Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198628 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Amelda Yunita
"Asas praduga tak bersalah merupakan norma atau aturan yang berisi ketentuan yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memperlakukan tersangka atau terdakwa seperti halnya orang yang tidak bersalah meskipun alat bukti telah mengarahkan adanya kesalahan seorang tersangka atau terdakwa. Penerapan asas tersebut dalam proses peradilan pidana sangat penting sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perkara terorisme merupakan salah satu perkara yang rentan terhadap pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam proses peradilannya. Tesis ini membahas mengenai pemahaman penegak hukum terhadap asas praduga tak bersalah, penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara tindak pidana terorisme, kendala penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara tindak pidana terorisme dan akibat hukum terhadap pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan perkara tindak pidana terorisme. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris yang didukung penelitian yuridis normatif. Sedangkan analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada pemahaman dari penegak hukum jika asas praduga tidak bersalah berarti tidak bersalah dalam arti yang sebenarnya sehingga mereka selalu berpandangan sebagai penegak hukum mereka pasti menggunakan praduga bersalah. Pada umumnya asas praduga tidak bersalah telah diterapkan oleh Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang menangani perkara terorisme dengan mengupayakan pemenuhan hak tersangka atau terdakwa selama proses peradilan berlangsung, namun tidak dapat dipungkiri masih terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap asas tersebut terutama pada tahap penangkapan. Beberapa kendala dalam penerapan asas praduga tak bersalah yaitu pada tahap penangkapan sering terjadi perlawanan dari tersangka yang dipandang dapat membahayakan keselamatan jiwa penegak hukum atau masyarakat disekitarnya, sehingga terpaksa dilakukan tindakan represif terhadap tersangka tersebut, masih adanya penegak hukum dan penasihat hukum yang kurang profesional, adanya pemahaman yang keliru mengenai asas praduga tidak bersalah sehingga penegak hukum mengedepankan praduga bersalah dan berpeluang terjadinya penyalahgunaan wewenang dan belum adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran asas praduga tak bersalah. Akibat hukum bagi pelanggaran asas tersebut belum secara jelas diatur dalam ketentuan perundang-undangan, kecuali untuk upaya paksa yang tidak sah dapat diajukan gugatan Praperadilan, meskipun pemeriksaan yang dilakukan disini hanya sebatas masalah administatif.

The presumption of innocence is a norm or a regulation containing the provisions which must be executed by the law enforcement officers to treat the suspect or the accused just like an innocent person, although the evidence has pointed out the guilt of the suspect or the accused. The application of the presumption in the criminal justice process is very important as a form of respect towards human rights. Terrorism case is one of the cases which is sensitive towards the presumption of innocence violation in the justice process. The thesis discusses the understanding of the law enforcement officers towards the presumption of innocence, the application of presumption of innocence in the terrorism criminal act case justice process, the challenges of the application of presumption of innocence in the terrorism criminal act case justice process, and the legal consequences towards presumption of innocence violation in the terrorism criminal act case justice process. This research is judicial empirical research supported by judicial normative research, while the analysis in the research was conducted by using the primary data as the main data and the secondary data as the supporting data.
The research results show that the law enforcement officers still have an understanding that presumption of innocence means innocence in the real meaning so that they, thinking as law enforcers, will always and definitely apply presumption of guilt. Generally, presumption of innocence has been applied by the Investigator, the General Prosecutor, and the Judge handling the terrorism cases by attempting to fulfill the rights of the suspect or the accused during the justice process. However, it cannot be denied that there are still violations towards the presumption, especially on the arresting phase. Several problems in the application of presumption of innocence in the arresting phase happen very often since the resistance from the suspect is considered to be harmful for the safety of the law enforcers or the surrounding society so that repressive acts should be done towards the suspect. Other problems are there are still some unprofessional law enforcers and legal advisors, there is a wrong understanding towards presumption of innocence so that the law enforcers prefer to apply presumption of guilt first, and this leads to the misuse of the authority, and there is still no strict sanction for the presumption of innocence violations. The legal consequences for the violations of the presumption have not been clearly governed in the provisions of the laws and regulations, except for the illegal forcing efforts whose complaint may be filed in the pretrial hearing, although the examination done here is only limited to the administrative problems.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29316
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ay Koes Sabandiyah
"Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam kegiatan jurnalistik agar dapat memberikan perlindungan kepada terdakwa, dan apakah liputan yang dilakukan oleh media massa dalam proses persidangan telah melanggar asas praduga tidak bersalah, merupakan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dalam mekanisme pemuatan suatu berita yang penting adalah, apakah sebelum berita diturunkan sudah dilakukan cek dan ricek serta klarifikasi ke berbagai sumber berita. Sehingga dalam pemuatan pemberitaannya akan memenuhi asas berimbang atau cover both sides. Mekanisme baku tersebut sudah dilakukan Majalah Tempo sebelum menerbitkan berita yang berjudul, "Ada Tomy Di Tenabang?" yang diterbitkan pada Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003. Berita ini menggambarkan seolah-olah ada keterlibatan Tomy Winata di balik terbakarnya Pasar Tanah Abang. Secara khusus korban juga sudah diwawancarai dan bantahannya dengan jelas juga sudah dimuat. Dengan telah memuat bantahan dari korban dan klarifikasi dari narasumber lain, maka Majalah Tempo harus dianggap telah menghormati asas praduga tidak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undangg Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Studi kasus dari Keputusan Mahakah Agung Republik Indonesia Nomor 1608 K/PID/ 2005 ini secara filosofi, berdasarkan Pasal 3,4 dan 6 Undang-undang No. 40 Tahun 1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar ke empat dalam negara demokrasi. Meskipun Undang-undang Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kebebasan pers (terutama ketika terjadi delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut), dan tidak mengatur tentang penghinaan sehingga diberlakukan ketentuan KUHP. Untuk itu agar perlindungan hukum terhadap insan pers bukan sekadar impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu menempatkan Undang-undang Pers sebagai lex specialist. Pada tahap tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terdakwa dinyatakan bersalah atas tuduhan membuat berita bohong, fitnah, dan pencemaran nama baik. Di tingkat banding, putusan tingkat pertama dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi. Namun di tingkat Kasasi akhirnya terdakwa dinyatakan bebas.

The implementation of presumption of innocence in the activities of journalistic in order to give protection to the defendants, and whether or not the coverage done by the mass media in the process of court has crossed the presumption of innocence, is the focus of this research. In the mechanism of publishing a story, the most important thing to be considered is whether or not there has been a clarification and a double check to various sources of information. That way, the publication of a story must cover both sides. This procedural mechanism has been done by Tempo before it published the article titled ‘Is there Tomy in Tenabang?' that was issued in their 3-9 March 2003 edition. This article describes as if Tomy Winata was involved in the incendiary tragedy in Pasar Tanah Abang. Specifically the victim has also been interviewed and his denial has clearly published. By publishing the denial of the victim, and the clarification from other sources, then Tempo must be acknowledged of having respected the presumption of innocence as written in Provision 5 article 1, Act Number 40, year 1999 about Press.
The case study of the Decision of Supreme Court of Rpublic of Indonesia number 1608/K/PID/ 2005 philosophically based on Provision 3,4, and 6, Act no. 40, year 1999, the position of national press has been placed as the fourth column of democrative country. Eventhough the Law of Press hasn't been able to give portection to the freedom of press - mostly when there is an offense of press because there is no criminal regulation in that law) and it doesn't regulate contempt which is the reason of the application of KUHP. That way, in order that protection of law for press activists to become more than just a mere imagination, it needs the restriction of law in offense of press by creating the jurisprudence that can place Law of Press as lex specialist.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22574
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Serena Kalibonso
Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iksan Mardji Ekoputro
"ABSTRAK
Mengapa orang tidak bersalah dapat ditangkap dan ditahan? Bahkan diajukan ke depan pengadilan? Begitu pertanyaan yang sederhana sekali kedengarannya, tetapi mengandung makna yang memberikan pemahaman tersendiri untuk dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap apa yang dimaksudkannya. Berangkat dari masalah inilah, kami merasa tertarik untuk menulis persoalan tersebut yang kami tuangkan dalam bentuk tesis ini.
Sebenarnya pertanyaan tersebut jika tidak mengandung makna lain, sangat mudah untuk diberikan jawabannya. Seseorang yang sudah jelas tidak bersalah, sudah tentu tidak dapat ditangkap, ditahan dan diadili. Karena seseorang hanya bisa ditangkap apabila ada dugaan keras bahwa orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana dan di samping itu ada dasar bukti permulaan yang cukup.
Mengandung makna lain yang dimaksudkan di sini ialah kalimat pertanyaan itu ditujukan kepada suatu asas yang berlaku di dalam hukum acara pidana kita yaitu asas praduga tidak bersalah. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (UU No. 14/1970 ps. 8).
Sebelum berlakunya UU No. 14/1970 tersebut, asas praduga tidak bersalah ini telah pula dimuat di dalam UUD RIS 1949 pasal 14, UUDS 1950 pasal 14 dan kemudian UU No. 19/1964 (Undang-Undang Pokok Kehakiman) pasal 5. Dari semua ketentuan tersebut di atas, kalimat yang dipakai untuk menyatakan asas tersebut boleh dikatakan serupa walaupun tidak sama benar. Begitu juga kalimat yang dipakai dalam penjelasan umum KUHAP angka 3c.
Timbulnya pertanyaan di awal tulisan ini, karena adanya perbedaan ataupun kekurang telitian pemahaman asas tersebut dalam hubungannya dengan proses peradilan pidana. Antara asas praduga tidak bersalah dengan proses peradilan pidana ada hubungan yang erat sekali yang bahkan tidak dapat dipisankan. Proses peradilan pidana merupakan suatu proses di mana sejak seseorang menjadi tersangka dengan dikenakannya penangkapan sampai dengan adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya. Dalam proses itulah asas praduga tidak bersalah diterapkan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang harus "dianggap tidak bersalah" adalah orang yang sejak saat ditangkap, ditahan, dst. sampai dengan adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahan orang tersebut, Bahkan suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun demikian, perbedaan pemahaman masih dimungkinkan bisa terjadi di antara para pembaca yang selalu dihadapkan kepada dua nisi kepentingan yang tidak sama antara kepentingan tersangka/terdakwa dan kepentingan aparat penegak hukum. Kepentingan tersangka / terdakwa karena "dianggap tidak bersalah" maka hak-haknya harus dihormati dan dihargai sebagaimana orang yang tidak bersalah.Dengan demikian tersangka/terdakwa harus diperlakukan sebagaimana orang yang tidak bersalah. Sedangkan kepentingan aparat penegak hukum menjadi terlupakan dengan adanya titik berat pemahaman kepada kepentingan tersangka atau terdakwa saja. Hal ini terbukti dengan timbulnya pertanyaan seperti di depan, mengapa orang tidak bersalah dapat ditangkap dan ditahan.
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Idris Ramulyo
Jakarta: Sinar Grafika, 1995
297.49 MOH a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Loebby Loqman
"

Masalah asas praduga tak bersalah dalam hubungannya dengan pemberitaan media massa bukan hal baru. Sudah sering dilakukan diskusi, baik dalam lingkungan yang terbatas maupun dalam suatu seminar. Namun demikian masih terjadi perbedaan pendapat tentang asas tersebut dalam suatu pernberitaan oleh media massa.

Sejauh ini asas praduga tak bersalah dianggap hanya untuk dan berlaku bagi kegiatan di dalam masalah yang berkaitan dengan proses peradilan pidana. Sehingga terjadi ketidak pedulian masyarakat terhadap asas tersebut, kecuali apabila terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan yang menimpa dirinya.

Asas tersebut dianut di Indonesia melalui ketentuan yang terdapat di dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang. Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang. menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Meskipun tidak secara eksplisit .menyatakan hal yang sama, asas tersebut diutarakan di dalam pasal 66 Undang-undang No. 8. Tahun 1981 tentang Kitab. Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana dikatakan:

'Tersangka atau terdakwa: tidak dibebani kewajiban pembuktian'

Sedangkan di dalam penjeiasan pasal tersebut mengatakan bahwa ketentuan dalam pasal. 66 KUHAP. tersebut adalah penjelmaan dari asas praduga.tak bersalah.

Oleh karena asas tersebut diatur di dalam ketentuan perundang-undangan. hukum pidana, banyak pendapat bahwa asas itu semata-mata hanya diperuntukkan hal-hal yang berhubungan dengan hukum pidana.

Berbeda dengan di dalam sistem hukum yang digunakan di Amerika Serikat, banyak asas yang berkaitan dengan hak terdakwa dicantumkan secara eksplisit di dalam konstitusinya. Sehingga bukan saja tentang hak warga secara menyeluruh, akan tetapi hak warga yang disangka atau diduga telah melakukan kejahatan, diatur dalam pasal-pasal konstitusi. Dengan demikian merupakan ketentuan yang amat mendasar dalam kehidupan hukum negara tersebut. Amandemen pertama dari konstitusi Amerika menjamin tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, yang dapat dihubungkan dengan kebebasan pers.

"
Jakarta: UI-Press, 1994
PGB 0365
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>