Ditemukan 201595 dokumen yang sesuai dengan query
Nury Diana Nirwani Moeis
"Gerakan Mei '68 tercatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Prancis. Gerakan bersejarah ini dipelopori oleh mahasiswa yang menuntut perbaikan sistem pendidikan. Solidaritas masyarakat muncul setelah perjuangan mahasiswa dihadapi dengan tindakan represif. Serikat-serikat sekerja menyerukan pemogokan umum. Seruan ini mendapat tanggapan yang positif, pemogokan berlangsung di berbagai daerah di Prancis. Pemogokan besar-besaran yang terjadi merubah gerakan mahasiswa menjadi aksi massa. Gerakan Mei '68 membesar setelah kaum buruh melaksanakan aksi pemogokan yang kemudian diikuti dengan aksi pendudukan pabrik sehingga pabrik-pabrik berhenti berpropduksi. Tuntutan utama yang diserukan oleh buruh adalah peningkatan kesejahteraan dan kondisi kerja. Aksi buruh ini mempengaruhi pegawai pemerintah dan pelayanan umum untuk turut serta melancarkan aksi mogok. Bergabungnya pegawai pemerintah dan pelayanan umum ini dengan kaum buruh menyebabkan Prancis mengalami pemogokan terbesar sepanjang sejarah. Lumpuhnya ekonomi Prancis dan sektor kehidupan lainnya karena pemogokan nasional memaksa pemerintah yang dipimpin Charles de Gaulle untuk mengadakan perundingan dengan aktor utama Gerakan Mei '68. Kaum buruh yang diwakili oleh serikat-serikat buruh bersedia melakukan perundingan dengan pemilik perusahaan dan pemerintah. Perundingan tersebut menghasilkan Persetujuan Grenelle yang isinya menitikberatkan pada masalah perburuhan. Pada awalnya persetujuan tersebut ditolak oleh sebagian kelompok buruh. Akan tetapi setelah muncul dukungan terhadap De Gaulle dan ancaman tindakan tegas terhadap pihak yang mengganggu stabilitas negara, kaum buruh pada akhirnya bersedia menerima Persetujuan Grenelle dan pemogokan pun berangsur-angsur berhenti. Pada bulan pertengahan bulan Juni diadakan pemilihan umum yang dimenangkan partai Gaullist dan menandakan akhir dari Gerakan Mei '68."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S16067
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memaparkan tentang Résistance Prancis, sejak awal mula kemunculannya dan perkembangannya, dari tahun 1940 hingga pembebasan Prancis dari pendudukan Jerman pada tahun 1940, serta menjelaskan apa yang dimaksud dengan Résistance Prancis.
Skripsi ini menggunakan beberapa konsep, yaitu konsep Pengertian Sejarah, Penulisan Sejarah, Sumber Sejarah, dan Metode Sejarah.
Kesimpulan yang diperoleh : Résistance Prancis merupakan suatu gerakan perlawanan terhadap Jerman dan pemerintah Vichy, yang dilakukan oleh orang-orang Prancis dan luar Prancis pada masa pendudukan Jerman atas Prancis. Para résistant, masyarakat Prancis dan pasukan sekutu akhirnya berhasil membebaskan Prancis pada tahun 1944."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
S15598
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sukarno
Bandung: Alumni, 1982
331.095 98 SUK p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Afilia Tri Hanjani
"Artikel ini bertujuan untuk mengetahui tingkat xenofobia dari tahun 2012 hingga 2018, pada masa Pemerintahan dua Presiden yaitu François Hollande dan Emmanuel Macron. Pada masa pemerintahan presiden François Hollande banyak terjadi peristiwa terorisme di Prancis yang telah diklaim dilakukan oleh jihadist Islam diluar Prancis, membuat banyak masyarakat Prancis merasa khawatir dan takut kepada imigran. Pada masa pemerintahan Presiden Emmanuel Macron juga terjadi krisis ekonomi, sehingga membuat rakyat Prancis merasa adanya persaingan antara warga lokal dan warga pendatang. Karakteristik kebijakan dari kedua masa pemerintahan berdampak terhadap tingkat toleransi dan juga aksi rasisme yang terjadi di Prancis. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini mendeskripsikan kebijakan François Hollande dan Emmanuel Macron, dengan kondisi sosial politik pada dua masa yang bertentangan dengan ideologi politik kedua pemerintahan dan sikap terhadap fenomena xenofobia. Di samping itu, solusi yang dibentuk oleh kedua presiden juga dipengaruhi oleh kepada siapa kebijakan-kebijakan tersebut tertuju, yaitu keturunan imigran yang tinggal di Prancis. Maka diketahui, pada masa pemerintahan Emmanuel Macron kehidupan kedua pihak antara masyarakat Prancis dan masyarakat pendatang lebih baik dibandingkan dengan masa pemerintahan François Hollande karena tingkat xenofobia terlihat lebih rendah.
This article aims to determine the level of xenophobia from 2012 to 2018, during the reigns of two Presidents François Hollande and Emmanuel Macron. During the reign of President François Hollande, there were many incidents of terrorism in France which had been claimed by Islamic jihadists outside France, making many French people feel worried and afraid of immigrants. During the reign of President Emmanuel Macron, there was also an economic crisis, which made the French people feel that there was competition between local residents and immigrants. The characteristics of the policies of the two reigns had an impact on the level of tolerance and also the acts of racism that occurred in France. By using qualitative methods and literature study techniques, this study describes the policies of François Hollande and Emmanuel Macron, with the socio-political conditions at two times which contradicted the political ideologies of the two governments and attitudes towards the xenophobic phenomenon. In addition, the solution formed by the two presidents is also influenced by who the policies are aimed at, namely the descendants of immigrants living in France. Thus, it is known that during the reign of Emmanuel Macron, life between the French and immigrant communities was better than during the reign of François Hollande because the level of xenophobia was seen to be lower."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Muliawaty
"Pertanian merupakan sektor yang penting bagi Prancis. Selama berabad-abad sektor ini mendominasi dan menjadi tulang punggung perekonomian Francis. Hingga Perang Dunia II berakhir masih setengah dari penduduk Prancis yang bekerja di sektor pertanian. PD II yang memporakporandakan keadaan dalam negeri Francis membuat pemerintah Prancis berusaha membangun kembali perekonomiannya. Semenjak saat itu, yaitu tahun 1946 hingga tahun 1970-an atau disebut juga sebagai Les 'Yenta Glorieuses, Prancis mengalami kemajuan ekonomi yang pesat.Pertanian Francis yang hingga mesa pra PD II masih diolah dan dikelola secara sederhana dan tradisional, pada masa pasca PD II mulai beralih dan mulai menerapkan metode dan teknik-teknik pertanian yang modern. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat petanianya. Masyarakat petani Francis masa Pra PD II masihlah bersifat subsisten, tertutup, curiga terhadap pengaruh luar dan memiliki tingkat kehidupan yang rendah."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S14411
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
SDANE 2006/2007/2008
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Sri Handajani Purwaningsih
"
ABSTRAKMasa transisi adalah masa perubahan dimana struk_tur yang lama telah runtuh, sementara itu struktur yang baru masih belum mapan. Hal semacam itu dialami oleh negara Republik Indonesia pada awal kemerdekaannya. Meski_pun bangsa Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai satu bangsa yang merdeka dan berdaulat, akan tetapi dalam kenyataannya tidak begitu saja lepas dari pengaruh masa sebelumnya.masih banyak sisa-sisa kolonialis-imperialis_ yang. masih dipakai, yang justru kermudian banyak menimbul_kan persoalan. Suhu nasionalisme yang sedang naik, ditam_bah dengan perasaan dendam terhadap hal-hal yang diang_gap berbau kolonialis-imperialis, telah ikut mendorong timbulnya pergolakan sosial-potitik di dalam masyarakat, antara lain dicetuskan dalam bentuk bentuk aksi-daulat yang pada umunnya digerakkan oleh kaum radikal .Ada pun sasaran nya adalah pemerintahan daerah setempat yang dianggap ka_ki tangan penjajah. Sudah barang tentu hal semacam itu semakin memperkeruh situasi-kondisi Republik Indonesia yang boleh dikatakan masih bayi pada saat itu.
"
1984
S12673
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nasution, Diella Amanda
"Sejak pertama kali dinyatakan ilegal melalui la loi n° 70-1320 du 31 décembre 1970, kebijakan pemerintah Prancis terhadap ganja tidak mengalami perubahan yang signifikan. Prancis merupakan salah satu negara dengan hukuman paling berat untuk penggunaan ganja di Eropa. Namun, meskipun memiliki hukum yang berat, Prancis merupakan salah satu negara dengan persentase konsumen ganja tertinggi di Eropa. Hasil survei populasi umum yang dilakukan oleh Santé publique France dan OFDT menunjukkan bahwa ganja merupakan psikoaktif terlarang yang paling banyak digunakan di Prancis dan penyebaran ganja di Prancis terus meningkat sejak diberlakukannya kebijakan pelarangan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran regulasi tersebut dalam menanggulangi permasalahan konsumsi ganja di Prancis. Penelitian ini mencari tahu pengaruh konsumsi ganja di Prancis terhadap regulasi yang dibuat pada masa pemerintahan Emmanuel Macron dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa kebijakan sebelumnya yang tidak efektif serta seruan reformasi dari masyarakat tidak mempengaruhi kebijakan Emmanuel Macron dalam upaya menanggulangi permasalahan terkait ganja di Prancis. Dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintahan Emmanuel Macron memutuskan untuk mengambil jalan tengah, yaitu dekriminalisasi parsial atau contraventionnalisation serta percobaan penggunaan ganja untuk tujuan terapeutik. Meskipun kebijakan baru Macron dianggap tidak benar-benar menyelesaikan masalah, langkah ini berupaya untuk menghindari perselisihan antara pihak-pihak yang menuntut legalisasi ganja, serta pihak konservatif yang bersikeras mempertahankan hukum ganja yang represif
Since it was first declared illegal through la loi n ° 70-1320 du 31 décembre 1970, the French government's policy towards cannabis has not changed significantly. France is one of the countries with the most severe penalties for the use of marijuana in Europe. However, despite its tough laws, France has one of the highest percentage of cannabis consumers in Europe. The results of a general population survey conducted by Santé publique France and OFDT shows that marijuana is the most widely used illicit psychoactive in France and that diffusion of cannabis in France has continued to increase since the enactment of the ban. This raises questions about the role of these regulations in overcoming the problem of cannabis consumption in France. This research investigates the effect of marijuana consumption in France on regulations made during Emmanuel Macron administration period using qualitative methods and literature study techniques. This research proves that the previous ineffective policies and calls for reform from the public did not influence Emmanuel Macron's policies in trying to tackle the problems related to cannabis in France. In dealing with this problem, Emmanuel Macron's government decided to take a middle course, namely partial decriminalization or contraventionnalisation and the trial of using marijuana for therapeutic purposes. While Macron's new policies do not really solve the problem, the move seeks to avoid clashes between parties claiming marijuana legalization and conservatives who insist on maintaining repressive cannabis laws"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Asep Ridwan Wahyudi
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai terbentuknya Yellow Vests Movement sebagai gerakan populis bottom-up di Prancis pada masa pemerintahan Emmanuel Macron. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur. Dengan menggunakan konsep populisme, dapat diketahui bahwa Yellow Vests Movement dapat terbentuk karena adanya dampak berkepanjangan dari kondisi krisis berupa krisis ekonomi yang pernah terjadi di tahun 2008-2009 serta adanya nilai anti-elitisme di masyarakat yang dapat lahir karena adanya kegagalan pemerintah untuk mengatasi kondisi krisis yang ada serta terputusnya hubungan dengan masyarakat. Disaat yang bersamaan banyak tuntutan masyarakat terdahulu yang tidak direspon oleh pemerintah sehingga semakin memperkuat nilai anti-elitisme yang ada. Dengan kondisi yang demikian, sebagai sebuah gerakan populis maka tuntutan yang diajukan oleh Yellow Vests Movement semakin meluas. Mereka menuntut kedaulatan rakyat sebagai prioritas utama melalui pengadaan referendum nasional sebagai bentuk kurangnya suara rakyat yang didengar selama ini.
This final project examines the formed of the Yellow Vests Movement as a bottom-up populist movement in France during the reign of Emmanuel Macron. This study is a qualitative study that applies literature studies as a data collection technique. By using the populist concept, it is possible to see that the Yellow Vests Movement was formed in response to the prolonged impact of the crisis, specifically the economic crisis of 2008-2009. Furthermore, the emergence of anti-elitism values in society is due to the government's failure to address the existing crisis conditions and the society's disconnection. Simultaneously, the government has failed to respond to several community demands, thereby reinforcing existing anti-elitism values. Under these circumstances, the Yellow Vests Movement demands are gaining traction as a populist movement. They demand people's sovereignty as a top priority, calling for a national referendum in response to the lack of public hearings thus far."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Muhammad Reihan Prasetya
"Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merupakan sebuah kelompok gerakan oposisi politik masyarakat sipil yang dibentuk pada tanggal 18 Agustus 2020 sebagai bentuk gerakan perlawanan terhadap rezim pemerintahan Joko Widodo. Dalam melakukan aksi-aksi politiknya, gerakan KAMI hanya bergerak melalui penyampaian kritik kepada pemerintah yang dilakukan oleh masing-masing deklaratornya. Berbagai strategi dilakukan oleh gerakan KAMI untuk membangun kekuasaan dan mencapai kepentingan politiknya di Indonesia. Dengan menggunakan teori Oposisi Demokrasi menurut Alfred Stepan (1997) dan teori Strategi dan Sumber Daya Gerakan oleh Paul Almeida (2019), penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang dilakukan oleh gerakan oposisi politik KAMI dalam perannya mengkritik dan sebagai penyeimbang kekuatan pemerintah untuk membangun kekuasaan dan mencapai kepentingan politiknya di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik penelitian wawancara sebagai data primer; serta studi kepustakaan sebagai data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kehadiran gerakan KAMI sebagai gerakan oposisi politik tingkat masyarakat tidak terlepas dari upaya membangun kekuasaan dan kepentingan politiknya melakukan berbagai strategi politik yang dilakukan oleh KAMI. Selain itu, Peneliti juga menyimpulkan bahwa para deklarator KAMI lebih memilih untuk melakukan aksi-aksi penyampaian kritiknya secara individu dibandingkan harus melakukan aksi mobilisasi massa secara kolektif.
The Coalition for Action to Save Indonesia (KAMI) is a civil society political opposition movement group formed on August 18, 2020 as a form of resistance movement against Joko Widodo's government regime. In carrying out its political actions, the KAMI movement only moves by conveying criticism to the government carried out by each of its declarators. Various strategies were carried out by the KAMI movement to build power and achieve its political interests in Indonesia. By using the theory of Democratic Opposition according to Alfred Stepan (1997) and the theory of Movement Strategy and Resources by Paul Almeida (2019), this study aims to determine the strategy carried out by the KAMI political opposition movement in its role of criticizing and as a counterbalance to government power to build power and achieve its political interests in Indonesia. This study uses qualitative research methods with interview research techniques as primary data; as well as literature studies as secondary data. The results of the study conclude that the presence of the KAMI movement as a community-level political opposition movement is inseparable from efforts to build power and its political interests in carrying out various political strategies carried out by KAMI. In addition, the researcher also concluded that KAMI declarators prefer to carry out actions to convey their criticism individually rather than having to carry out mass mobilization actions collectively."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library