Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115144 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farida Ariyani
"Skripsi ini memfokuskan menjawab permasalahan dari mana bangsa Indonesia mendapat dana untuk membiayai perang kemerdekaan dan jalannya pemerintahan dengan kenyataan bahwa ketika merdeka Indonesia tidak dalam keadaan normal--proklamasi kemerdekaan dilakukan secara spontan tanpa menghiraukan lagi PPKI, sebuah lembaga yang khusus dibuat untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, kehancuran bidang ekonomi akibat pendudukan Jepang yang menguras tidak hanya sumber daya alam Indonesia, tetapi juga sumber daya manusianya ditambah kenyataan bahwa uang yang beredar sangat banyak sehingga menimbulkan inflasi--dalam keadaan seperti iniiah Indonesia merdeka. Secara politik sejak pertama Indonesia merdeka para pemuda menginginkan ketiadaan unsur Jepang yang fasis dan mendapat pengakuan internasional. Oleh sebab itulah kemudian Soekamo membolehkan berdirinya partai-partai, mengangkat Sjahrir sebagai perdana mentri untuk membatasi kekuasaan presiden dan menjadi juru runding dengan Belanda, seita menyambut kedatangan Inggris dengan harapan bahwa Inggris akan mempertimbangkan untuk menyerahkan Indonesia kepada pemerintahan sipil yang telah dibentuk oleh bangsa Indonesia sendiri. Selain itu dalam setiap perundingan Syahrir selalu mengajukan pasal arbitrase agar jika terjadi perselisihan antara Republik Indonesia dan Belanda akan dibawa ke dunia internasional dan bukan masalah negara penjajah dan yang dijajah yang dianggap sebagai urusan dalam negeri Belanda. Secara ekonomi sumber-sumber pembiayaan negara Indonesia dibagi menjadi dua; yang bersandar kepada kekayaan alam seperti, karet, gula, teh, candu, emas, batubara dan minyak, serta yang berasal dari bantuan berupa sumbangan dari rakyat dan juga bantuan dunia internasional, antara lain berupa sumbangan pada Fonds Kemerdekaan, Pinjaman Nasional, pembayaran pajak dan bantuan dari Palang Merah Internasional, India dengan diplomasi beras, serta Birma yang memberikan ijin mengadakan penerbangan komersial. Selain itu pembukaan-pembukaan Kantor berita Indonesia yang berpusat pads empat negara Singapura, Brisbane (Australia), Kairo (Mesir) dan New Delhi (India). Untuk menjadikan kekayaan alam Indonesia sebagai sumber pendapatan dengan mengadakan perdagangan ekspor terutama dengan Singapura, akan tetapi karena blokade yang dilakukan Belanda, perdagangan yang terjadi adalah dengan menerobos blokade tersebut, yang oleh pihak Belanda disebut sebagai perdagangan gelap. Aktivitas perdagangan gelap ini terutama dilakukan oleh militer, akan tetapi kemudian pemerintah Indonesia membuka secara resmi hubungan perdagangan ini dengan mendirikan Indoff (Indonesia Office) di bawah Kementrian Kemakmuran, dan KPULN (Kantor Pertahanan Urusan Luar negeri) di bawah Kementrian Pertahanan. Selain pemerintah Indonesia membuka hubungan secara resmi, perdagangan ini sebelumnya dijalankan oleh kongsi dagang swasta yang kebanyakan kerjasama antara pengusaha pribumi dan Cina."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S12318
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hisbaron Muryantoro
"Indonesia mengalami berbagai bentuk penjajahan setidaknya dari zaman Belanda, Jepang dan kemudian Belanda lagi. Namun, bangsa Indonesia dapat menyelesaikan persoalannya itu dengan cara melakukan perlawanan dan berhasil mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Salah satu yang melakukan perlawanan itu adalah seluruh komponen bangsa yang ada di Kediri. Mereka bersatu padu melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. Keberhasilan itu ditandai dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Seluruh komponen bangsa yang ada di Kediri bertekad bulat untuk tetap mempertahankan dan mendukung kemerdekaan yang telah tercapai dan bercita-cita untuk tetap merdeka sebagai suatu bangsa yang sejajar dengan bangsa lain di muka bumj ini. Selain itu, dapatlah dikatakan bahwa adanya rasa persatuan dan kesatuan itu juga merupakan ujud dan cita-cita rakyat Kediri dalam rangka mencapai cita-cita kemerdekaan."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2011
959 PATRA 12:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Darto Harnoko
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984
959.8 DAR m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto, 1944-
"ABSTRAK
Penelitian ini tentang daerah Banten pada masa revolusi, antara tahun 1945-1949.Nama Banten yang menjadi topik penelitian ini adalah nama lain keresidenan, salah satu dari lima keresidenan di Propinsi Jawa Barat.
Untuk memahami dinamika masyarakat Indonesia modern, masa revolusi mempunyai arti penting, oleh karena itu tidak dapat dilewatkan begitu saja Arti penting masa itu dan kritisnya keadaan sumber-sumber sejarahnya yang banyak berupa sumber lisan, karena sumber-sumber tertulisnya banyak yang hilang, musnah, atau dimusnahkan, mendorong perlunya segera ditangani penulisanya agar pengalaman yang dimiliki oleh pelaku sejarah dapat diselamatkan , sebelum mereka yang mempunyai pengalaman pada masa itu meninggal dunia.
Penanganan penulisan sejarah tentang mesa tersebut di tingkai lokal bertambah mendesak, mengingat, pertama, sangat sedikit di antura pelaku sejarahnya yang telah menuliskan pengalaman mereka, berbeda dengan pelaku sejarah di tingkat nasional. Kedua, para pelaku sejarahnya yang telah berusia lanjut, 70 tahun ke atas, satu per satu meninggal dunia.
Penulisan sejarah mesa revolusi dengan lingkup lokal, telah Mahican oleh beberapa peneliti asing dan Indonesia Usaha awal untuk tulisan seperti itu dilakukan oleh John. R .W. Small tentang Bandug. Lima belas tahun kemudian, Anthony Reid menulis daerah Sumatra Utara, Audrey R. Kshin meimuis daerah Sumatra Bares Tidak lama sesudahnya, Anton E. Lucas menulis daerah Brebes, Tegal, dan Femalang (terkenal sebagai "tiga Daerah), dan Michael C. Williams memilis daerah Banten."
2001
D359
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023
303.64 DUN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Prabandari
"Penelitian mengenai peran Radio Republik Indonesia Jakarta pada masa awal revolusi 1915-1947 memperlihatkan bahwa ternyata RRI Jakarta sangat besar peranannya sebagai corong suara rakyat Jakarta. Diketahui bahwa pada awal kemerdekaan RI radio merupakan jembatan yang paling efektif untuk menghubungkan rakyat dengan pemerintah. Hadirnya tentara Sekutu di Jakarta yang diikuti tentara Belanda mempersulit sepak terjang siaran radio Jakarta. Peran RRI Jakarta sebagai pendukung pemerintah terutama baru nampak setelah Belanda berkuasa kembali di Indonesia. Belanda memakai juga sarana radio untuk melancarkan propaganda yang tujuannya untuk menyudutkan Republik di mata dunia internasional. Oleh sebab itu RRI Jakarta sebagai ujung tombak suara Republik di Jakarta harus bertindak menetralisir propaganda Belanda tersebut. Tindakan RRI Jakarta tegas, yaitu membantah propaganda itu dengan menyiarkan berita-berita yang sebenarnya. Akibatnya Belanda jengkel, sehingga bertekad untuk merebut studio RRI Jakarta dengan berbagai cara. Kegiatan Belanda mencapai puncaknya pada saat Agresi Militer I, dengan menyerbu dan akhirnya menduduki studio itu. Akibatnya, siaran RRI Jakarta terhenti. Namun RRI Jakarta telah membuktikan betapa besarnya peran mereka sebagai lambang eksistensi RI di Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12428
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
Jakarta: Rajawali, 2009
363.2 AMB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Laksmana
"ABSTRAK. Salah satu tema yang cukup menarik dalam sejarah militer pada masa revolusi adalah terbentuknya suatu lembaga pe_nerbangan militer yang dalam perkembangannya kemudian kita kenal sebagai Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Masalah yang melatarbelakangi terbentuknya lembaga tersebut tidak terlepas dari tuntutan jaman (revolusi) pada masa itu, sehingga merupakan satu paket dari perkembangan sejarah revolusi di Indonesia. Suasana revolusi pada waktu itu menuntut para tokoh mi_liter untuk segera membentuk kekuatan udara dengan fasilitas seadanya dan nyaris tanpa persiapan. Segala daya dan u_paya diarahkan untuk berusaha mempertahankan kemerdekaan dari ancaman dan rongrongan pihak tentara Belanda yang berniat mengembalikan Indonesia sebagai daerah jajahannya. Strategi militer Belanda selain menggunakan kekuatan darat, juga mengandalkan kekuatan udaranya yang terdiri dari pesa_wat-pesawat tempur modern. Selama masa revolusi hampir seluruh wilayah udara Indonesia dapat di katakan dikuasai pesawat-pesawat Belanda. Oleh karena itulah, pembangunan matra udara harus di1e_takkan dalam kerangka nasional. Ide untuk membangun kekuatan udara nasional datang dari mantan mayor KNIL, Oerip Sumohar_djo, yang kemudian memerintahkan Suryadi Suryadarma yang pernah memperoleh pendidikan di Militaire Luchtvaart (ML) KNIL untuk merealisasikannya. Di sadari bahwa pembangunan kekuatan udara tidak dapat di1epaskan dari perkembangan teknologi (pesawat terbang), di samping harus pula didukung oleh tenaga penerbang yang dididik secara khusus, maka pengadaan sarana pendidikan penerbang mutlak dilaksanakan, bahkan harus diprioritaskan walau_pun dalam kondisi kurang menguntungkan. Dengan bormodalkan pesawat-pesawat tua peninggalan Jepang, maka di mulailah pendidikan penerbangan yang unik yang merupakan cikal bakal bagi usaha-usaha pengembangan penerbangan militer dan sipil di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12486
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Probosari
"Suatu iklan pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang keberadaan suatu produk barang .atau jasa. Dalam menjalankan fungsinya iklan membutuhkan suatu media, atau dikenal dengan media iklan. Di masa revolusi media iklan masih terbatas pada media cetak seperti Berita Indonesia dan Merdeka. Namun keberadaan iklan pada kedua surat kabar ini sangat bergantung pada ada tidaknya produk yang hendak diiklankan, demikian juga halnya iklan-iklan film. Penelitian mengenai iklan film dilakukan dengan mengumpulkan iklan-iklan film yang terdapat pada surat kabar Berita Indonesia dan Merdeka, dan kemudian ditabulasikan. Dari data tersebut penulis menyimpulkan, bahwa diawal kemerdekaan keberadaan iklan film baik secara kwalitas maupun kwantitas mengalami penurunan. Pada awalnya isi iklan hanya terdiri atas nama bioskop, judul film dan waktu penayangan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, iklan film pada surat kabar Berita Indonesia dan Merdeka mengalami perkembangan. Perkembangan ini ditunjang karena sifat dari film itu sendiri, yaitu film sebagai suatu hasil industri seperti halnya barang-barang dagangan lainnya dan film sebagai suatu kesenian massa, yang ditujukan untuk. masyarakat, dan karena itu membutuhkan iklan untuk menjangkau masyarakat luas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S12730
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
W.R. Hendra Saputra
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan RI 1945-1949. Permasalahan yang hendak dianalisis adalah apakah dalam menjalankan pemerintahan dan perjuangan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia PDRI dapat diterima dan didukung oleh TNI, birokrasi pemerintahan, partai politik dan luar negeri?
Permasalahan tersebut dianalisis dengan pendekatan ilmu pemerintahan. Sumber sejarah yang digunakan adalah arsip-arsip PDRI, wawancara dengan pelaku yang masih hidup, biografi tokoh-tokoh yang terlibat, serta buku-buku sejarah yang membicarakan perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Sebelum pemerintah pusat ditawan oleh Belanda saat Agresi Militer Kedua tanggal 19 Desember 1948, Presiden telah mengumumkan pemberian mandat kepada Mr Syafruddin Prawiranegara, untuk membentuk Pemerintahan Darurat, jika pemerintah pusat saat itu tidak dapat lagi meneruskan kewajibannya. Syafruddin yang berada di Bukittinggi ketika serangan Belanda dilancarkan, tidak mengetahui adanya mandat tersebut. Hal ini disebabkan karena terputusnya jalur komunikasi antara Yogyakarta dan Bukittinggi akibat serangan Belanda terhadap kedua kota itu. Setelah mengetahui dengan pasti Presiden beserta pimpinan pemerintahan lainnya ditawan, bersama pemimpin sipil dan militer di Sumatra Barat, Syafruddin mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 22 Desember 1945.
Jadi dalam proses berdirinya PDRI, terdapat titik temu antara legalitas pusat dengan inisiatif lokal. Hal ini menunjukkan terdapatnya harapan umum kepada PDRI untuk meneruskan pemerintahan dan perjuangan mengahadapi agresi Belanda yang mengancam eksistensi negara dengan menawan kepala negara dan pimpinan pemerintahan pusat. Dengan adanya harapan umum ini kepada PDRI, maka sebaliknya harapan PDRI untuk mendapatkan dukungan penuh dari segenap kekuatan rakyat untuk meneruskan pemerintahan dan perjuangan menghadapi Belanda dengan mudah dapat diperoleh.
Dari fakta-fakta sejarah didapatkan bahwa setelah mengetahui PDRI berdiri di Sumatra, pihak TNI yang telah memulai perjuangan gerilya di Jawa dibawah Panglima Besar Jendral Sudirman, segera menyesuaikan diri, dengan "bersatu paham, tekad, sikap, dan tindak dengan PDRI." PDRI pun dapat mengkonsolidasikan pemerintahan, dengan membentuk Pemerintahan Militer yang menyatukan kekuatan sipil dan militer untuk memperkuat pertahanan menghadapi Belanda. Pemerintahan Militer yang berjalan secara mobil itu memiliki dua corak kepemimpinan: di Jawa dipimpin oleh pejabat militer dengan membawahi orang sipil, sedangkan di Sumatra pejabat sipil diberi kedudukan militer dengan membawahi orang militer.
Dengan sistem Pemerintahan Militer yang memiliki hirarki dari atas sampai ke bawah menurut struktur pemerintahan sebelumnya, rakyat yang sudah dihadapkan pada situasi perang pun dapat dimobilisir untuk menghadapi Belanda. Dukungan rakyat kongkrit -bukan rakyat abstrak sebagaimana biasa diatasnamakan oleh partai politik karena peran partai-partai politik tidak tampak pada saat itu - langsung didapat dari partsipasi rakyat sendiri dalam perjuangan gerilya menghadapi Belanda, baik di garis depan dengan ikut memanggul senjata, maupun di belakang dengan menyediakan perbekalan logistik.
Dengan berdirinya PDRI, perjuangan di luar negeri pun dapat diteruskan. Melalui Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi yang diprakarsai India, yang diikuti oleh Menteri Luar Negeri PDRI beserta perwakilan-perwakilan RI di berbagai negara, berhasil disampaikan resolusi kepada Dewan Kemanan PBB untuk segera menyelesaikan persoalan Indonesia-Belanda. Dewan Kemanan PBB lalu mengeluarkan resolusi yang sesuai dengan tuntutan Konferensi Asia untuk Indonesia. Belanda yang tidak langsung mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB, akhirnya karena tekanan Amerika di satu pihak, dan karena telah merasa kewalahan menghadapi serangan balik Republik di pihak lain, memprakarsai perundingan.
Dalam perundingan itu Belanda mengajukan syarat hanya mau berunding dengan pemimpin Republik yang ditawan di Bangka, bukan dengan PDRI. Di sinilah muncul dilema di kalangan pemimpin-Republik, dalam memutuskan yang berhak mewakili Indonesia dalam perundingan: pemerintah yang sah (PDRI) atau pemimpin yang ditawan? Karena pertimbangan dukungan dari Sekutu Barat. terutama Amerika, pemimpin yang ditawan di Bangka lalu melaksanakan perundingan, walapun ada keberatan dari pihak PDRI dan TNI, karena alasan legalitas di satu pihak dan karena pertimbangan strategi gerilya yang hampir mencapai kemenangan di pihak lain. Perundingan itu menghasilkan Pernyataan Roem Royen berhasil mengembalikan pemimpin yang ditawan ke Yogyakarta serta disepakatinya rencana Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya, dalam sidang kabinet luar biasa, mandat PDRI dikembalikan, dan Kabinet Hatta II terbentuk. Tidak lama kemudian melalui KMB di Den Haag, kedaulatan RI dipulihkan tanggal 22 Desember 1949.
Dari kajian ini dapat disimpulkan, bahwa pemerintahan dan perjuangan PDRI yang berlangsung sekitar tujuh bulan, dan mendapat dukung dari TNI, birokrasi pemerintahan, serta partisipasi rakyat, dan luar negeri (negara-negara Asia) berperan penting dalam mempertahankan eksistensi negara RI di satu pihak, dan menghantarkan negara RI ke pintu gerbang pemulihan kedaulatan di pihak lain, walaupun bukan mereka yang menariknya ke dalam gerbang pemulihan kedaulatan itu, melainkan "kelompok diplomasi? yang didukung oleh, terutama, Amerika.

Indonesia Republic Emergency Government in Maintaning Indonesian Sovereignity 1945-1949This thesis aims at knowing the role of Indonesia Republic Emergency Government (PDRI, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) in the struggle for reaching Indonesian Sovereignty 1945-1949. The problem to be analysed is whether PDRI was accepted and supported by the army, governmental bureaucraty, political parties, and foreign nations?
That problem will be analyzed thought governmental science approach. The historical sources are PDRI?s archives, interview with some figures involved, the biography of the figurs, many books about Indonesian revolution, etc.
Before the Central Government was captured by the Dutch in its Second Military Action on December 19, 1948, the Indonesian President has given a mandate to Mr Syafruddin Prawiranegara to establish the Emergency Government if the Central Government failed to perform its duties. Mr Syafruddin who was in Bukittinggi at that time did not know about the mandate to himself because of the broken communicative channel between Yogayakarta and Bukttinggi as a result of Dutch bombarding to both city. After receiving certainty about the interning President and other Central Govermnment leaders, Syafruddin together with the military and civilian leaders of West Sumatra established the Indonesia Republic Emergency Government on December 19, 1948.
Thus in the process of PDRI establishment, there was affinity between the central legality and the local initiative. That shows, in one side, the existence of general expectation toward PDRI to continue the rules and the struggle against Dutch aggression that treat the state existence by capturing the head of state and government. In the other side, that general expectation facilitated PDRI to receive supporting from all people powers for its struggle against Dutch aggression.
It is received from historical facts that after knowing the PDRI establishment in Sumatra the army that already waged guerrilla warfare in Java under General Sudirman soon adjusted it self by saying "the uniting view, will, attitude, and action with PDRI" And so PDRI could consolidate itself by creating the Military Government that united military and civilian powers to strengthen the defense against Dutch aggression. The Military Government that run mobilically had two leadership types: while in Java it was leaded by the military officers that supervise the civilian leaders, in Sumatra it guided by the civilian leaders that subordinate the military officers.
Trough the system of Military Government with hierarchy from top to bottom, the people that already faced the warfare situation could be mobilized to fight against the Dutch. The support of the real people - not the abstract people as usually claimed by the political parties, because of the role of political parties has not be seen any more since the Second Military Action - directly gained from the grasroot level thought the participation of the people powers in the battle against the Dutch at the front line as well as in providing the logistic support at the back line.
With the establishment of PDRI, the struggle from abroad could be launched by Indonesian diplomats. The Asian Conference for Indonesia at New Delhi initiated by India that followed by Indonesian representatives from various states has succeed to issue the resolution to United Nation Security Council to resolve the Indonesia-Dutch conflict. The Security Council soon issued the resolution according to that Asian Conference resolution. The Dutch that initially did not obey that resolution was forced to receive it under the pressure of America and after it was frustrated by the counter attack of Indonesian army. The Dutch soon offered a conference to solve the conflict to Indonesia.
In that conference the Dutch offered the prerequirement that it only wants to talk with the Indonesian leaders interned in Bangka islands, not with the PDRI leaders. The problems arised here among the Indonesians leaders to determine who has the right to represent Indonesia in that conference: the legal government (PDRI) or the interned leaders? Considering the Allied supports, the interned leaders soon accepted the Dutch prerequirement and followed the conference althought the army and PDRI had objections taking into account its government legality in one side and its near winning in the guerilla warfare strategy in other side. The conference that generated Roem-Royen Statement succeeded to time the interned leaders back to Yogyakarta to agree the future Round Table Conference. Furthermore in the first extraordinary cabinets meeting the PDRI mandate was turned back and Hatta Cabinet it was created. Soon after the Round Table Conference in The Haque, the Indonesian sovereignty was restored on December 22, 1949.
The conclusion can be drawn from this study that the government and struggle of PDRI having gone on proximally seventh months and received support from the army, governmental bureaucracy, people powers, and foreign nations (especially the Asian nations) had played the important role in maintaining the existence of Indonesian state in one side and in bringing it to a destination to the gate of sovereignty restoration in other side, although it was not them but the "diplomatic group" that pulled it inside.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-9034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>