Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181107 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yudi Bachri Oktora
"ABSTRAK
Pada masa pemerintah Orde Baru berbagai kebijakan pembangunan terutama pertanian, tidak sedikit diantaranya yang kemudian menimbulkan kontroversial. Salah satunya adalah kebijakan atas pemenuhan terhadap kebutuhan gula nasional. Pro dan kontra atas kebijakan ini terutama pada pelaksanaannya. Kebijakan tersebut tertuang pada INPRES No. 9/1975 tentang tebu rakyat intensifikasi atau yang kemudian lebih dikenal dengan TRI. Tugas ini secara otomatis dibebankan kepada para petani untuk melaksanakannya. Salah satu daerah yang juga terkena untuk dijadikan areal perkebunan tabu adalah daerah Karesidenan Surakarta. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa daerah Surakarta merupakan salah satu daerah yang berpotensi di wilayah propinsi Jawa Tengah termasuk untuk perkebunan tabu. Bagi petani di daerah karesidenan Surakarta sesungguhnya mereka merasa berat untuk mengikuiinya namun tak ada pilihan bagi mereka untuk menghindar. Petani sebagai salah satu pelaku utarnanya diberi tanggung jawab yang besar namun dengan beban resiko yang hams mereka tanggung sendiri terutama dalam hal budi daya tabu_ Hal ini sudah merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh mereka. Mulai dari penggarapan lahan, penanaman dan pemeliharaan yang dilakukan oleh para petani tergabung di dalam kelompok-kelompok tani. Dari apa yang diutarakan oleh para petani peserta TRI nampak bahwa sesungguhnya para petani tidaklah terlalu paham dengan apa yang harus dikeajakan oleh mereka dalam hal menanam tebu. Gambaran kerja teknis yang sangat panjang dan perlunya ketelitian serta ketekunan para petani dalam merawat dan mengelola tanaman tabu, ternyata membutubkan waktu kerja yang tak sedikit pula jam kerja yang panjang merupakan hal lain yang tarut menyertai rasa enggan petani untuk mau menanam tebu. Dalam pandangan petani bila dibandingkan antara jam kerja menanam tebu dengan padi yang lebih menguntungkan bagi mereka adalah menanam padi.

"
2001
S12628
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Rohana
"Keterkaitan antara bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi merupakan suatu hal yang cukup rumit, Pertambahan penduduk dengan tendensinya berarti lebih banyak tersedianya salah satu faktor pokok dalam proses produksi yaitu tenaga kerja. Selanjutnya perubahan struktur penyerapan tenaga kerja merupakan penjelasan lebih lanjut dari eksistensi perubahan struktural ekonomi. Perubahan distribusi penyerapan tenaga kerja sektoral biasanya terjadi lebih lambat dibandingkan dengan perubahan peranan output secara sektoral, mengingat proses perpindahan tenaga kerja sangat lambat terutama bagi tenaga kerja yang berasal dari sektor dengan produktivitas rendah seperti sektor pertanian.
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui: bagaimanakah pola struktural ekonomi dan pola penyerapan tenaga kerja sektoral di 30 propinsi di Indonesia; apakah perubahan struktural ekonomi sejalan dengan dan berpengaruh terhadap perubahan struktur penyerapan tenaga kerja sektoral di 30 propinsi di Indonesia; faktor-faktor apa Baja yang mempengaruhi jumlah penyerapan tenaga kerja sektoral di 30 propinsi di Indonesia - selama 20 tahun yaitu dari tahun 1980 hingga tahun 2000; dan menganalisa kebijakan mengenai perencanaan tenaga kerja di Indonesia. Pendekatan demometrik digunakan untuk membentuk model makro demoekonomi regional yang dimodifikasi dari model penyerapan tenaga kerja J. Ledent yang mencakup unsur-unsur pertumbuhan regional pada umumnya seperti populasi, net migration, output, dan juga upah yang mempengaruhi pasar tenaga kerja lokal yang menghubungkan antara populasi dan dinamika angkatan kerja. Secara fundamental, model demometrik merupakan gabungan antara model ekonometri dan model demografi.
Struktur ekonomi Indonesia secara nasional, sudah mengalami perubahan, dari sektor pertanian ke sektor-sektor lainnya khususnya sektor manufaktur; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pertambangan; sektor jasa; dan sektor bangunan. Akan tetapi kalau dilihat per region, tidak semua propinsi sudah mengalami perubahan struktural ekonomi demikian. Propinsi-propinsi Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Lampung, Maluku, Maluku Utara, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara (17 propinsi dari 30 propinsi di Indonesia) masih tetap bertumpu pada sektor pertanian. Propinsi-propinsi Bangka Belitung, Bali, Banten, DIY, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Riau, dan Sumatera Selatan (13 propinsi dari 30 propinsi di Indonesia) telah mengalami perubahan struktural ekonomi dari sektor pertanian ke sektor manufaktur; sektor perdagangan, hotel, restoran; sektor pertambangan; sektor jasa; dan sektor bangunan.
Jumlah penyerapan tenaga kerja sektoral di 30 propinsi di Indonesia masih didominasi oleh sektor pertanian, dengan kata lain sektor pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja walaupun dengan upah yang lebih rendah dari sektor-sektor lain (kecuali propinsi DKI Jaya). Ada beberapa propinsi dimana sektor pertanian; sektor manufaktur; sektor perdagangan, hotel, restoran; sektor pertambangan; sektor jasa; dan sektor bangunan sudah saling mendekat, seperti propinsi-propinsi Bali, Banten, DIY, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur.
Selain terdapat propinsi-propinsi yang mengalami peningkatan dalam jumlah penyerapan tenaga kerjanya disebabkan karena perubahan populasi, net migration, output, dan juga upah; juga terdapat propinsi-propinsi yang mengalami penurunan dalam jumlah penyerapan tenaga kerjanya disebabkan karena perubahan populasi, net migration, output, dan juga upah (lihat label 19 dan 20). Bahkan terjadi pergeseran penyerapan tenaga kerja antar sektor (lihat label 21) dan antar propinsi (lihat label 22).
Perubahan struktur ekonomi menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kesempatan kerja sektoral, namun hal tersebut tidak sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan kerja."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T20604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Ika Hardina
"Tesis ini bertujuan untuk meneliti kaitan antara anggaran pemerintah khusunya dalam bidang pendidikan dan kesehatan dengan pembangunan manusia di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2012 Pembangunan manusia diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia IPM yaitu suatu indeks yang dikeluarkan oleh United Nation Development Program UNDP untuk mengukur dan membandingkan kemampuan manusia di tiap negara Model yang digunakan dalam tesis ini adalah model panel dan hasil akhirnya menunjukkan variasi antara hasil yang diharapkan dan yang tidak antara pengeluaran pemerintah dan indeks pembangunan manusia Anggaran kesehatan anggaran pertanian dan anggaran rumah tangga memiliki hubungan postitif dengan indeks pembangunan manusia sementara angggaran pendidikan dan infrastruktur tidak memiliki kaitan yang signifikan dengan IPM Pada sisi pendapatan pemerintah tesis ini menemukan bahwa pendapatan asli daerah memiliki efek positif yang paling kuat dengan IPM dibandingkan instrument instrumen lainnya yaitu Dana Alokasi Umum DAU Dana Alokasi Khusus DAK dan Dana Bagi Hasil DBH Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan sumber pendapatan maupun perbedaan strategi pembelanjaan memiliki peran dalam perbedaan nilai pembangunan manusia di tiap daerah Relevansi Dengan Studi PembangunanFokus pada pembangunan manusia telah menjadi satu bagian penting dalam ilmu ekonomi dimana para ahli berpendapat bahwa pembangunan tidak hanya mencakup indikator indikator ekonomi seperti pendapatan negara atau standard hidup saja Selain itu peningkatan pengeluaran pemerintah telah menjadi satu strategi untuk meningkatkan pembangunan terutama untuk hal yang berkaitan dengan penyediaan fasilitas publik Tesis ini juga mencakup analisa mengenai desentralisasi fiskal dimana pemerintah Indonesia telah mencoba memberi wewenang yang besar pada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya Kata KunciIndeks Pembangunan Manusia IPM Pengeluaran Publik Pendapatan Pemerintah Transfer Daerah Pembangunan Manusia.

This research paper aims to examine the effect of government spending particularly in education and healthcare on human development outcomes in 33 provinces of Indonesia from 2002 until 2012 The Human Development Index HDI is used to indicate the level of human well being as it has been proposed by the United Nation Development Program UNDP to compare human capabilities across diverse localities The model built in this paper employs panel regression and shows a variety of expected and unexpected relationships between HDI and several dependent variables Health agriculture and household expenditures each had a positive effect on HDI while education and infrastructure expenditure were not significantly related On the revenue side of provincial budgets this paper finds that original income PAD had a much more position impact of HDI as all three forms of central government transfer general allocation funds DAU special allocation funds DAK and revenue sharing funds DAK The outcomes suggest that the significant variety of revenue sources and expenditure strategies among Indonesia rsquo s provincial governments also translated into strongly divergent human development outcomes Relevance to Development StudyA focus on human centred development has become a recurring strain of argumentation among development scholars wishing to capture outcomes of development beyond the grasp of economic indicators such as growth GDP and income Furthermore increasing public expenditures is widely proposed as a strategy to increase human capabilities through equal access public services In addition this study also evaluates the relation between centralized and decentralized conditional and unconditional revenue streams and HDI and in this manner indicated a tentative measure of the impact of fiscal decentralization on human well being from a macroeconomic perspective KeywordsHuman Development Index HDI Public expenditures Government income Central Government Transfers Decentralization Capabilities approach"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T45477
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Katolik Atmajaya, 2009
TRA 2:1 (2009)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Agung Sujiwo
"Revolusi Indonesia, yang dimulai pada bulan Agustus 1945 dan berakhir pada bulan Desember 1949 dilalui dengan banyak kesulitan yang harus dihadapi. Kesulitan ekonomi merupakan salah satu kesulitan yang tidak berhasil diselesaikan oleh pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri tersebut. Kompleksitas permasalahan dan perubahan keadaan yang begitu cepat merupakan salah satu faktor yang membuat persoalan ekonomi menjadi sulit untuk diselesaikan.
Usaha awal pemerintah dalam bidang ekonomi hanyalah berupaya untuk mencari dan mengumpulkan dana bagi pembiayaan perjuangan, karena rusaknya sistem ekonomi yang ditinggalkan Jepang juga karena sebagian besar sumber daya dan alat produksi yang dimiliki republik tidak dapat digunakan secara maksimal akibat perang. Untuk itulah maka pemerintah Republik berupaya untuk segera memperbaiki sistem moneter yang sudah sedemikian kacau akibat inflasi yang sangat tinggi.
Pada masa revolusi, pemerintah Republik mengerahkan segenap kekuatan yang ada untuk mempertahankan proklamasi dan berusaha untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional atas proklamasi tersebut. Demikian pula upaya pemecahan persoalan ekonomi sifatnya menjadi lebih politis karena didorong untuk memperkuat posisi republik dalam menghadapi konflik dengan Belanda, seperti politik batas yang dilakukan kabinet Sjahrir.
Pemecahan persoalan ekonomi yang pada awalnya bertujuan untuk menyelesaikan persoalan yang mendasar banyak yang mengalarni kegagalan dan hambatan karena faktor politik yang begitu mendominasi jalannya revolusi. Upaya mendirikan Banking and Trading Company (BTC) sebagai salah satu ujung tombak perdagangan dengan luar negeri pada akhimya harus mengalami kegagalan karena tidak adanya dukungan yang kuat dari pemerintah Republik dan kondisi politik yang terus mengalami perubahan.
Namun demikian pemerintah Republik melihat adanya kebutuhan untuk membuat sebuah rancangan ekonomi yang terencana sebagai sebuah kebutuhan akibat semakin intensnya perundingan yang dilakukan dengan BeIanda. Pemikiran ekonomi yang dikemukakan wakil presiden Moh. Hatta pada Konferensi Kemakmuran pertama Mei 1946, yang berjudul Ekonomi Indonesia Masa Datang merupakan salah satu sebab pemerintah Republik segera membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi, sebuah lembaga yang bertugas membuat sebuah rancangan ekonomi Indonesia. Dalam pidatonya tersebut Hatta menjelaskan tentang beberapa persoalan ekonomi yang harus dijawab oleh pemerintah dengan segera. Pemikiran Hatta itu pulalah yang kemudian menjadi dasar bagi kebijakan-kebijakan ekonomi Republik selama masa revolusi. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S12593
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafwatun Nawa
"ABSTRAK
Pada masa Orde baru, muncul program- program agribisnis demi memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Program- program agribisnis ini terangkum dalam sebuah keputusan, yakni Program Tebu Rakyat Intensifikasi atau biasa disebut dengan TRI yang bercita memenuhi kebutuhan gula nasional serta mencapai swasembada gula. Beberapa daerah di seluruh Jawa terkena imbas akibat program ini. Kabupaten Cirebon, Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mendapat program ini. Selama pelaksanaan program TRI, banyak jalan yang harus ditempuh. Di satu sisi pemerintah sudah mempersiapkan programnya dengan baik, di satu sisi para petani merasa baik- baik saja selama pelaksanaan program. Namun hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa pada akhirnya di tahun 1997, banyak para petani tebu memilih untuk beralih ke tanaman pangan yang lain dibandingkan dengan tebu.

ABSTRACT<>br>
During the New Order period, agribusiness programs emerged to meet the needs of Indonesian food. These agribusiness programs are summarized in a decision, namely the Intensification of Smallholder Sugar Cane Program or commonly referred to as TRI that fulfills the national sugar needs and achieves self sufficiency in sugar. Several areas throughout Java were affected by this program. District of Cirebon, West Java is one of the areas that got this program. During the implementation of the TRI program, there are many ways to go. On the one hand the government has prepared the program well, on the one hand the farmers feel fine during the program implementation. But this is a big question why in the end in 1997, many sugar cane farmers chose to switch to other food crops compared to sugarcane."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkilisan, Yuda Benharry
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
338.997 YUD s I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mohamad Ichsana Nur
"Bandung menjadi salah satu role model kota ekonomi kreatif di Indonesia dan di Dunia. Capaian baik tersebut adalah hasil dari usaha stakeholders yang berasal dari unsur masyarakat, bisnis, entitas sosial dan pemerintah entitas politik melalui peran strategisnya dalam mengembangkan ekonomi kreatif di Kota Bandung. Walaupun demikian, sebenarnya potensi pengembangan ekonomi kreatif di Kota Bandung ini bisa jauh lebih besar dari pada hasil yang telah dicapai, namun hal tersebut tidak terjadi karena interaksi yang dilakukan oleh ketiga entitas tersebut belum optimal baik itu secara terpisah maupun bersama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interaksi interferences, interplays, dan interventions yang dilakukan para pemangku kepentingan pada kebijakan pengembangan ekonomi kreatif di Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivis dengan jenis penelitian deskriptif, dan penelitian ini juga menggunakan wawancara dan studi dokumentasi sebagai metode pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan konsep societal governance ini secara prinsip sesuai dengan apa yang dilakukan Kota Bandung dalam mengembangkan ekonomi kreatifnya, ada sub-variabel yang bisa berjalan dengan baik tetapi ada juga belum. Pertama, bahwa Bandung Creative City Forum BCCF sebagai representasi entitas sosial, dapat menjalankan sejumlah aktivismenya secara otonom dengan cara membuat sejumlah prototipe solusi kreatif perkotaan, baik itu yang bersifat internal maupun eksternal, kedua bahwa ada sebuah kolaborasi yang tampak diantara para pemangku kepentingan melalui program Design Action Bandung, namun dalam pelaksanaanya masih ada diantara entitas yang terkesan powerless padahal kekuasaan dan kewenangannya cukup besar untuk bisa ikut mengatur dan mengurus program tersebut, walaupun demikian program ini berhasil memberikan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah agar bisa dijalankan melalui sejumlah program yang akan dibuat kemudian, ketiga bahwa saat ini pemerintah sebagai entitas politik dapat menggunakan kewenangannya untuk membuat kebijakan dan program yang mendukung namun dalam aplikasinya masih ada yang perlu ditingkatkan, serta kontrol dan sanksi yang juga belum sepenuhnya dilakukan dengn baik, hal tersebut karena terbatasnya dukungan jajaran SKPD kota yang masih dalam proses memahami ekonomi kreatif itu sendiri.

Bandung serves as a pilot project for creative economy implementation in Indonesia and abroad. It has been recognized that this achievement was made possible with a collaboration between stakeholders, including the government and society, through their strategic roles in creative economy development in the city of Bandung. Nevertheless, the potentials of creative economy in the city of Bandung are in fact much more significant in comparison to what has been actualized, but it does not happen because the interactions between the three entities are not optimal either separately or concurrently. This research aims to analyze the interactions of interferences, interplays, and interventions run among hose stakeholders on the policy of creative economy development in Bandung. This research is descriptive research and employed post positivist approach. In depth interviews and document study were carried out for the purpose of data collection. Present research results showed that the use of the concept of societal governance is in principle has accordance with the Bandung City in developing its creative economy, there are sub variables that could go well but there are also yet. First, the Bandung Creative City Forum BCCF as a representation of the social entity, can run a number activism autonomously by making several prototype creative solutions to urban areas, both internal and external. Secondly, there is a collaboration that appeared among stakeholders through the Design Action Bandung program, but in the implementation, there are still entities who give powerless impression even though the power and authority are large enough to be able to organize and manage the program. However, the program succeeded in providing recommendations for the government to be run through programs that will be made later. Thirdly, nowadays the government as the political entity should be able to use its authority by making supported policies and programs but in its application, it still needs to be improved also the control and sanction which also not fully done well. This is due to the limited support of SKPD of the Bandung City that still in the process of understanding the creative economy itself. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
T51419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Noor Afifah
"Kelompok Usaha Kecil dan Menengah adalah salah satu pelaku perekonomian nasional yang mempunyai posisi strategis untuk terus dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh daya serapnya terhadap tenaga kerja cult-up besar. Selain itu, diketahui bahwa kelompok usaha skala ini ternyata lebih tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi dibandingkan kelompok usaha besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka adalah katup pengaman perekonornian nasional ketika kelompok usaha besar menghadapi kesulitan saat terjadinya krisis ekonomi. Maka perlulah kiranya dilakukan penelitian secara mendalam tentang posisi UKM dalam sistem perekonomian Indonesia. Dalam ekonomi makro, terdapat keterkaitan yang kuat antar sektor ekonomi. Kemajuan di suatu sektor tidak mungkin dicapai tanpa dukungan sektor-sektor lainnya. Hubungan antar sektor ini dapat dianalisis dengan menggunakan model input-output, yaitu dengan metode dekomposisi fields of influence.
Model dekomposisi fields of influence dalam hal ini digunakan untuk menganalisis pengaruh dari perubahan struktur di sebuah kelompok sektor (skala usaha) dalam sistem perekonomian multisektor, baik pengaruh terhadap intra¬kelompok skala usaha itu sendiri maupun terhadap kelompok skala usaha sisa perekonomian.
Dan hasil perhitungan yang telah dilakukan pada setiap sektor di masing¬masing kelompok skala usaha dikctahui bahwa persentase perubahan total output terbesar terjadi jika simulasi dilakukan pada kelompok usaha skala besar. Simulasi dengan perubahan koefisien direct input sebesar 5 persen maka menghasilkan perubahan terhadap total perekonomian untuk kelompok usaha skala besar sebesar 5.21 persen; menengah 1.42 persen dan kecil sebesar 2.83 persen. Khusus untuk melihat dampak perubahan terhadap UKM maka dapat dilakukan dengan membandingkan perubahan pada kelompok usaha skala kecil akibat perubahan di kelompok usaha skala kecil sendiri yaitu sebesar 1,368 persen, perubahan pada kelompok usaha skala menengah akibat perubahan di kelompok dirinya sendiri sebesar 0.651 persen serta dampak terhadap perubahan kelompok sisa (gabungan kecil dan menengah) akibat perubahan di kelompok usaha besar yaitu sebesar 1,782 persen.
Berdasarkan temuan tersebut di atas dapat disimpulkan secara ekonomi akan lebih menguntungkan jika shock diberikan pada kelompok usaha skala besar saja, karena ini akan menghasilkan tingkat pertumbuhan output paling tinggi. Hal ini terjadi karena biasanya sektor dalam kelompok usaha besar mempunyai forward dan backward linkage yang besar. Sehingga jika tejadi perubahan pada kelompok ini akan memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian. Sedangkan jika shock diberikan pada kelompok UKM maka menghasilkan perubahan total output yang lebih kecil. Hal ini terkait bahwa kelompok usaha UKM menghasilkan output berupa barang-barang final demand.
Tapi jika hanya menekankan pada kelompok usaha skala besar saja maka akan muncul potensi permasalahan baru yaitu masalah disparitas. Agar kelompok UKM tidak tertingal jauh dengan pertumbuhan kelompok usaha besar maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat linkage antara kelompok usaha skala besar dengan kelompok UKM. Fenomena missing of the middle (MoM), yang terjadi secara universal di beberapa negara maju, juga terjadi di Indonesia, di mana terjadi kegagalan kelompok usaha skala menengah menjadi penggerak perekonomian nasional."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>