Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7195 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ubed Abdilah S
Magelang: Indonesia Tera, 2002
305.8 UBE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nurarni Widiastuti
"Identitas menjadi suatu hal yang penting bagi muslim keturunan Cina dalam berinteraksi dengan masyarakat luas. Kebanyakan masyarakat muslim keturunan Cina adalah muallaf atau memeluk Islam tidak sejak lahir melainkan karena proses pindah ke agama Islam. Mereka lebih diterima oleh orang pribumi meskipun dari keturunan Cina, mengingat banyak stereotip dan penolakan yang terjadi terhadap etnis Cina oleh warga pribumi selama ini.
Penerimaan tersebut terkait dengan tumbuhnya perasaan sense of belonging yang muncul di tengah-tengah masyarakat pribumi dan muslim keturunan Cina. Inilah yang menyebabkan leburnya sekat sosial di antara pribumi dan muslim Cina bahkan membentuk suatu ikatan positif di antaranya. Meskipun muslim keturunan Cina menjadi lebur dengan masyarakat pribumi, bukan berarti tidak ada rintangan dalam menjalani kehidupan barunya sebagai seorang muslim. Mereka juga menjadi dijauhi oleh keluarga atau temantemannya yang nonmuslim keturunan Cina. Oleh karena itu, penggunaan simbolsimbol atau atribut Islam menjadi penting bagi muslim keturunan Cina ini dalam strategi berinteraksi.
Terbentuknya komunitas muslim keturunan Cina menjadi suatu hal yang tidak dapat ditepis lagi. Interaksi dengan sesama muallaf Cina lainnya, bertukar pikiran atau sharing satu sama lain pada akhirnya menimbulkan rasa nyaman dan menjadi ?rumah kedua? bagi mereka.

Identity became an important thing for Chinese Moslem in order to interact with the other society. Mostly, The Chinese Moslem was Muallaf, a person who became Moslem not because they were born as moslem but with changing their religion into Moslem. They?ve been accepted by the local society, despite the fact that there are a lot of stereotype and rejection towards the Chinese by the local society.
The acceptance towards the Chinese Moslem arisen the sense of belonging between the local society and the Chinese Moslem Society itself. This condition had loosened the social barriers between the two societies. In fact, those two societies are now bounded in some kind of positive atmosphere. Eventhough, the Chinese Moslem had already melted with the local society, but there are still some problems that occur in their new life as a Chinese Moslem. Somehow, they got abandoned by their own non-Moslem Chinese family or friends. So that?s why, for the Chinese Moslem, symbols and attributes are really important as a part of interaction strategy.
We can?t set aside the existence of the Chinese Moslem community as a place for them to interact, communicate, or share their thoughts and opinions with the other Chinese Muallaf. This community already became their nice and comfort second home.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Desain kemasan dengan identitas budaya lokal sangat diminati oleh wisatawan akan tetapi masih perlu dikembangkan, karena Bali memiliki keaneka ragaman warisan budaya adiluhung yang belum banyak diperkenalkan. Kaidah-kaidah dalam pengemasan dan perancangan aspek-aspek grafis kemasan masih belum digarap secara maksimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang dijual di pasar oleh-oleh. Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi identitas komunikasi visual dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas budaya lokal yang paling dominan ditonjolkan sebagai identitas kemasan oleh-oleh kopi Bali adalah kesenian, arsitektur dan upacara ritual dengan tampilan kemasan yang bervariasi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan bagi sektor IKM dalam merancang daya tarik desain kemasan dengan menampilkan identitas budaya lokal, agar memiliki perbedaan dengan produk lain sejenis. Sehingga identitas budaya lokal Bali yang beraneka ragam dapat dihadirkan dengan konsep berbeda dan produk IKM mampu bersaing dengan produk kompetitor yang telah memiliki nama dibenak konsumen.
"
SWISID 2:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Cahaya Hati
"Indonesia merupakan bangsa polietnik yang terdiri dari keberagaman suku bangsa. Salah satu kelompok minoritas yaitu suku bangsa Tionghoa masih menjadi perdebatan mengenai penerimaannya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Beberapa pihak menyatakan tidak setuju jika kelompok Tionghoa dianggap bagian masyarakat asli Indonesia. Orang Tionghoa kini mencari identitas diri dan mengartikan Tionghoa dalam kehidupan mereka. Keluarga merupakan agen yang penting mengenalkan identitas sebagai Tionghoa. Penguatan identitas terjadi ketika berinteraksi dengan orang di luar kelompoknya khususnya di sekolah. Mengamati orang muda di Belitung dalam pemaknaan identitas dari cara mereka menjalankan tradisi Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan zaman membawa pengaruh terhadap pandangan pemuda Tionghoa mengenai identitas kesukubangsaan dan identitas nasional. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik setempat turut mempengaruhi pemaknaan identitas suatu kelompok. Pemuda Tionghoa di Belitung menyadari posisi mereka sebagai warga negara Indonesia namun tidak melupakan asul usul nenek moyang serta tradisi yang diwariskan. Menjadi Tionghoa bukan sebuah pilihan melainkan didapatkan dari keluarga. Proses sosialisasi yang terus menerus dilakukan menghasilkan pemaknaan identitas diri oleh orang muda Tionghoa Belitung.

Indonesia is a polytethnic nation that is very rich in ethnic diversities. One of the minority groups is ethnic Tionghoa that is still in a debate regarding the approval as a ethnic group of Indonesian. Some groups in Indonesia refuse to accept the ethnic Tionghoa group as a part of the Indonesian people circle. The Tionghoa people in Indonesia have been searching for their identities and meanings of being a 'Tionghoa' in their daily lives. Family is an important agent to introduce and nurture someone's identity as a 'Tionghoa'. Confirmation of 'Tionghoa' as an identity occurs whenever they interact with someone with different ethnic background. This social phenomenon especially happens in school. This paper highlights how 'Tionghoa' as a social identity is always in the process of lsquo meaning making'regarding their lived tradition among the daily lives of Tionghoa youth in the context of modernity that clearly influences their perspectives about ethnic identity and national identity. Besides that, the social, economic and political conditions in a local context also influence the lsquo meaning making'of a group's idenity. The Tionghoa youth in Belitung realizes their position as Indonesian citizens, yet they also do not forget their ancestors and tradition. Due to the continuous socialization process from the family that influences them to interpret their social identity, being a 'Tionghoa' is not a choice, but it is inherited.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S66016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi
"Politik identitas etnis adalah suatu hal yang sulit untuk dihindari didalam masyarakat, apalagi dalam negara yang multi etnis seperti Indonesia. Politik etnis sendiri sengaja dilancarkan bagi orang-orang tertentu guna mendapatkan dukungan politik terhadap sesame etnisnya. Berkenaan dengan itu, Pasal 6A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga dari hasil amandemen mengenai syarat terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, memunculkan konsekwensi politik yang berdamapak member peluang besar bagi etnis tertentu dan menutup kesempatan terpilihnya bagi etnis yang lain menjadi Presiden. Dalam hal ini apabila terjadi pergulatan politik etnis sangat menguntungkan bagietnis mayoritas dan sebaliknya sangat merugikan etnis minoritas. Adapun ketentuan terpilihnya seseorang menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sesuai ketentuan pasal 6A ayat 3 UUD 1945 adalah memperoleh suara lebih dari 50% dengan sebaran sedikitnya 20% (duapuluh persen) suara disetiap provinsi yang tersebar di lebihdari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Dengan menggunakan system pemungutan suaraone man one vote serta syarat terpilih sebagaimana dalam pasal tersebut, maka sudah sangat terang menguntungkan etnis Jawa sebagai etnis mayoritas, pada Pemilu 2009 khusus di pulau Jawa dan Madura saja persentase pemilih etnis Jawa sebesar 59.87% belum termasuk di pulau-pulau lain di Indonesia. Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa untuk menjaga harmoni dalam keragaman etnis bangsa Indonesia, maka seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh etnis dalam mencapai puncak kekuasaan politik, yaitu menjadi Presiden Republik Indonesia, dengan cara amandemen UUD 1945 khususnya pasal 6A ayat 3 mengenai sebaran suara 20% diganti menjadi 50%+1setiap provinsi lebih dari ½ (setengah) provinsi di Indonesia.

Ethnic identity politics is a difficult thing to avoid in society, especially in a multi-ethnic country like Indonesia. Ethnic politics itself deliberately waged for certain people to gain political support for one another ethnicity. With regard to that paragraph 3 of Article 6A of the Act of 1945 the results of the third amendment of the amended terms on the election of President and Vice President of Indonesia, raising the political consequences berdamapak provide great opportunities for certain ethnic and closing opportunities for other ethnic election as President. In this case the ethnic political struggle is very beneficial for the ethnic majority and ethnic minorities are otherwise very detrimental. The provisions of the election of a person to be the President and Vice President of Indonesia in accordance with paragraph 3 of Article 6A of the 1945 Constitution was to obtain more than 50% with a spread of at least 20% (twenty percent) vote in every province in more than ½ (half) number of provinces Indonesia. Using a voting system one man one vote and elected terms as in the article, it is very bright as ethnic Javanese favorable majority in the 2009 elections in the island of Java and Madura a percentage turnout of 59.87% Javanese island does not include-other islands in Indonesia. From the description above authors argue that in order to maintain harmony in the ethnic diversity of Indonesia, then it should provide equal opportunities for all ethnic groups to reach the summit of political power, which is to become President of the Republic of Indonesia, by way of amendments to the 1945 Constitution, particularly Article 6A paragraph 3 regarding the distribution of sound 20 % changed to 50% +1 every province more than ½ (half) of the provinces in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33135
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darsya Khohamzah
"Deskripsi etnografi ini menjelaskan interaksi sosial para pedagang di Pasar Mester Jatinegara. Saya mengamati interaksi sosial di antara para pedagang Cina di Pasar Mester dan hubungan sosial dengan para aktor pasar lainnya. Hasilnya mengantarkan kepada sebuah kesimpulan bahwa aktivitas ekonomi di Pasar Mester ini terdapat strategi, kerjasama ekonomi, dan persaingan di antara para pedagang. Latar belakang etnik para pedagang yang beragam memunculkan stereotip etnik di dalam aktivitas-aktivitas ekonomi di pasar. Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan partisipasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S61287
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This research intends to prove that globalization is not always related to homogenization process. For such a purpose this research described how Betawi youngsters construct their ethnis identity and how they consume Betawi cultural television program in the constructuin of their ethnis identity. As a constructuinist, the resercher used case study with multi level analysis design. The results suggest that on a one side among cases studied their characteristics as orang Betawi can still be seen, but on the other side, their ethic identity is weekened while a new ethnis identity is formed."
Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, V (3) September-Desember 2006: 49-74, 2006
TJPI-V-3-SeptDes2006-49
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cin Hapsari Tomoidjojo
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2012
915.982 CIN j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Maraya Syahdenal
"Skripsi ini mengkaji tentang konstruksi identitas pada sebagian remaja keturunan etnis Bugis yang tinggal di Karangantu. Kehidupan mereka yang terpisah dari komunitasnya yang membentuk satuan kehidupan berlandaskan etnis – Kampung Bugis – membuat pemahaman identitas untuk mengenali siapa diri mereka secara berbeda. Etnisitas yang bersifat askripstif dalam membentuk identitas seseorang kemudian disangkal dengan mengatakan bahwa “kami bukan Bugis.” Penyangkalan bukan Bugis yang dilontarkan oleh sebagian remaja keturunan etnis Bugis adalah upaya mereka dalam mendefinisikan diri, baik secara internal maupun eksternal. Selain itu, sosialisasi yang terjadi dalam keluarga maupun lingkungan memberi andil dalam pendefinisian internal maupun eksternal untuk menghasilkan meaning dalam merepresentasikan diri sebagai siapa. Keterlibatan audience yang memberi ciri melalui stereotipe tentang masyarakat Bugis juga ikut mempengaruhi ekspresi identitas sebagian remaja Bugis dengan membentuk identitas yang berbeda dengan remaja Bugis yang berada di kampung Bugis.

This undergraduate thesis examines the construction of identity among a number of Bugis descent teenagers living in Karangantu. The notion ethnic identity construction as an ascriptive process is refuted by the teenagers claim that they are “not Bugis”. The denial against their own Bugis ethnicity is an attempt to define themselves, constrained by both internal and external definitions. In addition, the socialization that occurs within the family and the neighborhood contribute to the internal and external definition to generate meaning in representing themselves. Audience involvement that characterizes through stereotypes about Bugis society also influences the identity expression of these Bugis teenagers by establishing a distinct identity among their peers within the Bugis village."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S45166
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>