Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74009 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjahjopurnomo
"Keraton Mangkunegaran merupakan keraton dari masa Islam yang telah mendapat pengaruh gaya bangunan Eropa. Keraton Mangkunegaran didirikan oleh Mas Said atau Pange_ran Samber Nyawa yang bergelar Mangkunegara I pada tahun 1757 . Berdasarkan Monumenten Ordonnantie tahun 1931 bangunan keraton Mangkunegaran yang berumur lebih dari. 50 tahun itu dapat dinyatakan sebagai monumen hidup (bangunan yang masih dipakai oleh permiliknya). Dipandang dari sudut arkeologi, keraton merupakan salah satu data yang penting untuk mengungkapkan cara-cara hidup manusia masa lalu. Kemegahan dan keindahan bangunan keraton dapat dipergunakan sebagai salah satu petunjuk mengenai tingkat ekonomi dan tingkat budaya negara yang bersangkutan."
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S12032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindia Chaerosti
"Keberadaan keraton dalam suatu kerajaan memegang peranan penting, karena keraton selain sebagai tempat tinggal raja beserta keluarganya merupakan pula suatu bangunan inti yang berfungsi sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat kota. Keraton sebagai hasil karya arsitektur masa lampau merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Dibaliknya tersembunyi simbol yang mengisyaratkan kekuasaan dan kesucian seorang raja. Mengingat bangunan keraton atau istana merupakan tempat raja bersemayam, maka tentunya dalam pembuatan keraton disesuaikan dengan kebutuhan dan nilai seorang raja.
Dalam tesisnya yang meneliti Keraton Kasunanan Surakarta, Behrend melihat adanya bentuk yang hampir sama (mirip) dalam tata keraton, antara keraton tersebut dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Terlihat dari pola pembagian wilayahnya, pola pembagian halamannya dan juga dari bangunan-bangunan yang ada di dalam keraton. Keadaan tersebut menjadi suatu model penelitian dan dasar pemikiran untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang keraton, khususnya pada Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang terdapat di Cirebon. Penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi ini pada dasarnya ingin melihat kemungkinan adanya suatu pole tertentu dalam bentuk tata ruang dan tata bangunan keraton, khususnya terhadap keraton-keraton yang ada di Cirebon.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pada prinsipnya kita melihat adanya suatu pola yang sama pada tata ruang dan tata bangunan keraton-keraton di Cirebon, walaupun tidak sama persis dengan keadaan (tata keraton) yang terlihat pada Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Hal itu didasari oleh adanya suatu pemikiran atau konsep mengenai mikrokosmos-makrokosmos dalam masyarakat, serta dipengaruhi oleh tradisi lainnya yang telah berkembang pada masa pra-Islam. Perbedaan dalam tata keraton, antara keraton-keraton di Cirebon yang merupakan peninggalan Kasultanan Cirebon, dengan Keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai peninggalan dinasti Mataram Islam, kemungkinan menunjukkan suatu perbedaan bentuk antara keraton-keraton dari kerajaan pesisir dan pedalaman.
Dari penelitian ini kita juga mendapatkan gambaran tentang bangunan-bangunan yang menjadi bangunan inti sebagai suatu prasyarat sebuah keraton. Fungsi bangunan dan tingkat kepentingannya sangatlah menentukan lokasi atau daerah penempatannya dalam ruang (halaman) keraton.
Bertolak dari hasil penelitian ini, diharapkan akan dilakukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap keraton, khususnya pads keraton-keraton yang berada di pesisir dan pedalaman."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S11752
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kebudayaan Jawa tidak terlepas dari kansep kosmologi dan kepercayaan pada kekuasaan kosmis, simbol-simbol dan mitos-mitos. Dalam masyarakat Jawa banyak terdapat falsafah dan pandangan hidup Jawa yang menempatkan alam nyata berdampingan dengan alam gaib. Pada tulisan ini saya mencaba menganalisis nilai­ nilai yang ditimbulkan dari kaitan antara konsep arsitektur dalam tata letak bangunan dan tata ruang luar di Keraton Yogyakarta dangan kebudayaan Jawa yang dipangaruhi oleh pandangan hidup Jawa yang mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan kosmis, simbol-simbol dan mitos-mitos. Adanya nilai-nilai daa makna simbolik membuat karya arsitektur menjadi lebih menarik dan mempunyai nilai tambah, yang dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat tempat karya arsitektur itu diwujudkan. Latar belakang kebudayaan dan adat istiadat akan mempengaruhi cara menata dan mempersepsikan suatu ruang luar."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S48201
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laura Ratih
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48997
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Indah Sari Dewi
"Kebudayaan merupakan hasil dari cipta rasa dan karsa manusia. Salah satu unsur dari kebudayaan manusia tersebut adalah religi. Religi selalu berkaitan dengan kehidupan manusia baik masa lampau maupun masa sekarang. Religi atau kepercayaan pada hal-hal yang bersifat spiritual selalu berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Kepercayaan pada hal-hal yang bersipat spiritual ini mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang mengusai alam semesta atau adanyaYang Maha atas segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Setiap religi atau agama memerlukan wadah dan sarana untuk menunjang aktivitas peribadatannyya. Salah satu bentuk wadah dan sarana tersebut adalah bangunan suci. Oleh kerena aktifitas ritual peribadatan pada setiap agama adalah berbeda, maka secara logikanya kebutuhan akan tempat dan ruangan pun berbeda. Kebutuhan ini indentik dengan rasa nyaman, praktis dan sesuai dalam melakukan aktivitas ritual peribadatan. Hal ini pun indentik dengan ajaran dan nilai yang ada dalam agama itu sendiri. Kebutuhan ini kemudian diwujudkan dalam konsep pembangunan suci yang kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya kekhasan bentuk pada sebuah bangunan suci. Salah satunya adalah mesjid. Dalam sebuah konsep penataan ruang pada sebuah bangunan mesjid yang selalu lapang, terdapat kolam bersuci dan adanya batasan yang memisahkan penempatan jemaah perempuan dan laki-laki., Kelenteng juga memiliki konsep penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan para pemeluknya. Hal ini tercermin dalam pola penataan ruang, sistem kontruksi bangunan, dan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S11592
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Dhani Nugraha
"Kebudayaan merupakan hasil daya cipta manusia dalam berinteraksi dan beradaptasi terhadap lingkungan sekelilingnya yang berbeda-beda sehingga walaupun unsur-unsur kebudayaan manusia bersifat universal namun terdapat perbedaan antara unsur-unsur kebudayaan satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain. Kebudayaan telah membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia tersebut, yang terlihat dalam perwujudannya berupa sistem budaya, sistem sosial dan kebudayaan fisik.
Pertemuan „antar kebudayaan merupakan fenomena yang menarik untuk diamati karena proses tersebut mempertemukan wujud dan unsur kebudayaan yang berbeda-beda antara dua atau lebih kelompok manusia. Proses pertemuan tersebut bisa menimbulkan benturan-benturan antar kebudayaan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan tentunya dapat dipengaruhi oleh pertemuan antar kebudayaan yang terjadi. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berupa perkembangan dan perubahan dalam nilai, wujud, bentuk, teknologi dan lain-lain pada unsur-unsur dalam Arsitektur. Termasuk di dalamnya adalah ornamen pada bangunan yang dapat dipengaruhi oleh pertemuan antar kebudayaan yang terjadi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S48358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Renny Movita
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48961
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Lestari Juwono
"Keberadaan bangunan tinggi dapat mengoptimalkan penggunaan lahan di kota-kota besar. Dalam kehidupan sehari-hari pengguna bangunan tinggi, berada di dalam bangunannya. Namun tetap saja dibutuhkan ruang untuk berinteraksi antar penggunanya, sehingga tidak timbul kebosanan, juga untuk menghirup udara segar. Ruang untuk menampung kegiatan tersebut yang berada di antara bangunan tinggi disebut ruang luar pada kawasan bangunan tinggi. Ruang ini juga berfungsi sebagai transisi sebelum memasuki bangunan.
Jenis aktivitas di ruang luar pada kawasan bangunan tinggi tercipta karena unsur-unsur fisik pada ruang luar tersebut. Batas dan elemen pada ruang luar mempengaruhi apakah orang memilih untuk beraktivitas di ruang luar tersebut atau hanya lewat saja. Ruang luar yang berbatasan langsung dengan jalan umum memerlukan penataan yang open-up terhadap lingkungannya. Keterbukaan pada ruang luar ini memberikan kesan sebagai bagian dan lingkungan sekitarnya, sehingga ruang ini dapat dipergunakan oleh banyak orang. Selain itu, juga dibutuhkan pepohonan sebagai kanopi alami sehingga memberikan kesejukan alami bagi penggunanya."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S48319
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Moersid
"Masalah penelitian ini adalah relasi antara ruang, ritual, dan pemaknaan konsep kekuasaan oleh pendukung kultur Keraton Surakarta Hadiningrat Tujuan penelitian adalah mendeskripsilcan pemaknaan masyarakat di lingkungan keraton Surakarta Hadiningmt tentang ritual Tingalandalem Jumenengan. Selain itu juga dibuat deskripsl dari orientasi pelaksanaan ritual di dalam ruang pada saat ritual berlangsung. Setelah itu dibuat analisis struktur relasi antara ruang, ritual dan kedudukan raja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Metode pengumpulan data penelitian adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan studi dokumentasi.
Temuan-temuan penelitian ini, yaitu (1) lokasi ritual yaitu pendapa Sasana Sewaka diteguhkan kesakralannya dengan tarian sakral Bedhaya Ketawang dan poros simbol kekuasaan yang berpusat di raja. Temuan penelitian ini menguatkan pendapat Ossenbruggen (1916), von Heine-Geldem (1982), Moertono (1985), dan Anderson (l99O), (2) ritual Tingalandalem Jumenengan di Keraton Surakarta Hadiningmt merupakan sebuah upaya penguatan kekumsaan spiritual. Pada saat dimana konscp bins negara yang diterapkan kini hanya tinggal dalam artian simholik,karena Keraton Surakarta Hadiningrat kini tak lagi mcmpunyai kekuatan politik danbirokratis dalam konteks nasional, dcngan sendirinya raja hanya menjadi penguasa dalam aspek spiritual. Sebagaj kompensasinya, kekuasaan yang pudar harus diteguhkan melaiui ritual yang dilaKukan secara siklikal, (3) upaya penegasan KeKuasaan absolut, tunggal, dan tidak terbagi dinyatakan dalam ritual Tingalandalem Jumengan. Konsep ini disimbolisasikan dengan ungkapan ?Ngendi ana Surya Kembar tak ada dua matahari menerangi dunia, hanya ada satu yaitu raja yang duduk di tahta dhampar kencana. Kekuasaan merupakan esensi utama ritual Tingalandalem Jumenengan. Ritual ini menlpakan legitimasi kekuasaan raja dan menegaskan bahwa kekuasaan tidak terbagi, tunggal dan tidak ada dua penguasa.
Temuan penelitian ini menguatKan pendapat von Heine-Geldem (1982), Moertono (1985), dan Andemon (1990), (4) hadimya ruang temporal simbolik dalam hubungarmya dengan gerakan tarian salcral Beclhaya Ketawang menunjukkan adanya konsep ritual yang ?meruang?, yaitu mampu membentuk dan memberi makna pada ruang, menyatakan kekuasaan, mengkomunikasikan informasi dan menyimpan sistem-sistem nilai. Temuan penelitian ini ntienguatkan pendapat Mangunwijaya (1992) dan Rapoport (1979), (5) Ritual Tingalandalem Jumenengan di Keraton Surakarta Hadiningrat menunjukkau adanya relasi antara Ruang, Ritual dan Konsep Kekuasaan. Struktur Ruang, tak bisa dipisahkan dari strulctur Ritual dan struktur Konsep Kekuasaau. Temuan penelitian ini menguatkan pendapat Lévi-Strauss (1963)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>