Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104056 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hesti Dwi Rachmawati
"Penulisan skripsi ini mencoba untuk menggambarkan dinamika kehidupan masyarakat Kota Bogor pada tahun 1945-I949. Kota Bogor yang terletak di antara kota Jakarta dan Bandung sebenarnya mempunyai potensi konflik yang besar pada periode revolusi tersebut. Terutama karena pengaruh politik yang muncul dari kedua kota yang mengapitnya. Akan tetapi, masyarakat Kota Bogor pada periode ini justru mampu menunjukkan peralihan kekuasaan pemerintahan secara demokratis. Dan seperti di banyak daerah lainnya, masyarakat Kota Bogor juga mengalami hambatan-hambatan akibat munculnya kembali kekuatan asing yang mencoba menguasai kembali wilayah tersebut. Sehingga kehidupan masyarakatnya pun tidak dapat berjalan dengan semestinya. Terlebih memasuki periode 1947-1949, ketika bentuk pemerintahan federal mulai dipaksakan oleh pihak Belanda di Indonesia. Dalam penulisan skripsi ini, pembahasannya akan dibagi dalam lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang akan menjelaskan latar belakang, permasalahan, ruang lingkup dan tujuan penulisan skripsi ini Bab kedua hingga keempat merupakan bab isi yang akan membahas mengenai pokok permasalahan skripsi ini. Dimulai dengan membahas perkembangan Kota Bogor dari sejak jaman kolonial. Yaitu ketika Kota Bogor mulai dibangun sebagai sebuah kota peristirahatan dan penelitian perkebunan, Perkembangannya terus berlanjut hingga masa revolusi ini. Bab ketiga merupakan pembahasan mengenai dinamika kehidupan masyarakat Kota Bogor pada periode awal masa revolusi, yaitu tahun 1945-1946. Bab ini akan menjelaskan berbagai upaya pemerintah daerah Kota Bogor yang baru saja terbentuk untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Mulai dari kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan hingga kesehatan dibahas dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang bisa mempengaruhinya, seperti kemunculan pasukan NICA yang sering mengacau, kekurangan tenaga kerja, hingga pembukaan sekolah_sekolah. Bab keempat merupakan bab yang akan membahas dinamika kehidupan masyarakat - Kota Bogor setelah akhirnya pihak Belanda berhasil membentuk pemerintahan sipilnya di daerah ini. Dengan demikian, terdapat dualisme pemerintahan di Kota Bogor saat itu. Pihak Belanda terus berupaya meningkatkan kekuatannya dengan mencoba membentuk Negara Pasundan. Sementara pihak pemerintahan Republik di Kota Bogor semakin terdesak hingga akhirnya terpaksa mengungsi ke Jakarta. Situasi politik yang semakin meningkat disertai pula dengan meningkatkan perjuangan masyarakat Kota Bogor menentang Belanda dan Negara Pasundan yang dibentuknya. Berbagai laskar perjuangan rakyat dibentuk untuk menentang upaya Belanda tersebut. Keadaan tersebut berlangsung terus hingga keberhasilan perundingan KMB yang disertai dengan penyerahan kedaulatan RI oleh pihak Belanda. Tidak terkecuali di Kota Bogor pun dilangsungkan upacara penyerahan kedaulatan tersebut. Bab kelima merupakan bab kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Dinamika kehidupan masyarakat Kota Bogor pada tahun 1945-1949 tidak terlepas dari faktor intern dan ekstern yang mempengaruhinya sejak Iama. Mulai dari awal terbentuknya Kota Bogor yang dibangun dan dikembangkan oleh pihak kolonial hingga campur tangan kekuatan asing, seperti Belanda dan Inggris di dalam kehidupan masyarakat Kota Bogor saat itu. Keadaan lingkungan Kota Bogor juga ikut mempengaruhi dinamika yang terjadi. Sehingga Kota Bogor pada periode ini menjadi sebuah kota diplomasi, pembangunan dan pertempuran."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S12373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Woro Riyadina
"ABSTRAK
Disertasi ini menilai dinamika perubahan IMT dan tekanan darah pada wanita pasca menopausedi Kota Bogor, dengan desain studi longitudinal dan kualitatif. Analisis data panel dilakukanpada data sekunder dari ldquo;Studi Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular rdquo; dengan follow up2. Hasil penelitian pada wanita pasca menopause antara lain prevalensi hipertensi 66,1 daninsiden rate 5 kasus per 100 orang-tahun. Model fixed effect menemukan hubungan bermaknaantara perubahan IMT dengan perubahan sistolik dan diastolik. Dinamika IMT dengan sistolikdengan R2 within 2 . Setelah disesuaikan dengan tingkat aktifitas fisik, peningkatan 1 kg beratbadan pada normotensi telah meningkatkan tekanan darah sistolik 1,5 mmHg dan diastolik 0,9mmHg, pada hipertensi terkendali sistolik 2,7 mmHg dan diastolik 1,3 mmHg, pada hipertensitidak terkendali sistolik 3,7 mmHg dan diastolik 1,3 mmHg. Setelah disesuaikan dengan derajatmerokok, penurunan dinamika IMT 1 telah menurunkan sistolik sekitar 2-3 mmHgdibandingkan IMT stabil. Trigliserida berpotensi menjadi marker lipid baru, sedangkan faktorpsikososial dan merokok berkontribusi pada pengendalian hipertensi.

ABSTRACT
This study aims at evaluating the dynamics of change in BMI and blood pressure ofpostmenopausal women in Bogor by using both longitudinal data and qualitative study.Analyzing the 2 years follow up panel data of A Cohort Study of Non Communicable Diseases rsquo Risk Factors rdquo , this study showed that the prevalence of hypertension in postmenopausal womenis 66.1 , while the incidence rate reaches 5 cases per 100 person years. The fixed effectestimations confirmed that changes in systolic and diastolic pressure would follow changes inBMI. Moreover, after controlling with a physical activity, this study still found that there isstrong correlation between dynamics of BMI and systolic pressure, Normotensive patientsexperienced 1 kg of weight gain will increase their systolic pressure by 1.5 mmHg, theirdiastolic pressure by 0.9 mmHg. Furthermore, patients with under controlled hypertension whoare experienced 1 kg of weight gain will increase their systolic pressure by 2.7 mmHg, diastolicpressure by 1.3 mmHg. In contrast, patients with uncontrolled hypertension would have highersystolic pressure 3.7 mmHg and diastolic pressure around 1.3 mmHg. By controlling smokingactivity, 1 reduction in dynamic BMI would lower a systolic pressure as much as 2 3 mmHgcompared to a stabilized BMI. Other findings of this study are that triglyceride serves apotential of new lipid marker,while psychosocial factors and smoking behavior could contributeto controlled hypertension."
2017
D2298
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kunto Sofianto
"ABSTRAK
Tinjauan mengenai kehidupan masyarakat Kota Garut selama kurun waktu 35 tahun (1935-1965) merupakan kajian sejarah sosial yang membahas masalah pemerintahan, kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.
Rentangan waktu yang dikaji dalam studi ini, yakni sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda (1930-1942), zaman Pendudukan Tentara Jepang (1942-1945), dan zaman kemerdekaan RI (1945-1965).
Dalam masalah pemerintahan, fokus kajian terutama diarahkan kepada keadaan pemerintahan dan peranan, serta kedudukan bupati sejak masa Mob. Musa Suria Karta Legawa, Bupati Kabupaten Garut ke-3 (1929-1944) sampai dengan Rd. Gahara, Bupati Kabupaten Garut ke-10 (1960-1966). Keadaan pemerintahan dan peranan, serta kedudukan bupati ini mengalami naik-turun sesuai dengan perubahan politik di tingkat pusat.
Dalam masalah kehidupan sosial ekonomi, fokus kajian diarahkan kepada mata-pencaharian masyarakat bumiputra, Cina, Arab, dan Pakistan yang selalu berubah setiap periode. Perubahan sosial ekonomi masyarakat bumiputra nampak berubah setelah Kota Garut menjadi Kota Pariwisata, yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan dalam dan luar negeri. Sejak itu masyarakat bumiputra selain bekerja sebagai petani, pedagang, buruh, juga mulai bekerja di hotel-hotel sebagai jongos (pelayan), juru masak, tukang kebun, pramuwisata (guide), dan sebagainya. Pada masa Pendudukan Tentara Jepang kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya berubah secara drastis, yakni menjadi sengsara, akibat sikap Pemerintahan Militer Jepang yang bertindak di luar batas perikemanusiaan. Menginjak zaman kemerdekaan RI 1945, mata-pencaharian penduduk bumiputra nampak lebih bervariasi, yakni selain bekerja sebagai petani, pedagang, buruh, dan sebagainya, juga ada yang bekerja sebagai pegawai negeri (guru, ABRI, atau karyawan). Meskipun demikian, namun perubahan ke arah kehidupan yang sejahtera belum tercapai, akibat secara beruntun masyarakat Kota Garut diganggu oleh peristiwa-peristiwa politik yang menimbulkan trauma yang mendalam, yakni Pendudukan Tentara Belanda (1947-1948), peristiwa DI/TII Kartosuwiryo (1949-1962), peristiwa aksi rasialis anti-Cina dan peristiwa G 30 S/PKI 1965.
Sebenarnya banyak juga kaum bumiputra yang bekerja di sektor perdagangan, namun pada umumnya mereka kurang berhasil, karena terutama mendapat saingan dari orang-orang Cina, yang sudah mendominasi bidang perdagangan sejak zaman Kolonial Belanda.
Selain orang-orang Cina, juga peran orang-orang Arab dan Pakistan tidak bisa diabaikan. Mereka mulai berusaha sebagai pedagang sejak kedatangannya di Kota Garut.
Dalam masalah pendidikan fokus kajian diarahkan kepada minat masyarakat terhadap sekolah, yang mengakibatkan berubahnya nilai dan perilaku masyarakat untuk bersikap rasional dan modern. Dalam kebudayaan dibahas masalah seni musik yang terutama diminati oleh generasi muda dan kepercayaan yang terutama berhubungan dengan kehidupan keagamaan dan tradisi masyarakat.

ABSTRACT
The study of society existence in Garut City for 35 years (1935-1965) is study of social history which is related to government, social-economy, education, and culture.
The periods of time which are studied i.e. period of the Dutch (1930-1942), period of Japanese Army Occupation {1942-1945), and period of after Indonesia Independence (1945-1965).
Related to government, study is focused on the situation of government, role, and position of regents since Moh. Musa Suria Karta Legawa, the third regent of Garut Regency (1929-1944) until Rd. Gahara Widjajasoeria, the tenth regent of Garut Regency (1960-1966). The situation of government, role, and position of regents went through up and down matched political change in government center.
Related to social-economy, study is focused on the livelihood of Natives, Chineses, Arabs, and Pakistanis. The change of social-economy of Natives seems changed after Garut City became a tourist spot which was visited by people all over the world, where livelihood of Natives beside as peasants, traders, laborers, etc., also began to work in hotels as jongos (servant), cooks, guides, etc. In the period of Japanese Army Occupation the situation of people livelihood generally changed drastically, i.e. became being poor because the attitude of Japanese Army acted beyond humanity. In the period of post-Indonesian Revolution, livelihood of Natives became more various, i.e. beside they worked as peasants, traders, laborers, also they worked as government official (like teachers, Armies/ABRI, or workers). Although the Natives livelihood after Indonesia Independence showed variety, but change towards being welfare had not yet come true, because the people at that time were disturbed by political events successively, i.e. the Occupation of Dutch Army (1947--1948), rebellion of DIITII Kartosuwiryo (1949-1962), racial action of anti-Chinese (1963), and event of coup d'etat of PKI (G 30 SIPKI) 1965.
Actually many Natives worked as traders, but generally they were not as succesful as Chinese who had dominated trade sector since era of the Dutch. The Chinese is the main competitor for Natives in trade sector.
Beside Chinese, also the role of Arabs and Pakistanis in trade sector can not be neglected. They began to work as traders since their arrival in Garut City.
Related to education, study is focused on people interest towards education, which had caused changed value and behavior of people to be rational and modern.
Related to culture, study is focused on music which was liked especially by young generation and beliefs, particularly which are related to the existence of religion and tradition of people."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riastuti Kusuma Wardani
"Kebijakan JPKMM merupakan realisasi dari kebijakan PKPS BBM Bidkes tahun 2005. Pada implementasi di daerah banyak sekali ditemukan permasalahanpermasalahan. Salahsatunya di Kota Bogor yang belum mempunyai RSUD. Dengan menggunakan pendekatan sistem peneliti melihat kesesuaian peran dan ketepatan keterlibatan SDM, kesesuaian dan ketepatan pendanaan, kesesuaian dan ketepatan sarana,kesesuaian dan ketepatan kebijakan yang berlaku di Kota Bogor, kesesuaian dan ketepatan penentuan kepersertaan, kesesuaian dan ketepatan PKS, kesesuaian dan ketepatan tata laksana JPKMM, kesesuaian dan ketepatan pengorganisasian, kesesuaian dan ketepatan Monev, serta yang terakhir adalah ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan pelayanan maskin di RS. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan informasi yang mendalam dari informan yai.tu eksekutif, legislatif, Dinas Kesehatan Kota, PT Askes eabang Bogor dan RS.
Hasil yang didapati dari penelitian ini adalah: 1. SDM pelaksana kebijakan JPKMM pada PPK RS sudah sesuai dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan standar pelayanan, namun belum tepat karena belum sesuai kesepakatan dan keberatan dari SDM RS karena kompensasi yang kecil dan jumlah yang dilayani auk-up banyak, 2. pendanaan sudah sesuai dengan kebijakan dimana selisih tarif dibebankan kepada APBD kota, namun belum tepat karena belum bisa meneukupi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat miskin, 3. dari segi sarana, PPK RS yang menyelenggarakan JPKMM sudah tepat dan sesuai dari segi kebijakan, kebijakan yang berlaku untuk penyelenggaraan JPKMM sudah sesuai namun belum tepat karena kota Bogor sudah mempunyai kebijakan sendiri untuk penanggulangan kemiskinan didaerahnya, 5. dari segi penentuan kepesertaan sudah sesuai dengan kebijakan namun belum tepat karena belum adanya SK penetapan maskin juga banyaknya penggunaan SKTM yang ternyata bukan maskin, 6. dari segi perjanjian kerjasama (PKS) sudah sesuai namun belum tepat karena ada beberapa provider yang melanggar dengan meresepkan obat-obatan diluar DPHO, 7. dari segi tata laksana belum tepat dan sesuai karena pasien tidak mematuhi persyaratan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang dijamin oleh pemerintah, pasien dikenakan iur biaya, anak jalanan tidak tercover, 8.dari segi pengorganisasian sudah sesuai pelaksanannya namun belum tepat karena terdapat 2 tim yang menangani hal yang sama dengan sasaran yang sama, 9. Pemantauan dan Exaluasi belum sesuai dan belum tepat karena masih bersifat menunggu bola bukan menjemput bola artinya hanya menunggu laporan-laporan saja. Selain itu evaluasi dengan menggunakan standar pencapaian yang sudah ditetapkan Depkes belum tersosialisasi serta belum dilaksanakan, 10. Pelayanan kesehatan pada PPK RS terhadap maskin dilihat dari kesesuaiannya maka belum sesuai dengan kebijakannya karena pasien ada yang dikenakan iur biaya pelayanan dan that, pelayanan kesehatan pada PPK RS terhadap maskin juga belum tepat karena pasien yang dirawat diruang berkelas menggunakan SKTM untuk mendapatkan keringanan biaya.
Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah belum sesuai dan tepat input serta proses dari implementasi kebijakan JPKMM di Kota Bogor pada PPK RS. Saran dan rekomendasi kebijakan yang peneliti coba berikan berdasarkan basil temuan peneliti antara lain ; bagi Dinas Kesehatan yaitu sosialisasi kebijakan, pembuatan kebijakan pembiayaan bertingkat, membuat kebijakan strategis daerah sejalan dengan kebijakan pusat, kebijakan pemberdayaan masyarakat perlu dilanjutkan, koordinasi dan kerjasama lintas sektor untuk menanggulangi anjal, rnekanisnie money yang perlu melibatkan berbagai pihak, pengefektifan ambulance dan peningkatan fungsi Puskesmas. Bagi RS yaitu RS perlu andil dalam sosialisasi baik intern maupun ektem RS, membuat kebijakan internal RS untuk pembiayaan bertingkat dan ikut dalam money pelaksanaan program. Bagi PT Askes yaitu melakukan pengkajian ulang terhadap tarif dengan kondisi Kota Bogor dan sosialisasi sampai ketingkat penerima.

Poverty Health Insurance policy have been a realization of PKPS BBM for health sektor in 2005. A lot problem arise during implementation of this policy in counties, for example is Bogor, this county' has different characteristics than others one of them is RSUD inexistence. This issue intrigued me to continue with examination. Systematical approach is being used here to find out role suitability and correct of human resource involvement, appropiation and correct funding, means suitability, policy suitability and exactness, appropriate and correct listing, appropiate and correct cooperative MOU, appropiation and correctness of JPPMM implementation, appropiate and correct organizing, appropiate and correct monitoring and evaluation. Qualitative methode is used for the examination since depth information quality is needed executive, legislative, Health institution county, PT ASKES and hospital are soueces of the information.
Result of the exeamnnation are; 1. The accuracy of human resource involved in this program was right, but not correct cause services different with MOU, 2. Funding accuracy of this program in Kota Bogor was suits with the policy, where price difference was put into APBD, but it was not adequate enough to cover all poor people, 3. For means side, PPK RS which operates JPKMM already suits and appropriate, 4. On the policy side, Kota Bogor has agood policy to operate JPKMM, but they also has their own policy in poverty prevention, 5. From the listing methode, Kota Bogor has an appropiate methode that suits the policy but not yet correct, since there has not been any SK Walikota for determining poor people, and also alot of people who used SKTM which actually not poor, 6. From the MOU side, PT Askes with RS has MOU making process that suits policy, but not yet effective, since many provider neglects the MOU when giving prescription with unlisted drugs, 7.From the procedural implementation side, it is not accurate and effective yet, since there are SKTM holder who actually not meet the qualification, and traps not covered within this program, 8. From the organizational side, it is already suitable with the implementation, but not yet effective since there are 2 teams wich has same theme and object, 9. Monitoring and evaluation is not yet effective and accurate, site there are no pro active movement, only waiting for reports. Ministrary of Health, evaluation standard not yet been socialized and applied, ICI. PPK RS for poor people not appropriate yet with the policy, since there are patients who have to pay for service and drugs, there also people who hospitalized in higher room standard, using SKTM to reduce bills.
The summary for this research is that in Kota Bogor, the process and implementation of JPKMM policy in PPK RS was not suitable and correct on input. Recommended for Djpas Kesehatan Kota are socialization of policy, make a level funding policy, make sjnergization policy, continue poverty prevention policies in ogor city, coorccirgtion with other sector for anak jalanan, mechanism of monj wing and evaluation for involved other sector, ambulance effectiveness, and effectiveness puskesmas fungtion. Recommended for hospital are doing socialization in internal and eksternal hospital, make internal policy for level funding and partisipatif for monitoring and evaluating program. For PT Askes are analisys funding policy adjustment depend on county coundition and doing socialization through people who accept program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T20067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
"Sejak awal pembentukannya Jawatan Kepolisian Negara RI sebagai organisasi pemerintah menggunakan konsep veiligheid, rust en orde (keamanan, ketenangan dan ketertiban) dari Kepolisian Pemerintah Hindia Belanda. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) merupakan pedoman dalam melaksanakan fungsi kepoiisian, yaitu mengamankan pemerintah dan Iembaga-Iembaganya dari ancaman yang membahayakan.
Sebagai organ pemerintah yang memiliki kontinuitas dengan pemerintah kolonial, pada permulaan republik Kepolisian Negara Rl mengalami penolakan dari rakyat di tengah situasi yang menuntut perubahan nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ideologi revolusioner. Dalam situasi yang diwarnai oleh pergolakan politik menyebabkan kepolisian negara melakukan konsolidasi organisasi sebagai kepcmlisian nasional. Hal ini terwujud dengan keluarnya Penetapan Pemerintah (PP) No. 11/SD Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946 yang berisi perubahan kedudukan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri kemudian berada di bawah Perdana Menteri, PP tersebut merupakan pangkal dan munculnya tindakan-tindakan kepolisian masuk ke dalam ranah politik. Perubahan ini terepresentasikan dan pemberdayaan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang bertugas sebagai poiisi preventif dan represif.
Dalam situasi revolusi kekuatan kepolisian bergantung pada bagian penyelidikan di bidang ekonomi, sosial dan politik, di samping Mobrig (Mobile Brigade) yang berperan di garis depan pertempuran. Kapasitas PAM tersebut membawa pada munculnya pertanyaan terhadap penelitian, yaitu mengapa PAM berperan menonjol dalam pelaksanaan fungsi keporisian di tengah intensitas perpolitikan pada masa revolusi.
Dalam fungsinya sebagai badan penyelidik dengan tugas utama sebagai penyelidik dan pengawas pelbagai aliran-aliran poiitik yang tumbuh secara pesat di tengah masyarakat menyebabkan kepolisian melakukan tindakan-tindakan politik terhadap pengamanan kebijakan pulitik pemerintah. Meskipun demikian tindakan-tindakan PAM digunakan pula bagi institusinya sendiri guna rnemperkuat Kepolisian Negara RI yang pada awal pembentukannya mengalami krisis kepercayaan dari rakyat.
Pada masa revolusi organ PAM secara struktur adalah PID (Politieke Inffchtingen Dienst = Dinas Intelijen Politik), dalam kerangk RI PAM mengalami perubahan fungsi guna menyesuaikan situasi revolusi saat itu. Keberadaan PAM dan fungsinya hanya berlangsung pada rnasa revolusi, karena pasca 1950 polisi preventif dan represif berganti nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) yang mengalami perluasan tugas guna menyesuaikan situasi dernokrasi yang berlangsung saat itu.
Since the establishment of the National Police Service ofthe Republic of Indonesia as an organization, the govemment had applied the concept of veiligheid, rust en orde (security, peace, and order) adopted from the Police of the Netherlands East Indies Government. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) was guidance in implementing the duty of the police that was to preserve the government and its institutions from any threats.
As a government organization which had continuity with the colonial govemment, at an earlier date of the republic, the National Police Service of the Republic of Indonesia underwent resistance from the people amid the situation demanding the change of the old value which was no longer in line with the revolutionary ideology. The situation colored with turbulence had made the government do organizational consolidation as the national police. lt became a reality when the government decision N0.11/SD was issued on July 1, 1946. The decision had oflicially stated that the police was no longer subordinate to the Department of Home Affairs but the Prime Minister. The decision had also become the starting point for the penetration of the police into politics. The change was later represented by the empowerment of the Societal Ideology Supervision (PAM) which was in charge for being preventive and repressive police.
In the revolutionary era, the power of the police so much depended on the investigation division of economy, social, and politics, and the mobile brigade, which played crucial duty on the battle frontline. The capacity of PAM had resulted in questions around the research that is why PAM played prominent role in the implementation of the police function amid political intensity in the revolutionary era.
Functioning as investigation service whose primary duty was to be investigator and supervisor, had made the police do political acts against the security of the political police ofthe government. However, the PAM acts were used in order to strengthen the National Police of the Republic of Indonesia whose establishment at first underwent trust crisis from the people.
In the revolutionary era, PAM organization was structurally PID (Poiiiieke Inlichtingen Dienst = Political lnteligent Senrice). PAM underwent shift in function in order to make some adjustment to the revolution. PAM and its function established only in the revolutionary era because after 1950 the preventive and repressive police had changed its name into the National Security Supervision Agency (DKPN) which later had duty expansion to meet the situation of the democracy at that time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1609
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
"Sejak awal pembentukannya Jawatan Kepolisian Negara RI sebagai organisasi pemerintah menggunakan konsep veiligheid, rust en orde (keamanan, ketenangan dan ketertiban) dari Kepolisian Pemerintah Hindia Belanda. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) merupakan pedoman dalam melaksanakan fungsi kepoiisian, yaitu mengamankan pemerintah dan Iembaga-Iembaganya dari ancaman yang membahayakan.
Sebagai organ pemerintah yang memiliki kontinuitas dengan pemerintah kolonial, pada permulaan republik Kepolisian Negara Rl mengalami penolakan dari rakyat di tengah situasi yang menuntut perubahan nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ideologi revolusioner. Dalam situasi yang diwarnai oleh pergolakan politik menyebabkan kepolisian negara melakukan konsolidasi organisasi sebagai kepcmlisian nasional. Hal ini terwujud dengan keluarnya Penetapan Pemerintah (PP) No. 11/SD Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946 yang berisi perubahan kedudukan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri kemudian berada di bawah Perdana Menteri, PP tersebut merupakan pangkal dan munculnya tindakan-tindakan kepolisian masuk ke dalam ranah politik. Perubahan ini terepresentasikan dan pemberdayaan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang bertugas sebagai poiisi preventif dan represif.
Dalam situasi revolusi kekuatan kepolisian bergantung pada bagian penyelidikan di bidang ekonomi, sosial dan politik, di samping Mobrig (Mobile Brigade) yang berperan di garis depan pertempuran. Kapasitas PAM tersebut membawa pada munculnya pertanyaan terhadap penelitian, yaitu mengapa PAM berperan menonjol dalam pelaksanaan fungsi keporisian di tengah intensitas perpolitikan pada masa revolusi.
Dalam fungsinya sebagai badan penyelidik dengan tugas utama sebagai penyelidik dan pengawas pelbagai aliran-aliran poiitik yang tumbuh secara pesat di tengah masyarakat menyebabkan kepolisian melakukan tindakan-tindakan politik terhadap pengamanan kebijakan pulitik pemerintah. Meskipun demikian tindakan-tindakan PAM digunakan pula bagi institusinya sendiri guna rnemperkuat Kepolisian Negara RI yang pada awal pembentukannya mengalami krisis kepercayaan dari rakyat.
Pada masa revolusi organ PAM secara struktur adalah PID (Politieke Inffchtingen Dienst = Dinas Intelijen Politik), dalam kerangk RI PAM mengalami perubahan fungsi guna menyesuaikan situasi revolusi saat itu. Keberadaan PAM dan fungsinya hanya berlangsung pada rnasa revolusi, karena pasca 1950 polisi preventif dan represif berganti nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) yang mengalami perluasan tugas guna menyesuaikan situasi dernokrasi yang berlangsung saat itu.
Since the establishment of the National Police Service ofthe Republic of Indonesia as an organization, the govemment had applied the concept of veiligheid, rust en orde (security, peace, and order) adopted from the Police of the Netherlands East Indies Government. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) was guidance in implementing the duty of the police that was to preserve the government and its institutions from any threats.
As a government organization which had continuity with the colonial govemment, at an earlier date of the republic, the National Police Service of the Republic of Indonesia underwent resistance from the people amid the situation demanding the change of the old value which was no longer in line with the revolutionary ideology. The situation colored with turbulence had made the government do organizational consolidation as the national police. It became a reality when the government decision N0.11/SD was issued on July 1, 1946. The decision had oflicially stated that the police was no longer subordinate to the Department of Home Affairs but the Prime Minister. The decision had also become the starting point for the penetration of the police into politics. The change was later represented by the empowerment of the Societal Ideology Supervision (PAM) which was in charge for being preventive and repressive police.
In the revolutionary era, the power of the police so much depended on the investigation division of economy, social, and politics, and the mobile brigade, which played crucial duty on the battle frontline. The capacity of PAM had resulted in questions around the research that is why PAM played prominent role in the implementation of the police function amid political intensity in the revolutionary era.
Functioning as investigation service whose primary duty was to be investigator and supervisor, had made the police do political acts against the security of the political police ofthe government. However, the PAM acts were used in order to strengthen the National Police of the Republic of Indonesia whose establishment at first underwent trust crisis from the people.
In the revolutionary era, PAM organization was structurally PID (Poiiiieke Inlichtingen Dienst = Political lnteligent Senrice). PAM underwent shift in function in order to make some adjustment to the revolution. PAM and its function established only in the revolutionary era because after 1950 the preventive and repressive police had changed its name into the National Security Supervision Agency (DKPN) which later had duty expansion to meet the situation of the democracy at that time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D910
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Salam
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tuntutan pelayanan masyarakat yang lebih baik dalam otonomi daerah yang Iebih Iuas, sebagai tuntutan reformasi terhadap pelayanan birokrasi daerah kepada masyarakat dalam sepala bidang, termasuk pelayanan transportasi. Tentang pelayanan transportasi ini, hampir seluruh Pemda menghadapi berbagai permasalahan, begitu pula halnya Pemda Kabupaten dan Kota Bogor. Ketidakberdayaan birokrasi daerah tersebut terlihat dari lemahnya SDM, teknologi dan sarana prasarana transportasi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil dari transportasi, jelas memberkan penataan ulang dalam tubuh organisasi birokrasi daerah yang perlu melakukan reformasi administrasi negara secara komprehensif dalam meningkatkan kinerja birokrasi daerah di bidang transportasi tersebut.
Masalah penelitian ini dibatasi pada "Persoalan reformasi administrasi negara di daerah tentang ketidakmampuan birokrasi daerah meningkatkan kinerjanya dalarn pelayanan transportasi". Pembatasan penelitian ini ada pada bidang administrasi negara, dalam persoalan kinerja birokrasi daerah, sedangkan pelayanan transportasi dipilih hanya sebagai kasus di Kabupaten dan Kota Bogor. Adapun pertanyaan penelitian adalah: "Bagaimana kinerja birokrasi daerah (Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor serta Dinas Lalu Lintas dan Jalan Kota Bogor) dalam memberikan pelayanan transportasi kepada masyarakat, serta apa kebijakan birokrasi daerah Kabupaten dan Kota Bogor yang terbaik dalam mengatasi masalah pelayanan transportasi".
Metode penelitian ini menerapkan pendekatan analisis sistem dinamik yang menggabungkan antara pendekatan kuantitatif dengan kualitatif. Desain penelitian sistem dinamik secara substantif akan mengukur kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda meialui metode system dinamik dan permodelan. Untuk itu diperiukan pendekatan dan mekanisme penelitian dengan mempertimbangkan sifat dinamik yang berubah mengikuti perkembangan waktu. Penulis menganggap sesuai menggunakan metode sistem dinamik dan permodelan karena model sistem dinamik melihat pola kecendrungan sistem berdasarkan analisis sistem dinamik yang nyata dan sangat panting, melalui 8 (delapan) tahap yang ditempuh dalam metode sistem dinamik, yaitu: (1) merumuskan masalah penelitian; (2) permodelan sistem dinamik (Causal Loop Diagram dan Stock Flow Diagram = CLD dan SFD); (3) pengumpulan data dan entry data dalam model (4) simulasi model dinamik (5) validasi model dinamik; (6) analisis sensitivitas; (7) simulasi kebijakan (model sistem dinamik); dan (8) merumuskan kesimpulan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan data dan fakta tentang lemahnya kinerja birokrasi daerah di Kabupaten dan Kota Bogor, berupa kesemrawutan lalu lintas karena belum optimalnya pengelolaan transportasi. Analisis sistem dinamik menggambarkan kompleksitas permodelan yang tersedia dalam berbagai altematif pilihan Causal Loop Diagram (CLD), kemudian dan berbagai altematif pilihan CUD yang kompleks tersebut ditentukan pilihan dengan melewati proses trial and eror sampai mendekati titik yang paling sesuai tentang kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda dalam pelayanan transportasi. Berdasarkan proses tersebut maka penelitian ini menerapkan 2 (due) archetype (model baku), yaitu model Fixes That Fail (Perbaikan Sesaat = Perbaikan yang Gagal) dan model Limits to Success (Batas Keberhasilan). Kedua archetype model tersebut, ditentukan dan dipilih dari 8 (delapan) model baku yang kompleks, yang ada dalam program sistem dinamik dan permodelan. Karena sifatnya yang kompleks, kedua model baku (archetype) yang dilipih tersebut mempunyai berbagai probabilitas yang dapat ditampilkan sesuai dengan kondisi dan fakta kinerja birokrasi daerah dalam mengelola transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Berbagai probabilitas atau kemungkinan tersebut dapat diprediksikan untuk sekian tahun kedepan tanpa batas, boleh 5 (lima) tahun, 10 tahun, 100 tahun dan seterusnya. Karena itu, model Fixes That Fail (Perbaikan Sesaat Perbaikan yang Gaga') dan model Limits to Success (Batas Keberhasilan) dapat membuat model yang sesuai dengan apa yang dinginkan, berdasarkan kondisi dan fakta 5 (lima) tahun terakhir, maka akan dapat diprediksikan sekian tahun kedepan. Pilihan tersebut sesuai untuk penelitian ini, setelah menyesuaikannya dengan batasan masalah dan kondisi kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda (dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor serta Dinas Lalu Lintas dan Jalan Kota Bogor). Tergambar dalam CLD tersebut, karena badan jalan yang ada terpakai, maka akan menimbulkan inisiatif untuk melebarkan jalan, pada waktu sesaat ini memang dapat mengatasi persoalan untuk sementara, tetapi ketika moda transportasi semakin bertambah dengan berbagai tipe dan jenis kenderaan, pelebaran jalan tersebut menjadi tidak terlalu berarti, karena luas lahan terbatas akan sulit melakukan pelebaran jalan, kecuali dengan menyediakan biaya yang lebih besar. Kedua model tersebut Fixes that Fail dan Limit to Succes yang digambarkan dalam CLD dapat dijelaskan lebih lanjut dalam Stock Flow Diagram (SFD=Diagram Alir), yang lebih menggambarkan kompleksitas permodelan, yang dapat dikaji dan dibahas dari berbagai segi dan berbagai altematif yang mungkin dilakukan, begilu pula halnya kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Kompleksitas permodelan dan subsistem pelayanan transportasi yang merupakan transformasi dari archetype model Fixes that Fail, mengambarkan kondisi koordinasi pelayanan transpotasi yang tidak memadai, tidak harmonisnya koordinasi antara birokrasi daerah di Kabupaten dan Kota Bogor, serta lemahnya koordinasi birokrasi daerah dengan jajaran terkait lainnya telah menciptakan koefisien kemacetan yang selanjutnya meningkatkan koefisien penumpang terlantar, hal ini kemudian memperlihatkan rasio kebutuhan transportasi yang tergambar semakin meningkat laju pertumbuhannya. SFD yang menjadi andalan pendekatan sistem dinamik telah membuktikan bahwa kompleksitas yang melingkupi kirierja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi meliputi banyak hal dan kondisi, yang semestinya harus dilihat dan dikaji serta diselesaikan secara sistemik dan holistik, artinya perlu memperhatikan segala aspek dalam segala dimensi, dengan tidak mengabaikan salah satu aspek dan hanya melebihkanlmengutamakan aspek yang lainnya, demikian halnya aspek dan dimensi peningkatan kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Selanjutnya archetype model limit to success, memperlihatkan mengubah kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi hanya untuk sementara, karena dibatasi oleh dimensi waktu, dimensi kerampuan biaya, dan dimensi keterbatasan lahan. Salah satu solusi yang ditawarkan model ini hanyalah memperpanjang sifat sementara tersebut dengan memasukkan dimensi prilaku atau aktivitas dari adanya koordinasi birokrasi daerah menjadi durasi waktu yang relatif lebih lama, yaitu dengan memeratakan pembangunan ke seluruh pelosok wilayah sehingga penduduk tidak perlu harus mencari penghidupan ke pusat kota karena hal tersebut juga sudah dapat diperoleh di wilayahnya tanpa harus melakukan perjalanan ke pusat kota di Kabupaten dan Kota Bogor. Konsep yang ditawarkan model ini pada intinya bagaimana mengurangi perjalanan masyarakat, dengan memasukkan dimensi upaya memperpanjang atau memperbesar limit to success yang sedang dihadapi. Bila hal ini dihubungkan dengan pertumbuhan angkutan umum dan kendaraan pribadi akan sangat kontradiksi karena berbanding terbalik dengan tersedianya lahan yang sangat terbatas, sementara angkutan umum dan kenderaan pribadi terus mengalami peningkatan. Hasli simulasi model sistem dinamik memperlihatkan bahwa titik kemacetan sudah mencapai titik jenuh yang memprihatinkan, memerlukan pengelolaan transportasi dengan kinerja yang lebih baik, yang harus dipenuhi oleh birokrasi daerah Kabupaten dan Kota Bogor.
Dapat disimpulkan bahwa kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi dipengaruhi oleh hubungan dinamis dari tiga sub-sistem, yaitu demografi, urbanisasi, dan pelayanan transportasi. Unsur-unsur utama atau leverage poin dalam sistem tersebut adalah imigrasi, pemerataan pembangunan, pertumbuhan ods transportasi pribadi, dan perilaku sosial. Hasil penelitian menunjukkan kinerja birokrasi daerah masih bergerak positif, walaupun dengan kinerja yang lemah. Lemahnya kinerja birokrasi daerah tidak hanya ditentukan oleh faktor internal birokrasi daerah 1W sendiri, seperti antara lain lemahnya kemampuan SDM, lemahnya koordinasi antar dan antara birokrasi daerah dengan berbagai jajaran terkait di Kabupaten dan Kota Bogor, melainkan juga oleh faktor eksternal yang datang dari luar birokrasi daerah, antara lain karena populasi penduduk yang semakin besar, jumtah lahan yang terbatas untuk pembangunan jalan, serta faktor sosial dalam pelayanan transportasi seperti disiplin para sopir dan pengelola angkutan umum, budaya pedagang kaki lima dan pengelolaan pasar dan sebagainya. Hal ini menjawab pertanyaan penelitian yang pertama bahwa sistem dinamik hubungan faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk kinerja birokrasi daerah saling terkait, saling berinteraksi, saling mempengaruhi secara positif atau negatif. Sedangkan jawaban pertanyaan penelitian kedua adalah bahwa kebijakan birokrasi daerah terbaik dalam mengatasi kemacetan lalu lintas, antara lain dengan mencegah urbanisasi, memeratakan pembangunan, termasuk mengubah desa menjadi kota, sehingga penduduk tidak lagi harus datang ke kota. Saran penelitian ini adalah menerapkan 15 langkah yang diusulkan dan dihasilkan simulasi sistem dinamik penelitian disertasi ini.

ABSTRACT
This study was formed by the background of better public services demand in the more extensive local autonomy as reformation demand from various public component about local bureaucracy services for public in every sector, including transportation services. Regarding this transportation services, almost all of local government (Pemda) with its local bureaucracy was facing various problems, and so as the local government of the Regency and City of Bogor. The disability of that local bureaucracy was seen from weak human resources, transportation technology and instrument. The Original Local Revenue / Pendapatan Asli Daerah (PAD) of transportation sector was very limited and clearly need reconsideration and rearrangement in the body of local bureaucracy organization, which was needed to perform state administration reformation comprehensively in improving the performance of local bureaucracy on that transportation sector.
The problem of this study was limited on "The Issue of state administration reformation at outlying district on the scope of inability of local bureaucracy to improve its performance in transportation services. The limitation of this study was on state administration sector about the issue of local bureaucracy performance, whereas the transportation services were selected only as the case of Regency and City of Bogor. As to the question of this study was : "How the performance of local bureaucracy (The Department of Transportation of Bogor Regency and The Department of Traffic and Lane of Bogor City in order to provide transportation services for society) and what is the best policy of local bureaucracy in Regency and City of Bogor to overcome the transportation services problem:
'The method of this study was implementing analysis of dynamic system approach, which was combining quantitative approach with qualitative. The design of dynamic system substantively will measure the performance of local bureaucracy in local government's environment (Pemda) through dynamic system and modeling method. Therefore, the study approach and mechanism was needed by considering the alternating dynamic in nature following the time development. The writer suppose that it was appropriate to use the dynamic system and modeling method to achieve the determined aim in this study; because dynamic system model has looked on the pattern of system tendency based on analysis of dynamic system, which was real and extremely important, through 8 (eight) phases that has been going through in dynamic system method, that were:
(1) formulating study problem; (2) the dynamic system modeling (Casual Loop Diagram and Stock Flow Diagram = CLD and STD); (3) The data collecting and data entry in model; (4) Simulation of dynamic model; (5) validation of dynamic model; (6) sensitivity analysis; (7) Policy simulation .(dynamic system model); and (8) formulating conclusion.
The result of this study has presented data and fact about the weak performance of local bureaucracy in Regency and City of Bogor, in the form of traffic mess, because of transportation management that was not optimal. Analysis of dynamic system, was describing the complexity of modeling and which was available in various alternative choice of Causal Loop Diagram (CLD), and then from those complex CLD alternative choices, the option was determined through trial and error process until it was closed to the most appropriate point regarding the performance of local bureaucracy in. local government's environment (Pemda) on transportation services. Based on that process, therefore this study was limited only by implementing 2 (two) archetype (standard model), i.e. the Fixes that fail Model (Temporary Revision = the Failed Revision) and the Limits to Success Model (Batas Keberhasilan). Both of that two archetype model was determined and selected from the complex 8 (eight) standard model, which was presented on dynamic system and modeling program. Because of their complexity in nature, both of those selected standard model (archetype) had various probability that can be held appropriate with the condition and fact of local-bureaucracy performance on managing the transportation in Regency and City of Bogor. Various of those probability of opportunity can be predicted for some years on future without any limitation, it can be 5 (five) years, 10 years, 100 years, and so on. Therefore, the model of Fixes that Fail (Temporary Revision = The Failed Revision) and the model of Limits to Success (Batas Keberhasilan) can make appropriate model with the expected model, based on the last 5 (five) years condition and fact, then it can be predicted some years on future. Those options were appropriate with this study, after adjusting it with problem limitation and performance condition of local bureaucracy in the local government's environment (in this context, The Department of Transportation of Bogor Regency and The Department of Traffic and lane of Bogor City). It was described on that CLD - because when part of street has been used then it would cause an initiative to widen the street, in the current temporary time, it obviously can overcome problem for time being, but when the transportation mode was more in its amount with various type and kind of vehicle, that street widen became less significant, because of the limited area, it was difficult to perform the street widening, unless providing larger cost. Both of those model, Fixes that Fail and Limit to Success, which have been described in CLD, it can be explained further in Stock Flow Diagram (SFD), which will describe further' complexity of modeling, which can be recite and discuss from various sector and alternative that can be done, so as about the performance of local bureaucracy on transportation services in Regency and City of Bogor. The modeling complexity of the Transportation Services sub-system, which was a transformation of archetype model of Fixed that Fail, was describing the inadequate condition of transportation services coordination, and the coordination between local bureaucracy in Regency and City of Bogor that was not harmonic, and the weak coordination of local bureaucracy with the other related staff has created the traffic coefficient, which increase the coefficient of neglected passenger further, and these things then will show the ratio of transportation need that has been described as increased of its growth rate. SFD which was the reliable dynamic system approach has been proven that the complexity which covering the performance of local bureaucracy on transportation services including many things and condition, which indeed should be seen and assess and solved systematically and holistically, it means that it should note every aspect in every dimension, and should not disregard any aspect and only favor l giving priority other aspect, and so as the aspect and dimension of the improvement of the performance of local bureaucracy on transportation services in the Regency and City of Bogor. Then, the archetype model limit to success has shown alteration of the performance of local bureaucracy on transportation services temporarily, because it was limited by dimension of time, dimension of ability 1 cost, and dimension of field limitation. One of the offered solution by this model was only lengthen that temporary in nature by including the dimension of behavior or activity form the presence coordination of local bureaucracy into the more relative longer of time duration, that was by equalize the development throughout nation, hence the citizen does not need to find any living support to the center of, city, because that thing can be gained in their region without traveling to the center of city in Regency or City of Bogor. It needs transportation management with better performance, which has to be fulfilled by the local bureaucracy of Regency and City of Bogor.
It can be concluded that the performance of local bureaucracy on transportation services is affected by the dynamical relationship of three sub systems, i.e. demography, urbanization, and transportation services. The main elements or leverage point in those system are immigration, development equalization, the growth of private transportation mode, and social behavior. The study result shows that the performance of local bureaucracy is still positively moved, although with a weak performance. The weak performance of local bureaucracy is not only determined by the internal factor of that local bureaucracy itself, such as the weak ability of human resources, the weak coordination with and within local bureaucracy with various staff in Regency and City of Bogor; but also by external factor, such as the growing population, the limited street for street development, and the social factor on transportation services, e.g. the discipline of drivers and manager of public transportation, the culture of sidewalk trader and market management and etc. These should answer the first study question that dynamic system of the relationship of affecting factor on forming the performance of local bureaucracy is related, interacted and affecting each other either positively or negatively. While the answer of the second question of this study is that the policy of local bureaucracy is the best way to overcome the traffic jam, i.e. by preventing urbanization, distributing development including changing the village into city, so that the citizen does not need to come to the city anymore. The suggestion for this study is implementing the 15 steps which have been proposed and simulation resulted of dynamic system of this dissertation study.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D584
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gundawan
"ABSTRAK
Pada tahun 1988-1989 berlangsung penelitian mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa perang kemerdekaan. Tujuannya untuk mengetahui peranan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Penelitian dilakukan terhadap sumber-sumber tertulis dan wawancara, serta peninjauan ke lokasi, tempat di mana peristiwa berlangsung.
Melalui penelitian, tergambar dukungan seluruh lapisan masyarakat Yogyakarta terhadap tegaknya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pimpinan daerah dan rakyat bekerja sama melawan Belanda, yang bermaksud mengembalikan kekuasaannya atas Indonesia. Meskipun Belanda berhasil menawan para pemimpin Republik dan menduduki Ibukota Yog_yakarta, tetapi rakyat tidak mengakui kekuasaannya. Rakyat memilih berjuang dengan cara gerilya daripada beker_ja sama dengan Belanda.
Dengan dukungan Sri Sultan dan tokoh-tokoh Republik yang berhasil meloloskan diri, perjuangan gerilya rakyat Yogyakarta yang mencapai puncaknya pada serangan umum Maret 1949 berhasil menarik simpati rakyat negara-nega_ra bagian (Pasundan dan Negara Indonesia Timur), dan du_nia internasional (AS, Australia, India, negara - negara Arab), yang kemudian melalui PBB, memaksa Belanda untuk mengembalikan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta.

"
1990
S12227
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023
303.64 DUN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
Jakarta: Rajawali, 2009
363.2 AMB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>