Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122363 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Didiek Samsu W. T.
"Candi sebagai suatu bangunan suci pada dasarnya dicip_takan untuk menghadirkan suasana sakral yang diharapkan dapat menghubungkan dunia bawah (manusia) dengan dunia atas (dewa). Dalam hal ini kehadiran arca perwujudan yang menjadi inti suatu candi. Arca perwujudan merupakan bentuk nyata kehadiran sang dewa di tengah para pemujanya. Candi Tikus di trowulan, kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, merupakan candi yang unik karena pada candi ini tidak ditemukan indikasi adanya arca perwujudan maupun arca lainnya. Di samping itu keletakannya juga agak unik karena nampaknya dibangun di bawah permukaan tanah. Bertitik tolak pada keunikan tersebut kerangka berfikir penulisan skripsi ini berdasar pada usaha untuk me_nanggapi lebih lanjut masalah fungsi yang sebenarnya dari candi Tikus: Kemudian dicoba pula untuk menelaah kronologi / umur bangunan ini dalam rangka menempatkan candi Tikus dalam bentangan sejarah Majapahit. Dengan menempatkan Trowulan sebagai suatu sistem dalam hal ini sistem perkotaan candi Tikus ditinjau seba_gai sub sistem kota Trowulan atau komponen kota Trowulan yang memiliki fungsi tersendiri. Pengamatan secara konjungtif pada bagian-bagian bangunan candi Tikus dengan penekanan terhadap aspek formalnya, diusahakan untuk dapat menghimpun gambaran tentang fungsi candi tersebut. Penjabaran dan perbandingan antara aspek-aspek teknologi dan arsitektur candi Tikus dengan candi-candi lainnya di Trowulan informasi mengenai perkiraan usia candi. Berdasarkan pengamatan terungkap bahwa tujuan penampilan susunan dan struktur bangunan candi Tikus ditekankan pada makna dan kegunaan air pada masyarakatnya. Dengan melihat bahwa unsur-unsur sakral tetap ditampilkan, maka dapat disimpu lkan bahwa candi Tikus merupakan bangunan suci bercorak petirtaan. Tinjauan teknologi arsitektur candi menampakkan adanya 2 tahap pendirian dan modifikasi pada bangunan. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa modifikasi terjadi antara abad XIV dan abad XV. Pendirian bangunan tahap I tentu sebelum kurun waktu tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S11578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Joko Susilo
"Masa ketika agama Hindu dan Buddha berkembang dan dipeluk masyarakat di wilayah yang saat ini kita kenal sebagai Jawa Tengah, menduduki posisi panting dalam studi arkeologi dan sejarah perkembangan sebuah bangsa yang kini bernama Indonesia. Peninggalan-peninggalan dari periode itu sedikit banyak mampu membantu kita memahami kronologi berkembangnya kebudayaan yang menjadi bagian jatidiri bangsa kita. Salah satu peninggalan tersebut dan menjadi data dalam skripsi ini adalah Candi Ngawen. Kompleks Candi Ngawen terletak di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Kompleks Candi Ngawen ini terdiri dari lima hangman yang berjejer dari utara ke selatan dan semuanya menghadap ke timur. Berdasarkan sisa-sisa bangunannya, dapat diidentifikasi bahwa dalam kompleks tersebut terdapat dua bentuk bangunan yang berbeda. Bentuk yang pertarna terdiri dari Candi Ngawen I, III, dan V yaitu memiliki denah kaki candi berbentuk bujursangkar. Sedangkan bentuk kedua adalah denah kaki candi berbentuk palang yang dimiliki Candi Ngawen II dan IV.
PermasaIahannya adalah dengan bentuk-bentuk arsitektur demikian para ahli menduga bahwa kelima bangunan tersebut merupakan tempat pemujaan bagi kelima Tathagata, yaitu Vairocana, Aksobhya, Ratnasambhava, Amitabha dan Amoghasiddhi. Hal tersebut didasarkan pads penemuan arca Ratnasambhava dan Amitabha. Padahal berdasarkan data-data yang dapat kita jumpai, setiap Tathagata tersebut memiliki tempat tersendiri yang secara garis besar adalah Vairocana memiliki posisi di pusat, Aksobhya menguasai arah timur, Ratnasambhava menguasai selatan, Amitabha menguasai arah barat, dan Amoghasiddhi arah utara. Dengan demikian mungkinkah pendapat para ahli tersebut benar? Selanjutnya, pada kerangka waktu yang mana kompleks Candi Ngawen tersebut dapat ditempatkan?
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah benar pendapat para ahli tersebut berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di Indonesia serta untuk mengetahui pada kerangka waktu yang mana kompleks Candi Ngawen tersebut dapat ditempatkan, sehingga dapat diketahui sejarah perkembangan kebudayaan masa Hindu-Buddha khususnya di Jawa Tengah dan di Indonesia pada umumnya.
Ruang iingkup penelitian ini adalah sebatas pada bentuk-bentuk arsitektur sebagai salah satu unsur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kronologi relatif sebuah bangunan kuno. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sesuai dengan latar belakang pendidikan peneliti yaitu metode penelitian arkeologi. Metode ini terdiri dari tiga tahap yaitu pertama, melakukan pengurnpulan data (observasi) balk melalui studi pustaka maupun studi lapangan. Kedua, pengolahan data yang berhasil dikumpulkan dalam tahap penelitian sebelumnya. Dan tahap ketiga,penafsiran data benapa penarikan kesimpulan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini.
Kesimpulan yang dihasilkan dan penelitian ini adalah kemungkinan besar kompleks Candi Ngawen dibangun pada dua masa yang berbeda, dengan catatan masa pembangunan terakhimya sekitar abad 9, tepatnya setelah Candi Borobudur dan sebelum Candi Prambanan. Selain itu dari penelitian ini juga dapat dibuktikan bahwa pendapat para ahli yang menganggap bahwa kelima bangunan Candi Ngawen berisi area Tathagata kemungkinan besar kurang tepat. Dengan kata lain di kompleks Candi Ngawen memang hanya terdapat dua area Tathagata, Ratnasambhava dan Amitabha."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S12028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Bayu Perdana
"Tulisan ini berfokus pada tatanan (order) arsitektural candi Jawa. Tulisan kontemporer kerap menelaah arsitektur candi menggunakan tatanan triparti, yang utamanya digunakan untuk membagi tampak candi ke dalam tiga bagian: badan, kepala, dan kaki. Meski umum digunakan, tatanan sederhana ini tidak merefleksikan secara akurat kompleksitas candi sehingga pembahasan arsitektural candi seringkali tidak rinci. Penulis mengusulkan sebuah sistem tatanan baru, yang penulis sebut sebagai “tatanan vāstu.” Tatanan ini direkonstruksi menggunakan metode riset arsitektural-historis yang membandingkan candi-candi Jawa serta struktur mancanegara terkait dalam lensa tipo-morfologis, didukung dengan analisis sastra arsitektural kuil India. Sampel candi meliputi 32 candi peribadatan tipe menara (prāsāda) dengan ciri Hindu dan Buddha yang berasal dari era Mataram Kuno (abad 8-11 M).
Secara tatanan tapak, candi Jawa menunjukkan dua pola umum yang berkorespondensi dengan dua moda dasar perancangan maṇḍala; pola berjejer-berhadap yang banyak digunakan pada candi Hindu berkorespondensi dengan moda yantri, sementara pola konsentris yang banyak digunakan pada candi Buddha berkorespondensi dengan moda maṇḍala. Pada pola candi berjejer-berhadap, terdapat sejumlah unsur yang dapat dikaitkan dengan sejumlah aspek geografis/astronomis lokal dan konsep ruang Austronesia yang diduga bercampur dengan konsep arah India pada masa Mataram Kuno. Secara tata bangunan, semua sampel candi dapat dibagi secara visual ke dalam tujuh bagian yang dimiliki tatanan vāstu: upapīṭha, adhiṣṭhāna, pada, prastara, gala, śikhara, dan stūpi. Namun pemeriksaan lebih mendalam menunjukkan bahwa tiap bagian memiliki elaborasi arsitektural yang cukup berbeda dengan norma Asia Selatan maupun Tenggara kontinental.
Pengamatan ini memperkuat pendapat bahwa arsitektur candi Jawa menunjukkan pencampuran berbagai elemen asing menjadi gubahan tersendiri. Studi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan sistem tatanan berbasis vāstu, alih-alih tripartit konvensional, memungkinkan penjabaran elemen arsitektur candi secara lebih rinci. Menerapkan dan menguji kesahihan tatanan vāstu pada candi mungkin dapat menghasilkan sistem tatanan arsitektur baru yang lebih bermanfaat untuk menelaah arsitektur candi Jawa serta kedudukannya dalam jaring pertukaran budaya antara India dan Asia Tenggara.

This paper focuses on the architectural order of ancient Javanese temples. Contemporary writings often use a tripartite order to conceptualize Javanese temple architecture, which divide the edifice into three-part consisting of head, body, and feet. However, the overgeneralized nature of the order does not accurately represent the complexities of Javanese temples and this has made architectural discussion of temples somewhat limited and undetailed. Further, the textual basis of this order is questionable. To support more nuanced discussion of Javanese temple architecture, the author proposes an alternative architecture order, dubbed the “vāstu order.” This order is reconstructed using architectural-historical research method that compares extant Javanese temples with related South and Southeast Asian structures in a typo-morphological lens, supported by analysis of historical treatise pertaining Indian temple architecture. Samples include 32 Hindu and Buddhist Javanese temples in the general shape of a tower (prāsāda) from the ancient Mataram era (8-11th century).
In terms of spatial order, Javanese temples show two general pattern that correspond to two basic design mode in architectural maṇḍala; the linear-opposing configuration commonly observed in Hindu complexes corresponds to the yantric mode, while the concentric configuration commonly observed in Buddhist complexes corresponds to the maṇḍalic mode. In the linear-opposing configuration, there are a number of elements that can be attributed to indigenous concept of space which may have intermingled with Indian-derived concept of space during the Mataram era. In terms of building order, all samples can visually divided into seven parts of the vāstu order: upapīṭha, adhiṣṭhāna, pada, prastara, gala, śikhara, and stūpi. However, further inspection shows that each part has unusual or even unprecedented architectural elaboration from the supposed Indian protype.
These observations contribute to the notion that Javanese temples shows complex amalgamation of various Indian architectural elements into a distinct creative form. This study demonstrates that a conceptual shift from the conventional tripartite order into a more refined vāstu order permitted more detailed observations in various architectural elements of Javanese temples. Applying and testing the vāstu order to other temples would perhaps yield a more robust architectural order that is useful in revealing the nature of Javanese temple architecture and its position within the web of cultural exchange between India and Southeast Asia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Soekmono
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1974
D318
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Soekmono
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977
726.1 SOE c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
""Sudah menjadi kebiasaan untuk mengawali suatu disertasi dengan pertanggungan-jawab moril, berupa ucapan terima kasih dan pernyata-an penghargaan kepada mereka-mereka yang back secara langsung mau_pun tidak langsung telah membantu terlaksananya penyusunan naskah disertasi tersebut. Bahwa menuruti kebiasaan yang kami maksud itu tidak semudah nampaknya, kami rasakan benar setelah kini tiba saatnya untuk me_nyudahi telaah ini dan menyajikan hasilnya. Usaha yang memakan wak_tu lebih dari 15 tahun telah menimbun sejumlah besar nama-nama,yang masing-masing berhak dan harus kami dahulukan. Memang, usaha kami ini tidak mungkin terlaksana dan kami akhiri tanpa adanya bantuan yang luar biasa banyaknya, meskipun hal ini lama sekali belum berarti bahwa hasilnya sudah sesuai dengan bantuan yang telah kami teri_ma itu. Kiranya tidak memperkecil peranan satu pihak pun, kalau ucapan terima kasih itu pertama-tama kami tujukan kepada tiga alamat, yaitu: Lembaga Purbakala, Promotor, dan East-West Center. Lembaga Purbakala adalah tempat diri kami mendapatkan latihan yang sangat luas lagi mendalam untuk menangani segala macaw masa_lah kepurbakalaan, balk yang bersifat teknis dan ilmiah maupun yang bersifat administratif dan organisatoris. Tambahan pula, melalui Lembaga itulah kami dapat memperoleh dan menghimpun bahan-bahan fang kami perlukan untuk telaah ini.Promotor dapat juga kami golongkan sebagai ""lembaga"" pula, lalam' arti bahwa promotorlah yang memungkinkan dapatnya hasil te_aah ini dituangkan dalam bentuk disertasi. Barangkali kurang la_im untuk mengucapkan terima kasih - apalagi menyatakan penghar_aan - kepada promotor, tetapi soalnya menjadi lain kalau keadaan_ya bersifat khusus. Dan memang demikianlah nyatanya. Dengan tidak Tanya gurubesar dalam bidang ilmu purbakala maka sulit sekali bagi tmi untuk mendapatkan seorang promotor yang tidak saja secara _""
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1974
D1632
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gathut Dwihastoro
"Bangunan gudang-gudang VOC di Batavia mempunyai struktur bertingkat, dan umumnya bertingkat tiga. Semua bangunan pada ketiga kompleks berkonstruksi bata dan kayu. Bahan dasar bangunan berupa bata dan kayu yang kemungkinan sebagian besar diperoleh dari daerah lokal. Adanya besi kekang sebagai komponen pada bangunan gudang mempunyai nilai fungsional (struktural) sebagai penguat struktur bangunan. Pada bagian kaki bangunan mempunyai fondasinya dari susunan bata di atas balok dan papan, yang dilapisi atau diperkuat lagi dengan pecahan kerang, pasir dan batu karang. Biasanya jenis fondasi ini digunakan pada tanah yang lunak dengan kandungan atau permukaan air tanahnya tinggi. Seperti kondisi tanah dimana gudang-¬gudang (Pakhuizen) VOC berada. Orientasi bangunan gudang-gudang tersebut menghadap ke arah kanal atau sungai, sebagai jalur transportasi air. Di samping orientasi bangunan mengarah ke pelabuhan sebagai jalur utama. Hal ini menunjukkan bahwa gudang-gudang tersebut mengandalkan jalur air. Jalur transportasi air melalui kanal dan sungai ini memang penting dan mempunyai nilai strategis, terutama bagi aktivitas perdagangan. Pengaturan tata letak bangunan gudang-gudang (pakhuien) dalam aktivitas perdagangan VOC di Batavia, sengaja dibuat dengan orientasi bangunan menghadap..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T11434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nurmulia Rekso Purnomo
"Skripsi ini membahas bangunan yang tersisa dari Candi Bangkal, yang bertujuan untuk merekonstruksi bentuk utuh candi, latar belakang kegamaan dan melakukan tinjauan kronologi terhadap Candi Bangkal. Metode yang digunakan adalah perbandingan, yaitu dengan cara membanzingkan Candi Bangkal secara arsitektural dengan candi lain yang dianggap sepadan untuk dibandingkan.
Hasil akhir penelitian ini menunjukan bahwa bentuk utuh Candi Bangkal tidak terlalu berbeda dengan pada umumnya candi Hindu yang berasal dari masa Hayam Wuruk, masa keemasan Majapahit.

The Study is Focuses in the remain of the Bangkal Temple (Candi Bangkal), to reconstruct the shape of the tample, recover it's religious back ground and do the chronology outlook. The Methode that being used at this study is analogy, wich is done by compering the temple with another temple that has the same background.
The result of this research indicate that the former shape of Bangkal Temple is not different from the most temple wich is built from the golden ages of Majpahit, when it?s ruled by Hayam Wuruk."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11961
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sany Ustman
"Candi merupakan bangunan suci yang digunakan sebagai tempat ibadah. Di halaman pertama Percandian Prambanan terdapat delapan candi kecil yang terletak pada delapan arah mata angin. Penelitian ini membahas mengenai bentuk dan fungsi Candi ldquo;Mata Angin rdquo; tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa candi-candi ldquo;Mata Angin rdquo; mempunyai bentuk, ukuran, dan arah hadap yang sama, serta ragam hias yang sederhana. Fungsi Candi ldquo;Mata Angin rdquo; yaitu sebagai Candi Patok atau penanda titik-titik penting yang terdapat pada halaman percandian. Empat Candi ldquo;Mata Angin rdquo; yang letaknya berdekatan dengan gapura juga berfungsi sebagai kelir, penghalang magis agar kekuatan jahat tidak memasuki halaman candi.

Temple is a sacred building used as a place of worship. On the first courtyard of Prambanan Temple, there are eight small temples located on its eight cardinal points. This research discuss about the shape and function of those lsquo cardinal rsquo temples. The result shows that all the lsquo cardinal rsquo temples has the same size, same shape with simple decoration, and facing the same direction. These temples serve as a patok or a marker of important points on the temple courtyard. Four temples that located near the gates also have a function as kelir, a magical barrier to prevent evil force from entering the temple grounds.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S70174
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>