Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154450 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuli Hastuti
"ABSTRAK
Eceng gondok (!Eichhornia crassipes (Mart.) Solms:) merupakan salah satu gulmasir yang banyak dijum- pai di perairan indonesia. Tumbuhan ini mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, oleh karenanya mempunyai kemampuan menyerap unsur hara, senyawa organik, dan unsur kimia lain dari air limbah dalam jumlah besar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan pemanfaatan eceng gondok sebagai penyerap unsur N, P, dan CD bahan organik dengan mengadakan pengukuran BOD dari efluen kolam sedimentasil di Instalasi Kolam Oksidasi Pulo Gebang, serta mengetahui pengaruh pencemaran efluen kolam sedimentasi terhadap pertumbuhan eceng gondok. Dari hasil yang diperoleh, ternyata karena tingginya kandungan bahan organik, N total, 'dan P total, maka air limbah yang langsung ditanami eceng-gondok^menyebabkan tumbuhan hanya dapat hidup selama 3-6 hari, tetapi tumbuhan
ini dapat hidup dalam efluen kolam sedimentasi yang telah diendapkan selama 7 hari. Eceng gondok yang ditanam dalam bak berisi efluen kolam sedimentasi selama 15 hari inampu menurunkan kadar N total dan BOD, tetapi tidak mampu tc^rh^-,dap kadar P. Dari hasil penanaman eceng gondok dalam '",ak berisi efluen kolam sedimentasi yang kemudian.diaerasi, d-i-peroleh;- bahwa semakin lama waktu perlakuan aerasi, pertumbuhan makin baik, terlihat dari kenaikan berat basah maupun jumlah daun yang mak-in meningkat walaupun masih jauh di bawah kondisi normal (Hoagland 25 %). Sedangkan dalam. efluen kolam sedimentasi yang diencerkan dengan air sungai kemudian diaerasi, dipproleh kenaikan. berat basah dan,jumlah daun yang lebih tihggi daripada dengan perlakuan aerasi saia. Dari hasil penelitian.ini dapat diambil kesimpulan bahwa e-ceng gondok sangat efektip terhadap penurunan kadar N dan BOD dari efluen kolam sedimentasi, sementara eceng gondok tidak efektip terhadap penurunan kadar P. Makin tinggi kadar unsur-unsur hara terkandung dalam-efluen kolam. Sedimentasi yang menyebabkan makin rendahnya kadar oksigen terlarut, tidak memberikan tambahan herat basah dan jumlah daun, tetapi menekan pertumbuhan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Dara Maylani
"Penelitian mengenai kemampuan Eichhornia crassipes (Mart.) Solms menyerap logam Fe dalam 3 variasi ukuran telah dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kemampuan eceng gondok dalam penyerapan logam Fe, mengetahui nilai faktor biokonsentrasi, dan tranlokasi serta efektivitas eceng gondok dalam mengurangi kadar logam Fe pada perairan berdasarkan variasi ukuran kecil, sedang, dan besar. Penelitian dilakukan agar dapat diimplementasikan pada perairan Situ Agathis Universitas Indonesia yang sudah tercemar oleh logam berat Fe. Penelitian dilakukan selama 14 hari dengan menggunakan 5 individu eceng gondok pada setiap perlakuan. Perlakuan penelitian dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol, kelompok yang diberikan logam FeCl3 5 ppm dan kelompok yang diberikan logam FeCl3 10 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eceng gondok dapat menyerap logam Fe dan dapat mentranslokasikannya dari bagian akar, ke bagian tangkai, dan daun. Eceng gondok berukuran kecil dan sedang paling efektif dalam menyerap logam Fe dengan efektivitas penurunan sebesar 99,98 %. Penyerapan logam Fe tertinggi terjadi pada eceng gondok ukuran kecil dengan perlakuan logam FeCl3 5 ppm yakni berjumlah 20.206,3 ppm

Research on the ability of Eichhornia crassipes (Mart.) Solms to absorb Fe metal in 3 size variations has been carried out. The aim of this study was to determine the ability of water hyacinth to absorb Fe, determine the value of bioconcentration and translocation factors as well as the effectiveness of water hyacinth in reducing Fe metal content in waters based on small, medium and large size variations. The research was conducted so that it could be implemented in the waters of Situ Agathis University of Indonesia which had been contaminated by heavy metal Fe. The study was conducted for 14 days using 5 individual water hyacinths in each treatment. The research treatments were divided into three treatment groups, namely the control group, the group given 5 ppm FeCl3 metal and the group given 10 ppm FeCl3 metal. The results showed that water hyacinth can absorb Fe metal and can translocate it from the roots, to the stalks and leaves. Small and medium water hyacinths were the most effective in absorbing Fe metal with a reduction effectiveness of 99.98%. The highest absorption of Fe metal occurred in small water hyacinths treated with 5 ppm FeCl3 metal, amounting to 20,206.3 ppm"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Nurhidayah
"Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman yang mengandung hemiselulosa tinggi, namun pemanfaatannya belum optimal. Tujuan penelitian adalah pemanfaatan eceng gondok sebagai sumber substrat dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol menggunakan khamir Debaryomyces hansenii. Penelitian dilakukan dua tahap yaitu pencarian kondisi optimum autohidrolisis dan biokonversi hidrolisat yang dihasilkan menjadi xilitol selama 3 hari dengan penggojokan 200 rpm pada suhu kamar. Kondisi optimum perolehan xilosa diperoleh melalui metode autohidrolisis selama 75 menit dengan rasio eceng gondok dan air 1:15 serta pasca hidrolisis selama 45 menit menggunakan asam sulfat 4%. Hasil hidrolisat yang didapatkan adalah 25,55 g/L xilosa. Biokonversi dengan konsentrasi xilosa 10% menghasilkan yield value xilitol sebesar 21,67%. Penambahan kosubstrat glukosa 1% dan gliserol 3% meningkatkan yield value xilitol masing-masing sebesar 25,95% dan 31,61%.

Water hyacinth (Eichhornia crassipes) is a plant containing high hemicellulose, but its utilization was not optimal. The research purpose is the utilization of water hyacinth as substrate source in the bioconversion of xylose into xylitol using Debaryomyces hansenii yeast. The research was conducted into two stages. Firstly, searching an optimum autohydrolysis conditions. Secondly, bioconversion of the resulting hydrolyzate into xylitol which carried out for 3 days with shaking 200 rpm at room temperature. The optimum conditions for the acquisition of xylose obtained through autohydrolysis methods for 75 minutes with 1:15 water hyacinth and water ratio and posthydrolysis for 45 min using 4% sulfuric acid. Results obtained from hydrolyzate was 25.55 g / L xylose. Bioconversion of 10 % xylose produce 21.67% xylitol yield. Cosubstrates addition of 1% glucose and 3 % glycerol increase xylitol yield respectively 25.95% and 31.61%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46992
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Citra Bonnita Putri
"Selulosa mikrokristal merupakan eksipien yang umum digunakan dalam pembuatan sediaan farmasetika terutama sediaan tablet. Selulosa mikrokristal telah berhasil dibuat dari tumbuhan gulma eceng gondok Eichhornia crassipes melalui proses hidrolisis enzimatis. Penelitian ini bertujuan meningkatkan kuantitas selulosa mikrokristal yang dihasilkan dengan memanfaatkan inhibitor ? -glukosidase yang diekstraksi dari lumut kerak, memperoleh kondisi optimum hidrolisis enzimatis meliputi optimasi pH dan waktu, serta mendapatkan identitas dan sifat fisikokimianya yang dibandingkan dengan selulosa mikrokristal standar, Avicel PH-101. Penelitian diawali dengan peremajaan kapang Trichoderma reesei, kemudian enzim selulase yang diekstraksi dari Trichoderma reesei bersama dengan inhibitor ? -glukosidase yang diekstraksi dari lumut kerak digunakan untuk hidrolisis enzimatis selulosa pada ? -selulosa hasil delignifikasi dari serbuk eceng gondok untuk memperoleh selulosa mikrokristal. Selulosa mikrokristal hasil hidrolisis enzimatis diidentifikasi, dikarakterisasi, dan dibandingkan dengan Avicel PH-101. Identitas dari selulosa mikrokristal diperoleh melalui spektrum inframerah yang mirip dengan standar. Selulosa mikrokristal yang diperoleh berupa serbuk sedikit kasar, tidak berbau dan berasa serta berwarna sedikit kekuningan dibandingkan standar. Karakteristik selulosa mikrokristal yang diperoleh meliputi terbentuk warna biru dengan larutan iodin, distribusi ukuran partikel sebesar 2,01 ? m, pH 7,03, kadar abu 0,23 , kadar air 3,42, susut pengeringan 3,16, kerapatan partikel passable, serta laju alir dan sudut istirahat yang memenuhi persyaratan. Berdasarkan perbandingan pola difraktogram dengan difraksi sinar-X dan secara morfologi dengan SEM Scanning Electron Microscope sudah terlihat kemiripan antara selulosa mikrokristal hasil hidrolisis dengan standar.

Microcrystalline cellulose is an excipient commonly used in the manufacture of pharmaceutical preparations, especially tablet preparations. Microcrystalline cellulose has been successfully made from water hyacinth Eichhornia crassipes through enzymatic hydrolysis process. This study aims to increase the quantity of microcrystalline cellulose produced by utilizing glucosidase inhibitors extracted from lichen, obtaining the optimum conditions of enzymatic hydrolysis including pH and time optimization, and obtaining its identity and physical properties compared to commercial microcrystalline cellulose, Avicel PH 101. The study began with the rejuvenation of Trichoderma reesei, then the cellulase enzyme extracted from Trichoderma reesei together with the glucosidase inhibitor extracted from the lichen were used for enzymatic hydrolysis of cellulose from delignification of the water hyacinth powder to obtain microcrystalline cellulose. Microcrystalline cellulose from enzymatic hydrolysis results were identified, characterized, and compared with Avicel PH 101. The identity of microcrystalline cellulose was obtained through an infrared spectrum similar to the standard. Microcrystalline cellulose obtained in the form of a slightly coarse powder, odorless and tasteless and slightly yellowish than standard. Characteristics of microcrystalline cellulose obtained include blue violet color with iodine solution, particle size distribution of 2.01 m, pH 7.03, ash 0.23, moisture content 3.42, drying shrinkage 3.16 , passable particle density, as well as flow rate and angle of repose that met the requirements. Based on the comparison of difractogram pattern with X ray diffraction and morphology with SEM Scanning Electron Microscope a similarity was able to be seen between microcrystalline cellulose of hydrolysis result with standard."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriani
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian kandungan sterol dalam bagian-bagian (daun,gondok dan akar) tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes Solins ). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kandungan sterol dalam tanaman eceng gondok, yang nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber bahan baku hormon steroid kontraseptif. Isolasi sampel dilakukan dengan metode standar International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC). Identifikasi dan penetapan kadar sterol dilakukan secara kromatografi lapisan tipis (KLT) dan metode spektrofotometri berdasarkan reaksi Liebermann-Burchard. Hasil analisa kualitatif menunjukkan bahwa tanaman eceng gondok mengandung sterol, yang diduga sebagai Stiginasterol. Radar sterol terbesar terdapat pada bagian gondok (± 1 mg/9 bobot kering)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianita Pratiwi Indah Lestari
"Tujuan dari penelitian adalah untuk menghasilkan selulosa mikrokristal melalui hidrolisis α- selulosa serbuk eceng gondok dan membandingkan karakteristiknya dengan pembanding (Avicel PH 101). α-selulosa eceng gondok disiapkan melalui biodelignifikasi menggunakan kapang pelapuk putih Trametes versicolor. Selulase dari rayap Macrotermes gilvus dimurnikan dengan fraksinasi ammonium sulfat, dialisis, dan kromatografi kolom.
Hasil hidrolisis ditingkatkan dengan mengoptimalkan suhu, pH, dan waktu hidrolisis. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) dan Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), diikuti oleh karakterisasi selulosa mikrokristal menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) dan pola difraksi menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) dibandingkan dengan Avicel PH 101.
Hasil penelitian menunjukkan rendemen α-selulosa dari biodelignifikasi adalah 40% b/b terhadap serbuk eceng gondok. Selulase murni dari Macrotermes gilvus menunjukkan aktivitas tinggi 11,743 U/mL membentuk area zona bening 49 mm dengan indeks selulolitik 7,16. Hidrolisis optimum dengan selulase dicapai pada 50⁰C, pH 6,0, selama 2 jam, dengan yield 90,89% MCC.
Hasil karakterisasi menunjukkan karakteristik selulosa mikrokristal mirip dengan referensi. MCC dari eceng gondok telah menunjukkan karakteristik mirip dengan referensi dan mungkin berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

The purpose of this research is to produce microcrystalline cellulose by hydrolysis of α-cellulose water hyacinth powder and compare its characteristics with a comparison (Avicel PH 101). α-cellulose water hyacinth is prepared through biodelignification using white rot mold Trametes versicolor. Cellulase from termite Macrotermes gilvus was purified by fractionation of ammonium sulfate, dialysis, and column chromatography.
The hydrolysis yield is improved by optimizing temperature, pH, and hydrolysis time. Identification was carried out using Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) and Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), followed by microcrystalline cellulose characterization using Particle Size Analyzer (PSA) and diffraction patterns using Differential Scanning Calorimetry (DSC) compared with Avicel PH 101.
The results showed the yield of α-cellulose from biodelignification was 40% w/w on water hyacinth powder. Pure cellulase from Macrotermes gilvus showed high activity of 11.743 U/mL forming a 49 mm clear zone area with a cellulolytic index of 7.16. Optimum hydrolysis with cellulase was achieved at 50⁰C, pH 6.0, for 2 hours, with a yield of 90.89% MCC.
The characterization results showed that microcrystalline cellulose characteristics were similar to references. MCC from water hyacinth has shown characteristics similar to references and may be potential for further development.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T54821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samhani Mahendra Wijaya
"Eceng gondok merupakan gulma perairan, namun memiliki kadar selulosa cukup tinggi. Selulosa eceng gondok merupakan sumber potensial bahan baku alternatif pembuatan carboxymethyl cellulose (CMC) pengganti kayu. Selulosa eceng gondok dicampurkan dalam campuran pelarut isopropanol-etanol. Kemudian dilanjutkan dengan mereaksikan selulosa eceng gondok dengan NaOH dan ClCH2COONa. Proses netralisasi dilakukan dengan menggunakan asam asetat dan etanol 96 % serta pengeringan dalam oven. Karakterisasi CMC optimum yang dihasilkan memiliki derajat substitusi (DS) 1,65 dan tingkat kemurnian 93,16 % pada kondisi konsentrasi NaOH 10 %, dengan komposisi media reaksi Isopropanol-Etanol 80 ml:20 ml.

Water hyacinth is an aquatic weed, but has a high cellulose content. Water hyacinth cellulose is a potential source for alternative materials of carboxymethyl cellulose (CMC) as wood substitutes. Water hyacinth cellulose mixed in a solvent mixture of isopropanol-ethanol. Then reacting cellulose with NaOH and ClCH2COONa. Neutralization process using acetic acid and 96% ethanol and drying in the oven. Optimum characterization of the resulting CMC has a degree of substitution (DS) of 1.65 and a purity level of 93.16% on condition 10% NaOH concentration and the composition of the reaction media is Ethanol Isopropanol 20 ml: 80 ml."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S52756
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie Hapsari
"Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan salah satu tanaman yang dianggap sebagai gulma yang dapat merusak ekosistem. Untuk mengurangi efek negatif dan meningkatkan nilai tambah dari eceng gondok, tanaman ini digunakan sebagai salah satu sumber alternatif dalam pembuatan Carboxymethyl Cellulose (CMC) karena memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi. Proses pembuatan CMC meliputi beberapa tahapan yang dilakukan secara berurutan, yaitu alkalisasi, karboksimetilasi, netralisasi, purifikasi dan pengeringan. Dua tahap pertama dilakukan dengan mereaksikan serat selulosa eceng gondok yang telah diisolasi sebelumnya dengan NaOH dan ClCH2COOH dalam suatu media reaksi.
Pada penelitian ini digunakan campuran pelarut isobutil-isopropil alkohol. Kemudian, proses netralisasi dilakukan dengan menggunakan asam asetat, purifikasi dengan ethanol 96%, dan pengeringan dilakukan dengan memanaskan dalam oven pada suhu 60°C. Variasi variabel yang dilakukan pada penelitian ini, diantaranya konsentrasi NaOH sebesar 5%, 10%, 20%, 30% dan 35%, serta perbandingan komposisi media reaksi isobutil-isopropil alkohol sebesar 20 ml:80 ml, 50 ml:50 ml, dan 80 ml:20 ml.
Suhu reaksi karboksimetilasi yang ditetapkan ialah sebesar 55°C. CMC yang dihasilkan dikarakterisasi dengan pengukuran nilai Derajat Subtitusi (DS), kemurnian serta analisis gugus fungsional dengan menggunakan FTIR. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan CMC dengan nilai DS tertinggi sebesar 2,33 ada pada kondisi komposisi campuran isobutil-isopropil alkohol 20 ml:80 ml dan konsentrasi NaOH 10% serta rendemen 138,37%, dan kemurnian 94,02%.

Water hyacinth (Eichhornia crassipes) is a plant that is considered as a weed that can damage ecosystems. In order to reduce the negative effects and to increase the added value of water hyacinth, this plant is used as one of the alternative sources in producing carboxymethyl cellulose (CMC) as it has fairly high cellulose content. CMC producing process includes several stages that are performed sequentially, i.e. alkalization, carboxymethylation, neutralization, purification and drying. The first two stages performed by reacting cellulose fibers that has been previously isolated by NaOH and sodium monochloroacetate (ClCH2COONa) in a solvent medium.
This research uses a mixture of isobutyl-isopropyl alcohol as solvent. Then, the neutralization process is done by using acetic acid, purified with 96% ethanol, and drying stage is done by heating in an oven at a temperature of 60°C. Variations variables in this research, including NaOH concentration of 5%, 10%, 20%, 30% and 35%, and the ratio of composition-isobutyl isopropyl alcohol solvent at 20 ml:80 ml, 50 ml:50 ml, and 80 ml:20 ml.
Carboxymethylation reaction temperature is set at 55°C. CMC produced are characterized by measuring the value of (Degree of Substituion) DS, purity and functional group analysis using FTIR. Based on the results, the CMC with the highest DS value of 2.33 is at the condition of mixed composition isobutylisopropyl alcohol 20 ml: 80 ml and the concentration of NaOH 10%, yield of 138.37%, and purity of 94,02%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47657
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>