Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Paramaditha
"Mary dan Percy Shelley hidup pada masa yang sama, yaitu pada zaman Romantik yang identik dengan kebebasan dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Karena itulah mitos Promotheus --- yang menjadi inspirasi bagi suami istri Shelley --- dianggap sesuai dengan semangat zaman ini. Pada saat yang sama Prometheus juga dikenal dengan aspek kreativitasnya. Aspek ini menurut zaman Romantik menjadikan Prometheus sebagai simbol kekuatan imajinasi manusia. Di sinilah letak pengalaman sublim. Pada dasarnya pengalaman sublim adalah keadaan di mana seseorang, dengan berkontemplasi dan menggunakan imajinasinya, mampu menjangkau a living spirit di balik alam. Pengalaman ini membuat si subyek mampu merasakan inward greatness of the soul (kebesaran jiwa) dan mengantarkannya kepada tahap diri yang lebih tinggi. Inilah yang dicari oleh Frankenstein dan Prometheus. Yang ditelaah di sini adalah bagaimana pencarian pengalaman sublim mereka terkait dengan ideotogi gender.
Sublim diasosiasikan dengan alam yang serba besar, megah, dan kuat atau dengan kata lain, alam yang bersifat maskulin. Sedangkan lawannya adalah beauty (keindahan) yang terdapat pada segala sesuatu yang kecil, halus, cantik, dan feminin. Pengkontrasan maskulin-feminin di sini digunakan untuk membedakan sublim dengan yang non-sublim. Sebaliknya, konsep sublim pun ikut mengkonstruksi hubungan antargender dengan menjadi legitimasi penyingkiran perempuan dari wilayah sublim. Namun ternyata penggambaran pengalaman sublim dalam kedua karya ini tidak mencerminkan pola yang seragam. Dalam Frankenstein memang tercermin penyingkiran itu, yaitu dengan kebisuan dan bahkan kematian tokoh-tokoh perempuan saat Frankenstein mencari mimpi maskulinnya. Sebaliknya, dalam Prometheus Unbound Shelley justru menggoyahkan kestabilan maskulinitas sublim dengan menjadikan Asia sebagai pahlawan dengan kekuatan cintanya yang sebenarnya lebih identik dengan keindahan dari pada sublim.
Maka saya mencoba mencari jawaban seperti apa sebenarnya ideologi gender kedua pengarang sehingga pengalaman sublim dalam kedua karya ini menjadi sangat berbeda. Saya menemukan bahwa Mary Shelley masih berpegang pada pandangan konvensional dengan membuat batasan tajam antara maskulin-feminin, namun terlihat bagaimana ia mencoba mengkritiknya dengan mengakhiri cerita dalam bentuk tragedi sebagai efek destruktif ambisi egois Frankenstein. Sebaliknya, memang terkesan bahwa pandangan Shelley lebih maju dari Mary. Tetapi ternyata di akhir cerita Asia berangsur menghilang dalam diri Prometheus yang saat itu justru dipuja-puja. Saya menyimpulkan adanya ambiguitas dalam ideologi gender Shelley. Di satu sisi ia ingin selangkah lebih maju dari Mary dengan mengaburkan hierarki maskulin-feminin, namun di sisi fain ia justru mengokohkan oposisi biner tersebut. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S14095
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shelley, Mary Wollstonecraft, 1797-1851
London : Everyman's Library, 1992
823.7 SHE f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Shelley, Percy Bysshe
Boston: Sampson, 1852
821.7 SHE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London: Oxford University Press, 1919
821.7 COM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Shelley, Percy Bysshe
London: Frederich Warne, 1974
821.7 SHE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Shuri Mariasih Gietty
"Sebagai seorang penulis wanita di Amerika pada akhir abad 19, Louisa May Alcott yang sebelumnya hanya dikenal sebagai penulis karya-karya domestik ternyata juga menghasilkan karya-karya gothic. Dengan menghasilkan dua karya dengan genre yang bertolak belakang ini, ternyata terdapat persamaan dan perbedaan perihal ideologi gender yang berusaha disampaikan. Dua korpus yang dipilih yaitu, Little Women dan Behind A Mask; or A Woman's Power merepresentasikan pemikiran gender yang berbeda tersebut dengan mempertimbangkan latar belakang konstruksi gender pada masa itu yaitu the true cult of womanhood.
Dengan melihat konstruksi gender yang ada, ideologi gender yang ditampilkan kedua karya ternyata sudah mulai mengangkat nilai-nilai feminisme walaupun pada dasarnya keduanya tidak bisa terhindar dari pemikiran patriarki. Persamaan yang ada terdapat pada identitas gender yang muncul pada kedua tokoh utama, yaitu Jo March dalam Little Women dan Jean Muir dalam Behind A Mask.
Dengan bentuk yang berbeda, kedua tokoh ini berusaha mengatasi konstruksi gender yang ada supaya dapat terhindar dari segala macam bentuk opresi terhadap wanita. Jo March berusaha keluar dari konstruksi tersebut dan bahkan menyeberang dari sisi feminin ke sisi maskulin. Hal ini menjadi mencolok terutama bila dibandingkan dengan karya domestik pada umumnya yang cenderung mengacu pada konstruksi gender yang ada dan menempatkan tokohnya pada sisi yang feminin. Di lain pihak, dalarn Behind A Mask, Jean Muir berusaha melakukan negosiasi dengan memanipulasi konstruksi feminitas dan justru menempatkan diri dalam sisi yang feminin.
Dua Cara yang berbeda ini sebenarnya sudah merupakan bentuk pemberontakan terhadap nilai-nilai patriarki dalam konstruksi gender the true cult of womanhood. Akan tetapi, hal yang sangat disayangkan adalah kegagalan Behind A Mask sebagai sebuah karya gothic yang seharusnya bisa lebih memberontak terhadap konstruksi gender masyarakat apabila dibandingkan dengan karya domestik seperti Little Women.
Pada akhir cerita, Jean Muir terjebak dalam feminitasnya yaitu dalarn institusi pernikahan ketika sang tokoh harus mempertahankan topeng feminitasnya supaya tidak diketahui identitas aslinya oleh sang suami. Menempatkan Jean dalam feminin pada akhir cerita meruntuhkan kekuatan manipulasi yang dilakukannya sebelumnya, terutama bila dibandingkan dengan Jo March yang berhasil keluar dari feminitasnya dan menyebrang ke sisi maskulin sebagai sebuah bentuk pemberontakan. Maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa karya Little Women bisa menampilkan idoeologi gender yang lebih feminis apabila dibandingkan dengan Behind A Mask yang pada akhirnya justru 'menjebak' tokoh utamanya dalam konstruksi gender tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13926
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rohmah Fauziah
"Karena nilai budayanya, metafora disetujui sebagai salah satu masalah penerjemahan, terutama dalam penerjemahan sastra. Dengan demikian, makalah ini menggabungkan teori prosedur penerjemahan yang dikemukakan oleh Peter Newmark (1988) dan Gideon Toury's (1995) serta teori foreingnisasi dan domestikasi yang dikemukakan oleh Venuti (1995). Makalah ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana prosedur penerjemahan metafora, serta strategi penerjemahan foreignisasi dan domestikasi, diterapkan dalam dua terjemahan bahasa Indonesia dari novel berjudul Frankenstein yang ditulis oleh Mary Shelley. Penelitian ini menggunakan dua hasil terjemahan yang berbeda untuk mengumpulkan data. Terjemahan pertama (TT1) diterbitkan oleh Gramedia Publisher, dan terjemahan kedua (TT2) diterbitkan oleh Qanita Publisher. Penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh prosedur yang digunakan, hanya satu yang tidak diterapkan. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kedua terjemahan tersebut menggunakan strategi foreignisasi dan domestikasi. Namun, TT1 condong ke arah foreignisasi dan TT2 cenderung lebih menggunakan strategi domestikasi.

Because of its cultural value, metaphor is agreed as one of the translation problems, especially in literary translation. Thus, this paper combines theories of translation procedures proposed by Peter Newmark (1988) and Gideon Toury’s (1995) and foreignization and domestication theories proposed by Venuti (1995). This paper aims to analyze how the procedure of metaphor translation, as well as the translation strategies of foreignization and domestication, are applied in two Indonesian translations of a novel titled Frankenstein by Mary Shelley. This research uses two different translations of the novel to collect the data. The first translation (TT1) is published by Gramedia Publisher, and the second translation (TT2) is published by Qanita Publisher. The research shows that out of the seven procedures that are utilized, only one that is not applied. Also, this research reveals that the two translations use both of foreignization and domestication strategy. However, TT1 leans towards foreignization and TT2 tends to involve domestication moreBecause of its cultural value, metaphor is agreed as one of the translation problems, especially in literary translation. Thus, this paper combines theories of translation procedures proposed by Peter Newmark (1988) and Gideon Toury’s (1995) and foreignization and domestication theories proposed by Venuti (1995). This paper aims to analyze how the procedure of metaphor translation, as well as the translation strategies of foreignization and domestication, are applied in two Indonesian translations of a novel titled Frankenstein by Mary Shelley. This research uses two different translations of the novel to collect the data. The first translation (TT1) is published by Gramedia Publisher, and the second translation (TT2) is published by Qanita Publisher. The research shows that out of the seven procedures that are utilized, only one that is not applied. Also, this research reveals that the two translations use both of foreignization and domestication strategy. However, TT1 leans towards foreignization and TT2 tends to involve domestication more."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bruggen, Carry van, 1881-1932
Amsterdam: G.A van Oorschot, 1946
BLD 839.36 BRU p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Schunke, Michael
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2015
611 SCH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Masitah
"Bagaimana ideologi Oksidentalisme sebagai pengimbang (counter knowledge) bagi ideologi dominan Orientalisme tampil dalam teks Silver Sister dan Love and Vertigo merupakan obyek dari penelitian ini. Konstruksi identitas yang diperoleh melalui teori representasi, ternyata menghasilkan representasi yang sangat problematik mengenai Barat dan Timur. Kedua teks dinarasikan oleh para subyek perempuan Timur yang mengalami opresi dalam wilayah patriarki. Opresi yang mereka alami dan perjalanan mereka ke Barat menghasilkan representasi yang bias mengenai kebudayaan Timur dan Barat. Timur melalui para tokoh, kota-kota dan institusi perkawinan, keluarga dan tradisi direpresentasikan sangat stereotipik sebagaimana yang telah dikonstruksi dalam wacana dominan Orientalisme. Sebaliknya Barat melalui wilayah tujuan imigrasi, yaitu Australia serta institusi pendidikan, agama dan teknologinya direpresentasikan lebih ideal daripada Timur. Namun, representasi Barat yang ideal tersebut juga problematik mengingat para subyek Timur di dalam teks merupakan masyarakat imigran Cina yang sangat tertutup di Australia. Minimnya bahkan hampir tidak ada kontak antara imigran Cina dengan masyarakat dominan Australia dalam teks secara tidak langsung kembali merepresentasikan Timur sebagai kelompok marjinal di dalam masyarakat dominan Australia. Dui venelusuran sejarah yang juga menjadi bagian penting dalam pnelitian ini, ternyata kedudukan masyarakat imigran Cina memang masih diperlakukan secara rasis oleh kelompok anti-multikultural Australia. Akhirnya, melalui representasi dan konstruksi identitas yang dihasilkannya, penulis sampai pada kesimpulan bahwa ideologi Oksidentalisme melalui kedua teks di atas, belum mampu menjadi pengimbang (counter knowledge) bagi ideologi dominan Orientalisme yang demikian hegemonik"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T37362
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>