Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54234 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Poedjo Soesantyo
"Pertumbuhan dan kehidupan seni dipengaruhi juga oleh herbagai faktor, baik faktor di dalam seni maupun di luar seni. Faktor di luar seni antara lain, adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang obvektif seperti kondisi alam sekitar, iklim dan sebagainya, juga faktor lingkungan yang subyektif seperti tingkat kemampuan suatu bangsa, kondisi kecerdasan umumnya pada bangsa yang mendukung budaya di mana seni itu tumbuh dan hidup. Apa yang dicoba jelaskan dalam skripsi ini adalah faktor yang juga mempengaruhi pertumbuhan kehidupan seni yang berada dalam lingkup seni sendiri. Permasalahan ini dilihat oleh Susanne K. Langer dengan membandingkan antara seni dan ilmu pengetahuan. la melihat ilmu pengetahuan yang didukung oleh bahasa, suatu ungkapan bentuk simbolis, telah mencapai perkembangan yang lebih pesat daripada kehidupan seni. Bagi Susanne K. Langer masalahnya cukup jelas, bahwa kemajuan bahasa sebagai salah satu bentuk Simbol diskursif tak dapat disangkal telah menunjang kemajuan ilmu-ilmu.Perkembangan ilmu-ilmu berhutang pada pengkajian konsep-konsep dan teori-teori yang kesemuanya dapat dirumuskan sebagai bahasa ilmu. Bahasa dengan demikian sung-guh-sungguh membuka wilayah di mana ilmu-ilmu pengetahuan dapat dikembangkan. Jikalau analisa yang menyangkut simbol diskursif dapat berekor pada kritik ilmu-ilmu, maka analisa yang menyangkut simbol presentasional harus mencapai perkembangan kritik seni. Dalam Philosophy in a New Key dikatakan bahwa teori simbolisme yang dikembangkan di sana harus menuju kepada suatu kritik seni, seserius dan sejauh kritik ilmu yang berasal dari analisis simbol diskursif. Feeling and Form berusaha memenuhi janji tersebut menjadi kritik seni. Tetapi ternyata usaha yang kedua ini tidaklah sepesat usaha yang pertama. Kritik ilmu-ilmu sudah berkembang sedemikian pesat, sementara kritik seni belum juga rnencapai kata sepakat mengenai berbagai macam peristilahan teknis. Hal ini menghambat perkembangan teori seni. Kesulitan ini juga disebabkan oleh sifat seni, yaitu seni bukanlah deskripsi dan fakta obyektif atau analisis terhadapnya seperti halnya pada ilmu pengetahuan. Pada seni selalu masih tinggal tersembunyi subyektivitas seniman sebagai faktor penentu. Itu juga sebabnya mengapa Langer menyebut tulisannya sebagai suatu teori seni, dan bukan menyusun hipotesa metafisis tentang seni. Dasarnya adalah mencoba merumuskan satu teori seni yang didekati dari hasil teori simbolnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16157
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
"Seni, merupakan gejala yang hadir dihadapan kita. Seni akan tetap dibahas selama pemikiran manusia masih berlangsung. Seni merupakan sisi lain kehidupan yang tidak tertangkap melalui kehidupan sehari-hari maupun ilmu pengetahuan. Diantara berbagai teori seni yang ada, teori simbol Susanne Langer hadir dengan latar belakang untuk menengahi teori-teori yang saling bertentangan dan bersifat berat sebelah. Teori Simbol mencoba menghadirkan seni sebagai sebagai simbol. yang merupakan sesuatu yang obyektif ada pada karya seni.
Seni adalah kreasi bentuk-bentuk simbolik dari perasaan manusia. Sebagai bentuk simbolik, ia bersifat presentasional, yaitu hadir langsung secara utuh dan tunggal, dan dipahami secara langsung, tanpa melalui penjelasan secara nalar. Sebagai simbol seni menunjuk pada kemampuan mengabstraksi pada manusia. Seni sebagai simbol presentasional memiliki ciri virtualitas dan ilusi. Baik virtualitas maupun ilusi mengacu pada kegiatan persepsi, tetapi tidak hanya melalui indera melainkan juga melalui imajinasi.
Keberadaan teori simbol Susanne Langer dapat ditopang oleh teori Psikologi Gestalt. Sama dengan prinsip-prinsip Gestalt, simbol presentasional dipahami dengan melihatnya sebagai suatu totalitas, dalam mempersepsi kita langsung mendapat arti, sedang struktur simbol merupakan cerminan struktur perasaan manusia, yang disebut dengan isomorphi. Penulisan skripsi ini berdasarkan penelitian kepustakaan terhadap buku-buku estetika, terutama terhadap buku--buku Susanne Langer, yang berjudul Philosophy in a New Key dan Feeling and Form."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S16111
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfarida Herlina
"Di masa kontemporer, seni menjadi konsumsi global sehingga genre Global Art menjadi popular. Galeri, rumah lelang, museum, dan tempat pameran seni menjadikan seni adalah konsumsi publik terutama kaum borjuis. Skripsi ini membahas pergeseran yang terjadi dari seni kontemplatif yang hanya untuk seni menjadi seni konsumtif yang tanpa makna. Posisi seni dan seniman dipertanyakan karena tidak ada otonomi atas mereka. Seni hanya dinikmati oleh kaum borjuis dan seniman yang tidak mampu mengikuti standarisasi yang ada akan ternegasi secara tidak langsung. Pemikiran para pemikir seni menampilkan gambaran seni yang kontemplatif dan konsumtif. Pembahasan pergeseran seni akan mengantarkan skripsi ini pada refleksi kritis terhadap perkembangan kehidupan seni.

In contemporary times, the art of being a global consumption so that the genre of the Global Art became popular. Galleries, auction houses, museums, art exhibitions and the making of art is public consumption, especially the bourgeoisie. This paper discusses the shift that occurred from the contemplative art only for art into a consumptive art without meaning. The position of art and artists is questionable because there is no autonomy over them. Art is only enjoyed by the bourgeoisie and the artists who are not able to follow the existing standards will indirectly. Thinkers of art explained of contemplative art and consumptive. The discussion of art will bring this essay to a critical reflection on the development of artistic life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S13
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Astrianto Adianggoro
"Karya seni merupakan sebuah fenomena sosial yang keberadaannya dapat dijumpai daiam kehidupan sehari-hari. Sebagai subjek yang berkesadaran, manusia harus kritis terhadap fenomena-fenomena yang melingkupinya. Mengapa sebuah predikat karya seni dapat ditempelkan kepada objek tertentu yang membuatnya menjadi lama sekali berbeda dengan objek-objek biasa? Hal ini merupakan pertanyaan yang sangat mendasar yang berusaha untuk dijawab oleh para filsuf. Penulisan ini mencoba untuk mengangkat sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebuah usaha untuk mendefinisikan seni. Berawal dari sebuah kritik, dan pada akhirnya sampai pada sebuah formulasi dari definisi seni. Arthur Danto merupakan filsuf yang menjadi fokus dalam penulisan skripsi ini. Usahanya dalam membuat sebuah definisi berawal dari kritiknya terhadap Wittgenstein. Wittgenstein memang lebih akrab dibicarakan dalam ruang lingkup filsafat bahasa, namun pemikirannya berimplikasi juga terhadap pembicaraan etika dan estetika. Dalam analisis bahasanya, Wittgenstein mencoba untuk ikut dalam praktik bahasa itu sendiri. Ternyata, sesuatu yang menjadi menarik baginya adalah adanya kebudayaan yang selalu melekat dalam diri tiap-tiap individu dalam berbahasa. Dengan adanya latar belakang kebudayaan ini, bagi Wittgenstein, bahasa menjadi plural sifatnya dan tidak bisa berada dibawah sebuah teori yang tunggal. Begitu juga dengan seni, seni menjadi tidak bisa didefinisikan. Tetapi, bila masing-masing kebudayaan memiliki pengertiannya masing_masing tentang apa itu seni, bukankah artinya mereka telah membuat sebuah pembedaan antara karya seni (artwork) dan benda belaka (mere thing)? Dari sini, Arthur Danto melihat sebuah benang merah tentang perbedaan yang akan dirnunculkan antara karya seni (artwork) dan benda belaka (mere thing). Sebuah pintu masuk yang dipilih oleh Danto untuk memulai pendefinisian seni dan sebagai kritik terhadap pemikiran Wittgenstein."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S15995
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Sekartaji Putri Hapsari
"Pada dasarnya pengalaman musik merupakan pengalaman yang kompleks. Ada hal-hal yang hadir di dalam pengalaman mendengarkan musik yang dianggap sepele atau luput dari perhatian pendengarnya. Pengalaman mendengarkan musik merupakan pengalaman yang unik. Musik mampu membuat pendengar tidak hanya merasakan berbagai macam hal, tetapi juga menghadirkan hal-hal yang tidak bersifat fisik. Ketika mendengarkan musik, pendengar mampu mendapatkan gambaran-gambaran yang terkadang bersifat acak. Ada sesuatu yang memengaruhi gambaran tersebut hadir kepada pendengar. Untuk dapat memahami bagaimana gambaran-gambaran tersebut hadir dapat digunakan semiotik. Susanne K. Langer (1895-1985) merupakan salah satu tokoh yang membahas mengenai tanda dan simbol dan membawa pembahasan tersebut ke tingkat yang lebih jauh.

Fundamentally, the experience of listening to music is complex. There are things that exist which we often miss or consider as insignificant. The experience of listening to music is unique. Music has the ability to make its listener not only feel, but also see things that aren't physically existing. When listening to music, listeners experience random visual images. There is something which influences those images in appearing into the listeners head. Semiotics is being used to understand the appearance of these images. Susanne K. Langer (1895-1985) is one of the figure who discussed about sign and symbol and took it further to a different level."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur, Malaysia : National Visual Art Gallery, 2011
R 750.1 RAJ
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Atiyah, M. F.
Oxford: Addison-Wesley , 1988
514.23 ATI k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam beberapa tahun terakhir, popularitas musik K-pop secara global telah meningkat secara signifikan, sehingga menghasilkan lebih banyak penonton K-pop dan pengaruh yang lebih besar yang dimiliki oleh idola K-pop di industri ini. Akibatnya, banyak bisnis mulai merekrut idola K-pop sebagai "brand ambasador" untuk memanfaatkan basis penggemar mereka yang luas. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dampak positif dan negatif dari idola K-pop yang berperan sebagai "brand ambasador" dan mengeksplorasi alasan meningkatnya prevalensi fenomena ini. Metodologi yang digunakan untuk penelitian ini memerlukan tinjauan teoretis terhadap literatur dan sumber sekunder lainnya untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang pokok bahasan.

In recent years, the global popularity of K-pop music has risen noticeably, leading to a larger audience for K-pop and greater influence wielded by K-pop idols in the industry. As a result, many businesses have begun enlisting K-pop idols as brand ambassadors to tap into their vast fan base. This paper aims to examine the positive and negative effects of K-pop idols serving as brand ambassadors and explore the reasons for the increasing prevalence of this phenomenon. The methodology employed for this study entails a theoretical review of peer-reviewed literature and other secondary sources in order to provide a comprehensive understanding of the subject matter."
[Depok, Depok]: [Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia], 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Margareth Wilson
"ABSTRAK
Skripsi ini merupakan sebuah penelitian yang berada dalam ruang lingkup Estetika. Teori estetika yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini adalah estetika Immanuel Kant. Objek kajian dalam penelitian ini merujuk pada salah satu konsep yang terdapat dalam teori estetika Kant, yaitu konsep Genius. Dengan menggunakan metode studi kepustakaan deskriptif ndash;analisis, konsep genius akan dijelaskan dan didefinisikan oleh penulis agar para pembaca dapat mengetahui karakteristik apa saja yang terdapat di dalam konsep ini. Setelah genius dijelaskan secara deskriptif, penulis akan masuk ke dalam pembahasan analisis, yaitu implikasi konsep genius di dalam tiga karya seni, diantaranya puisi, musik, dan lukis. Genius memiliki implikasi pada penciptaan karya seni di jamannya, salah satunya adalah aliran Romantik. Dari sini penulis mengharapkan penelitian ini akan menghasilkan sebuah kejelasan tentang apa itu genius dan bagaimana sebuah karya seni dapat disebut sebagai karya seorang genius. Dalam penelitian ini penulis ingin menyatakan tesis yang membuktikan adanya justifikasi sosial yang ditemukan dalam proses menciptakan suatu karya seni pada jaman Romantik, sebagai implikasi kemunculan konsep genius. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan terlebih dahulu perihal deskripsi dan karakteristik konsep genius dari filsuf Immanuel Kant dan menjelaskan implikasinya di dalam tiga contoh karya Romantik yang penulis ambil untuk membuktikan adanya justifikasi sosial yang terikat dalam seni Romantik.

ABSTRACT
This thesis is a study that is within the scope of Aesthetic. Aesthetic theory that became the theoretical basis of this research is the aesthetics of Immanuel Kant. The object of study in this research refers to one of the concepts contained in Kant 39 s aesthetic theory, the concept of Genius. By using the methods of literature study and descriptive analysis, the concept of genius will be explained and defined by the author so that readers may know the characteristics of what is contained in this concept. Once the concept of genius described, the author will get into the discussion of the analysis, the implications of the concept of genius in three works of art, such as poetry, music, and painting. Genius has implications on the creation of works of art at the time, one of them is Romantic. From here the author expect the study will yield a clarity about what genius is, and how a work of art can be described as work of a genius. In this study, the author would like to express the thesis that prove their social justification is found in the process of creating works of art in the Romantic era, as the implications of the emergence of the concept of genius. The purpose of this study is to explain in advance regarding the description and characteristics of the genius concept of the philosopher Immanuel Kant and to explain its implications in three examples of Romantics works which tooks to prove their social justification bound in Romanesque art."
2017
S68771
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Wahyu Andriani
"Photocard eksklusif menjadi salah satu objek koleksi bagi kelompok penggemar K-Pop, salah satunya adalah bentuk kerjasama eksklusif antara idol dengan brand. Bentuk eksklusifitas dan limited edition yang ditawarkan menjadi daya tarik yang sulit untuk dilewatkan bagi penggemar. Penelitian ini menganalisis perilaku budaya penggemar K-Pop melalui objek photocard eksklusif sebagai perantara penggemar, idol, dan brand. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif pada periode Januari hingga Juni 2022. Tahapan kuantitatif berupa survei kepada 212 responden penggemar K-Pop untuk memetakan budaya penggemar sekaligus menyeleksi calon informan. Pengumpulan data utama dilakukan melalui metode kualitatif berupa etnografi digital dengan wawancara mendalam secara virtual pada enam informan dan observasi digital pada media sosial. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pola aktivitas koleksi photocard eksklusif melibatkan beberapa pihak, seperti penggemar, idol, dan brand. Relasi pertama memfungsikan photocard sebagai objek yang memperlihatkan identitas sosial fandom K-Pop yang memiliki nilai emosional. Relasi kedua memfungsikan photocard sebagai valued product, yakni objek yang memiliki nilai lebih untuk memantik pola konsumerisme kelompok penggemar. Relasi ketiga memfungsikan photocard sebagai objek dan komoditas budaya penggemar. Ketiganya mencerminkan bahwa photocard eksklusif lebih dari sekedar benda material sebab mampu menjadi penghubung relasi antara penggemar, idol, dan brand.

Exclusive photocards are a collection object for K-Pop fan groups, one of which is a complete form of collaboration between idols and brands. The form of exclusivity and limited edition offered is an attraction that is hard to miss for fans. This study analyses the cultural behaviour of K-Pop fans through exclusive photocard objects as intermediaries for fans, idols, and brands. The research was conducted using quantitative and qualitative methods from January to June 2022. The quantitative stage was a survey of 212 respondents of K-Pop fans to map fan culture and select potential informants. The primary data collection was carried out through qualitative methods in the form of digital ethnography with in-depth virtual interviews with six informants and digital observations on social media. This study found that the pattern of exclusive photocard collection activities involved several parties, such as fans, idols, and brands. The first relation functions the photocard as an object that shows the social identity of the K-Pop fandom that has emotional value. The second relationship functions as a photocard as a valued product, an object with more value to ignite a pattern of consumerism among fan groups. The third relation functions photocards as objects and commodities of fan culture. All three reflect that exclusive photocards are more than just material objects because they can be a link between fans, idols, and brands."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>