Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65784 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aan Kurniawati
"Penulisan skripsi ini bertujuan hendak membuktikan bahwa Die Judenbuche karya Annette von Droste-Hulshoff adalah sebuah karya sastra beraliran Biedermeier yang berbeda dengan karya-karya sastra beraliran Biedermeier pada umumnya. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan intrinsik dan biografis. Hasilnya menunjukan bahwa dilihat dari segi kuantitas unsur Romantik dalam Die Judenbuche sangat menonjol. Hampir semua unsur Romantik terdapat di dalamnya. Begitu pula bila dilihat dari sudut kualitas, unsur Romantik, maksudnya di sini adalah peristiwa mistik, memegang peranan yang sangat penting. Tanpa peristiwa mistik cerita dalam Die Judenbuche tidak dapat dimengerti. Dapat disimpulkan, Die Judenbuche adalah sebuah karya beraliran Biedermeier yang berbeda dengan karya-karya sastra beraliran Biedermeier pada umumnya. Karya sastra beraliran Biedermeier pada umumnya mempunyai unsur Realisme, sedangkan Die Judenbuche mempunyai unsur utama Romantik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S14582
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Werke, Samtliche
Munchen: Carl Hanser verlag, [date of publication not identified]
GER 831.7 WER a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Safnil
"
ABSTRAK
Penelitian tentang kolokasi semantis dan pengaruhnya dalam interpretasi 3 puisi Annete von Droste-Hulshoff , Der Weiher, Die Linde, Die Steppe. Menggunakan metode penelitian deskriptif berdasarkan teori kolokasi John Lyons dan teori makna Gustav H. Blanke. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan sejauh mana peran kolokasi dalam interpretasi puisi.
Berdasarkan penerapan teori pada objek penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan tentang kolokasi berguna untuk membantu dalam interpretasi puisi. Dalam ketiga puisi yang dijadikan objek penelitian kolokasi semantis unsur-unsur leksikal memperlihatkan gaya bahasa personifikasi. Pengaruh aliran Romantik terlihat jelas dalam karya Annete von Droste-Hulshoff. Pemakaian gaya bahasa personifikasi ini sesuai dengan pandangan kaum Romantik yang memandang alam dan manusia sebagai satu-kesatuan yang tidak dapat terpisah-pisahkan.
"
1998
S14780
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Hanan
"Akses karya seni dalam produksi dan distribusinya sangat mudah di era teknologi massa sekarang ini dengan bantuan komputer, smartphone, dan internet. Mudahnya aksesibilitas terhadap karya seni semakin didukung dengan keberadaan aplikasi seperti Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, dan lain-lain yang berperan sebagai media platform publik bagi masyarakat. Kondisi di mana seni menjadi produk massal dianggap sudah kehilangan aura oleh Walter Benjamin karena keberadaan teknologi massa yang menghilangkan originalitas karya seni. Maka apakah masih ada aura pada karya seni di era kontemporer? Dengan menggunakan metode analisis kritis penulis hendak memaparkan bahwa aura dalam karya seni, penulis menemukan pandangan Benjamin ini condong pada persoalan eksklusivitas, masih dapat hadir pada karya seni era kontemporer. Dalam memaparkannya, penulis akan menggunakan salah satu fenomena karya seni media sebagai konteks seni kontemporer dan menjelaskan konsep aura sebagai aspek nilai yang lahir dari pengalaman estetis subjek. Dilanjutkan dengan penjelasan bagaimana hadirnya pengalaman estetis ketika subjek ‘bertemu’ dengan karya seni media, yang akan dicontohkan dengan fanart sebagai salah satu bentuk seni media. Kemudian penulis akan menggunakan teori filsafat persepsi Bence Nanay untuk membangun argumen dalam menjawab pertanyaan tersebut, di mana ia menekankan pentingnya fokus perhatian subjek ketika bertemu dengan karya seni sehingga dapat menghadirkan pengalaman estetis sebagai aura.

The access to artwork in its production and distribution is very easy in today's era of mass technology with the help of computers, smartphones and the internet. The easy accessibility to artworks is increasingly supported by the existence of applications such as Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, and others that act as a media platform for public. Today’s artworks, when artworks become mass products, is considered to have lost its aura by Walter Benjamin. It is because of the existence of mass technology which eliminates the originality of works of art. Therefore, is there still aura in contemporary artworks? By using a critical analysis method, the author wants to explain that the aura of artwork, the author found that Benjamin's view was leaning towards the issue of exclusivity, can still be present in contemporary artworks. In delivering it, the writer will use media art phenomenon as the context of contemporary art and explain the concept of aura as an aspect of value that is present from the subject’s aesthetic experience. Then proceed with an explanation of how the presence of aesthetic experience when the subject 'meets' with media art, which will be exemplified by fanart as a form of media art. Afterwards, the author will use the theory philosophy of perception by Bence Nanay to build the arguments in answering these questions, where he stresses the importance of focusing the subject's attention when meeting artworks so that it can bring out aesthetic experiences as aura. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Astrianto Adianggoro
"Karya seni merupakan sebuah fenomena sosial yang keberadaannya dapat dijumpai daiam kehidupan sehari-hari. Sebagai subjek yang berkesadaran, manusia harus kritis terhadap fenomena-fenomena yang melingkupinya. Mengapa sebuah predikat karya seni dapat ditempelkan kepada objek tertentu yang membuatnya menjadi lama sekali berbeda dengan objek-objek biasa? Hal ini merupakan pertanyaan yang sangat mendasar yang berusaha untuk dijawab oleh para filsuf. Penulisan ini mencoba untuk mengangkat sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebuah usaha untuk mendefinisikan seni. Berawal dari sebuah kritik, dan pada akhirnya sampai pada sebuah formulasi dari definisi seni. Arthur Danto merupakan filsuf yang menjadi fokus dalam penulisan skripsi ini. Usahanya dalam membuat sebuah definisi berawal dari kritiknya terhadap Wittgenstein. Wittgenstein memang lebih akrab dibicarakan dalam ruang lingkup filsafat bahasa, namun pemikirannya berimplikasi juga terhadap pembicaraan etika dan estetika. Dalam analisis bahasanya, Wittgenstein mencoba untuk ikut dalam praktik bahasa itu sendiri. Ternyata, sesuatu yang menjadi menarik baginya adalah adanya kebudayaan yang selalu melekat dalam diri tiap-tiap individu dalam berbahasa. Dengan adanya latar belakang kebudayaan ini, bagi Wittgenstein, bahasa menjadi plural sifatnya dan tidak bisa berada dibawah sebuah teori yang tunggal. Begitu juga dengan seni, seni menjadi tidak bisa didefinisikan. Tetapi, bila masing-masing kebudayaan memiliki pengertiannya masing_masing tentang apa itu seni, bukankah artinya mereka telah membuat sebuah pembedaan antara karya seni (artwork) dan benda belaka (mere thing)? Dari sini, Arthur Danto melihat sebuah benang merah tentang perbedaan yang akan dirnunculkan antara karya seni (artwork) dan benda belaka (mere thing). Sebuah pintu masuk yang dipilih oleh Danto untuk memulai pendefinisian seni dan sebagai kritik terhadap pemikiran Wittgenstein."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S15995
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Rahim sering dipahami sebagai organ yang melekat pada tubuh biologis perempuan, sebuah kantung peranakan tempat tumbuh kembangnya janin. Namun, rahim juga bisa dimaknai secara metaforik sebagai mula dari apapun yang ingin dihidupkan dan dibesarkan dengan kasih dan ketulusan. Rahim menyimpan ikrar penciptaan dan merekam proses pengibuan. Tulisan ini merupakan pembacaan reflektif atas pameran tunggal seorang pelukis feminis, Dewi Candraningrum, yang berjudul 'Dokumen Rahim'. Dewi menggunakan karya seni visualnya sebagai narasi feminis, yang mempresentasikan multiplisitas wajah rahim dengan mengaktifkan konvensi estetik yang berbeda dari the canon. Lewat gugus-gugus lukisan dan sketsanya, Dewi menyuarakan beragam wajah rahim yang selama ini terpinggir dalam wacana dominan yang hegemonik. Seni rupa, bagi sang pelukis, tetapi sebagai seni yang politis, yang menunjukkan keberpihakan dan mewacanakan emansipasi bagi yang dianggap liyan."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
JKSUGM 1:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harishazka Fauzan
"ABSTRAK
Kemunculan Anamorphic Art tercatat pada sejarah yang tertuang pada Codex Atlanticus (1485), sebagai sebuah cara lain untuk membuat suatu karya seni visual dengan satu sudut pandang tertentu. Eksplorasi seniman dengan metode ini sudah terjadi sejak jaman Renaissance, dalam bentuk lukisan fresco di langit-langit gereja St. Igantius-nya Andrea Pozzo, hingga Felice Varini saat ini.
Anamorphic Art bisa dilibatkan dan akan menjadi suatu pengalaman ruang tersendiri apabila diterapkan di dalam ruang interior. Skripsi ini mencoba untuk mengulas pengalaman ruang interior yang tercipta oleh elemen ruang yang berasal dari karya Felice Varini. Dengan melakukan perbandingan dalam studi kasus akan didapatkan faktor apa saja yang mempengaruhi karya Felice Varini untuk dapat menghasilkan pengalaman ruang yang tidak biasa.

ABSTRAK
The emergence of Anamorphic Art is recorded in the Codex Atlanticus (1485), as a method to create visual artworks based on a particular point of view. Varioud artists have been experimenting with this method, from the time of the Renaissance, in the form of frescoes on the ceiling of the Church of St. Igantius by Andrea Pozzo, to Felice Varini in the contemporary era.
Anamorphic Art could be utilized and could offer a different experience when applied in interior space. This thesis attempts to describe the experience of interior space created by the elements of Felice Varini?s works. By doing comparative case studies, factors that affects particular spatial experience in Felice Varini?s works will be obtained."
2016
S64214
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto
"Kehadiran arsitektur dapai dilihat sepedi sebuah sinema, dalam dimensi ruang dan waktu. Sebuah bangunan dapat dilihat sebagai sebuah rangkaian urut-urutan atau fragmen, dan juga memiliki sebuah cerita. Meski secara esensial arsitektur berbeda dengan film dan segi dimensi dan cara penyampaian, namun memiliki kesamaan dalam segi pengeksplorasian ruang volumetlik dalam walctu. Eksplorasi baru dalam dunia arsitektur dengan analogi teknik dan metode dalam dunia sinematografi yang menambah kevariasian arsitek dalam mengolah ruang dan menghasilkan sebuah karya arsitektur.
Tulisan ini mencoba menganalisis bagaimana sebuah karya arsiteklur dapat dilihat clan dialami sebagai sebuah rangkaian sinematik. Beberapa teori praktis Elm dari studi literatur menjadi bahan pengolahan analisis, dilihat sebagai sebuah pengalaman ruang bukan sekedar visualisasi. Pada karya-karya arsitektur di Indonesia yang menjadi objek pengamatan dan Studi kasus, fenomena simulasi dalam arsitektur secara tidak disadan teraplikasikan. Meski tidak seluruhnya dapat kita temui pada karya-karya tersebut, namun cukup menjadi sebuah wahana baru dalam dunia arsitektur."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
S48558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Dwi Irmawati
"Wayang kulit purwa merupakan produk budaya Jawa yang mengandung tontonan, tuntunan, dan tatanan. Lakon pada pertunjukan wayang kulit purwa terbagi dalam lima zaman, yakni mitos awal zaman, Lokapala, Arjunasasrabahu, Ramayana, dan Mahabharata. Lakon Dumadine Sanjata Cakra termasuk ke dalam mitos awal zaman. Pada pertunjukkan wayang kulit purwa selalu menyajikan pertarungan antara keutamaan dan keangkaramurkaan. Penyebab pertarungan keduanya ialah berhubungan dengan perebutan harta, tahta, dan wanita. Dalam lakon Dumadine Sanjata Cakra dikandung etika kekuasaan. Penelitian ini membahas etika kekuasaan melalui deskripsi pertarungankeutamaan dengan keangkaramurkaan, mitos dan kekuasaan, dan simbol dan kekuasaan  dalam lakon Dumadine Senjata Cakra. Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menerapkan metode deskriptif kualitatif dari Creswell (2010), transkripsi lisan ke tulis, kerangka konseptual etika kekuasaan dari Franz Magnis Duseno (1984), kerangka konseptual mitos dari Van Peursen (1989), dan kerangka teori simbol dari Turner dalam Disesrtasi Woro Aryandini (1998). Penelitian ini menyajikan hasil pembahasan yang signifikan bahwa etika kekuasaan melalui kajian tentang senjata cakra mampu memberikan pedoman dan tuntunan spiritual bagi masyarakat. Etika kekuasaan dikonstruksi melalui pertarungan kekuatan keutamaan dengan keangkaramurkaan, mitos, dan simbol. Senjata Cakra sebagai manifestasi dari spiritualitas kekuasaan manusia memberikan motivasi terhadap keberlangsungan keharmonisan dan keselarasan alam semesta.

Wayang kulit purwa is a Javanese cultural product that contains spectacle, guidance and order. The plays in the Purwa shadow puppet show are divided into five eras, namely the myth of the beginning of the era, Lokapala, Arjunasasrabahu, Ramayana, and Mahabharata. Dumadine Sanjata Cakra’s play is included in the myth of the beginning of time. Purwa shadow puppet shows always present a battle between virtue and cruelty. The cause of the fight between the two is related to the struggle for wealth, throne and women. In Dumadine Sanjata Cakra's play, the ethics of power is contained. This research discusses the ethics of power through descriptions of the struggle between virtue and wrath, myth and power, and symbols and power in Dumadine's play Weapon Cakra. To answer the problem, this research applies Creswell's(2010) qualitative descriptive method, oral to written transcription, the power ethics conceptual framework of Franz Magnis Suseno (1984), Van Peursen's conceptual framework of myth (1998), and Turner's symbol theory framework in a Dissertasion byWoro Aryandini (1998). This research presents significant discussion results that the ethics of power through the study of chakra weapons are able to provide spiritual guidance and guidance for society. The ethic of power is constructed through a struggle between the power of primacy and terror, myth and symbols. Chakra weapons as a manifestation of the spirituality of human power provide motivation for the continued harmony and harmony of the universe."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>