Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133955 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Saraswati
"The Cat in the Hat dan sekuelnya, The Cat in the Hat Comes Back, adalah cerita anak karya Theodore Seuss Giesel, atau yang lebih dikenal dengan Dr. Seuss. Kedua buku ini mengangkat isu kesenangan (`fun) dan memiliki urutan kejadian yang serupa, yaitu tentang dua tokoh anak, I dan Sally, yang ketika ditinggal di rumah oleh ibu mereka (Mother) didatangi seekor kucing bertopi yang selalu bersenang-senang (Cat in the Hat atau Cat). Yang dianalisis dalam skripsi ini adalah struktur penokohan dan interaksi antar tokoh sehingga dapat diketahui pesan apa yang terkandung dalam cerita, khususnya dalam kaitannya dengan tema kesenangan. Analisis dilakukan dengan menggunakan skema struktural Greimas dan teori psikoanalisis Freud. Analisis Greimas merupakan analisis tahap naratif yang berguna untuk membuka struktur penokohan dalam cerita sekaligus mengantar pada tahap analisis berikutnya yang menggunakan teori psikoanalisis Freud. Sementara analisis yang menggunakan teori Freud akan mengintrepretasi dinamika penokohan yang sudah dihasilkan analisis Greimas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap tokoh dalam cerita mempunyai fungsi masing-_masing. Hal ini menimbulkan konflik yang secara struktural tampak lewat dinamika perpindahan posisi aktan dalam skema aktansial Greimas. Selain itu, juga ditemukan bahwa kesenangan menurut Cat berbeda dengan kesenangan Mother - kesenangan Cat adalah kesenangan yang sepenuhnya bebas dan tidak mengenal peraturan, sebaliknya, kesenangan Mother adalah kesenangan di dalam bingkai keteraturan. Di tengah keinginan mereka yang sama-sama tidak realistis, Mother dan Cat menempatkan I dan Sally sebagai pihak yang harus mengakomodasi keinginan-keinginan tersebut, padahal kedua anak ini juga harus tetap mengutamakan prinsip keselamatan diri (self-preservation). Walau pada akhirnya I dan Sally berkembang menjadi anak-anak yang sepenuhnya mematuhi peraturan Mother, cerita ini tetap menunjukkan bahwa di tengah lingkup rumah yang penuh dengan pilar keteraturan, keinginan bersenang-senang akan selalu berusaha muncul."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S13472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Paramaditha
"Mary dan Percy Shelley hidup pada masa yang sama, yaitu pada zaman Romantik yang identik dengan kebebasan dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Karena itulah mitos Promotheus --- yang menjadi inspirasi bagi suami istri Shelley --- dianggap sesuai dengan semangat zaman ini. Pada saat yang sama Prometheus juga dikenal dengan aspek kreativitasnya. Aspek ini menurut zaman Romantik menjadikan Prometheus sebagai simbol kekuatan imajinasi manusia. Di sinilah letak pengalaman sublim. Pada dasarnya pengalaman sublim adalah keadaan di mana seseorang, dengan berkontemplasi dan menggunakan imajinasinya, mampu menjangkau a living spirit di balik alam. Pengalaman ini membuat si subyek mampu merasakan inward greatness of the soul (kebesaran jiwa) dan mengantarkannya kepada tahap diri yang lebih tinggi. Inilah yang dicari oleh Frankenstein dan Prometheus. Yang ditelaah di sini adalah bagaimana pencarian pengalaman sublim mereka terkait dengan ideotogi gender.
Sublim diasosiasikan dengan alam yang serba besar, megah, dan kuat atau dengan kata lain, alam yang bersifat maskulin. Sedangkan lawannya adalah beauty (keindahan) yang terdapat pada segala sesuatu yang kecil, halus, cantik, dan feminin. Pengkontrasan maskulin-feminin di sini digunakan untuk membedakan sublim dengan yang non-sublim. Sebaliknya, konsep sublim pun ikut mengkonstruksi hubungan antargender dengan menjadi legitimasi penyingkiran perempuan dari wilayah sublim. Namun ternyata penggambaran pengalaman sublim dalam kedua karya ini tidak mencerminkan pola yang seragam. Dalam Frankenstein memang tercermin penyingkiran itu, yaitu dengan kebisuan dan bahkan kematian tokoh-tokoh perempuan saat Frankenstein mencari mimpi maskulinnya. Sebaliknya, dalam Prometheus Unbound Shelley justru menggoyahkan kestabilan maskulinitas sublim dengan menjadikan Asia sebagai pahlawan dengan kekuatan cintanya yang sebenarnya lebih identik dengan keindahan dari pada sublim.
Maka saya mencoba mencari jawaban seperti apa sebenarnya ideologi gender kedua pengarang sehingga pengalaman sublim dalam kedua karya ini menjadi sangat berbeda. Saya menemukan bahwa Mary Shelley masih berpegang pada pandangan konvensional dengan membuat batasan tajam antara maskulin-feminin, namun terlihat bagaimana ia mencoba mengkritiknya dengan mengakhiri cerita dalam bentuk tragedi sebagai efek destruktif ambisi egois Frankenstein. Sebaliknya, memang terkesan bahwa pandangan Shelley lebih maju dari Mary. Tetapi ternyata di akhir cerita Asia berangsur menghilang dalam diri Prometheus yang saat itu justru dipuja-puja. Saya menyimpulkan adanya ambiguitas dalam ideologi gender Shelley. Di satu sisi ia ingin selangkah lebih maju dari Mary dengan mengaburkan hierarki maskulin-feminin, namun di sisi fain ia justru mengokohkan oposisi biner tersebut. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S14095
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diding Fahrudin
"Penelitian kepustakaan mengenai penokohan dalam novel Sparkling Cyanide telah dilakukan di Jakarta dari bulan Juni 1989 sampai bulan Desember 1989. Tujuannya ialah untuk mengetahui penggunaan verba (frase verbal) baik yang termasuk ke dalam proses mental ataupun proses material dan ajektiva (frase ajektival) yang menerangkan aktivitas mental dan fisik tokoh utama novel Sparkling Cyanide, Iris Marie. Juga, penulis menganalisis modalitas, percakapan, penyajian pikiran tak langsung babas dan pungtuasi yang mendukung keadaan mental tokoh utama tersebut, baik berupa ketegangan, keragu-raguan, kepastian, ataupun dorongan mental yang kuat untuk menyingkap misteri pembunuhan kakaknya.
Pengumpulan data dilakukan setelah penulis membaca novel Sparkling Cyanide sebanyak tiga kali. Pengumpulan data tersebut dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, penulis mencatat semua data yang menerangkan kondisi mental dan fisik tokoh utama novel tersebut. Kemudian, penulis membagi data tersebut menjadi enam kelompok, yakni: verba (frase verbal), ajektiva (frase ajektival), modifikasi, percakapan, penyajian pikiran tak langsung, dan penggunaan pungtuasi. Untuk lebih terinci, verba (frase verbal) dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok, yakni verba (frase verbal) yang termasuk ke dalam proses mental dan proses material, modalitas ke dalam might dan must, dan pungtuasi ke dalam tanda pisah (--), tanda elipsis (...) dan tanda seru (!). Setelah dikelompokkan, data tersebut dianalisis.
Hasilnya menunjukkan bahwa verba (frase verbal) yang menerangkan aktivitas mental tokoh utama lebih banyak daripada verba (frase verbal) yang menerangkan aktivitas fisik tokoh utama, bahkan verba (frase verbal) yang menerangkan aktivitas fisik tokoh utama adalah verba (frase verba) yang justru memproses subjek gramatikalnya. Juga, ajektiva (frase ajektival), percakapan, penyajian pikiran tak langsung bebas, dan penggunaan pungtuasi dalam novel tersebut sangat mendukung kondisi mental dan fisik Iris. Dalam skripsi ini, penulis hanya menganalisis data yang ada dalam novel tersebut (text-based analysis)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S13952
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Andres
"Stilistika adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji aspek tertentu dalam variasi bahasa yang disebut style atau gaya. Perangkat stilistika terdiri atas kategori linguistik dan stilistika. Yang pertama mencakup sistem bahasa atau kaidah-kaidah yang menyusun sebuah bahasa. Yang kedua adalah elemen gaya yang menyangkut cara berekspresi. Skripsi ini membahas tentang bagaimana unsur-unsur leksikal, analisis percakapan, teori tindak tutur, dan penyajian pikiran pengarang mendukung tema cerita. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan stilistika, yaitu pendekatan yang didasari pada intuisi terhadap teks yang akan dianalisis, kemudian mengumpulkan data-data konkret untuk mendukung intuisi tersebut. Dari hasil analisis dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemilihan unsur-unsur leksikal, tindak tutur, analisis percakapan dan penyajian pengarang mendukung tema cerita."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S14072
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Arivia Effendi
"Di permukaan novel, The Name of The Rose menceritakan suatu cerita detektif yang menegangkan, karena menyajikan liku-liku pengungkapan pembunuhan di biara Melk, sebelah utara Itali, dan sekaligus menyuguhkan latar belakang abad Pertengahan lengkap dengan polemik agama dan politiknya. Namum ketika kita te rus mengikuti diskusi yang terjadi di antara tokoh-tokoh utama di dalam novel seperti William of Baskerville (seorang biarawati) dan Adso (muridnya), kita segera mengerti bahwa terdapat diskusi yang lebih fundamental dari sekadar ingin menyuguhkan suatu cerita, akan tetapi terdapat suatu diskusi semiotik yang intens. Jadi, bukan suatu kebetulan Eco membangun ceritanya lewat cerita detektif-kriminal yang penuh dengan tanda- karena dengan cerita yang demikian nalar abduktif dalam model abduktif-detektif, yang seluruh pembahasannya berada di wilayah filsafat. Penalaran abduktif diperkenalkan oleh filsuf Amerika, abad XX, Charles Sanders Peirce dalam teori tandanya. Pada dasarnya teori semiotik yang disuguhkan Eco dalam novelnya adalah upayanya untuk memperlihatkan penerapan semiotik dalam memecahkan pembunuhan yang terjadi dan upaya untuk mengerti pemikiran kaotis abad pertengahan yang otoriter dan statis. _ Kita berpikir dalam tanda_, demikian Peirce mengatakan, dan hanya melalui proses pertandaan, manusia masuk dalam ritme semiosis _ yang menjawab pertanyaan _bagaimana manusia berpikir?_ dan implikasi epistemologisnya dari _ Bagaimana kita mengetahui realitas?_. Upaya untu menjawab pertanyaan _ Bagaimana kita mengetahui realitas?_ adalah pada dasarnya untuk memperlihatkan akar dari tanda. Eco di sini memulai diskusinya dari para filsuf Yunani dan para filsuf abad Pertengahan yang pada dasarnya memulai pertanyaan dengan _ Apakah sebenarnya realitas itu?_ Diskusi ini membawa kita pada persoalan substansi universalisme, nominalisme, dan realisme. Diskusi ini juga memperkenalkan kita pada pemikiran-pemikiran Aristoteles, Ockham, Abelard, dan Bacon. Namun pada diskusi selanjutnya kita mengerti kemudian bahwa Eco bukan saja ingin mempertanyakan _Bagaimana kita mengetahui realitas?_ (lewat perdebatab semiotik) dan _apakah realitas itu?_ (lewat perdebatan filsafat). Eco meneruskan pertanyaannya pada _Apakah realitas itu sendiri ada?_ Bagi Eco sendiri realitas merupakan suatu sistem pertandaan yang mempunyai keterkaitan teks antar teks, di sini Eco sibuk dengan perdebatan-perdebatan Postmodern."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S16186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Triwardani
"Dalam masyarakat secara umum, nilai patriarkhat telah menjadi dasar untuk membentuk segala nilai acuan dalam setiap bidang, termasuk bidang sastra. Paham ini juga menjadi acuan tradisi penulisan dalam masyarakat patriarkhat. Nilai-nilai acuan untuk menilai suatu karya sastra adalah pengalaman pria, sehingga tidak memberi tempat kepada dunia wanita untuk tampil dari sudut pandang wanita. Keadaan ini menciptakan alternatif tradisi penulisan dengan berfokus kepada pengalaman wanita yang dituangkan Showalter dalam konsep kesusasteraan wanita. Menurutnya, kesusasteraan wanita bukan sekedar terdiri dari karya-karya yang kebetulan ditulis oleh seorang wanita tentang wanita, tetapi mementingkan pengalaman sebagai seorang wanita yang ingin disampaikan oleh sang pengarang, dan juga yang menjadi acuan pembaca dalam membaca suatu karya sastra dalam kesusasteraan wanita. Pengalaman ini bisa berupa pengalaman sosial sesuai peran wanita sebagai anak perempuan atau ibu dalam masyarakat.
Salah satu tradisi kesusasteraan patriarkhat adalah kehadiran wanita single. Mereka bercitra buruk, seperti berpenampilan tidak menarik, bahkan menyeramkan, berkepribadian buruk, karena menurut pengalaman pria wanita single menolak aturan yang telah diberikan masyarakat patriarkhat bahwa posisi yang paling alami bagi wanita adalah berkeluarga. Sebaliknya, berdasarkan pengalaman wanita pada diri penulis dan pembaca, kehadiran wanita single dianggap menyuarakan pengalaman wanita untuk memperoleh kebebasan menyuarakan keberadaan mereka dalam masyarakat, seperti yang tercermin dari tokoh-tokoh wanita single dalam The Country Of The Pointed Firs dan The Pearl Of Orr's Island.
Masyarakat memiliki pandangan tertentu tentang wanita single. Wanita single dipandang sebagai sosok yang tidak menarik dan memiliki tingkah laku yang aneh, sehingga ia tidak memperoleh tempat dalam masyarakat. Keadaan ini berbeda dari apa yang digambarkan oleh Harriet Beecher Stowe dan Sarah Orne Jewett dalam kedua novel tersebut. Kedua penulis ini menampilkan wanita-wanita single yang memperoleh tempat penting dalam masyarakat. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa kehadiran wanita-wanita single dalam kedua novel tersebut merupakan bantahan terhadap pandangan stereotipe masyarakat tentang wanita single. Sebaliknya, para penulis menghadirkan citra altematif wanita single sebagai sosok yang mampu mengekspresikan din dan memiliki kesadaran diri. Untuk itu, saya memutuskan untuk meninjau kedua novel ini .dengan berpangkal dari tradisi penulisan dalam kesusasteraan wanita. Tradisi penulisan dalam kesusasteraan wanita akan memberikan pemahaman lain tentang kehadiran tokoh-tokoh wanita single tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S14209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandjung, Elizabeth C.
"ABSTRAK
Ambivalensi dalam memeluk agama Kristen diantara kelompok-kelompok masyarakat minoritas di Amerika seperti yang tergambar di dalam novel-novel The Color Purple, The Mixquiahuala Letters dan Love Medicine. (Di bawah bimbingan Dr. Melani Budianta). Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1995.
Skripsi ini berusaha menunjukkan sikap ambivalensi kelompok-kelompok masyarakat minoritas di Amerika (Negro, Hispanik dan Indian) dalam memeluk agama Kristen yang ditunjukkan di dalam masing-masing korpus serta penyebab ambivalensi yang tergambar dalam masing-masing novel tersebut. Di dalam The Color Purple, para tokoh digambarkan sangat `akrab' dengan agama Kristen. Sikap dan tindakan mereka sehari-hari menunjukkan bagaimana nilai-nilai ke-Kristen-an sudah tertanam dalam diri mereka. Tokoh Celie misalnya menjadikan Tuhan sebagai tempat curahan hati yang terpercaya, menjadikan nilai-nilai ke-Kristen-an sebagai standar moral kehidupan sehari-hari, menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya pelindung, dll. Hal ini merupakan perwujudan dari teori James Stuart Olson yang mengatakan bahwa kaum minoritas mengadaptasi kebudayaan kaum mayoritas -- karena agama Kristen adalah salah satu unsur kebudayaan masyarakat mayoritas, agama Kristen tersebut juga diadaptasi oleh kaum minoritas kulit hitam.
Di sisi lain, ternyata para tokoh tersebut merasa anti terhadap agama Kristen. Hal ini diakibatkan oleh adanya pandangan bahwa agama Kristen tersebut identik dengan kaum kulit putih. Masyarakat kulit hitam dalam novel ini menganggap kaum kulit putih sebagai penyebab kesengsaraan hidup mereka. Mereka kemudian berusaha membentuk persepsi sendiri terhadap identitas Tuhan untuk menjauhkan Tuhan dan citraNya yang seolah-olah adalah `milik' kaum kulit putih.
Di dalam The Mixquiahuala Letters, ambivalensi tampak dalam sikap tokoh Teresa yang di satu sisi sudah sangat tidak peduli terhadap nilai-nilai ke-Kristen-an, namun di sisi lain juga tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari agama Kristen yang dalam sejarah memang memegang peranan panting sebagai identitas masyarakat Hispanik. Teresa misalnya digambarkan tidak peduli akan kesucian perkawinan yang diluhurkan oleh agama Kristen -- Teresa menikah sesuai adat Hare Krishna dari India dan hidup bersama di luar perkawinan dengan banyak pria. Sikap Teresa ini menunjukkan bagaimana ia sudah mengadaptasi kebudayaan kaum flower children yang sedang melanda Amerika saat itu. Hal ini, seperti juga di dalam The Color Purple, merupakan perwujudan teori lames Stuart Olson mengenai adaptasi kebudayaan' Di sisi lain, Teresa sebenarnya masih `dekat' dengan ke-Kristen-an tersebut -- ia tetap menginginkan putranya dibaptis dan masih membutuhkan `bantuan' Tuhan untuk mengusir setan_ Ke-ambivalensi-an sikap Teresa disebabkan akibat tidak tertanamnya nilai-nilai agama Kristen dalam diri Teresa sehingga ia mudah terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh lain seperti gerakan flower children dan juga masalah superstitious.
Di dalam Love Medicine, ambivaiensi tampak dalam hal di satu sisi masyarakat Indian sudah memeluk agama Kristen, akan tetapi di sisi lain masih memegang kepercayaan aslinya. Hal ini berhubungan dengan kekecewaan para tokoh tersebut akan nasib mereka sebagai bangsa Indian. Kemiskinan, standar hidup yang buruk, kehidupan yang sulit membuat mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak memperhatikan bangsa Indian. Hal ini membuat mereka beralih ke dewa-dewa mereka. Tapi untuk kembali sepenuhnya ke kepercayaan aslinya juga merupakan suatu hal yang mustahil karena telah hilangnya `cara-cara berdoa' yang banar- secara Indian.
Dari pengkajian atas ketiga novel tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa tokoh-tokoh utama dalam ketiga korpus tersebut: Celle, Shug, Nettie, Teresa, Lipsha, Marie dan Gordie adalah para marginal man -- mereka hidup di antara dua kebudayaan: kebudayaan kaum mayoritas kulit putih dan kebudayaan mereka masing-masing sebagai kaum minoritas. Konflik akibat pertemuan kebudayaan itu terealisasi dalam sikap dan tindakan mereka yang ambivalen tersebut dalam memeluk agama Kristen sebagai salah satu unsur dari kebudayaan masyarakat mayoritas kulit putih. Faktor sejarah masa lalu dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat minoritas tersebut di tengah masyarakat mayoritas berperan besar dalam mempengaruhi sikap mereka dalam mengadaptasi kebudayaan masyarakat mayoritas.

"
1995
S14157
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni I. Bachtiar
"Aspek yang menonjol di dalam ketiga novel tersebut adalah penggambaran tokoh-tokoh wanita utamanya yang memiliki banyak persesuaian ciri dengan ciri para wanita pioneer yang hidup di daerah frontier.
Adapun tujuan dari karya tulis ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai ciri-ciri wanita pioneer dalam tokoh-tokoh utama wanita karya Willa Cather tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis untuk menghubungkan karya-karya tersebut dengan sejarah dan aspek-aspek wanita di abad kedelapan belas dan kesembilan belas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh-tokoh utama wanita ketiga novel tersebut banyak memiliki persesuaian ciri dengan ciri para wanita pioneer yang hidup di jaman frontier. Karenanya, mereka merupakan tokoh-tokoh utama wanita pioneer."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S14180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Rosiana Dewi
"Skripsi ini menganalisis tokoh dan penokohan Alif sebagai tokoh utama di dalam novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Tujuannya adalah mengetahui penokohan tokoh Alif sebagai seorang remaja yang memiliki ambisi yang sangat besar untuk dapat mewujudkan cita-citanya. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan objektif ini juga akan menganalisis unsur intrinsik dalam novel sebagai penunjang dalam penganalisisan tokoh dan penokohan. Kesimpulan dari analisis tersebut adalah terdapat korelasi antara penokohan tokoh Alif dan unsur intrinsik di dalam novel Negeri 5 Menara yang terlihat dari tema dan amanat, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, serta tokoh dan penokohan tokoh lain di dalam cerita.

This thesis analyze the characters and the characterization of Alif ,the main character in the Negeri 5 Menara, a novel written by A. Fuadi. The purpose is to find out the characterization of Alif , a teenager with a huge ambition to reach his goal. This research which is done with objective approach is also to analyze the intrinsic elements as the supporting elements in analyzing the character and the characterization. The conclusion of this analysis is that there is a correlation between the characterization of Alif and the intrinsic elements in the Negeri 5 Menara novel according to the theme and message, the plot and plotting, the background and backgrounding as well as the character and characterization of other characters in the story."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S10
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Setiyowati
"Analisis mengenai latar sosial, latar fisik, latar waktu, serta hubungan antara latar dengan tokoh, penokohan, dan alur novel Dan Perang pun Usai karya Ismail Marahimin bertujuan untuk membukikan bahwa latar merupakan unsur yang paling menonjol. Dalam penelitian di atas penulis menggunakan pendekatan ekstrinsik dan intrinsik. Pendekatan ekstrinsik digunakan penulis dalam membahas latar sosial, latar fisik, dan latar waktu Dan Perang pun Usai. Dalam analisis tersebut penulis membahas ketiga latar novel itu dengan mengacu pada sejarah bangsa Indonesia atau khususnya pada masa penjajahan Jepang. Pendekatan intrinsik dipakai penulis dalam membahas hubungan latar Dan Perang pun Usai dengan unsur fiksi lainnya, yaitu tokoh, penokohan, dan alur. Jadi, pendekatan ini mengkhususkan diri pada unsur karya itu sendiri. Hasil analisis menunjukkan bahwa ciri khas novel Dan Perang pun Usai adalah menggunakan acuan sejarah sebagai sumber utamanya. Hal ini terlihat jelas dari latarnya. Cerita terjadi pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, dan mengambil tempat di daerah Teratak Buluh, Riau. Keadaan sosial yang digambarkan dalam novel tersebut sangat mendekati realitas. Selain mengandung unsur politik, sejarah, dan sosial budaya, latar novel Dan Penang pun Usai juga. menyokong unsur fiksi lainnya, yaitu tokoh dan alur. Keadaan, tempat, dan suasana dalam cerita memberikan gambaran kepada pembaca akan watak tokoh dan tindakan tokoh. Alur Dan Perang pun Uati tidaklah tunggal; alurnya bercabang-cabang dan banyak alur bawahan dari tiap-tiap tokohnya. Keadaan alur yang tidak tunggal dan bercabang_-cabang sejalan dengan suasana perang dalam cerita yang penuh kemelut. Alur bawahan tersebut membuat latar sosial novel tersebut bervariasi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S11156
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>