Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114073 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Martini Handayani
"ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi antibodi anti albumin tikus dengan cara
hiperimunisasi kelinci. Isolasi dilakukan karena antibodi anti albumin tikus
diperlukan untuk penelitian terhadap reaksi silang antara alfa-fetoprotein
(AFP) dan albumin tikus, sedangkan antibodi tersebut belum tersedia di
pasaran. Antibodi anti albumin tikus didapat dengan cara menyuntik dua
ekor kelinci masing-masing dengan 1 mg albumin tikus yang telah dibuat
emulsi dengan ajuvan lengkap Freund pada bagian punggung secara
subkutan. Suntikan ulangan dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu
± 10 hari dengan dosis sama yang telah dibuat emulsi dengan ajuvan tak
lengkap Freund. Pada penelitian ini antibodi dideteksi dengan teknik ELISA
dan Western-blot. Hasil ELISA menunijukkan titer antibodi yang didapat
sangat tinggi, yaitu 3.200.000. Dengan teknik Western-blot dapat dibuktikan
bahwa antibodi anti albumin tikus yang diisolasi bereaksi dengan polipeptida
albumin tikus yang mempunyai berat molekul ± 60.000 Da. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa antibodi anti albumin tikus yang dilsolasi
cukup murni dan spesifik karena antibodi tersebut bereaksi positif dengan
albumin tikus dan bereaksi negatif dengan AFP tikus."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rachel Abigail
"Hipoalbuminemia pada pasien kanker menyebabkan survival rate pasien menurun sehingga perlu dikoreksi dengan terapi infus human albumin. Perbedaan penggunaan konsentrasi albumin di Formularium Nasional dan oleh dokter di rumah sakit menimbulkan peningkatan beban biaya rumah sakit. Tujuan penelitian adalah menganalisis perbedaan efektivitas produk human albumin 20% dan 25% terhadap peningkatan kadar albumin pada pasien kanker BPJS yang mengalami hipoalbuminemia di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2019. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap data sekunder pasien yang dirawat pada periode Januari hingga Desember 2019 di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling. Data diperoleh sebanyak 139 sampel. Kadar albumin diamati sebelum dan sesudah pemberian terapi infus albumin. Hasil uji beda proporsi karakteristik subyek penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan proporsi karakteristik pasien antar kelompok human albumin 20% (n=32) dan kelompok human albumin 25% (n=107) (p > 0,05). Hasil uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan signifikan kadar albumin sebelum dan sesudah pemberian terapi infus albumin pada masing-masing kelompok (p < 0,05). Rata-rata peningkatan kadar albumin produk human albumin 20% adalah 0,3063 g/dL dan produk human albumin 25% adalah 0,5346 g/dL. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata peningkatan kadar albumin yang signifikan antara kelompok penelitian (p < 0,05) di mana produk human albumin 25% menghasilkan rata-rata peningkatan kadar albumin lebih besar. Perbedaan harga human albumin 20% dan 25% besar, sehingga dapat dilakukan sosialisasi kepada dokter untuk menggunakan human albumin 20% untuk terapi hipoalbuminemia.

Hypoalbuminemia on cancer patients causes patients’ survival rate to decrease, therefore needs to be corrected with human albumin infusion therapy. Differences in albumin concentration usage in National Formulary and by doctors in hospital raises the hospital cost burden. This study aimed to compare the effectiveness of human albumin 20% and 25% based on albumin level increase in BPJS cancer patients with hypoalbuminemia at Dharmais Cancer Hospital in 2019. This study used a retrospective cohort method towards secondary data of patients treated from January to December 2019 at Dharmais Cancer Hospital. Samples were collected using consecutive sampling technique. A total of 139 samples were collected. Albumin levels were observed before and after human albumin infusion therapy. Proportion difference test on subject characteristics showed no significant difference between human albumin 20% group (n=32) and human albumin 25% group (n=107) (p > 0,05). Mean difference test on albumin levels before and after human albumin infusion therapy showed significant difference between groups (p < 0,05). Average of albumin levels increase in human albumin 20% and 25% groups respectively are 0,3063 g/dL and 0,5346 g/dL. Mean differences test showed a significant difference on albumin levels increase between observed groups (p < 0,05), with human albumin 25% resulted in a greater average of albumin level increase. Human albumin 20% and 25% have a great difference in price, therefore doctors should be socialized in the usage of human albumin 20% for hypoalbuminemia therapy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70520
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Kirana Andranilla
"Pengembangan terapi berbasis protein meningkat signifikan selama 30 tahun terakhir untuk penyembuhan berbagai penyakit. Namun, sifat alami protein seperti berat molekul yang besar dan permeabilitas membran yang buruk menyebabkan terapi diberikan secara injeksi. Pemberian ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien dan limbah jarum, sehingga diperlukan sistem penghantaran baru yaitu dissolving microneedles (DMN). DMN dibuat dengan cara two-step casting micromolding yang melokalisasi bahan aktif untuk berada di bagian jarum. Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai model protein, diformulasikan ke dalam DMN dengan polimer poli(vinil alkohol) (PVA) 1,25-5% dan poli(vinil pirolidon) (PVP) 30-40%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengevaluasi formula DMN yang mengandung BSA (DMN-BSA) dengan metode pembuatan two-step casting micromolding. Evaluasi sediaan DMN-BSA meliputi morfologis, kekuatan mekanis dan insersi, uji pelarutan dan insersi dalam kulit, pengukuran kadar BSA, uji pelepasan in vitro, serta uji iritasi secara in vivo. Berdasarkan keseluruhan evaluasi yang telah dilakukan, formula F15 dengan polimer kombinasi PVP 30% dan PVA 1,25% merupakan formula yang paling berpotensi untuk formulasi BSA ke dalam DMN. F15 memiliki morfologi yang baik, hasil penurunan tinggi jarum yang rendah dengan nilai 13,53 ± 0,03%, dan dapat masuk hingga lapisan keempat pada Parafilm M®. Selain itu, F15 dapat menembus ke dalam kulit dan memiliki kadar BSA yang tinggi setelah proses pembuatan, yaitu 91,91 ± 1,05 %. DMN-BSA dengan formula ini dapat menghantarkan BSA hingga 93,31 ± 5,49% dan tidak menimbulkan iritasi setelah diaplikasikan pada kulit tikus selama 24 jam. Sehingga, DMN dengan kombinasi polimer PVP-PVA berpotensi untuk menghantarkan BSA secara transdermal dan tidak menimbulkan iritasi.

Over the last 30 years, there has been a significant increase in the development of protein-based therapies for the treatment of various diseases. However, due to the nature of the protein, such as its high molecular weight and poor membrane permeability, therapy must be administered via injection. This administration can be uncomfortable for the patient and generate waste needles, therefore a new delivery system, namely dissolving microneedles (DMN), is required. DMN is made using a two-step casting micromolding process that concentrates the active ingredient in the needle. As a protein model, bovine serum albumin (BSA) was formulated into DMN with poly(vinyl alcohol) (PVA) 1.25-5% and poly(vinyl pyrrolidone) (PVP) 30-40%. The goal of this study was to obtain and evaluate the DMN-BSA formula using the two-step casting micromolding method. Morphology, mechanical strength and insertion, dissolution and skin insertion tests, BSA level measurement, in vitro permeation tests, and in vivo irritation tests were all used to evaluate DMN-BSA preparations. Based on the evaluations, the F15 formula with a combination of 30% PVP and 1.25% PVA had the greatest potential for BSA formulation into DMN. F15 had good morphology, a low needles height reduction of 13.5±0.03%, and penetrated up to the fourth layer of Parafilm M®. Furthermore, F15 penetrated the skin and had a high BSA level after the manufacturing process of 91.91±1.05%. This formula of DMN-BSA delivered up to 93.31±5.49% BSA and did not cause irritation after 24 hours administered on rat skin. As a result, DMN with a PVP-PVA polymer combination had the potential to deliver BSA transdermally while causing no irritation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Dwi Kurniawan
"Latar Belakang: Ulkus kaki diabetik terinfeksi merupakan kasus DM yang paling banyak dirawat di RS, berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, biaya yang tinggi dan bersifat multifaktorial. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah albumin. Belum ada penelitian yang secara langsung menghubungkan konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Belum ada batasan mengenai konsentrasi albumin yang dapat mempengaruhi perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Tujuan: Mendapatkan data mengenai konsentrasi albumin serum awal perawatan dan hubungannya dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Metodologi: Penelitian dengan desain kohort prospektif terhadap 71 pasien diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang dirawat inap di RSUPNCM, RSPADGS atau RSP pada kurun waktu April-Agustus 2014. Diagnosis dan klasifikasi ulkus kaki diabetik terinfeksi menggunakan kriteria IDSA. Data klinis dan albumin serum diambil dalam 24 jam pertama perawatan dan diikuti dalam 21 hari perawatan dengan terapi standar untuk dilihat perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Perbedaan rerata konsentrasi albumin antara subjek yang mengalami perbaikan klinis infeksi dan yang tidak, diuji dengan uji t tidak berpasangan dengan batas kemaknaan p<0,05. Untuk analisis multivariat, digunakan analisis regresi logistik dengan koreksi terhadap variabel perancu. Kemudian dinilai kemampuan konsentrasi albumin serum dalam memprediksi perbaikan klinis dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong konsentrasi albumin serum dengan sensitifitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini.
Hasil: Rerata konsentrasi albumin pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik dan yang perbaikan, masing-masing sebesar 2,47 (0,45) g/dL dan 2,94 (0,39) g/dL (p<0,001). Setelah penambahan variabel perancu, didapatkan adjusted OR untuk setiap penurunan konsentrasi albumin 0,5 g/dL adalah 4,81 (IK95% 1,80;10,07). Konsentrasi albumin kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi bahwa ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan mengalami perbaikan dalam 21 hari perawatan dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Konsentrasi albumin serum kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan membaik dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.

Background: Infected diabetic foot ulcer is the most common case of diabetes mellitus (DM) for hospitalization. It is associated with high morbidity, mortality, expensive cost of treatment and has multifactorial aspects. Albumin is considered as one of the factors associated with the disease. No studies have been conducted to demonstrate direct association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Moreover, no standardized value on albumin level has been set, particularly that may influence the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Objective: To obtain data about serum albumin level at early hospitalization and to recognize its association with clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Methods: A prospective cohort study was conducted. The study evaluated 71 patients with infected diabetic foot ulcers who were hospitalized at Cipto Mangunkusumo Hospital, Gatot Soebroto Hospital or Persahabatan Hospital between April and August 2014. Diagnosis and classification of infected diabetic foot ulcers were made using the IDSA criteria. Clinical data and serum albumin level were obtained within the first 24 hours of hospitalization and the data were followed within 21 days of hospitalization with standard treatment in order to evaluate any clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Unpaired t test with significance value of p <0,05 was used to show the difference of the mean of serum albumin level between subjects with clinical improvement and without clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Afterwards, a logistic regression analysis with adjustment to the confounding variables was used. ROC curve and AUC were used to analyze the capacity of serum albumin level in predicting clinical improvement. Then, a cut-off point of serum albumin level with the best sensitivity and specificity was determined to predict the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Results: The mean of serum albumin concentration of the group with clinical improvement and without improvement were 2,47 (0,45) g / dL and 2,94 (0,39) g / dL (p <0,001) respectively. After adjusting the confounding variables, we found that serum albumin level had an adjusted OR of 4,81 (95% CI 1,80;10,07) for every decrease in albumin level of 0,5 g / dL. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL had sensitivity of 75% and specificity of 69,6% in predicting that the infected diabetic foot ulcers would not improve within 21 days of hospitalization.
Conclusions: There is a association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL can predict that the infected diabetic foot ulcers will not improve with sensitivity of 75% and specificity of 69,6%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Kristyanto
"Musik dapat memodulasi emosi melalui pengeluaran neurohormon. Modulasi ini berakibat pada perubahan masukan dan penggunaan energi sehingga berpengaruh terhadap berat badan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh pajanan musik rock terhadap berat badan tikus galur Wistar. Kelompok variabel diberi pajanan musik rock selama empat jam dalam 15 hari. Tiap tiga hari berat badan tikus ditimbang. Data tersebut dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan. Didapatkan bahwa pajanan musik rock secara signifikan meningkatkan berat badan tikus (P=0,028). Pajanan musik rock selama empat jam dalam 15 hari meningkatkan berat badan tikus galur Wistar.

Music can modulate emotion through neurohormones secretion. This modulation affects energy input and output, and thus body weight. This research aimed to know whether rock music influenced rats’ body weight. The variable group was exposed to rock music for four hours in 15 consecutive days. Every three days, rats’ body weight was measured. The data were analyzed using unpaired-t test. This study resulted in that rock music significantly increase rats’ body weight (P=0.028). Rock music exposure to Wistar-strained rats for four hours in 15 consecutive days resulted in the increase of their body weight."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Nugroho Putri
"Hipoksia pada ketinggian diketahui menyebabkan stress oksidatif. Dilakukan penelitian mengenai aktivitas spesifik katalase pada jaringan hati tikus dengan metode spektrofotometri untuk mengukur pemecahan hidrogen peroksida. Tikus dipajankan pada hipoksia hipobarik akut berulang dengan simulasi ketinggian 35,000 kaki yang diturunkan bertahap ke ketinggian 25,000 kaki, 20,000 kaki, lalu 18,000 kaki. Hewan uji dibagi ke dalam 4 kelompok: 1) diberi 1 kali perlakuan, 2) diberi 2 kali perlakuan, 3) diberi 3 kali perlakuan, 4)diberi 4 kali perlakuan, dengan setiap prosedur diselingi periode normoksia selama 7 hari. Hipoksia menyebabkan penurunan aktivitas spesifik katalase pada semua kelompok uji. Penurunan bermakna didapatkan pada kelompok 2 (p = 0.008), 3 (p = 0.008), dan 4 (p = 0.008). Hasil pada kelompok 1 tidak menunjukkan perbedaan bermakna dibandingkan kontrol (p = 0.548). Hipoksia hipobarik menginduksi penurunan aktivitas spesifik katalase hati.

Hypoxia at high altitude is known as a cause of oxidative stress. Specific activity of catalase in rat liver submitted to recurrent acute hypobaric hypoxia were studied by means of measuring the breakdown of hydrogen peroxide spectrophotometrically. Animals were submitted to simulated altitudes of 35,000 ft lowered gradually to 25,000 ft, 20,000, and 18,000 ft. The experimental groups were as follows: 1) rats exposed to one procedure, 2) exposed to two procedures, repeatedly, 3) exposed to three-times of procedures, and 4) exposed to four-times of procedures, each procedure was interrupted with 7 days period of normoxia. Hypoxia produced a decrease in specific activity of liver catalase in all experimental groups. Significant decreases were showed in group 2 (p = 0.008), 3 (p = 0.008), and 4 (p = 0.008). Group 1 showed no significant difference compared to control group (p = 0.548). Hypobaric hypoxia induces a decrease in the specific activity of catalase in rat liver."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Rapih Astuti Natsir
"Musik klasik diduga memengaruhi fisiologis modulasi melalui nafsu makan. Namun, belum ada penelitian yang secara langsung membahas efek musik klasik terhadap nafsu makan. Penelitian ini dilakukan secara eksperimental pada 36 tikus galur wistar dewasa dibagi dalam dua kelompok. Satu kelompok tikus dipajankan musik klasik selama lima belas hari dan kelompok lainnya tidak dipajankan musik. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna rerata jumlah makanan yang dikonsumsi perhari antara kedua kelompok (p = 0,148). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa tidak terdapat hubungan antara pajanan musik klasik dan nafsu makan pada tikus galur Wistar.

Classical music is hypothesized influence physiology through appetite modulation. But, there hasn`t been a study directly investigating the effect of classical music on food appetite. This study was conducted experimentally to 36 adult Wistar-Strained rats into two groups. One group rats was exposed to classical music for fifteen days and other group didn`t get music exposure. The result showed no significant difference on mean of food consumed per day between two groups (p = 0,148). The conclusion of this study is that there is no association between classical music exposure and food appetite in Wistar-Strained rats."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S09135fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zahira Zanira
"Latar belakang: Herb-Induced Liver Injury (HILI) merupakan kondisi kerusakan hati yang disebabkan oleh obat-obatan herbal dengan prevalensi 3 kejadian per 100.000 individu. Saat ini, penggunaan produk herbal sebagai obat alternatif telah meningkat 80% sejak tiga dekade terakhir. Lunasin termasuk salah satu produk herbal yang sedang marak digunakan karena efek antikanker dan antiinflamasinya. Namun, dosis aman dari lunasin sendiri belum diketahui sehingga perlu dilakukan uji toksisitas untuk menghindari HILI akibat lunasin.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain true experimental in vivo dengan bahan biologis tersimpan jaringan hati tikus Sprague-Dawley sebanyak 40 ekor yang sebelumnya diberi perlakuan: kelompok tanpa perlakuan (N); kelompok dosis ET-Lun 250 mg/kgBB (K250); kelompok dosis ET-Lun 500 mg/kgBB (K500); kelompok dosis ET-Lun 750 mg/kgBB (K750) yang kemudian diukur luas Kiernan Triad-nya menggunakan software Indomicroview.
Hasil: Rerata luas Kiernan Triad mengalami peningkatan dan penurunan pada tiap kelompok. Pada struktur arteri,vena, dan duktus, secara berurutan hasil rerata luas pada kelompok perlakuan normal adalah (2 ± 0,33) μm2, (2 ± 0,30) μm2 , (2 ± 0,33) μm2. Kelompok perlakuan ET-Lun dengan dosis 250 mg/kgBB (1,99 ± 0,32) μm2, (3,19 ± 0,44) μm2, (2,04 ± 0,27) μm2. Kelompok dosis 500 mg/kgBB (2,14 ± 0,24) μm2, (3,4 ± 0,32) μm2, (2,31 ± 0,23) μm2 . Kelompok dosis 750 mg/kgBB (1,99 ± 0,21) μm2, (3,45 ± 0,25) μm2, (2,3 ± 0,34) μm2. Namun, perbedaan rerata tersebut dinyatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan menurut uji one-way ANOVA (p > 0,05). Hasil uji korelasi menunjukkan nilai yang signifikan antara kelompok vena dan duktus (p < 0,05). Kekuatan korelasi antara kedua kelompok tersebut tergolong kuat dengan arah korelasi positif. Kesimpulan: Pemberian ET-Lun dengan dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750mg/kgBB tidak menunjukkan gambaran hepatotoksisitas terhadap jaringan hati tikus, khususnya pada luas Kiernan Triadnya.

Introduction: Herb-Induced Liver Injury (HILI) is a condition of liver damage caused by herbal medicines with a prevalence of 3 events per 100,000 individuals. Currently, the use of herbal products as alternative medicine has increased 80% since the last three decades. Lunasin is one of the herbal products that is currently being used because of its anticancer and anti-inflammatory effects. However, the safe dose of lunasin itself is unknown, so it is necessary to do a toxicity test to avoid HILI due to lunasin.
Method: This study used a true experimental in vivo design with biological material stored in the liver tissue of 40 Sprague-Dawley rats that were previously treated: with no intervention (N); ET-Lun dose group 250 mg/kgBW (K250); ET-Lun dose group 500 mg/kgBW (K500); The dose group of ET-Lun was 750 mg/kgBW (K750) which was then measured for the Kiernan Triad area using Indomicroview software.
Result: The average Kiernan Triad area increased and decreased in each group. In arteries, veins, and ducts, respectively, the mean area of the normal structure treatment group was (2 ± 0,33) μm2, (2 ± 0,30) μm2 , (2 ± 0,33) μm2. ET-Lun treatment group with a dose of 250 mg/kgBW was (1,99 ± 0,32) μm2, (3,19 ± 0,44) μm2, (2,04 ± 0,27) μm2. The 500 mg/kgBW dose group was (2,14 ± 0,24) μm2, (3,4 ± 0,32) μm2, (2,31 ± 0,23) μm2. The 750 mg/kgBW dose group was (1,99 ± 0,21) μm2, (3,45 ± 0,25) μm2, (2,3 ± 0,34) μm2. However, the mean difference was stated to have no significant difference according to the one-way ANOVA test (p > 0.05). ). The results of the correlation test showed a significant value between the venous and ductal groups (p < 0.05). The strength of the correlation between the two groups was strong with a positive correlation direction Conclusion: Administration of ET-Lun at a dose of 250 mg/kgBW, 500 mg/kgBW, and 750mg/kgBW did not show hepatotoxicity in rat liver tissue, especially in the Kiernan Triad area.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Dinda Safira
"Latar belakang: Dalam dua dekade terakhir, insidensi terjadinya Herb-Induced Liver Injury (HILI) terus meningkat di seluruh dunia karena terdapat banyak produk herbal yang belum melalui uji keamanan yang baik. Saat ini, salah satu produk herbal yang banyak dikonsumsi adalah lunasin. Namun, belum banyak uji toksisitas yang dilakukan terhadap senyawa tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian lunasin terhadap luas vena sentralis hati sebagai salah satu indikator toksisitas hati. Metode: 42 ekor tikus Sprague-Dawley (SD) dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan: kelompok normal, lunasin dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB. Setelah diberi perlakuan selama 90 hari, jaringan hati hewan uji diambil dan dijadikan preparat histopatologi. Pengukuran luas vena sentralis hati dilakukan menggunakan perangkat lunak Indomicro View.
Hasil: Luas vena sentralis hati pada kelompok lunasin dosis 250 mg/kgBB (3,82±1,8 x 103 μm2), 500 mg/kgBB (3,35±1,34 x 103 μm2), dan 750 mg/kgBB (2,12±0,93 x 103 μm2) tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelompok normal (2,52±0,66 x 103 μm2) (p > 0,05). Perbedaan signifikan hanya ditemukan antara kelompok dosis 250 dan 750 mg/kgBB (p = 0,02).
Kesimpulan: Lunasin dalam dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB tidak menyebabkan perubahan luas vena sentralis yang signifikan terhadap kelompok normal.

Introduction: In the last two decades, the incidence of Herb-Induced Liver Injury (HILI) continues to increase worldwide because many herbal products have not been tested thoroughly for their safety. Currently, a herbal product called lunasin is widely consumed. However, not many toxicity tests have been carried out on them. This study aimed to examine the effect of lunasin administration on the hepatic central vein area as one of the indicators of hepatotoxicity.
Method: 42 Sprague-Dawley (SD) rats were divided into four treatment groups: normal group, lunasin dose of 250 mg/kgBW, 500 mg/kgBW and 750 mg/kgBW. After 90 days of treatment, the rats’ liver tissues were made into histopathological preparations. Measurement of the hepatic central vein area was performed using the Indomicro View software.
Result: The hepatic central vein area in the lunasin group at a dose of 250 mg/kgBW (3.82±1.8 x 103 μm2), 500 mg/kgBW (3.35±1.34 x 103 μm2), and 750 mg/kgBW (2.12±0.93 x 103 μm2) did not have a significant difference to the normal group (2.52±0.66 x 103 μm2) (p > 0.05). A significant difference was only found between the 250 and 750 mg/kgBW dose groups (p = 0.02).
Conclusion: Lunasin in doses of 250 mg/kgBW, 500 mg/kgBW, and 750 mg/kgBW did not cause significant changes in the central venous area of the liver.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Suraya
"Musik dapat mempengaruhi emosi dan beberapa fungsi tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh pajanan musik rock terhadap nafsu makan pada tikus galur Wistar jantan dengan metode eksperimental. Selama 15 hari, tikus diberi pajanan musik rock selama empat jam per hari, dan diukur jumlah makanan yang dikonsumsi tiap tiga hari. Data dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan dan didapatkan bahwa pajanan musik rock secara signifikan berhubungan dengan perubahan nafsu makan pada tikus galur Wistar; nilai p = 0,007. Kesimpulannya, Pajanan musik rock selama empat jam dalam waktu 15 hari berpengaruh terhadap peningkatan nafsu makan tikus galur Wistar.

Music affects emotion and some body functions. The aim of this research is to know whether rock music exposed to Wistar-strained rats is linked to their appetite using experimental method. Each rat was exposed to rock music four hours a day in 15 consecutive days and measured for their food consumption every three day. The data were analyzed statistically with independent-t test. In conclusion, rock music was significantly linked to the change of appetite on Wistar-strained rats; p value: 0.007. Rock music exposure to Wistar-strained rats for four hours in 15 consecutive days resulted in the increase of their appetite."
2009
S09046fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>