Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6580 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Wahyuni R. Kamah
"Nyamuk Aedes aegypLi merupakan vektor demam berdarah yang tersebar luas, terutama di perkptaan n Pengendalian populasi larva /le. aegypti dengan menggunakan ikan predator telah lama diketahui. Suatu penelitian deskriptif eksperimental tentang kemampuan makan ikan ApLocheilus panchax (Cypr inodontidae ) j CoLisa Ictlia ( Anaban t idae ), dan Poecilia. r&ticuLctta (Poecilidae) telah dilakukan di laboratorium. Metode pengamatan adalah pengamatan secara langsung, yaitu melihat jumlah larva yang dimangsa/ikan/hari selama 4 hari. Banyaknya ulangan untuk setiap jenis ikan adalah 10 kali. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: (1) Terdapat perbedaan kemampuan memangsa larva pada ketiga jenis ikan yang diamati; (2) C. Lalia adalah pemangsa larva yang rakus, diikuti oleh A. panchax, dan terakhir P. reticulata; (3) Pada ikan A. panchax dan P- reticulata terdapat korelasi positif antara rata-rata panjang total tubuh dengan jumlah larva yang dimangsa/ikan/hari"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sungkar, Saleha
"LATAR BELAKANG
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue. Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk "Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Ae. albopictus sebagai vektor potensial. DBD pertama kali dilaporkan di Surabaya (Partana dkk., 1970) dan Jakarta (Kilo dkk., 1969) pada tahun 1968. Pada saat itu di Surabaya terdapat 58 kasus anak dan 24 di antaranya meninggal dunia (Case Fatality Rate 41.3%). Sejak saat itu jumlah kasus DBD terus meningkat dan penyebarannya semakin luas. DBD tidak saja menyerang masyarakat kumuh tetapi juga menyerang masyarakat dengan sosial ekonomi tinggi. Pada tahun 1973 DBD mulai menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia; jumlah kasus mencapai 10.189 dengan insidens 8.14% (Suroso, 1983).
Pada tahun 1986 semua kelurahan di DKI Jakarta sudah merupakan daerah endemis kecuali Kepulauan Seribu (Masyhur, 1988). Pada tahun 1987 terjadi kejadian luar biasa di 13 propinsi yaitu pada 44 daerah tingkat II dengan insidens 13.5%. Pada tahun 1988 insidens mencapai 27.09 % dan DBD telah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor Timur (Suroso, 1990). Laporan terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 1992, DBD merupakan penyakit yang endemis di 19 propinsi, 122 Dati II, 605 kecamatan dan 1800 desa/kelurahan. Propinsi terakhir yang melaporkan kasus DBD adalah Timor Timur yaitu pada bulan Maret 1993 ditemukan satu kasus DBD di Dili (Soerjosembodo, 1993).
Sampai saat ini vaksin dan obat antivirus DBD belum ditemukan, karena itu satu-satunya cara pemberantasan DBD yang dapat dilakukan adalah pemberantasan vektor untuk memutuskan rantai penularan. Pemberantasan ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengasapan dengan insektisida malation 4%, abatisasi dengan temefos 1% dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Pengasapan dalam radius 100 m di areal sekitar rumah penderita DBD telah dilaksanakan sejak tahun 1969. Tindakan ini ternyata tidak cukup untuk mengendalikan DBD di Indonesia. Pada tahun 1980-1988, selain pengasapan juga dilakukan abatisasi masal di berbagai kota endemis. Di Yogyakarta, pada tahun 1981 dilakukan abatisasi masal di wilayah kota oleh 2.370 tenaga sukarela. Abatisasi masal ini berhasil menurunkan populasi vektor sampai mendekati nol dalam 2 minggu setelah tindakan; namun 3 bulan sesudah abatisasi dihentikari, kepadatan vektor berangsur-angsur meningkat kembali mencapai 50% kepadatan sebelum dilakukan abatisasi (Lubis, dkk., 1985; Suroso, 1983). Sementara itu jumlah kasus DBD semakin bertambah, proporsi kasus dewasa meningkat dan penyebarannya semakin luas. Berdasarkan data di atas, disimpulkan bahwa secara keseluruhan DBD masih belum dapat dikendalikan dengan pengasapan dan abatisasi (Suroso, dkk., 1991; Dep Ides, 1992; Piarah, 1993).
Untuk mengatasi masalah ini dikembangkan suatu cara pemberantasan yang disebut PSN. Tujuan utama PSN adalah untuk meniadakan tempat perindukan stadium muda. Pemberantasan stadium muda dilakukan dengan menguras Tempat Penampungan Air (TPA) seminggu sekali serta membuang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan ke tempat sampah yang akan diangkut oleh dinas kebersihan (Suroso T., 1984).
PSN adalah suatu cara pemberantasan yang aman, murah, mudah dan mempunyai angka keberhasilan yang tinggi bila dilakukan secara serentak dan berkesinambungan (Masyhur, 1985; Pranoto, 1992). Namun demikian pelaksanaan PSN mengalami hambatan karena tidak semua masyarakat mau melakukan PSN. Hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai DBD dan pencegahannya masih rendah.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengabutan insektisida lamda sihalotrin terhadap larva Ae.aegypti pada beberapa kontainer di dalam dan di luar rumah. Pengabutan dilakukan pagi hari di daerah pemukiman desa Karangcegak, Banyumas dengan menggunakan alat Swing Fog SN II yang berisi lamda sihalotrin 25 EC dosis 40 ml/ha. Berdasarkan uji hayati (Air Bioassay) diketahui dosis 40 ml/ha lamda sihalotrin 25 EC efektif membunuh larva Ae.aegypti sebanyak 80-100% di dalam rumah dan 60-84% di luar rumah pada kontainer yang berdiameter antara 2-12 cm."
MPARIN 10 (1-2) 1997
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hendarmoko
"ABSTRAK
Telah dilakukan suatu penelitian terhadap Anisops sp. (Notonectidae) yang
diperoleh dari Situ FMIPA-UI, Depok untuk digunakan sebagai pengendali hayati
larva nyamuk Aedes aegypti pada kondisi laboratorium. Jenis kelamin jantan
mempunyai bentuk abdomen ramping dengan lebar abdomen 1,51 ± 0,08 mm dan
panjang tubuh sebesar 7,74 ± 0,14 mm dibanding dengan betina yang mempunyai
lebar abdomen 1,67 ± 0,05 mm dan panjang tubuh 7,44 ±0,12 mm. Siklus hidup
Anisops sp. membutuhkan waktu 28 hari, dengan masa inkubasi telur 5 hari, dan
masa perkembangan instar I sampai dengan instar V berturut-turut memerlukan
waktu 7 hari, 3 hari, 3 hari, 4 hari dan 6 hari. Bentuk telur Anisops oval dengan
kedua ujung tumpul serta terdapat semacam 'pintu' pada salah satu ujungnya.
Permukaan telur kasar, umumnya transparan, warna bervariasi dari kekuningan,
coklat muda sampai coklat tua dengan panjang telur 1,20 ± 0,02 mm dan lebar
0,44 ± 0,01 mm. Anisops paling banyak menghasilkan 10 telur/ekor/hari dan rata-rata
menghasilkan 2,85 ± 0,36 telur/ekor/hari. Daya tetas telur Anisops sebesar
0,70%. Anisops berpotensi sebagai pengendali hayati larva nyamuk dengan
pemangsaan terbesar sebanyak 22,56 ± 2,17 larva/hari dan nilai pemangsaan ratarata
sebesar 39,75% dari larva yang diberikan.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Untuk menghindari dampak negatif penggunaan insektisida, WHO menganjurkan pengendalian biologik dengan menggunakan jasad hayati yang bersifat predator, salah satunya adalah copepoda. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan predasi copepoda terhadap larva Aedes di laboratorium. Hasil penelitian tentang kemampuan predasi 7 jenis anggota copepoda menunjukkan kemampuan predasi yang bervariasi antara 83% - 100%. Kemampuan predasi tertinggi dicapai pada perlakuan dengan M.longisetus, M.aspericornis, dan Ma.albidus.
"
MPARIN 11 (1) 1998
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Erdi Nur
"Pengendalian terhadap vektor penyakit demam berdarah sampai saat ini masih menggunakan insektisida dan larvasida sintetis. Penggunaan secara berulang-ulang mengakibatkan timbulnya resistensi vektor, matinya hewan lain yang bukan sasaran, dan pencemaran terhadap lingkungan. Untuk mengurangi berbagai dilema tersebut perlu dicarikan alternatif dengan menggunakan pestisida nabati.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui toksisitas ekstrak daun selasih (Ocimuni sanctum) pada berbagai konsentrasi sehingga dapat diketahui konsentrasi yang efektif untuk membunuh larva Aedes aegypti.
Rancangan penelitian adalah post-test only control design dimana subyek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan 5 (lima) perlakuan dan 5 (lima) replikasi. Bahan yang digunakan adalah daun selasih (Ocimum sanctum) yang diekstrak dalam etanol 10%, kemudian dilarutkan dalam aquadest dengan konsentrasi 1200 ppm, 1300 ppm, 1 400 ppm, 1500 ppm, dan 1600 ppm. Selanjutnya dimasukkan larva Aedes aegypti sebanyak 40 ekor pada masingmasing kontainer yang berisi larutan ekstrak.
Untuk menentukan LC50 (LC= lethal concentration) digunakan analisis prabit. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pemberian ekstrak daun selasih (Ocimum sanctum) terhadap kematian larva digunakan uji Anova satu faktor. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna setiap perlakuan dilakukan dengan uji Bonferroni.
Dan hasil penelitian diperoleh LC50 sebesar 1293.8 ppm. Hasil uji anova diperoleh p < 0.05, yang berarti ada perbedaan yang bermakna secara signifikan pada taraf 95% antara pemberian berbagai konsentrasi ekstrak daun selasih terhadap kematian larva Aedes aegypti. 5edangkan konsentrasi yang effektif untuk membunuh larva Aedes aegypti sebesar 1523,4 ppm. Penelitian ini merekomendasikan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang zat aktif dalam daun selasih yang berperan sebagai larvasida, menentukan batas keamanan konsentrasi, dan uji lapangan sebelum diterapkan untuk pengendalian larva, serta penelitian kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai repelent dan insektisida.
Daftar bacaan : 38 (1983 - 2000)

Toxicity of Extract from Ocimum Sanctum Leaves Toward Death of Aedes Aegypti LarvaThe controlling for vector of dengue hemorrhagic fever has been using insecticide and synthetic larvicide?s. The use of insecticide repeatedly produces vector resistance, death of another animal that are not target, and environmental pollution. To reduce those dilemmas we have to choice alternatives for instance by using phyto pesticide. This research aimed to know toxicities of extract from Ocirnrnn sanctum leaves in various its concentration, so that we will know what concentration is effective to kill Aedes aegypti larva.
The research design is post-test only design, the subject is divided to two groups-groups for treatment and controlling with five treatments and five replications by using extract from Ocimum sanctum leaves. It is extracted in ethanol solution 10%, and then is dissolved in aquadest with 1200 ppm, 1300 ppm, 1400 ppm, and 1600 ppm. concentration. Finally 40 Aedes aegypti larva are filled in container that has been contained extract ofOc/mum sanctum leaves.
To determine LC50 (lethal concentration) has been used probit analysis and to know differences from providing Ocimum sanctum leaves extract toward larva death has been used one-way ANOVA test. While to know differences of significant test in each of treatment have been used Bonferonni test.
The results of this research described LC5o is I293.7 ppm. The result of ANOVA test is p,al,, < 0.05, it means there are significant differences in 95% confidence level between in providing various extract concentration from Ocimum sanctum leaves toward Aedes aegypti larva death.
The effective concentration to kill Aedes aegypti larva is 1523.4 ppm. Recommendations on this study are important to see about active subtance in Ocimum sanctum leaves that act as larvicide?s on further study, finally it can be use as repellent and insecticide.
References: 38 (1983 - 2000)"
Universitas Indonesia, 2000
T5206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Hestu Sajoga Soetjipto
"Ryamuk Aedes aegypti (Linnaeus) merupakan vektor
utama penyakit demam berdarah di Indonesia. Di Indonesia,
pemakaian diflubenzuron terhadap larva aegypti guna
pengendalian populasi nyamuk tersebut, masih dalam taraf
percobaan.
Dalam penelitian ini dilakukan perlakuan larutan diflubenzuron
0,01, 0,04, dan 0,07 ppm terhadap instar IIIIV
aeg7;rpti. Hasil penelitian diperoleh dengan cara
mengamati persentase dan waktu kematian larva yang diberi
perlakuan, pertiimbuhan larva pada kontrol, serta morfologi
larva yang mati akibat perlakuan dan larva yang normal.
Hasil penelitian menunjukkan, babwra: kematian 100%
larva aegypti tercepat terjadi pada larutan diflubenzuron
0,07 ppm pada hari kelima; pemaparan dengan larutan
diflubenzuron menyebabkan terjadinya hambatan pertumbuhan
dan kematian pada larva aegypti; terjadi kematian
sebanyak 27, 34, 40, dan 0 larva aeg?7'pti pada larutan
diflubenzuron 0,01, 0,04, 0,07, dan kontrol pada hari kelima.
Dari penelitan ini dapat dikemukakan, bahwa larva Ae.
aegypti peka terhadap larutan diflubenzuron 0,01, 0,04, dan
0,07 ppm di laboratorium."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasril
"Pengendalian vektor penyakit Demam Berdarah sampai saat ini, masyarakat masih menggunakan insektisida dan larvasida sintetis. Penggunaan Insektisida sintetis yang tidak bijaksana dapat mengakibatkan timbulnya resistensi vektor, matinya hewan lain yang bukan sasaran dan mencemari lingkungan. Untuk mengurangi masalah ini perlu dicarikan alternatif lain dengan memanfaatkan pestisida nabati.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya daya bunuh ekstrak biji Sirsak terhadap larva Aedes aegypti, pada berbagai konsentrasi sehingga diketahui konsentrasi yang efektif untuk membunuh larva Aedes aegypti. Ekstrak biji Sirsak (Annona muricata Linn) mempunyai kandungan bioaktif yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bioaktif yang terdapat di dalam biji sirsak adalah senyawa alkaloid yang terdiri dari Acetogenin dan Annonaine.
Jenis penelitian ini adalah experiment murni dengan rancangan post-test only control group design, dimana subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan 5 konsentrasi ekstrak biji Sirsak dan lima replikasi. Konsentrasi yang digunakan yaitu konsentrasi 400 ppm, 500 ppm, 600 ppm, 700 ppm dan 800 ppm.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak biji Sirsak yang telah diberikan ternyata terdapat ada perbedaan kematian larva Aedes aegypti pada setiap konsentrasi yang telah diberikan. Kematian larva setelah 6 jam pengamatan pada konsentrasi terendah 400 ppm terdapat kematian sebanyak 20% dan pada konsentrasi tertinggi 800 ppm terdapat kematian sebanyak 75,5%. Sedangkan kematian larva setelah 12 jam pengamatan pada konsentrasi terendah 400 ppm terdapat kematian sebanyak 34% dan pada konsentrasi tertinggi 800 ppm terdapat kematian sebanyak 89%.
Dari hasil uji probit, nilai LC50 dari konsentrasi ekstrak biji Sirsak terdapat pada konsentrasi 503,230 ppm. Hasil uji anova pada Cl 95% menunjukkan ada perbedaan kematian larva Aedes aegypti yang signifikan setelah pemberian berbagai konsentrasi ekstrak biji Sirsak (p < 0,05). Setelah dilakukan Uji keamanan, Ekstrak Biji Sirsak tidak memberikan efek toksik terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpro L).
Dari penelitian ini terbukti bahwa ekstrak biji Sirsak mempunyai daya bunuh terhadap larva Aedes aegypti. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan jenis senyawa bioaktif yang paling toksik sebagai pestisida nabati dengan cara melakukan pemisahan zat bioaktif yang terkandung dalam biji Sirsak.

Toxicity Test of Sour sop (Annona muricata.Linn) Seed Extract to Aedes aegypti LarvaVector control of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), until now in society still use synthetic insecticide and larvicides. The use of insecticide synthetic which is unwise can cause resistant vector, the death of other animals which are not target, and environment pollution. In order to reduce this problem, it is necessary to find other alternative with the use of vegetable pesticide.
The purpose of this research is to know the effect of Sour sop seed extract toward Aedes aegypti larva. Extract of Sour sop (Annona muricata.Linn) seed has bioactive content which can use as effective vegetable pesticide. This bioactive is classified to the alkaloid compound like Acetogenin and Annonaine. Kind of this research is pure experiment with design post-test only control group design, that the subject devided into two groups with five treatments and five replication. The numbers of concentration which use in this research are 400 ppm, 500 ppm, 600 ppm, 700 ppm and 800 ppm.
The result of this research shown that Sour sop seed extract added to the larva in this experiment cause a different death of larva in each concentration. The six hours death of the larva after treatment at the lowest concentration 400 ppm give 20% number of death, and at the higher concentration 800 ppm give 75.5% number of death. While at the twelve hours death of the larva after treatment, at the lowest concentration 400 ppm give 34% number of death and at the higher concentration 800 ppm give 89% number of death.
From the probit test result, the number of LC50 of Sour sop seed extract is given at concentration 503.230 ppm. The Anova result test with CI 95% shown the significant different number of death from Aedes aegypti larva after gave several concentration sour sop seed extract (p< 0,05). After doing the safety test, Sour sop seed extract didn't give the death effect to the gold fish (cyprinus carpio.L)
From this research proved that sour sop seed extract has killed potency to the death of Aedes aegypti larva, ft is important to do some advance research to get the specific bioactive compound which most toxic as vegetable pesticide, by the extraction of bioactive compounds which contain in Sour sops seed."
2000
T10350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>