan merupakan respons atas perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Bandits as a social category generally tend to have a negative connotation because they are identical to criminals, robbers, or people who often carry out physically violent acts. However, the social history of bandits cannot be labeled as simple criminals by public opinion. Both in the past and current context, bandits are inseparable from economic and political developments. Through the social history of bandits in Polombangkeng, this study analyzes the acts of banditry in relation to the changes in the Dutch colonial policies from 1905 to the end of the Dutch political intervention in South Sulawesi in 1950. By using a historical methodology that emphasizes the processes and time, the results show that Bandit acts performed by “toloq” in the history of Polombangkeng are a form of protest against social, political, and economic injustice. The colonial state's policy that reducing traditional authority led to resistance from “karaeng,” whose positions were marginal or marginalized from the colonial government hierarchy. Furthermore, the marginalization was becoming an economic and political problem and seeped into the disturbed identity and “siri'” (dignity). Bandits are closely related to economics, politics, and culture. Marginalized “karaeng” exhibited their power by protecting the robbery performed by “toloq”. As a result, a network of bandits emerged as an extra-legal form maintained by traditional authorities that surpassed the authority of the Dutch colonial state. In the twentieth century, the increasingly hegemonic policy of the Dutch colonial encouraged the strengthening of the alliance of “toloq” and “karaeng”, which was then openly legitimated through ritual ceremonies. The banditry developed into a rebellion movement. The political reality and the coalition of toloq and karaeng became more dynamic during the Indonesian independence revolution. The “toloq” organization, which has been in coalition with “karaeng”, has positioned itself as part of the struggle against the presence of NICA in South Sulawesi. This study concludes that the trajectory of the role and actions of “toloq” as an important actor in banditry has changed in the context of local and colonial political transitions. Changes in the pattern and strategy of banditry were a response to changes in the policies of the Dutch colonial government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mander,Linden A
New York: Macmillan, 1954
990 Man s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Greaves, I. C. (Ida Cecil), 1907-
London : George Allen & Unwih , 1935
338.1 GRE m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Boston: Beacon Press, 1961
307.7 COO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ilmi Idrus
"okus dalam artikel ini adalah pada isu gender, seksualitas dan identitas diantara lesbian di Makassar (Sulawesi Selatan). Diskusi dalam artikel ini menyangkut bagaimana perempuan 'menjadi lesbian', bagaimana mereka mengkonseptualisasikan diri hunter dan lines, bagaimana lesbian menegosiasikan identitas gender mereka dalam konteks norma heteroseksual yang dominan, dan bagaimana seks dan seksualitas ditampilkan. Ini diillustrasikan dengan sejumlah studi kasus dari interaksi dengan hunter dan lines. Argumentasi dalam artikel ini adalah bahwa posisi subjektivitas lesbian telah secara relatif dipengaruhi oleh diskursus global. Akan tetapi, hunter dan lines menciptakan norma-norma unik berdasarkan norma-norma orang-orang di sekitar mereka (seperti 'budaya pop, agama, keluarga, media massa dll.)."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Adlin Sila
"Desa Cikoang di pantai selatan Sulawesi Selatan adalah tempat bermukimnya komuniti Sayyid yang anggota-anggotanya menelusuri asal-usulnya melalui golongan Hadhramauthingga Nabi Muhammad. Tulisan ini merupakan sebuah kajian tentang identitas mereka direpresentasikan melalui kekerabatan dan perkawinan. Ciri khas Sayyid Cikoang yang menonjol tidak hanya di desa-desa asal mereka, tetapi juga di tempat-tempat mereka bermigrasi. Dibicarakan perihal bertahannya identitas semacam itu di Indonesia masa kini.Kekerabatan dan perkawinan melanggengkan keyakinan adanya garis keturunan yang membedakan orang Sayyid dari penduduk lainnya. Meskipun perkawinan terjadi antara orang Sayyid dan non-Sayyid, selalu antara seorang laki-laki Sayyid dan perempuan non-Sayyid, atas dasar bahwa anak-anak akan mengikuti status ayah mereka. Oleh karena itu,perempuan Sayyid hanya akan menikah di dalam kelompok Sayyid atau memilih tetap tidak menikah. Sistem gelar dan kategori status yang kompleks menandai hubungan perkawinan yang berbeda."
2005
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>