Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102593 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamad Cholid
"Lin Bao meninggal karena kecelakaan pesawat, 12 September 1971, dalam upaya melarikan diri ke Moskow--setelah usahanya untuk mengkudeta Mao Zedong terbongkar. Demikian versi resmi yang disebarluaskan pemerintah mengenai kematian Lin Biao. Versi lain, setidaknya yang ditulis oleh Yao Mingle dalam The Conspiracy and death of Lio Biao (New York: Alfred A. Knopf, 1983), bahwa Lin tewas di tangan pasukan Mao. Sesaat setelah ia meninggalkan ruangan acara makan malam bersama Mao, di tempat peristirahatan Sang Ketua..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S13043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esna Pramesi Afiz Putri
"Jurnal ini membahas tentang peran Lin Biao dalam Revolusi Kebudayaan. Penelitian bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisa latar belakang dari Revolusi Kebudayaan, Biografi dari Lin Biao, dan partisipasi yang telah dilakukan oleh Lin Biao dalam Revolusi Kebudayaan. Sumber data penelitian adalah beberapa buku sejarah Cina.

This journal discusses the participation of Lin Biao in The Cultural Revolution. The research aims to describe and analyze the background of The Cultural Revolution, Biography of Lin Biao, and the participation that has been done by Lin Biao in The Cultural Revolution. The source of research data is several books of History of China.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Chandra
"Peranan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Cina dalam sistem sosial-politik di RRC merupakan suatu gambaran mengenai hubungan sipil-militer di negara tersebut. Sebagai alat Partai (Partai Komunis Cina), TPR bukan hanya berfungsi sebagai kekuatan militer semata-mata, mereka juga senantiasa dilibatkan untuk membantu Partai dalam menerapkan berbagai kebijaksanaannya pada rakyat, misalnya menjadi alat mobilisasi politik, motivator pembangunan sosial-ekonomi di dalam masyarakat, dll. Oleh karena itu, TPR senantiasa dianggap sebagai tentara profesional-revolusioner, dalam arti bahwa TPR merupakan tentara-tentara profesional yang setia kepada tujuan revolusioner. Sejalan dengan program profesionalisasi militer yang dikembangkan sejak awal pemerintahan RRC, terjadi perdebatan di kalangan pimpinan RRC mengenai sejauh mana TPR harus tetap terlibat dalam tugas-tugas nonmiliter. Hal itu telah dikaitkan dengan keseimbangan merah dan ahli dalam konteks politik Cina. Demikianlah, berbagai keterlibatan dan intervensi TPR dalam politik RRC telah mewarnai hubungan sipil-militer di negara tersebut antara tahun 1949-1969."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S12819
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
N. Ika M. Sukarno
"Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan secara jelas mengenai Lin Biao, menitikberatkan pada peranan Lin Biao dalam Revolusi Kebudayaan dan sepak terjangnya sesudah revolusi berakhir hingga ia meninggal dunia. Lin Biao adalah seorang panglima perang yang tangguh, di mana ia dikenal ahli dalam strategi peperangan. Titik awal karir Lin Biao dimulai setelah ia lulus dari Akademi Militer Whampoa tahun 1926. Selama Revolusi Kebudayaan berlangsung, Lin Biao selalu berada di belakang Mao. Pidato-pidato dan perkataan-perkataan Mao selalu ia dengungkan dalam setiap pertemuan massa. Dengan cara ini, ia menarik massa untuk turut serta dalam Revolusi Kebudayaan. Lin Biao juga merupakan orang yang menggerakkan Pengawal Merah. Setelah keadaan negara menjadi sangat kacau, Lin Biao menggunakan Tentara Pembebasan Rakyat yang berada di bawah pengaruhnya untuk mengamankan situasi. Hasilnya adalah kepercayaan Mao padanya bertambah dan Lin Biao diangkat secara resmi menjadi ahli waris dan penerus Mao. Setelah pengangkatan itu, Mao merasa pengaruh Lin Biao terlalu besar, sehingga ia merasa perlu menantangnya dengan maksud agar pengaruhnya berkurang. Di lain pihak, Lin Biao merasakan kekuatannya cukup kuat untuk dapat menggeser Mao. la dan kelompoknya menyusun rencana dan membangun kekuatan untuk menggulingkan Mao. Rencana ini rupanya tercium oleh Mao, sehingga sebelum Lin Biao melaksanakan impiannya, Mao sudah terlebih dahulu memusnahkan Lin Biao pada tanggal 12 September 1971"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuddy Crisnandi
"Dwifungsi ABRI yang ditenggarai sebagai faktor penyebab intervensi militer kedalam urusan non-militer, dirasakan telah menjurus pada keadaan yang mengkhawatirkan perkembangan demokrasi di era Orde Baru (1966-1998). Sikap sinis masyarakat dan kritik-kritik terhadap peran militer yang melampaui porsi fungsinya, seakan tidak membuat militer bergeming hingga penghujung era kekuasaan Presiden Soeharto. Turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, mendorong keberanian masyarakat untuk mendesakan keinginan mengembalikan militer sebagai kekuatan pertahanan belaka. Masyarakat menuntut militer untuk menghentikan seluruh kegiatan diluar tugas-tugas kemiliteran. Urusan sosial politik diharuskan tidak lagi menjadi wewenang militer. Militer diminta tidak mengambil porsi jabatan birokrasi sipil. Militer juga dituntut membenahi diri lebih professional. Berbagai tuntutan ditujukan kepada militer untuk segera menghapuskan doktrin Dwifungsinya.
Menjawab desakan kuat masyarakat yang tidak menghendaki militer berperan dalam urusan sosial-politik, militer mencanangkan apa yang disebutnya Reformasi Internal ABRI. Militer juga berargumentasi bahwa ide reformasi internalnya, sudah dipersiapkan dan selaras dengan harapan masyarakat. Militer mengaku tidak merasa bahwa desakan masyarakat sebagai penyebab langkah-langkah reformasi internal ABRI. Namun, kenyataannya konsep reformasi internal ABRI pada tahap awal, tidak seperti apa yang dituntut oleh masyarakat. ABRI lebih mengedepankan pendekatan implementasi bertahap sementara masyarakat menginginkan berlangsung sesegera mungkin. Bahkan ABRI masih memandang perlu konsep Dwifungsi yang di luruskan pelaksanaannya, sementara masyarakat menghendaki dihapuskannya. Pergulatan dinamika wacana panjang tentang reformasi internal ABRI, pada akhirnya tunduk pada kehendak masyarakat. Namun, militer masih juga mengatakan bahwa reformasi internal ABRI sudah direncanakan sejak awal dan berangkat dari kesadaran internal militer untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Reformasi internal ABRI, tampaknya secara nyata tidak akan terwujud bila tidak pernah terjadi peristiwa reformasi nasional. Peristiwa-peristiwa politik menjelang reformasi, desakan masyarakat, dan peran militer menyikapi dinamika politik yang berlangsung saat itu, turut menentukan perkembangan politik selanjutnya yang menyentuh militer dengan reformasi intemalnya. Implementasi reformasi internal militer berdampak luas terhadap reposisi peran militer dalam kehidupan nasional. Dikembalikannya fungsi militer sebagai alat pertahanan negara belaka, menandai berakhirnya era Dwifungsi ABRI.
Reformasi internal ABRI telah membawa militer mereposisi diri dalam berhubungan dengan lingkungan eksternalnya. Hubungan sipil-militer yang berlangsung di era kekekuasaan Orde Lama (1952-1966) dan Orde Baru (1966-1998), jauh berbeda dengan di era reformasi. Begitupun hubungan sipil-militer di era reformasi pimpinan Presiden Habibie (1998-1999) berbeda dengan era kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid (1999-2001) maupun Presiden Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Memperhatikan hubungan sipil-militer yang berlangsung di era reformasi, tampak jelas belum ada pola hubungan yang stabil. Karenanya, prospek hubungan sipil-militer kedepan menjadi kajian yang sangat menarik untuk mencermati peran militer dalam perkembangan demokrasi.
Hasil penelitian yang didasarkan atas pengamatan dan wawancara mendalam dengan duapuluh enam perwira tinggi militer diantaranya Jenderal Purn. Wiranto dan Jenderal Purn. Susilo Bambang Yudhoyono, serta mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, mencoba memaparkan masalah-masalah yang terkait dengan reformasi internal ABRI, pandangan mereka, serta berbagai hal yang melatarbelakanginya. Hasil penelitian ini memberikan jawaban atas permasalahan penelitian yang bertujuan mengetahui penyebab utama yang mendorong militer melakukan reformasi internalnya. Begitupun dengan hubungan sipil-militer yang berlangsung sesudahnya, adalah bagian yang dikemukakan disini.
Disertasi yang menyajikan hasil penelitian ini disusun dalam 6 bab. Selain mengetengahkan berbagai pendekatan teori tentang keterlibatan militer dalam politik dan hubungan sipil-militer, sejarah politik militer Indonesia yang melatarbelakangi keterlibatannya dalam urusan sosial politik turut diulas. Begitupun para teoritikus militer seperti Samuel P. Huntington, Amos Perlmutter, Erick Nordlinger Carl Von Clausewitz, Morris Janowitz, Gavin Kennedy, Claude E Welch, Harry Holbert Turney, Guilermo 0'Donnel, Larry Diamond, Elliot A. Cohen, karya pemikirannya dijadikan landasan teori untuk memahami fenomena penelitian yang dilakukan. Beberapa contoh keterlibatan militer dalam politik di berbagai kawasan, disajikan untuk melengkapi pemahaman disertasi ini.
Kendatipun, era reformasi telah menempatkan militer pada posisinya yang dijauhkan dari politik, tidak menjamin kalangan militer benar-benar lepas dari ketertarikannya pada masalah politik. Fenomena proses pemilihan Presiden langsung yang pertama di Indonesia (Mei-Oktober 2004), membenarkan kekhawatiran masyarakat akan kembalinya militer berpolitik cukup beralasan. Akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa reformasi internal ABRI tidak berdiri sendiri. Hubungan sipil-militer di era reformasi belum mencerminkan hubungan sipil-militer yang menunjukan bahwa militer berada dibawah kendali otoritas sipil sepenuhnya. Istilah hubungan-hubungan yang seimbang (Equal Relations), hubungan yang setara dan terkendali (Equal & Controllable) dalam konteks hubungan sipil-militer, adalah hal baru yang ditemukan pada hasil penelitian ini. Hubungan sipil-militer seperti itu, tampaknya cocok diterapkan pada masa transisi yang sedang berlangsung di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D594
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuddy Crisnandi
"Internal reform of Tentara Nasional Indonesia, the Indonesian Armed Forces, to disengage itself from political activities post the Soeharto government; study"
Jakarta: LP3ES, 2005
355.033 5 YUD r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Supriyo
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S5642
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
I Gde Nyoman Arsana
"Hubungan sipil-militer di setiap negara berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan latar belakan perkembangan bangsa, bentu negara, ideologi, dan falsafah negara, dan budaya bangsa. Jenis hubungan sipil-militer bervariasi mencerminkan ideologi poitik, orientasi-orientasi, dan struktur organisasi modern. Hubungan sipil-militer di Indonesia sejak 1945-1998 mengalami pasang surut sejalan dengan sikap politik penguasa pemerintah, sikap, dan solidaritas kaum militer pada periode yang bersangkutan.
Dwifungsi ABRI merupakan salah satu doktrin dasr bagi ABRI dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan sipil-militer. Doktrin ini secara evolusi mengalami perkembangan sejak awal revolusi 1945. Dwifungsi ABRI memperoleh roh dans emangatnya pada masa gerilya antara Desember 1948 sampai Juli 1949, dimana saat itu TNI bersama PDRI di Bukittinggi mempertahankan keberadaan Republik yang masih muda. Doktrin ini kemudian secara perlahan berkembang dari era Soedirman (1945-1949), era Nasution (1958) sampai dengan era Soeharto (1966-1988).
Soeharto sebagai pendiri Orde Baru telah berperan sentral dan memberi warna dan bentuk hubungan sipil-militer yang dilaksanakan dengan doktrin Dwifungsi ABRI karena dia menduduki posisi kunci sudut pandang tersebut dalam studi ini dilakukan kajian untuk mengenali sejauh mana Soeharto (agency) mempengaruhi produk-produk peraturan-peraturan (struktur) tentang kedudukan militer dalam Negara sampai kepada saat dimana terjadi dominasi militer dalam politik di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Kajian ilmu sejarah yang menggunakan metodologi strukturis sebagai sebuah kajian yang mengedepankan bagaimana kuatnya pengaruh human agency yang memberi bentuk pada perubahan struktur yang berupa peraturan-peraturan tentang kedudukan militer dalam Negara RI. kajian ini menjabarkan periodesasi hubungan sipil-militer dalam tiga periode yaitu: (1) 1966-1975, disebut periode pengendalian militer dengan patner (memupuk kekuasaan), (2) 1976-1988, disebut periode pengendaliaan militer dengan patner, dan (3) 1988-1998, disebut periode pengendalian militer tanpa patner. Studi ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memaknai kembali kedudukan militer yang demikian dominan selama lebih dari tiga dekade, pada saat mana Republik ini sedang dalam pencarian bentuk demokrai yang cocok bagi bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila. Hasil kajian ini diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi bagi generasi penerus bangsa, agar dapat menundukkan militer pada posisinya yang tepat sesuai jiwa dan semangat UUD 1945 dalam NKRI yang menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai demokrasi.
Dengan menggunakan teori sipil-militer Samuel P. Huntington dengan merujuk kepada model The Continuum of Military in Politics dari Claude E. Welch dan konsep kekuasaan dalam mempengaruhi proses perumusan dan implementasi Dwifungsi ABRI, sedemikian jauh, luas dan mendalam sehingga berdampak pada intensitas sifat dan corak hubungan sipil-militer di Indonesia ; kedua, hubungan sipl militer di Indonesia dalam era Soeharto, merupakan salah satu varian Subjective CIvilan Control; ketiga, terdapat tiga perbedaan prinsip pandangan antara Nasution dengan Soeharto mengenai Dwifungsi ABRI yang disebabkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh antara lain perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan cara pandang; keempat, Soeharto sangat dipengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dalam pelaksanaan kekuasaan dan penerapan kepemimpinannya; dan kelima, Dwifungsi ABRI digugat karena adanya faktor-faktor dari luar dan dari dalam negeri, khususnya karena implementasinya yang demikian meluas dan mendalam, serta pemanfaatannya oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.

The relationships between civil and military varies in every country because of the difference of the nation's background, the shape ol the country, the ideology and philosophy, and the culture of the nation- The variation of civil-military relationships reflected the political ideology, orientations, and the modern structure of organization, The relationships of civil military in Indonesia since 1945 ~ 1998 went ups and downs in accordance to the political attitude of the ruling government, the attitude and solidity of the military community ln that period.
ABRI double-function is one of the doctrines of ABR! to lullil their duties especially in compliance with civil-military relationships. This doctrine developed evolutionary since the beginning of the 1945 revolution. ABRI double-function was motivated during the 'guerrila?s era", between December 1948 and July 1949, when TNI together with PDRI defended the existence of this new and young Republic, in Bukittinggi, West Sumatera. The doctrine then developed slowly in the era of Soedirman (1945-1949), the era of Nasution (1958), until the era of Soeharto (1966-1998).
Soeharto, as the founder of the New Order. played as the central role in shaping and colouring the civil-military relationships that acted upon the ABRI double-function doctrine, because Soeharto was in the key position as the President of Republic indonesia, as ABRI Commander-in-chief, and as a more than three period Mandatory of MPR Rl. From this point of view. this study is trying to analyze Soehands deeply influence in the products of regulations about the military position in the country until the military domination in politics in Indonesia for more than three decades.
The study of the history using structurist methodology was a study that brought up the strong influence of human agency that gave shape to the change of structure of regulations about the position of military in the Republic of Indonesia. This study explained the periodicity about the relationship between civil-military : (1) 1966-1975, as the period of military with partner { to strengthen power), (2) 1976-1988, still as the period of military with partner, (3) 1988-1998, as the period of military without partner. This important study has done as an effort to signify the military position that had been so dominant for more than three decades, while this Republic was looking for the come out best democratic system for the nation, as it has Pancasila as its philosophy. We hope this analysis will develop an inspiration to the young generation to put military in accurate position in accordance to the morale of UUD 1945 in NKRI that uphold law and democratic values.
With applying the theory of civil-military relationships of Samuel P. Huntington, and with references of The Continuum of Military Involvement in Politics model of Claude E.Wetch, the concept of power in Javanese tradition, and the concept of ABRI double- function, this analysis will uncover that : first, Soeharto was proved of having deep influence in the conception and in implementing the ABRI double-function, that influenced also the character and the pattern of civil-military relationships in Indonesia; second, civil-military retationships in Indonesia in the era of Soeharto, was a variant of Subjective Civilian Control; third, there were three principal different views between Nasution and Soeharto about ABRI double-function, because of some factor of influences e.g. different background of culture, educations, experiences, and mind set; forth, Soeharto was deeply influenced by Javanese cultural values in implementing his power and leadership; fifth, ABRI double-function was claimed because of internal and external factors, especially the wide and deep implementation to stand up for Soeharto's power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
D747
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>