Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137165 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwan Jamaluddin
"Kelas pedagang di Jepang pada masa Tokugawa secara politik tidak berada dalam posisi menentukan. Kalau kelas pedagang di Eropa merupakan kelas yang memimpin, maka di Jepang mereka adalah yang dipimpin. Bukti-bukti historis, seperti diuraikan dalam skripsi ini, membuktikan hal itu. Kelurga Tokugawa, yang menguasai pemerintahan Bakufu, setelah jatuhnya keluarga Toyatomi, menjalankan politik konfusianisme membentuk masyarakat feodal. Masyarakat dipilah-pilah menjadi empat kelas, yaitu: militer, petani, tukang, dan pedagang. Dan satu lagi yang tidak masuk hitungan sebagai manusia, yaitu eta/hinin. Petani dan tukang dianggap kelas produktif sehingga mereka berada dalam urutan kedua dan ketiga setelah kaum samurai. Pedagang tidak termasuk kelompok sosial terhormat di mata Bakufu, walaupun ia mengakui akan pentingnya kelas ini. Peraturan-peraturan yang membatasi gerak pedagang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka proses refeodalisasi yang disempurnakan dengan penstabilan negara. Ditinjau dari segi status sosial kelas pedagang memang berada dalam urutan paling bawah, tetapi sesungguhnya mereka memiliki kenikmatan hidup yang lebih daripada petani dan tukang. Para petani senantiasa dibebani berbagai pajak oleh pemerintah yang sangat merugikan. Kondisi politis yang demikian mengakibatkan para petani banyak yang berubah status menjadi pedagang. Bahkan samurai banyak yang meninggalkan pedang-nya (pedang sebagai lambang ketinggian status bagi kaum samurai) berubah menjadi pedagang, hanya untuk memperoleh keuntungan dan kenikmatan hidup. Diberlakukannya sistem Sankin Kotai telah menaikkan pamor pedagang. Para penguasa daerah, akibat sistem tersebut, dan mengalami kesulitan keuangan. Mereka sering kali meminjam uang kepada para pedagang. Karena itu tidaklah heran bila para Daimyo (penguasa daerah) lebih menarik simpati kepada pedagang dari pada kepada para petani. Sistem ekonomi uang yang mulai nampak pada masa Tokugawa menambah kuatnya posisi kelas kaum pedagang dan sekaligus mengancam sistem feodal. Petani juga terkena dampak dari pada sistem ekonomi uang ini. Melihat kenyataan ini, muncul beberapa pemikiran, yaitu beberapa orang mengusulkan agar ekonomi uang dibatasi, dan agar sistem monopoli dibatasi. Usul lain: Alat tukar bukan menggunakan uang tetapi menggunakan biji-bijian. Walaupun ada usul agar para pedagang dibatasi dan ekonomi feodal dikembalikan, para pedagang tetap melaju, nenikmati keuntungan yang banyak. Kaum usahawan, industiawan, para bankir semakin bermunculan. Timbulnya hal ini sedikit banyak menjadi ancaman bagi Bakufu. Atau paling tidak menjadi kesulitan bagi Bakufu, disamping Bakufu menyadari akan pentingnya kedudukan para pedagang. Problematik yang dialami oleh Bakufu terutama apakah monopoli diijinkan dan menarik pajak dari buruh atau dihapuskannya (monopoli, pajak, kenaikan harga). Ini adalah sebuah dilema karena sumber pendapatan feodal tidak lagi memenuhi kebutuhan, terutama setelah para petani meninggalkan ladang-ladang. Walaupun kesulitan-kesulitan dialami Bakufu, akan tetapi supremasi politiknya tetap bertahan. Para pedagang masih tetap tidak menduduki posisi yang menentukan secara politis. Bahkan para pedagang pada masa Tokugawa sering kali terbentur sebagai akibat kebijaksanaan Bakufu. Pada permulaan abad ke-17, misalnya, sistem monopoli dihapuskan sehingga mengacaukan para pedagang. Dari sini nampak bahwa para pedagang atau pengusaha Jepang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan para pedagang/pengusaha di Eropa. Para pengusaha di Eropa, seperti sudah disebutkan, memiliki posisi yang menentukan dan memiliki kemerdekaan politis, sehingga mampu mengadakan perubahan secara fundamental. Para pengusaha di Jepang tidak demikian. Sistem feodal konfusianisme telah menempatkan pedagang pada posisi yang tidak menguntungkan, sebaliknya kaum samurai yang menguasai pemerintanan Bakufu telah mapan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Amanda Putri
"ABSTRAK
Ramen adalah mi gandum berwarna kuning yang dibawa masuk oleh migran Cina ke Jepang. Konsumsi ramen di Jepang sudah dimulai sejak tahun 1880-an dan terus menjadi makanan populer hingga saat ini. Ramen menjadi makanan pilihan banyak masyarakat Jepang baik saat Jepang sedang berjaya, maupun saat krisis kelaparan melanda pascaperang dunia II. Lahir dari kecintaan masyarakat Jepang terhadap ramen, gandum yang berlebih dari Amerika dan keinginan untuk melestarikan budaya makanan Jepang, Momofuku Ando menciptakan mi instan. Artikel ini menjelaskan cikal bakal perkembangan mi instan di Jepang. Mi instan hingga saat ini dianggap sebagai salah satu penemuan terbaik yang paling dibanggakan oleh masyarakat Jepang. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi pustaka.

ABSTRACT
Ramen is a wheat based noodle with yellow color that brought in to Japan by Chinese migrants. Ramen consumption in Japan has already begun since 1880s and continued to be a popular dish until now. Ramen became a food of choice to the Japanese people whether when japan was a successful country and when the hunger crisis hit after World War II. Born by the love of ramen from the Japanese people, the excess wheat from America and a desire to preserve the food culture of Japan, Momofuku Ando created instant noodles. This article describes how ramen became the forerunner to the development of instant noodles in Japan. Instant Noodles until now regarded as one of the best discoveries are most proud of by Japan Society. This research was conducted by the the literature studies."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Christopher Rumphius
"ABSTRAK
Fungsi makanan sudah bergeser sangat jauh, berawal dari makanan sebagai nutrisi, gizi, pemenuhan rasa lapar mengalami pergeseran hingga makanan sebagai representasi suatu kebudayaan, sebagai seni, sebagai penentu kelas sosial dan sebagainya. Makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat sangat ditentukan oleh posisi mereka dalam kelas sosial, dimana kelas bisa ditentukan dari apa yang dimakan seseorang. Namun dalam budaya milenial, makanan sudah berada dalam barisan depan kebudayaan ini. Makanan sudah tidak lagi dianggap sebagai nutrisi dan pemenuhan gizi, namun sebagai suatu bentuk karya ekspresi seseorang. Budaya milenial menuntut perlombaan masyarakat untuk masuk atau tetap berada dalam kelas sosial teratas, sehingga pergantian trend yang selalu berubah dengan cepat terus-meneruus dikejar demi keberadaan kelas sosial seseorang. Usaha masyarakat untuk menetapkan kelas mereka dalam masyarakat dengan selalu memperbaharui pengetahuan mereka tentang makanan, mengakibatkan tindakan konsumerisme berhasil terjadi. Menurut Baudrillard, kita adalah apa yang kita beli, karena menurutnya seseorang mengonsumsi sesuatu bukan lagi karena value , namun karena sign yang dikandung dalam obyek yang dikonsumsi tersebut. Makanan dikonsumsi tidak lagi berdasarkan kegunaan gizi, namun sebagai suatu tanda dalam hierarki sosial yang ada, karena "tanda" tersebut menekan suatu individu dalam lingkungan sosial milenial, makanan atau pengetahuan makanan yang selalu baru dan ekspresif menjadi suatu penentu kelas sosial seseorang.

ABSTRACT
The function of food has ranged to a wider function, started from food as a nutrition, hunger fulfilling and all the way to food as a representation of culture, art, determining of social class, and so on. Food that are consumed by the people are defined by their position in social class, in which class can be defined by what someone ate. But in the culture of the millenials, food has been in the front row of the culture. Food is no longer considered as a nutrition need for the humans, but as a form of expression. The millenial culture demands a competition of the people to set foot in or stay in a high social class, which trends that evolves quickly is being chased for the sake of social class position. The peoples effort to stay in their social class with renewing the knowledge of food, results in the behavior of consumerism. According to Baudrillard, we are what we consume, as in, for him, and individual consumes no longer for the value of the object, but for the sign that is stampled on the consumed object. Food is consumed no longer for the need of nutrition, but for the sign stampled on that individual in the social hierarchy, for sign is repressing an individual in the millenial society, for the food or the knowledge about food that are always new and more expressive which ables it to be an indicator of one`s social class positioning."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fauzi
"Skripsi ini mendeskripsikan proses kemunduran demokrasi Turki di bawah pemerintahan AKP yang terjadi pada tahun 2012-2017. Kemunduran tersebut muncul dari perilaku non-demokratis pemerintahan Erdogan kepada lawan politiknya. Di sisi lain, kemunduran tersebut juga berkaitan erat dengan melemahnya pengaruh Uni Eropa dalam politik domestik Turki. Skripsi ini berargumen bahwa kemunduran demokrasi Turki terjadi karena lemahya komitmen elite politik Turki terhadap demokrasi.

This thesis describes the process of Turkey’s democratic reversal under the AKP government that occurred in 2012-2017. The setback arose from the non-democratic behavior of Erdogan’s government to its political opponents. On the other hand, the decline is closely related to the European Union’s waning influence over Turkish domestic politics. This thesis argues that the decline of Turkish democracy is due to the lack of commitment of Turkish political elite to democracy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cornelis Adolf Alyona
"Disertasi ini membahas timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan barat di Maluku Tengah, sedangkan di Jawa tidaklah demikian. Penelitian ini bertolak dari grounded research atau penelitian awal sehingga tidak ada teori yang digunakan sebagai penuntun ke arah penelitian lehih lanjut. Jadi yang digunakan adalah tryal and error atau upaya bongkar pasang yang dilakukan secara terus-menerus sehingga tiba pada format penulisan yang terakhir. Pendekatan yang diglmakan adalah pendekatan Nararivisme, yaitu pendekatan dalam filsafat sejarah untuk menjelaskan masa silam. Dalam hal ini narativisme mencari keberkaitan interpretatif antara bagian-bagian dari hasil penelitian masa silam menjadi suatu keseluruhan dari perspektif Elsafat sejarah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa di Maluku Tengah terdapat dualisme dalam sistem pendidikan. Dualisme dalam arti bahwa pendidikan agama yang sudah ada sejak masa Portugis, VOC yang meletakkan aksentuasi pada pengajaran agama tetap dipertahankan walaupun dalam dunia pendidikan di zaman Hindia Belanda telah terjadi sekularisasi dalam abad ke-19. Oleh sebab itu sejak tahun 1885 ada dua sistem pendidikan barat, yaitu pendidikan yang dilakukan oleh gereja untuk menghasilkan tenaga-tenaga gereja pada satu pihak, dan di lain pihak adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk menghasilkan tenaga kerja dalam masyarakat luas.

This dissertation discusses the emerging of dualism in the western education system in Central Maluku, but this issue did not take place in Java. This is a grounded research or a preiimenary research and this leads to the point that there is no theory as a guidance for further research. Therefore, the continuous nyal and error findings have heen done until it becomes the final writing format. The approach used in this dissertation is Narativism, a phylosophical approach in history to describe the past time events. This approach tries to find interpretative linkage of past activities into an integrated idea from historical phylosophical perspectives. The research reveals that in Central Maluku there was dualism in education system. It means that religion education which had existed since the Portuguese era and whose accentuation in teaching the religion basically established by VOC was well maintained even though the secularitation in the education system in the Ducth era occured in the 19th century. For that reason, from 1835 Until 1942 there had been two western education systems: on the one hand, the education conducted by churches in order to produce church manpower and on the other hand the one managed by the govemment to prepare manpower for wider purposes in the community."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
D923
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syahidah Sumayyah Rahman
"Tesis ini membahas bagaimana peranan Aisyiyah dalam bidang pendidikan Indonesia pada tahun 1952-1959. Pendidikan merupakan salah satu bidang yang menjadi bagian dari amal dan usaha Aisyiyah sejak awal berdirinya. Amal dan usaha Aisyiyah dalam bidang pendidikan tidak hanya sebatas pendidikan formal tetapi juga pendidikan non-formal. Tersebarnya cabang-cabang Aisyiyah di berbagai daerah mempermudah Aisyiyah untuk turut berperan dalam bidang pendidikan. Aisyiyah merupakan salah satu organisasi yang anggotanya turut terlibat menjadi pengajar pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah. Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode sejarah yang terdiri atas heuristic, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Dalam tesis ini, penulis menggunakan majalah sejaman yang diterbitkan oleh organisasi Aisyiyah dilengkapi dengan berbagai sumber pendukung lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa Aisyiyah memiliki peranan dalam bidang pendidikan pada periode 1952-1959. Tidak hanya dalam pendidikan formal melalui taman kanak-kanak dan jenjang pendidikan lainnya, Aisyiyah juga turut berpartisipasi dalam pemberantasan buta huruf serta pengajaran lainnya melalui muballighatnya.

This thesis discusses the role of Aisyiyah in Indonesian education from 1952 to 1959. Education is one area that has been part of Aisyiyah's activities since its birth. Aisyiyah's activities in education are not only limited to formal education but also non-formal education. The branches of Aisyiyah are spreading in various areas, which makes it easier for Aisyiyah to take part in the field of education. This thesis is being written using historical methods which consist heuristic, verification, interpretation and historiography. In this thesis, the author uses contemporary magazines published by the Aisyiyah organization, complemented by various other supporting sources. Based on the research results, it is perceptible that Aisyiyah had a role in the field of education from the period 1952-1959. In formal education through kindergarten and other levels of education, Aisyiyah also participates in eradicating illiteracy and teaching through her preacher. Aisyiyah is also one of the organizations whose members are involved in teaching Islamic religious lessons in schools."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Huda
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai kisah eksil Indonesia di Belanda secara kronologis dengan memaparkan latar belakang pengiriman mahasiswa Indonesia ke luar negeri pada tahun 1956 mdash;1964 oleh Presiden Sukarno. Mereka dikirim ke sebagian besar negara-negara di Eropa Timur untuk mempelajari bidang pengetahuan masing-masing dan diharuskan kembali lagi ke Indonesia setelah masa studi untuk mengabdi. Pada kurun waktu 1965 mdash;1966, mereka harus berhadapan dengan perubahan kondisi politik yang curam. Sebagai konsekuensi dari kondisi politik tersebut, sebagian besar dari mereka dengan latar belakang politik yang beragam dicabut paspornya dan kehilangan identitasnya sebagai Warga Negara Indonesia. Seluruhnya harus berpindah dari satu negara ke negara lainnya untuk mencari suaka sementara hingga akhirnya sampai ke Belanda untuk menetap sebagai suaka akhir. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan mengumpulkan studi literatur, berita-berita sezaman, serta sumber lisan sebagai penunjang utama penelitian.

ABSTRACT
This research chronologically discusses about Indonesian exiles in the Netherlands with precedent explanation about historical background of sending Indonesian students abroad in 1956 1964 by President Sukarno. They were sent to most of Eastern Europe countries to deepen their respective subject and were obligated to come home to serve the country, Indonesia, upon completing their study. In 1965 1966, they were faced by Indonesian political transition. As a consequence, most of Indonesian students rsquo passport living abroad with a distinct political background were revoked and lost their citizenship. They might seek for asylum to support their living, moved from one to another country and stop at the Netherlands as the last place to seek for asylum. This research used historical methods by collecting data, including primary and oral resources as supporting data.
"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1986
952.025 JAP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Aria Mitha
"Arena pendidikan dimanfaatkan menjadi sarana transformasi pengetahuan dan menaikkan status sosial seseorang. Selain itu pendidikan juga telah menjadi alat untuk mereproduksi kelas sosial. Dari studi sebelumnya ditemukan, kelas atas mendominasi pendidikan dan status sosial kelas yang lebih rendah yang tidak memiliki modal dukungan sangat mudah untuk tereleminasi. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi, yaitu habitus yang dibentuk di dalam arena pendidikan dan habitus yang berasal dari latarbelakang keluarga. Studi sebelumnya cenderung membahas reproduksi kelas sosial di dalam Universitas dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan belum membahas di pendidikan militer. Sehingga, peneliti ingin mengkaji lebih lanjut di dalam pendidikan militer. Dari data yang peneliti temukan, peneliti berargumen telah terjadi reproduksi kelas sosial di Akademi militer dengan pengaruh habitus dari dalam arena pendidikan itu sendiri. Taruna dengan status sosial kelas yang lebih rrendah tidak memiliki cukup modal yang sama dengan taruna dari status sosial kelas atas, dengan begitu mereka hanya mengandalkan dukungan-dukungan dari senior dan pengasuh. Sehingga, taruna dengan status sosial yang lebih rendah dapat bertahan dan memperebutkan peringkat yang kemudian menjadi penentu kedudukan setelah lulus dari Akademi Militer (status sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya). Pendekatan penelitian dalam studi ini adalah kualitatif deskriptif yang akan menjelaskan reproduksi kelas sosial yang terjadi di Akademi Militer Indonesia, Magelang, Jawa Tengah. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada 9 informan dengan kriteria 5 abituren lulusan tahun 2015-2019 dan berasal dari latarbelakang keluarga status sosial lebih rendah, serta 4 komponen pendidikan Akademi Militer."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mestika Zed, 1955-
Jakarta: LP3ES, 2005
355.095 98 MES g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>