Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70953 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Tri Rahayu
"ABSTRAK
Terapi radiasi pada penderita kanker serviks dapat menyebabkan penurunan jumlah se1 limfosit. Keadaan ini diduga disebabkan oleh kerusakan kromosom yang terbentuk selama terapi radiasi, karena kerusakan kromosom dapat menyebabkan kematian sel.
Pada penelitian ini telah dilakukan pengujian pengaruh terapi radiasi terhadap jumlah aberasi kronosom (disentrik, asentrik, cincin dan aberasi- kromosgm yang lain selain tiga tipe pertama) serta dilakukan pengujian jumlah limfosit pada 24 orang penderita kanker serviks. Para penderita mendapatkan dosis radiasi eketerna 2OO cGy per hari (kecuali Sabtu dan Minggu), atau 10OO eGy per minggu, selana 5 minggu. Penderita dikelompokkan menjadj, empat kelompok yaitu: kelompok sebelum mendapat terapi radiasi, kelonpok setelah mendapat terapi radiasi dosis 2000 cGy, 4000 cGy dan sekitar 6O0O cGy (setelah mendapat radiasi eksterna dan satu kali radiasi interna).
Dari perhitungan statistik diperoleh kesimpulan . bahwa terapi radiasi menyebabkan terjadinya aberasi kromosom disentrik dan asentrik- Telah terbentuk keadaan "plateau" pada dosis 4000 cGy untuk kromosom disentrik dan dosis 2000 cGy untuk kromosom agentrik. Selain itu diperoleh kesimpulan bahwa terapi radiasi tidak menyebabkan terjadinya aberasi kromosom cincin dan aberasi lain- Dari analisie korelasi Spearman dapat disimpulkan bahwa ada korelasi negatif yang nyata (p < 0,05) antara jumlah kromosom disentrik dengan jumlah sel limfosit, penderita kanker serviks, sedangkan jumlah kromosom cincin dan aberasi lain tidak ada korelasi dengan junrah sel limfositnya.
ABSTRACT
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlinda Marthias
"Terapi radiasi bagi para penderita banker payudara telah diketahui dapat roenurunkan juralah limfosit, dan dlduga keadaan tersebut disebabkan oleh kerusakan kroffiosoiTj selama terapi radiasi. Di Indonesia penelitian yang menghubungkan terjadinya aberasi kromosom pada penderita banker payudara Ciengan jumlah limfosit selama terapi radiasi belum pernah dilakukan. Para penderita banker payudara mendapatkan dosis radiasi 200 cGy per ban (benin — Jumat), atau 1000 cGy per m'inggu selama + 6 minggu. Untuk mengetahui pengaruh dosis radiasi tei'hadap. kerusakan kromosom, maka pada penelitian ini penderita dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: kelompok sebelum terapi radiasi (1), kelompok setelah terapi radiasi dosis 2000 cGy (11), 4000 cGy (111), dan 6000 cGy (IV). Terhadap semua kelompok percobaan dihitung juralah aberasi kromosom tipe disentrik, asentrik, cincin, dan kromosom dengan aberasi selain tiga tipe yang pertama, dan juralah limfositnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi radiasi 2000 cGy atau lebih dapat menimbulkan berbagai aberasi kromosom, Aberasi kromosom disentrik dan asentrik berbeda nyata secara statistik terhadap kontrol (sebelum terapi radiasi), sedangkan untuk aberasi kromosom cincin dan aberasi lain (aberasi kromatid) tidak berbeda secara etatietik terhadap kontrol. Selanjutnya analieis korelasi Spearman menyimpulkan, jumlah kromopjom apjentrik ada korelasi negatif yang nyata (p < 0,05) terhadap jurnlah limfosit penderita kanker payudara; sedangkan jumlah kromosom disentrik, kromosom cinciri,.dan aberasi lain tidak ada korelasi dengan jumlah limfositnya."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Nurkomala
"ABSTRAK
Sampai saat terapi radiasi merupakan pengobatan pilihan terhadap kanker nasofaring. Radiasi yang diberikan tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah limfosit. Penurunan jumlah limfosit di atas diduga antara lain karena terjadi aberasi kromosom. Dari penelitian sebelumnya terlihat bahwa radiasi rnengakibatkan aberasi kromosom pada penderita yang menjalani terapi radiasi. Tipe-tipe aberasi kromosom yang terbentuk dapat berupa kromosom disentrik, kromosom asentrik dan kromosom cincin.
Terapi radiasi diberikan dengan dosis 200 cGy per hari, lima kali berturut-turut dalam seminggu selama kira-kira enam minggu. Sampel diperoleh dari darah tepi penderita kanker nasofaring yang belum mendapat radiasi (kontrol= 0 cGy), setelah terapi radiasi 2000 cGy, 4000 cGy, serta 6000 cGy.
Dari uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan "criticai range" Kruskal-Wallis, menunjukan kromosom disentrik dan kromosom asentrik berbeda nyata antara kontrol dengan penderita yang mendapat radiasi (2000 cGy, 4000 cGy, 6000 cGy), sedangkan jumlah kromosom cincin terbanyak pada radiasi 4000 eGy (P < 0,05). Aberasi lain tidak dipengaruhi oleh dosis radiasi. Uji Spearman memperlihatkan kromosom cincin dan kromosom asentrik berkorelasi negatif terhadap jumlah limfosit (P < 0,05), sebaliknya antara kromosom disentrik dengan jumlah limfosit tidak ada korelasi negatif (P 0,05)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvy Arianti
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumartini
"ABSTRAK
Penyakit embun tepung disebabkan oleh cendawan Erysiphae diffusa (Cook and Peck) pada tanaman kedelai dan E. polygoni (DC Sawada) pada kacang hijau. Penyebaran penyakit penting ini menyebabkna kehilangan hasil mencapai 35% pada kedelai dan 26% pada kacang hijau. Di Indonesia, penyakit ini terjadi di sentra produksi kedelai dan kacang hijau. Di luar negri, penyebaran penyakit embun tepung meliputi Asia, Amerika Serikat, dan Brazil. Intensitas penyakit biasanya tinggi pada musim kemara, pada saat suh dingin di pagi hari dan kondisi berembun di sekitar pertanaman. Gejala penyakit embun tepung mudah dikenali dengan ciri seperti tepung di permukaan atas daun. Hal ini dapat mengganggu proses fotosintesis dan transpirasi. selain itu, haustorium Erysiphe menyerap fungsi tanaman sehingga menganggu beberapa fungsi dan proses metabolisme. Penyakit embun tepung perlu dikendalikan untuk menekan kehilangan hasil kedelai dan kacang hijau. Cara pengendalian yang disarankan adalah penyemprotan dengan bahan nabati (ekstrak biji mimba, kompos teh, susu sapi, minyak dari citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, dan tanaman teh ) pada kedelai dan penggunaan varietes tahan vima-1 pada kacang hijau. "
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2017
630 JPPP 30:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rino Alvani Gani
"ABSTRAK
Tenofovir disoproksil fumarat (tenofovir) dan telbivudin merupakan dua analog nukleos(t)ida yang tersedia untuk terapi pasien hepatitis B. Tenofovir telah diketahui sebagai agen nefrotoksik pada pasien HIV, namun masih menjadi kontroversi pada pasien hepatitis B kronik. Di lain sisi, telbivudin memiliki efek proteksi terhadap fungsi ginjal dan bahkan meningkatkan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil keamanan terhadap fungsi ginjal dari tenofovir dan telbivudin pada pasien hepatitis B kronik di Indonesia.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif pada pasien hepatitis B kronik yang mendapat terapi tenofovir atau telbivudin dalam rentang waktu Januari 2013 - Desember 2016. Pasien yang mempunyai eLFG awal <60 mL/ menit/1,73 m2 sebelum mulai terapi, mengalami perubahan regimen, lost to follow up, atau meninggal dalam 1 tahun tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Data kreatinin serum yang dinilai adalah data pada minggu ke 24 dan 48 setelah pemberian tenofovir atau telbivudin.
Hasil. Sebanyak 68 pasien dalam terapi tenofovir dan 62 pasien dalam terapi telbivudin dimasukkan penelitian ini. Kadar kreatinin serum meningkat pada kelompok tenofovir dari 0,88 (simpang baku [SB] 0,17) mg/dL pada awal studi menjadi 0,93 (SB 0,22) mg/dL setelah 24 minggu (p = 0,02) dan cenderung plateau setelah penggunaan selama 48 minggu. Namun, pada kelompok telbivudin, kadar kreatinin serum menurun dari 0,85 (SB 0,21) mg/dL pada awal menjadi 0,80 (SB 0,18) mg/ dL pada minggu ke 48 (p = 0,003).
Simpulan. Tenofovir berhubungan dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan eLFG pada pasien hepatitis B kronik dengan eLFG >60 mL/menit/1,73 m2."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Riselligia Caninsti
"Salah satu penyakit yang terus meningkat persentasenya saat ini dan menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat adalah penyakit ginjal. Kekhawatiran masyarakat muncul karena dalam perjalanan penyakit ginjal, pada tahap awal pasien tidak merasakan keluhan apapun. Walaupun tidak memperlihatkan gejala, penyakit ini akan terns berproses secara bertahap selama bertahun-tahun hingga pada akhimya pasien telah mengalami gagal ginjal pada tahap terminal dan harus menjalani terapi hemodialisa seumur hidup.
Sehubungan dengan penyakitnya, pasien yang menjalani terapi hemodialisa menghadapi masalah-masalah dalam menjalani hidupnya karena membawa beberapa dampak pada individu, diantaranya adalah dampak tisik, dampak sosial dan dampak psikologis. Dampak psikologis yang dirasakan pasien tampaknya kurang menjadi perhatian bagi para dokter ataupun perawat. Pada umumnya, pengobatan di rumah sakit difokuskan pada pemulihan kondisi fisik tanpa memperhatikan kondisi psikologis penderita. Keterbatasan dokter dan perawat dalam menggali kondisi psikologis pasien membuat hal ini terkesan kurang diperhatikan.
Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang sederhana untuk mengetahui kondisi psikologis dalam setting klinis yang nantinya dapat membantu dokter saat berhadapan dengan pasien. Salah satunya adalah menggunakan Alat Ukur Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) yang telah dirancang untuk digunakan dalam setting rumah sakit dan hanya terdiri dari 14 item. HADS terdiri dari dua subskala, yaitu anxiety (kecemasan) dan depression (depresi). Item-item dalam HADS terdiri dan 7 item berhubungan dengan anxiety (kecemasan) dan 7 item lainnya berhubungan dengan depression (depresi).
Dengan menggunakan HADS, diharapkan pasien dapat lebih mudah memberikan respon sesuai dengan kondisi yang ia rasakan. Alat ukur HADS yang semula menggunakan bahasa Inggris akan diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya penelitian ini maka dapat diketahui gambaran kecemasan dan depresi pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat kepada pasien."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Arifin
"Sindroma Koroner Akut (SKA) dengan subset tanpa elevasi segmen ST yang terdiri dari APTS dan NSTEMI mempunyai spektrum Minis yang luas dan memiliki prognosis serta tingkat risiko morbiditas.dan mortalitas yang sangat beragam. Subset SKA ini juga memiliki angka kejadian kardiovaskuler yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subset SKA dengan elevasi segmen ST.
Dilakukan analisa data dari INDORACE untuk mengetahui karakteristik penderita, kejadian kardiovaskuler (angina berulang, infark / infark ulang, gagal jantung, sehingga memerlukan tindakan revaskularisasi dan kematian) selama masa perawatan di rumah sakit. Melakukan skoring penderita menurut skor TIMI sehingga penderita dibagi dalam dua golongan (=kategori) dan mencari besarnya persentase kejadian kardiovaskuler pada penderita dengan kategori risiko tinggi maupun rendah.
Dari hasil analisa, diperoleh data sebagian besar penderita adalah pria 72 (77,4%). Penderita APTS 65 (69,9%) kasus dan NSTEMI 28 (30,1%) dan usia rata-rata penderita 56,55 ± 9,72 tahun. Dibandingkan dengan beberapa hasil survei di luar negeri, usia rata-rata penderita dalam penelitian ini lebih muda antara 8-10 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna antara usia rata-rata penderita pria dan wanita, sedangkan usia rata-rata penderita wanita di luar negeri lebih tua 10 tahun dibandingkan dengan laki-laki.
Untuk faktor risiko PJK berdasarkan urutan persentase tertinggi sampai terendah meliputi: hipertensi 55,9%, dislipidemia 48,4%, merokok 43%, diabetes melitus 31,2% dan faktor keluarga 20,4%. Beberapa hasil survei di luar negeri juga menunjukkan faktor risiko hipertensi adalah yang tertinggi persentasenya. Untuk faktor risiko merokok pada penderita wanita dalam penelitian ini adalah yang terendah presentasenya, sedangkan data dari luar negeri presentasenya jauh Iebih tinggi. Untuk faktor risiko diabetes melitus persentase penderita wanita mencapai > 2 kali dibaridingkan dengan penderita pria.
Persentase kejadian kardiovaskuler selama perawatan adalah sebesar 29,03%, Kejadian kardiovaskuler selama masa perawatan di rumah sakit untuk penderita dengan kategori risiko tinggi ( skor TIMI > 4) adalah 66,8%, sedangkan untuk penderita dengan risiko rendah ( skor TIMI < 4 ) sebesar 33,3%.

Acute Coronary Syndrome (ACS) with subset non-ST segment elevation consists of unstable angina pectoris and non-ST segment elevation myocardial infraction (NSTEMI). This subsets of ACS has a wide clinical spectrum, prognostic and also has heterogeneous morbidity and mortality rate. This subsets of ACS also represents higher cardiovascular events than ACS with subset ST segment elevation (STEM!).
We analyze data from INDORACE (Indonesia Registry of Acute Coronary Events) to describe the baseline characteristics of the patients and cardiovascular events (recurrent angina, reinfarction, congestive heart failure that needs revascularization and death). We use TIMI risk score to divide the patients into two categorized, the high risk and low risk, and we search the percentage of cardiovascular events in each categorized.
Result of the analyze shows that most of the patients are male 77,4%, unstable angina pectoris 66,9%, NSTEMI 30,1% and the mean age of all patients was 56,55 f 9,72 years. Compared to other studies in foreign countries mean age of patients in this study is 8-10 years younger. We found no significants differences of age between male and female in this study, but mean age in other studies represent female is 10 years older or more than male.
The percentage risk factors of coronary artery disease are: hypertension 55,9% (the highest), dyslipidemia 48,4%, smoker 43%, diabetes mellitus 31,2 % and family history 20,4%. Other studies in foreign countries show that the highest percentage is also hypertension.
This study shows that female smokers are at the lowest percentage; however, some studies show that they are at a high percentage. Female who sufferer diabetes mellitus has the percentage twice or more than male in this study.
The total cardiovascular events was 29,03%, cardiovascular events in high risk patients is 66,8% and low risk is 33,3%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Sofita
"HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan prioritas di Indonesia, dimana mayoritas ODHA berusia dewasa. Diskriminasi dari masyarakat masih sering terjadi dan bisa menjadi stresor bagi ODHA. Dampaknya membuat ODHA tertutup dan menarik diri dari masyarakat serta rentan kehilangan sense of community belonging-nya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia, stres, dan diskriminasi dengan sense of community belonging pada ODHA. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional.
Penelitian ini dilakukan kepada 81 ODHA di Yayasan Pelita Ilmu, Jakarta dengan teknik sampling consecutive sampling. Data penelitian dianalisis menggunakan uji Chi-square. Hasil penelitian menunjukkan 64,2% ODHA berada pada usia dewasa muda (21-35 tahun), 55,6% ODHA mengalami stres ringan, 77,8% ODHA mengalami diskriminasi ringan, dan 63% ODHA memiliki sense of commmunity belonging tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara stres dengan sense of community belonging namun tidak ada hubungan antara usia dan diskriminasi dengan sense of community belonging pada ODHA. Hal ini berarti stres memengaruhi sense of community belonging serta usia dan diskriminasi bisa menjadi faktor risiko tingkat sense of community belonging ODHA. Rekomendasi selanjutnya adalah mencari faktor lain yang berhubungan dengan sense of community belonging pada ODHA.

HIV/AIDS is priority health problem in Indonesia, where the majority of PLWHA is in adult age. Discrimination from the community still occur and can be stressor for PLWHA. The impact are make them to be closed off, withdraw from the society, and vulnerable to lose their sense of community belonging. The purpose of this study is to identify the relationship between age, stress, and discrimination with sense of community belonging among PLWHA. This study using analytic observational design.
This study was conducted to 81 PLWHA in Pelita Ilmu Foundation, Jakarta. Consecutive sampling used as sampling technique. Data were analyzed using Chi-square test. The results showed 64,2% of PLWHA were in young adult age (21-35 years old), 55,6% of PLWHA experienced a mild stres, 77,8% of PLWHA experienced a mild discrimination, and 63% of PLWHA have high sense of community belonging.
These results indicate there is relationship between stres and sense of community belonging, but there is no relationship between age and discrimination with sense of community belonging among PLWHA. It means that stress affects sense of community belonging and the age and discrimination can be risk factor for the level of sense of community belonging among PLWHA. Suggestion for the future is to look for other related factors of sense of community belonging among PLWHA.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S63067
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Amalia Faizal
"Latar belakang: Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang menyebabkan 60% kematian di Indonesia. Terjadi peningkatan prevalensi frailty pada pasien PPOK hingga dua kali lipat dibandingkan pada pasien tanpa PPOK. Frailty merupakan sindrom lansia terkait perubahan fisiologis dan morfologis pada berbagai sistem tubuh akibat penuaan. Pada PPOK terjadi inflamasi sistemik yang ditandai dengan penanda inflamatori. Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan penanda inflamatori yang cukup stabil, terjangkau, dan banyak digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan RNL dengan frailty pada pasien lansia dengan PPOK. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penilaian frailty dilakukan berdasarkan kuesioner FRAIL dan hitung jenis darah perifer melalui data rekam medis RSCM dari bulan Oktober 2021–Oktober 2022. Hasil: Terdapat 103 subjek dengan prevalensi yang mengalami frail sebanyak 63 orang (61,2%). Pada analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa RNL memiliki hubungan yang signifikan dengan frailty (p = 0,017). Median RNL pada kelompok frail sebesar 2,30 (1,27 – 7,03) dan kelompok non-frail sebesar 2,01 (0,72 – 4,56). Pada analisis kelompok kuartil, didapatkan hasil yang signifikan antara RNL dengan frailty (p = 0,009). Sebanyak 33,3% pasien frail berada pada kuartil keempat (> 3,060) dan sebanyak 42,2% pasien non-frail berada pada kuartil kesatu (<1,870). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara RNL dengan frailty pada pasien lansia dengan PPOK.

Introduction: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a lung disease that causes 60% of deaths in Indonesia. There was an increase in the prevalence of frailty in COPD patients up to two times compared to patients without COPD. Frailty is an elderly syndrome related to physiological and morphological changes in various body systems due to aging. In COPD, there is systemic inflammation characterized by inflammatory markers. Neutrophil to Lymphocyte ratio (NLR) is an inflammatory marker that is relatively stable, affordable, and widely used. This study aims to determine the relationship between NLR and frailty in elderly patients with COPD. Method: This cross-sectional study was conducted on elderly patients with COPD. Subjects performed frailty assessment based on the FRAIL questionnaire and peripheral blood type count through RSCM’s patient medical record from October 2021 – October 2022. Result: There were 103 subjects with a prevalence of frailty in 63 patients (61.2%). In bivariate analysis, results found that RNL had a significant relationship with frailty (p = 0.017). The median RNL in the frail group was 2.30 (1.27 – 7.03), and the non-frail group was 2.01 (0.72 – 4.56). In the quartile group analysis, RNL and frailty obtained significant results (p = 0.009). A total of 33.3% of frail patients were in the 4th quartile (> 3.060), and 42.2% of non-frail patients were in the 1st quartile (<1.870). Conclusion: There is a significant relationship between NLR and frailty in elderly patients with COPD. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>