Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143597 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Roza
Jakarta: P3DI Setjen DPR RI, 2013
327.16 RIZ k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Poltak Partogi, 1963-
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2021
382.71 NAI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri, Republik Indonesia, 2016
341.448 IND l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hendro Retno Wulan
"ABSTRAK
Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk baru ancaman keamanan pasca perang dingin di wilayah Asia Tenggara. Konflik ini melibatkan enam negara sebagai pengklaim secara Iangsung dan menyangkut kepentingannya besar negara lainnya. Hal ini disebabkan lokasi strategis Laut China Selatan dan potensi yang terkandung didalamnya. Bila konflik ini dibiarkan memuncak akan menimbulkan perang terbuka yang merugikan banyak pihak Mengingat langkah untuk menyelesaikan konflik ini perlu waktu panjang karena rumitnya permasalahan, maka diperlukan upaya yang bisa tetap menjaga kawasan tetap aman hingga terselesaikannya permasalahan klaim wilayah ini yaitu dengan meningkatkan rasa saling percaya (confidence building measures) antara pihak yang bertikai. Langkah ini merupakan salah satu langkah awal diplomasi preventif.
ASEAN sebagai organisasi regional merasa perlu melakukan langkah diplomasi khusus sebagai upaya mengurangi ketegangan yang muncul akibat konflik yang berpotensi timbul yaitu dengan diplomasi preventif dua jalur, pertama dan kedua. Hal ini mengingat sebagian pengklaim adalah negara-negara anggota ASEAN dan keamanan kawasan sangat penting untuk dipertahankan demi menjaga stabilitas kawasan agar tetap kondusif bagi perkembangan perekonomian. Masalah yang ingin dibahas adalah bagaimana upaya ASEAN dengan diplomasi preventif dua jalur dalam mengurangi ancaman keamanan akibat ketegangan konflik yang timbul. Lingkup pennasalahan meliputi pelaksanaan diplomasi preventif jalur pertama melalui pembicaraan bilateral, ASEAN Ministerial Meeting, ASEAN Regional Forum, ASEAN-China Dialogue, ASEAN-China SOM dan diplomasi jalur kedua melalui Lokakarya PengeloIaan Potensi Konflik Laut China Selatan atas inisiatif Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran tentang penggunaan sinergi diplomasi dua jalur tersebut untuk mengurangi ketegangan konflik di Laut China Selatan secara aman dan damai.
Untuk itu, penulis menggunakan kerangka teori untuk menganalisis permasalahan dengan pendekatan konstruktif dari Bruce Andrews (1975) untuk melihat perilaku ASEAN dalam menanggapi konflik, pendekatan diplomasi dari Hedley Bull (1981) dan diplomasi preventif dan Boutros-Boutros Ghali (1992) dan konsep kerja sama dalam mengatasi konflik dan K.J. Holsti (1988) dan Robert O'Keohane (1994), konsep fungsionalisme dari David Mitrany (1981) serta konsep spill over dan Ernst Haas (1993). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan erat antara diplomasi jalur pertama dan kedua yang berpengaruh positif pada upaya pengurangan ketegangan konflik di Laut China Selatan.
Kesimpulan dari tesis ini adalah pelaksanaan diplomasi preventif dua jalur ternyata mempunyai peran positif dan akan lebih efektif bila didukung oleh komitmen masing-masing pihak yang bertikai untuk menjalankan hasil-hasil yang dicapai dalam diplomasi preventif baik jalur pertama maupun kedua secara konsisten."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yehuda Bimo Yudanto Purwantoro Putro
"Kajian ini menganalisis mengenai sikap Brunei Darussalam yang lebih memilih bekerja sama dengan RRC dibandingkan meminta bantuan AS, meski RRC adalah musuh Brunei Darussalam dalam konflik laut Cina Selatan. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan berfokus pada desk study. Melalui tiga variabel teori kerangka analisis Small State Foreign Policy Behaviour, yaitu power and weakness, the availability of allies, dan the vulnerability of state, diidentifikasi bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi Brunei Darussalam lebih memilih bekerja sama dengan RRC. Pertama, Brunei Darussalam memandang RRC memiliki power yang lebih besar daripada AS terutama dalam bidang ekonomi. Kedua, RRC memiliki potensi yang lebih besar daripada AS untuk dapat membantu Brunei Darussalam memulihkan keadaan ekonominya yang dilanda krisis. Oleh sebab itu, Brunei Darussalam sebagai aktor rasional memandang bahwa pemulihan ekonomi lebih utama dibanding melakukan konfrontasi terhadap RRC di laut Cina Selatan. Ketiga, terdapat ketergantungan ekonomi dan militer yang dimiliki oleh Brunei Darussalam terhadap RRC sehingga Brunei Darussalam lebih memilih melakukan strategi bandwagoning terhadap RRC.

This study analizes the behaviour of Brunei Darussalam who took a stand to cooperate with People’s Republic of China (PRC) instead of United States (US), although PRC was the enemy of Brunei Darussalam on South China Sea conflict. This study uses qualitative research method which focused on desk study. There are three variables of Small State Foreign Policy Behaviour, which are power and weakness, the availability of allies, and the vulnerability of state, to identify Brunei Darussalam’s preferency. First, Brunei Darussalam took a stand by bandwagoning towards PRC because for Brunei Darussalam, PRC has bigger power and capability than US, especially economics power. Second, PRC has bigger potential than US to help Brunei Darussalam overcome its economy crisis. As a rational actor, Brunei Darussalam perceives economic recovery was more important than to resolve its dispute with PRC in South China Sea. Third, Brunei Darussalam’s economic and military dependence to PRC. Those three factors are identified as a main reason which cause Brunei Darussalam’s Bandwagoning strategy towards PRC."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Widiastuti Veronika
"Tesis ini membahas tentang pengaruh komponen ? komponen geopolitik yaitu wilayah, energi dan power terhadap sengketa teritorial di Laut China Selatan antara China dan Vietnam periode 2009 - 2011. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian eksplanatif untuk menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel serta menggunakan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ketiga komponen geopolitik mempengaruhi sengketa teritorial di Laut China Selatan . Pertama, komponen wilayah yang dijelaskan melalui kedekatan geografis dan panjang garis pantai menunjukkan adanya klaim kepemilikan dan tingkat resiko bagi apabila terjadi sengketa di kawasan tersebut. Kedua, komponen energi yang dijelaskan melalui pengukuran tingkat pemenuhan kebutuhan energi menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan energi mempengaruhi eskalasi konflik akibat eksplorasi energi di kawasan yang masih menjadi sengketa. Sedangkan komponen power, kapabilitas militer yang kuat menimbulkan peningkatan agresivitas China ? Vietnam untuk mengklaim kawasan LCS. Selain itu, strategi China ? Vietnam untuk mempertahankan klaim juga mempengaruhi hubungan konfliktual di antara kedua negara ini.

The focus of this study is analyzing the impact of the components of geopolitics i.e. territory, energy and power toward the territorial dispute between China and Vietnam in the South China Sea at the period of 2009 - 2011. This study is quantitative research that aims to analyze the causal relationship between each variable.
This study summarize that the component of geopolitics give impact to the conflict escalation in the South China Sea dispute between Vietnam and China. In terms of territory, the geographic proximity and the coastline have explained the ownership claim and the country's risk should the dispute escalate into large-scale conflict or even war. In terms of energy, the rate of energy sufficiency ability gives impact to the dispute since it will cause a country to explore the disputed area in order to fulfill the energy demand. And in terms of power, the military capability has been the basis for China-Vietnam to act aggressively in the South China Sea. In addition, China ? Vietnam have also chosen different strategies to maintain their claims that in turns gives impact to the conflicting relationship among them.;The focus of this study is analyzing the impact of the components of geopolitics i.e. territory, energy and power toward the territorial dispute between China and Vietnam in the South China Sea at the period of 2009 ? 2011. This study is quantitative research that aims to analyze the causal relationship between each variable. This study summarize that the component of geopolitics give impact to the conflict escalation in the South China Sea dispute between Vietnam and China. In terms of territory, the geographic proximity and the coastline have explained the ownership claim and the country‟s risk should the dispute escalate into large-scale conflict or even war. In terms of energy, the rate of energy sufficiency ability gives impact to the dispute since it will cause a country to explore the disputed area in order to fulfill the energy demand. And in terms of power, the military capability has been the basis for China-Vietnam to act aggressively in the South China Sea. In addition, China ? Vietnam have also chosen different strategies to maintain their claims that in turns gives impact to the conflicting relationship among them."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30893
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsepsi strategi penanggulangan dampak konflik Laut Cina Selatan terhadap kedaulatan NKRI. Era globalisasi saat ini dengan ketidakmampuan negara-negara kawasan menata sengketa di Laut China Selatan akan memunculkan gelombang kejut terhadap ekonomi dan sosial budaya Indonesia. Selain mendorong naiknya harga minyak mentah dunia hal tersebut akan berpengaruh terhadap APBN Indonesia, dan ini merupakan ancaram serius keberlangsungan perdagangan Indonesia dengan raksasa-raksasa ekonomi di Asia Timur dimana negara-negara ini merupakan salah satu mitra penting ekonomi Indonesia. Kondisi demikian dipastikan akan berpengaruh langsung terhadap ekonomi domestik Indonesia nantinya.
Dengan menggunakan analisis SWOT maka bisa diketahui posisi RI terhadap dampak konflik laut china selatan pada aspek ekonomi dan sosbud. Dengan demikian didapat alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam rangka penanggulangan dampak konflik Laut China Selatan untuk kepentingan ekonomi dan sosbud. Strategi tersebut yaitu memberdayakan kekayaan alam dan modal ketahanan sosbud yang dimiliki untuk menghasilkan produk yang bisa bersaing dengan produk negara konflik sehingga diharapkan Indonesia bisa menghadapi konflik Laut China Selatan dari ancaman dampak ekonomi dan sosbud."
321 LPI 17:33 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Hamidah
"Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk baru ancaman keamanan pasca perang dingin di wilayah Asia Tenggara. Konflik ini melibatkan enam negara sebagai pengklaim secara langsung. Hal ini disebabkan lokasi strategis Laut China Selatan dan potensi yang terkandung didalamnya. Mengingat langkah untuk menyelesaikan konflik ini perlu waktu panjang karena rumitnya permasalahan, maka diperlukan upaya yang bisa tetap menjaga kawasan tetap aman hingga terselesaikannya permasalahan klaim wilayah ini.
Salah satu upaya untuk mengelola konflik tersebut adalah dengan peningkatan saling percaya (CBMs). Konsep CBMs yang dikembangkan di Asia Pasifik, adalah konsep CBMs yang unik dimana keamanan dimengerti secara konprehensif meliputi aspek militer dan non-militer. CBMs umumnya dimengerti secara longgar yang meliputi segala upaya formal dan informal pada tingkat unilateral, bilateral atau pun multilateral yang ditujukan untuk mencegah eskalasi konflik atau menyelesaikan ketidak pastian. CBMs yang dikembangkan di LCS tidak hanya terbatas pada CBMs standard yaltu melalui komunikasi, transparansi, constraint measures dan declaratory measures yang umumnya menyangkut bidang politik dan militer, tetapi mencakupkan kerjasama dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan lain-lainnya.
Perundingan untuk pengelolaan dan upaya pencarian penyelesaian damai konflik Laut China Selatan, sejauh ini baru pada tahap disepakatinya suatu non-legally binding code of conduct antara ASEAN dengan China dengan ditandatanganinya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada KTT ASEAN China, 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja.
ASEAN sejak awal menginginkan dikeluarkannya suatu legally-binding code of conduct for the South China Sea, namun karena adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik, untuk sementara baru dihasilkan suatu 'perjanjian sementara' berupa deklarasi yang akan dijadikan sebagai 'aturan main' dalam senketa di LCS.
Berdasarkan uraian diatas penulis melakukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor apakah yang meyebabkan ketidakberhasilan ASEAN untuk menghasilkan suatu legally-binding code of conduct in south china sea, dan akan dikaji lebih jauh bagaimana mekanisme CBMs yang telah dibentuk melalui Declaration on the conduct to parties in the South China Sea ini dapat mengelola konflik Laut China Selatan dengan cara mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama yang efektif. Untuk membahas pokok permasalahan dalam penulisan ini digunakan pendekatan CBMs yang akan dijabarkan sebagai definisi konseptual dan definisi operasional menjadi asumsi-asumsi dalam kerangka analisis. Metode penelitian yang digunakan bersifat Deskriptif Analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa hal-hal yang ada sehingga hasil penlitian dari data-data yang telah diperoleh dapat memberikan dukungan yang kuat terhadap teori atau konsep yang digunakan dalam penulisan ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak berhasilnya ASEAN merumuskan suatu legally-binding code of conduct disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Keberadaan ASEAN yang lebih banyak 'dikendalikan' oleh kekerasan pendirian China yang selalu menegaskan bahwa kedaulatannya di LCS adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu-gugat.
2. Penegasan China yang hanya akan menyepakati suatu non legally-binding code of conduct dan membatasi pada isu Spratly serta memfokuskan pada dialog untuk memelihara stabilitas dikawasan dengan pengembangan kerjasama dan tidak membahas masalah yurisdiksi kedaulatan.
3. China menunjukkan kemampuannya untuk mengkontrol negosiasi seputar konflik territorial tersebut dengan menjalin jaiur bilateral yang telah menghasilkan bilateral code of conduct.
4. Posisi tawar ASEAN yang lemah karena adanya perbedaan pandangan dikalangan ASEAN sendiri.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penandatanganan dokumen tersebut merupakan kemajuan dari upaya CBMs antara ASEAN dan China yang tengah dibangun selama ini, mengingat selama ini China hanya menginginkan pembahasan sengketa secara bilateral dan menolak segala bentuk internasionalisasi sengketa. Sebagai langkah awal deklarasi tersebut telah membawa negara-negara yang terlibat khususnya untuk memberikan komitmen dan pernyataan sikap bersama untuk menyelesaikan masalah sengketa di LCS secara damai. Deklarasi ini juga dapat dijadikan pendukung bagi pelaksanaan kerjasama yang telah dirintis melalui Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea dan starting point untuk pembentukan suatu legally-binding code of conduct.
Daftar Pustaka : 24 Dokumen + 16 Buku + 23 Artikel + 3 Paper Diskusi/Seminar + 2 Disertasi + Internet"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isroni Muhammad Miraj Mirza
"ABSTRAK
Konflik Laut Cina Selatan merupakan masalah yang bersifat multidimensional. Pembahasan hal itu membutuhkan pendekatan berbagai aspek, yakni hukum, politik, ekonomi, hingga keamanan (security). Aspek-aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Dalam perkembangan terakhir, konflik tersebut semakin memanas di antara claimant states. Intensitas konflik tersebut semakin terlihat dengan adanya berbagai macam klaim dari para claimant states, khususnya Cina melalui konsep nine dashed line yang dimilikinya. Konsep tersebut memang dinilai banyak pihak, bahkan oleh non claimant states, sebagai konsep dan tindakan illegal dari Cina karena hal tersebut mengakibatkan Cina menguasai hampir sebagian besar dari perairan Laut Cina Selatan. Tindakan ini juga melanggar ketentuan UNCLOS 1982. Asal muasal Nine Dashe Line ini sendiri tidak jelas dan penuh akan nuansa politik yang diciptakan pemerintah Cina. Nine dashed line tersebut tentunya semakin meningkatkan kompleksitas konflik Laut Cina Selatan. Konsekuensi yang terjadi saat ini, khususnya akibat nine dashed line tersebut, ialah secara geografis timbul apa yang disebut ?overlapping EEZ? di perairan tersebut. Filipina sebagai claimant states mengajukan sengketa ini ke Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai upaya untuk melawan tindakan agresif Cina di Laut Cina Selatan. Meskipun forum ini dilangsungkan tanpa persetujuan dan kehadiran Cina. Karena negara ini menolak berpatisipasi dari awal hingga akhir. Hal tersebut mengakibatkan proses peradilan di PCA hingga putusan akhir yang akan dikeluarkan tidak akan berpengaruh sedikitpun pada Cina untuk menghentikan tindakan agresifnya di Laut Cina Selatan. Artinya apa yang berjalan di PCA tidak akan menyelesaikan konflik tersebut seutuhnya. Meskipun bagi claimant states lainnya maupun non claimant states, seperti Indonesia, hal itu masih memberikan dampak cukup positif. Ketidakjelasan solusi konflik itu maupun kompleksitasnya, mengundang perhatian dari pihak lainnya seperti ASEAN dan EU. Kedua entitas ini memiliki kepentingan signifikan di Laut Cina Selatan, terutama ASEAN. Akibat faktor hukum, politik, dan eknomi, EU dan ASEAN tidak bisa secara institusi dan unilateral mengintervensi langsung sebagai pihak ketiga dalam membantu claimant states mencapai solusi damai terkait konflik Laut Cina Selatan. Sehingga peran kedua entitas ini terbatas. Agar ASEAN dan EU berperan lebih signifikan, perlu ada upaya community dan confidence building secara tidak langsung melalui kerjasama ASEAN-EU demi tercipta stabilitas regional di Laut Cina Selatan.

ABSTRACT
The Conflict in South China Sea is a multidimensional problem. The explanation of this issue requires a multidimensional approach, which consists of legal, political, economic, and security aspects. In recent years, the intensity of this conflict has considerably increased among claimant states. The intensity of the conflict is particularly visible through numerous of claims stated by the claimant states, especially China through its concept known as nine dashed line. Such concept is often regared even by the non claimants states as an illegal act by China since such act entitles Cina to dominate almost all territory of South China Sea. Such act also violates UNCLOS 1982. The origin of Nine Dash Line remains unclear and politically fabricated made by the chinese government. The Nine Dashe Line increases the complexity of the conflict in South China Sea. Geographically, the consequence, particularly due to the nine dash line, which is commonly visible today is what we know as the term ?overlapping? in South China Sea. Particularly, this also refers to ?EEZ overlapping. Phillipines as a claimant state, submitted this case before the Permanent Court of Arbitration in an attempt to counter China?s aggresiveness in South China Sea. Despite the fact that China rejects to participate in it from the beginning until the end of the legal proceeding. Consequently, both the legal proceeding and the final verdict of PCA would have no effect at all in deterring China from refraining its aggresiveness in South China Sea. In other words, it will not entirely resolve the conflict. Although, for the other claimant states and non claimant states, including Indonesia, the legal proceeding and the final verdict exercised by PCA would at least bring about a positive impact. The complexity and the inability by claimants states to reach a solution with regard to South China Sea issue, has attracted the attention of ASEAN and EU. These two international bodies have both significant interest in South China Sea, especially ASEAN. Due to numerous legal, political, and economic consideration, EU and ASEAN are not institutionally and unilaterally able to carry out direct intervention as a third party in assisting the claimant states to reach peaceful settlement concerning the conflict in South China Sea. Therefore the roles of these two entities are limited. In order for ASEAN-EU to play significant role, there has to be a community and confidence building exercised indirectly through ASEAN-EU Joint Cooperation in an attempt to bolster regional stability in South East Asia.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>