Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198595 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Amae memiliki berbagai pengaruh dalam kehidupan keluarga di Jepang, terutama dalam hubungan suami-istri. Hal ini dapat dilihat dalam manga, sebagai salah satu perwujudan kebudayaan Jepang. Serial manga Mimi dan Shuusei karya Sakai Miwa turut menunjukkan pengaruh-pengaruh amae dalam hubungan suami-istri ini dengan cukup jelas. Konsep amae, yang menurut Doi menunjukkan ketergantungan orang Jepang terhadap kelompok atau lingkungannya seperti ketergantungan seorang bayi pada ibunya, melandasi tindakan serta sikap orang Jepang dalam hubungannya dengan orang lain, termasuk dalam hubungan suami dan istri. Amae memiliki berbagai pengaruh pada hubungan ini, baik pengaruh negatif maupun pengaruh positif Pengaruh negatif amae disebabkan oleh adanya gangguan pada hubungan amae antar suami-istri itu sendiri, yang mengakibatkan suami-istri turut bertindak negative, sedangkan pengaruh positif amae berakibat mengeratnya dan makin harmonisnya hubungan suami-istri tersebut. Setelah dilakukan analisa pada manga ini, ditemukan hasil berupa: pengaruh-_pengaruh negatif amae adalah sikap merajuk (suneru), yang dapat mengakibatkan munculnya sikap mendengki (futekusareru) dan putus asa serta lepas kontrol (yakekuso ni naru), sikap tidak puas dan tidak percaya (higamu), sikap mengekang diri secara terus_ menerus (kigane), kemarahan di dalam hati (wadakamari), sikap berpura-pura puas pada hal yang tidak memuaskan (amanzuru), perasaan menyesal (kuyamu atau kuyashii), sikap mengganggu karena perhatian teralih pada hal-hal kecil (kodawaru), dan kegelisahan serta kegugupan (toraware). Semua pengaruh ini mengakibatkan munculnya gangguan pada hubungan suami-istri, dari yang ringan sampai yang berat. Sedangkan pengaruh positif amae muncul karena lancarnya hubungan amae yang terjadi antara suami-istri. Hubungan amae ini muncul sejak adanya omoiyari (empati) diantara calon suami dan calon istri saat mereka masih menjalani proses pemilihan jodoh. Amae makin berkembang setelah pernikahan, dan dapat berupa hubungan ketergantungan, baik yang searah maupun yang dua arah, serta berupa kasih sayang yang diungkapkan dalam gurau dan canda diantara suami-istri."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13967
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandapotan Jackro
"Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem bisnis di Jepang daiam sistem saluran distribusinya sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi yang ada di Jepang. Dimana saluran distribusi yang terjadi tidak terlepas dari jalinan kerjasama yang ada disetiap perusahaan-perusahaan Jepang yang selalu di wamai pada perilaku budaya yang melingkupinya. Dasar kepentingan bersama dan rasa saling ketergantungan selalu yang mendasari prinsip-prinsip bisnis yang diterapkan setiap organisasi bisnis pada umumnya di Jepang, dan hal ini membawa dampak yang sangat besar pada sistem saluran distribusi Jepang yang menjadi bagian dari bisnis Jepang secara keseluruhan.
Masalah penelitian yang ingin diungkapkan dalam tesis ini adalah konsep budaya Amae, Girl dan Ninjo diterapkan dan menjadi bagian periling dalam sistem bisnis di Jepang khususnya dalam sistem saluran distribusi Jepang. Melalui penelitian pustaka, data yang ada dianalisa melalui pendapatan kualitatif dan interpretasi ilmiah Kerangka teori yang digunakan dalam melihat pola sistem saluran distnbusi Jepang yang dipengaruhi oleh elemen budaya dalam setiap kegiatannya adalah per'kembangan sistem bisnis di Jepang dari masa ke masa serta konsepsi Takeo Doi tentang budaya Amae, Giri dan Ninjo sebagai bagian dari sistem saluran distribusi Jepang.
Penulis berkesimpulan kecenderungan untuk amae, giri dan ninjo merupakan salah satu konsep yang telah menjadi sebab pemberian tekanan pada hubungan vertikal seperti hubungan oyabun (induk semang) dengan kobun (anak buah) yang tergambar dengan jelas pada hubungan antara produsen dan para perantaranya (supplier dan dist ibutornya) serta pengecer/retailer dalam sistem saluran distribusi Jepang. Dalam sistem saluran distnbusi Jepang, perilaku manusia dan hubungan sosial, seperti keselarasan, kerjasama timbal balik, dan pengembangan antar anggota saluran adalah hal yang sering ditekankan dan dinyatakan. Namun pemikiran dan konsep-konsep ekonomi secara umum tidak pemah dilupakan dan menjadi pegangan utama.
Hubungan-hubungan yang secara erat yang dijalin antara produsen, supplier dan distributor serta pengecer dapat diciptakan karena adanya orientasi hubungan yang bersifat jangka panjang. Penekanan pada pertumbuhan usaha-usaha berskala kecil yang tidak memeriukan modal investasi yang begitu besar menjadi skala pnoritas, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan serta ketenagakerjaan yang utama yang berarti juga memberikan penghidupan yang layak bagi kesejahteraaan. Untuk memahami sistem saluran distribusi Jepang, harus terlebih dahulu dipahami struktur, perilaku dan mentalitas bisnis yang menjadi dasar dart setiap bisnis yang dijalankan di Jepang.
Dalam sistem distribusi di Jepang rasa sating percaya ini telah tertanam dan merupakan ciri mendasar dimana masing-masing percaya setiap pihak akan memberikan hasil yang maksimal ketika berhubungan bisnis. Hal ini dapat terlihat dalam hubungan bisnis yang dilakukan, yang tidak diikat semata-mata karena hubungan kontraktual Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya aurae, giri dan ninjo membawa dampak positif bagi sistem saluran distribusi di Jepang, namun tidak selalu positif dalarn hal-hal tertentu seperti kasus Nissan. Dimana pada kelompok bisnis Nissan mereka mengalami kesulitan keuangan akibat keterikatan bisnis yang dipengaruhi faktor-faktor budaya, sehingga manajemen Nissan Jepang pada waktu Stu tidak dapat mengambil Iangkahlangkah kearah penyelamatan berdasarkan konsep ekonomi yang scharusnya,tanpa meninggalkan konsep budaya yang ada yang merupakan ciri manajemen Jepang.

Research in this thesis aim to to know how business system in Japan in distribution channel system very influenced by tradition and cutture exist in Japan. Where distribution channel that happened is not quit of existing cooperation braid in every companys of Japan which always colouring at cultural behavior which embosoming. Base common interest and feel interdependence always constitutoing applied business principles each every business organization in general in Japan, and this matter bring very big impact at Japan distribution channel system becoming the part of Japan business as a whole.
Problem of research which wish to be laid open in this thesis is cultural concept of Amae, Girl and Ninjo applied and become important shares in business system in Japan specially in Japan distribution channel system. Through research of book, analysed existing data pass approach qualitative and erudite interpretation. Theory framework used in Japan distribution channel system pattern influenced by cultural element in each every its activity is growth of business system in Japan from time to time and also conception of Takeo Doi about culture of Amae, Girl and Ninjo as part of Japan distribution channel system.
Writer of conclusion of tendency for the amae, girl and ninjo represent one of concept which have become because pressurizing vertical relation like oyabun ( master) with kobun (staff) drawn clearly at relation between producer and intermediaries supplier and distributor and also retailer in Japan distribution channel system. in Japan distribution channel system, behavioral of human being and social relation like compatibility, reciprocal cooperation, and development between channel member is often emphasized and expressed. But economic concepts and idea in genera! have never been forgotten and become especial hold.
Relation which hand in glovely is braided between producer, distributor and supplier and also retailer can be created caused by relation orientation of long-range. Emphasis a growth of small scale efforts which do not need capital invesment which big to so become priority scale, so that can become the source of earnings and also prima facie ketenagakerjaan which connote give competent subsistence to kesejahteraaan.
To comprehend Japan distribution channel system, have to is beforehand comprehended by structure, behavioral and business mentality becoming base from each business in Japan. in distribution system in Japan feel each other trusting this have planted and represent elementary characteristic where each trust each every side will give result of maximal when correlating business. In conducted business relation, not be bound solely because contractual relation.
That can be said by culture of amae, girl and ninjo bring positive impact to distribution channel system in Japan, but not be positive always in some respects like case of Nissan. Where business group of Nissan have finance difficulties binding of business influenced by cultural factors, so that management of Nissan Japan by then cannot take steps saving without leaving existing cultural concept representing Japan management characteristic.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Nurhayati Anwar
"Kesimpulan
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, Shinran Shonin (1173 -1262) adalah seorang hijiri (pendeta kelas bawah), yang semasa hidupnya banyak menjadi panutan kalangan rakyat jelata. Melalui pemikiran keagamaan yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki, Shinran mengajarkan persamaan derajat manusia di mata Amida Butsu, sehingga ia menghilangkan garis pemisah di antara kalangan pendeta Budha - yang selama ratusan tahun identik dengan "wajah kekuatan" dan kekayaan rohani maupun materi - dengan para penganut Budha kategori awam - yang juga selama ratusan tahun identik dengan masyarakat kelas bawah" yang miskin dan tertindas, baik oleh para penguasa pemerintahan dan kaum bangsawan maupun oleh para pendeta sebagai penguasa di bidang agama.
Pemikiran keagamaan Shinran, berawal dari tumbuhnya kesadaran pada dirinya sendiri yang ternyata tidak sepenuhnya mampu melepaskan diri dari bonno (nafsu-nafsu keduniawian), meskipun ia sejak usia sembilan tahun sampai berumur 29 tahun telah mengikuiti jalan kependetaan (kerahiban) dan melakukan berbagai aktivitas ritual keagamaan yang berat.
Setelah Shinran memperoleh keyakinan bahwa ningen no honsitsu (hakekat manusia) adaiah bonno gusoku (tidak bisa melepaskan did dari bonno), maka dia sampai pada kesimpulan bahwa manusia memang tidak akan memperoleh kyusai (keselamatan atau penyelamatan) dan tidak bisa mencapai gokuraku jodo (bumi suci) tanpa melalui kekuatan lain, yakni kekuatan Amida Butsu (Amithaba Budha). Suatu keyakinan yang pada awalnya ia kenai melalui gurunya pendeta Honen (1133-1212), pendiri agama Budha Jodoshu (aliran Bumi Suci).
Bertolak dari kesadaran dan keyakinan semacam iniiah, akhirnya Shinran mengembangkan pemikirannya menjadi konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki, yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran baru dalam agama Budha Jepang yang dinamakan Jodoshinshu (sekte bumi suci yang benar atau sekte bumi suci yang sejati).
Ajaran Shinran ini bukan saja bertujuan menjustifikasikan jalan hidup dan praktek keagamaan bagi dirinya sendiri, tetapi juga bertujuan untuk membantu (merrmberikan pencerahan) bagi masyarakat Jepang kelas bawah pada zamannya, agar mereka dapat memperoleh karunia keselamatan secara langsung dari Amida Butsu tanpa melalui perantaraan para pendeta. Bahkan lebih dari itu, melalui ajarannya yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki tersebut, Shinran dapat dikatakan merupakan tokoh agama Budha Jepang yang pertama kali mempopulerkan suatu pola kehidupan keagamaan yang "tidak mengharuskan" para penganut Budha untuk menempuh jalan kependetaan (ke -rahiban) yang berat. Shinran jugalah yang menganjurkan agar para pendeta Budha Jepang dapat hidup secara wajar dengan membina keluarga. la sendiri mempelopori anjurannya itu dengan menikah dan mempunyai anak.
Akan tetapi, meskipun konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki tersebut terlahir dari suatu proses pergulatan pemikiran Shinran yang berawal dari timbulnya kesadaran diri dan keyakinan mutlak terhadap Amida Butsu, namun kedua hal ini pada dasarnya juga tidak terlepas dari penafsiran Shinran terhadap ajaran gurunya pendeta Honen, pendiri agama Budha Jadoshu (aliran bumi suci) pada akhir zaman Heian.
Dalam konteks pemikiran para tokoh agama Budha Jepang, kurun waktu dalam abad terakhir zaman Heian sampai ke abad pertama zaman Kamakura, dikenal sebagai zaman mappo, yakni suatu zaman yang mencerminkan manusia kehilangan dharrnanya. Zaman yang bercirikan kehidupan masyarakat Jepang yang penuh dengan kejahatan, kekacauan, penindasan, dan penderitaan. Salah satu penyebab utamanya, adalah karena sebagian besar di antara para pemuka dan penganut agama Budha di Jepang saat itu tidak mentaati lagi ajaran-ajaran Budha.
Kondisi semacam ini diperparah lagi oleh adanya ?ketidakstabilan politik? yang seirama pula dengan tingkah-laku para pendeta Budha yang pada umumnya cenderung menyalah-gunakan (menyelewengkan) ajaran agamanya untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan kepentingan pribadi yang bersifat genseryaku (mencari keuntungan duniawi).
Pendeta Honen, salah seorang dari sejumlah pemuka agama Budha Jepang pada zaman itu, mencoba menfasirkan dan mengaktualisasikan kembali ajaran-ajaran Budha untuk mencari jalan keluar dari ketidakpuasan warga masyarakat terhadap keadaan mappo tersebut. Honen mengajarkan suatu sistem kepercayaan yang bersifat isshinkyo (monotheistik) di dalam agama Budha, yaitu menanamkan keyakinan mutlak hanya pada satu hotoke (dewa Budha) saja, yang dinamakan Amida Butsu. Upaya pendeta Honen ini, sebagaimana telah dikemukakan di atas, diikuti dan dikembangkan oleh salah seorang muridnya, yakni Shinran Shonin, yang berusaha memberikan pencerahan kepada masyarakat Jepang terutama pada lapisan kelas bawah yang selama ratusan tahun identik dengan kaum miskin dan kaum tertindas.
Dengan demikian, melalui pemikiran keagamaan yang diajarkan-nya, Shinran telah banyak melakukan interpretasi terhadap etika dan ajaran Budha itu sendiri, untuk mengaktualkan ajaran Budha sesuai dengan konteks masyarakat Jepang pada zamannya. Pada prinsipnya Shinran berpendapat bahwa setiap tarikan nafas dan segala daya-upaya di dalam kehidupan manusia di dunia ini, adalah rakhmat dan karunia Amida Butsu. Oleh karenanya, orang hams selalu mempunyai kesadaran terhadap dirinya sendiri sebagai akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik), karena tidak sepenuhnya mampu melepaskan diri dari bonno (nafsu-nafsu keduniawiaan). Selain itu, orang harus yakin sepenuh hati dan berpasrah total terhadap Amida Butsu, yang akan menyelamatkan manusia sesuai dengan janji-Nya untuk menolong manusia mencapal gokoraku judo (bumi suci) atau sorga.
Bila perlu, menurut shinran, agar terjamin dapat menggapai bumi suci, setiap saat (pagi maupun malam hari), orang harus menyadari semua kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan-nya, karena kehidupan dapat saja berakhir seketika; sebelum orang yang bersangkutan menyadari atau mampu mengendalikan dirinya sendiri. Dalam konteks pengendalian diri semacam inilah, Shinran mengartikan akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik), adalah seseorang yang selalu menyadari dan berpikiran bahwa dirinya adalah orang baik. Sebaliknya, zennin (orang baik), adalah orang yang selalu menyadari atau berpikiran bahwa dirinya adalah akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik). Dalam konteks pengertian semacam ini pula, maka salah satu ajaran Shinran yang cukup kontroversial pada zamannya dapat dipahami makna yang sesungguhnya. Ajaran tersebut berbunyi: "zennin nawomochite ojowotogu, iwanya akunin woya" artinya: "orang balk bisa masuk sorga apalagi orang jahat atau orang yang tidak baik."
Akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik) yang bisa masuk sorga menurut jaran Shinran di atas, sesungguhnya adalah akunin yang telah menemukan kesadaran terhadap dirinya sendiri, bahwa sesungguhnya ia adalah akunin, karena tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari bonno (nafsu-nafsu keduniawiaan) tetapi dapat mengondalikan dirinya untuk hidup secaia wajar disertai keyakinan dan kepasrahan total terhadap Amida Butsu. Akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik) yang telah menemukan kesadaran dirinya demikian, pada hakekatnya di mata Amida Butsu telah menjelma menjadi zennin (orang baik).Dengan demikian, maka konsep akunin shoki (peluang yang baik bagi orang jahat) dapat dipahami maknanya.
Implikasi dari ajaran Shinran yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki dalam masyarakat Jepang, khususnya di kalangan pengarut agama Budha Jodoshinshu, adalah temyata di satu sisi ajaran dan keyakinan tersebut merupakan salah satu faktor yang mendukung terciptanya sikap dan perilaku orang Jepang yang realistis, pragmatis, dan materialistis yang seolah-olah menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kehidupannya di dunia; di sisi lain juga menjadi salah satu faktor yang mewujudkan sikap dan perilaku orang Jepang yang selalu berorientasi kepada kesabaran terhadap dirinya sendiri, yang tercermin dari "budaya malu" serta "sikap penuh rasa bersyukur dan terima kasih.
Adanya ungkapan seperti; arrigato gozaimasu (terima kasih), sumimasen (maaf, walaupun dalam konteks bukan dirinya yang salah), taihen osewani narimashita, okagesamade (berkat Anda), dan sebagainya; pada hakekatnya kesemuanya itu secara tidak langsung bagi para penganut agama Budha Jodoshinshu mencerminkan ungkapan bathin mereka sebagai rasa syukur dan rasa berterima kasih terhadap karunia Amida Butsu.
Bagi orang yang mengikuti ajaran Sinran ini dengan sungguh-sungguh, menurut Shinran sendiri, raut mukanya akan mengekspresikan wajah yang penuh ketenangan, kesabaran, kepasrahan, dan penuh rasa syukur. Akan tetapi paradoksnya, yang dimaksudkan oleh Shinran bukanlah merupakan pencerminan dari sikap manusia yang "fatalis" atau menyerah kepada nasib. Melainkan justru di balik ketenangan dan kepasrahan itu tersimpan suatu energi dan semangat untuk memperoleh kehidupan duniawi yang wajar, selaras dengan hakckat manusia yang bonno gusoku (tidak bisa melepaskan diri dari keinginan dan nafsu-nafsu keduniawiaan), tetapi tidak kehilangan kendali diri untuk selalu yakin dan pasrah terhadap datangnya penyelamatan dari Amida Butsu sesuai dengan janji atau sumpah-Nya, bahwa kelak mereka akan terlahir kembali di bumi suci."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Artiana Krestianti
"ABSTRAK
Pembahasan mengenai kebudayaan Jepang dari segi sistem religinya yang dibatasi pada masalah ibadat di kuil Ise dari buku karya Nishigaki Seiji yang berjudul Oise Mairi. Tujuannya ialah untuk mengetahui fungsi kuil Ise khususnya pada zaman kuna, kemudian pada zaman pertengahan, dan zaman Meiji. Selain itu juga untuk mengetahui status Kaisar dalam kuil Ise.
Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian ke_pustakaan, yaitu dengan menelusuri bahan-bahan rujukan yang diperoleh dari koleksi pembimbing serta bahan-bahan yang terdapat di perpustakaan Jurusan Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Juga perpustakaan Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta.
Kesimpulannya menunjukkan bahwa fungsi kuil Ise pada zaman kuna sebagai Dewa Negara, kemudian pada zaman pertengahan sebagai Dewa Pribadi, dan pada zaman Meiji sebagai Dewa Leluhur Keluarga Kaisar. Sedangkan status Kaisar dalam kuil Ise pada zaman kuna sebagai penguasa negara di mana hanya Kaisar dan para utusannya yang dapat beribadat ke kuil Ise, kemudian pada zaman pertengahan status Kaisar sama halnya dengan shogun, kaum bangsawan maupun rakyat jelata di mana semua orang dapat beribadat ke kuil Ise, dan pada zaman Meiji status Kaisar sebagai penguasa tertinggi negara di mana Kaisar sungguh-sungguh datang beribadat ke kuil lse sedangkan rakyat yang secara langsung maupun tidak langsung dianggap sebagai keturunan Kaisar diwajibkan untuk beribadat ke kuil Ise.
Fungsi kuil Ise dan status Kaisar dalam kuil Ise sudah diketahui dari uraian di atas, sehingga penulis berpendapat sejak awal zaman Meij,.kuil Ise menjadi salah satu tempat peribadatan orang Jepang, mulai dari Kaisar hingga rakyat jelata. Kenyataan ini menunjukkan sifat universal yang dimiliki oleh kuil Ise, sebagaimana tempat-tempat peribadatan lainnya.

"
1990
S13501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bustanuddin Agus
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007
291.44 BUS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Fajarini
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji proses pengorganisasian para pemuda Timor Timur yang masuk Islam dalam Kormattim sehingga dapat beradaptasi dengan kehidupan di Jakarta, dan mengkaji hakekat konversi agama yang terjadi dalam persektif agama sebagai kebudayaan. Metodologi penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif dengan pedoman wawancara mendalam dan menggunakan pedoman pengamatan.
Dalam penelitian ditemukan bahwa penyebab terjadinya konversi adalah faktor sosial budaya berupa. krisis dalam masyarakat di Timor Timur sebagai akibat penjajahan Portugis, yakni kondisi-kondisi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, perang saudara antara orang Timor Timur sendiri, dampak negatif yang timbul akibat proses pembangunan pada masa integrasi, dan timbulnya faham-faham baru akibat globalisasi yang bakal menyebabkan timbulnya. rangkaian krisis dalam masyarakat Timtim, yang di interprestasi oleh para pemuda Timtim, mendorong mereka pada situasi "mencari komunitas" yakni mencari nilai-nilai yang akan menjadi at-man mereka, dan pembentukan kelompok tempat mereka berhimpun untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ketika mencari acuan baru, mereka bertemu dengan jam dakwah, personil ABRI, dan beberapa pemuda. Timtim yang telah beragama Islam karena agama Islam mempunyai potensi untuk membantu survival. Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia (90 %), demikian juga pada masyarakat di Jakarta dimana sekarang mereka. tinggal, meski muslim adalah minoritas di Timor Timor. Islam dipandang sebagai agama pemerintah yang juga dikenal mayoritas Islam, sehingga memilih Islam adalah jalan tengah bagi beradaptasi dengan struktur sosial dimana mereka tinggal kini, Selain lebih mudah, tidak serumit ketika menjadi pemeluk agama lain. Faktor lain yaitu kondisi ekonomi yang sulit, dialami oleh sebagian besar pemuda. Timtim ini. Sementara itu masalah keretakan keluarga. atau ketidakharmonisan hubungan keluarga dialami oleh beberapa pemuda Timtim.
Kemudian setelah para pemuda Timtim, menjadi pemeluk agama Islam, agama ini dijadikan bagian dari pedoman berfikir dan bertindak untuk menginterprestassi lingkungan hidup mereka sehari-hari. Mereka menggunakan simbol-simbol agama Islam untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial, memperoleh beasiswa pendidikan dan dana bagi kepentingan yang lainnya dan dapat diterima secara politis oleh pemerintah Indonesia, dan untuk itu diperlukan suatu sarana legitimasi, yakni suatu organisasi yang mengkoordinasi mereka. Organisasi tersebut adalah Kormattim."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Agama Kristen masuk ke Jepang sejak tahun 1549, yaitu pada saat seorang misionaris Katolik Roma bernama Francis Xavier tiba di daerah Kagoshima. Memasuki zaman Edo (1603-1867), pada awalnya Tokugawa Ieyasu sebagai pemimpin pertama pemerintahan bakufu Edo, tidak menunjukkan keberatannya terhadap penyebaran agama Kristen dan keberadaan para misionaris di Jepang.Pada tanggal 1 Februari 1614, pemerintah bakufu Edomengeluarkan dekrit pertama pelarangan agama Kristen. Alasan utamadikeluarkannya dekrit tersebut adalah bahwa pemerintah Tokugawa ingimenciptakan suatu pemerintahan yang absolut di Jepang dan agamaKristen dianggap sebagai ancaman bagi persatuan bangsa Jepang. Selaindikeluarkannya dekrit pelarangan agama Kristen, sebagai bagian dari pelaksanaan pelarangan penyebaran agama Kristen, pemerintah bakufuEdo juga melaksanakan politik sakoku (politik penutupan negara) dansistem danka. Menurut Okuwa Mitoshi dalam bukunya yang berjudul Jidanno Shiso, dijelaskan bahwa pengertian dari danka adalah keluarga yangmelaksanakan upacara kematian pada kuil Budha tertentu danbertanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan terhadap kuil tersebut. Dengan diterapkannya sistem danka, maka setiap keluargadiwajibkan untuk menjadi anggota kuil Budha tertentu dan penganutKristen diharuskan meninggalkan agamanya tersebut. Selain adanyapenganut Kristen yang meninggalkan agamanya, juga ada penganutKristen yang tetap bertahan dengan keyakinannya selama masapenerapan sistem danka tersebut dan disebut dengan kakure kirishitan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi Sistem Danka dan kehidupan Kakure Kirishitan Pada Zaman Edo di Jepang {1603-1867) di Jepang adalah_ Dengan diterapkannya sistem danka pada zaman Edo, para penganut Kristen terpaksa meninggalkan agamanya tersebut. Namun, selain adanya penganut Kristen yang meninggalkan agamanya, ada juga para penganut Kristen yang tetap bertahan dengan keyakinannya tersebut dan disebut dengan kakure kirishitan._ Di satu sisi, para penganut Kristen pada zaman Edo berusaha untuk tetap bertahan dengan keyakinannya, sedangkan di sisi lain mereka berusaha untuk menuruti perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah bakufu Edo untuk menjadi anggota danka._ Dengan diterapkannya sistem danka, pemerintah bakufu makin mempertegas pelarangan terhadap penyebaran agama Kristen sehingga agama Kristen tidak dapat berkembang luas di Jepang._ Pelaksanaan sistem danka juga melahirkan perpaduan (sinkrstisme) antara tiga agama, yaitu Budha, Shinto, dan Kristen. Hal ini disebabkan karena seluruh masyarakat Jepang pada zaman Edo, baik yang beragama Budha, Shinto, ataupun Kristen, wajib untuk menjadi anggota danka."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anda Rahayu Retno Wulan
"Dalam membicarakan kehidupan masyarakat Jepang, berarti kita juga berbicara mengenai kebudayaan Jepang itu sendiri, yang mempunyai hubungan erat dengan kehidupan sosial dan interaksi yang terjadi di antara anggota masyarakat itu. Hal ini sangat menarik bagi penulis untuk membahas kebudayaan masyarakat Jepang.
Salah sate kebudayaan Jepang yang menarik bagi penulis untuk diteliti adalah pembungkusan sebuah pemberian. Orang Jepang sangat memperhatikan pembungkusan sebuah pemberian yang diberikan kepada orang lain. Selain itu, karena pembungkusan pemberian juga berperan dalam kegiatan saling memberi pemberian di Jepang sehingga baik sifat pembungkus, cara membungkus, benda pemberian, kepada siapa pemberian diberikan, dan kapan pemberian diberikan pun juga mendapat perhatian yang penting. Keseluruhan hal tersebut telah menyatu dalam kehidupan orang Jepang dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Bagi kita yang kurang mengerti atau memahami perilaku orang Jepang yang salah satunya adalah melalui pembungkusan pemberian ini akan mengalami kebingungan.
Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis ingin mengungkapkan makna yang terkandung di balik cara pembungkusan di Jepang. Semoga penelitian tesis ini dapat menambah pengetahuan mengenai masyarakat Jepang kepada para pembaca."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17949
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Sastra UI, 1978
306.052 UNI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1977
306.052 UNI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>