Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rimbawan
1984
S29620
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentia L. Pudjiadi
"Penisilin merupakan salah satu obat yang paling tidak toksik bagi kebanyakan orang, mengingat Cara kerjanya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri yang terdiri dari polimer mukopeptida, sedangkan sel manusia tidak mempunyai dinding tersebut sehingga tidak terganggu oleh penisilin. Tapi bagi sebagian kecil populasi yang hipersensitif, penisilin dapat menjadi sangat berbahaya, beberapa miligram atau bahkan mikrogram saja dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat, termasuk syok anafilaktik dan kematian.
Hasil Monitoring Efek Samping Obat Nasional tahun 1981-1985 menunjukkan bahwa Penisilin merupakan jenis antibiotik yang paling sering dilaporkan- menyebabkan syok anafilaktik, sedangkan antibiotik merupakan penyebab tersering dari efek samping obat (Suharti dan Darmansyah, 1985).
Mengingat belum adanya angka mengenai rate syok anafilaktik akibat penisilin di Indonesia, pada penelitian ini dilakukan survai untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat suntikan penisilin-G (benzilpenisilin) di puskesmas Jakarta dalam kurun waktu satu tahun secara retrospektif. Penelitian dibatasi pada benzilpenisilin, karena selain merupakan preparat suntik penisilin yang paling murah dan paling banyak dipakai, juga merupakan satu-satunya jenis preparat suntik penisilin yang tersedia di puskesmas.
Kadang-kadang reaksi alergi penisilin tidak disebabkan oleh obatnya sendiri, melainkan oleh hasil urai / produk degradasinya. Penisilin yang paling banyak dipakai sebagai suntikan yaitu benzilpenisilin; dalam larutan dapat terurai secara spontan menjadi asam benzilpenisilenat yang sebagian besar akan bereaksi dengan protein tubuh membentuk kelompok ?Major Antigenic Determinant?. Sebagian kecil akan terurai lagi menjadi asam benzilpenisiloat, yang bersama hasil urainya membentuk kelompok ?Minor Antigenic Determinant?. Reaksi alergi yang terjadi dalam waktu kurang dari 1 jam setelah pemberian penisilin (immediate type) antara lain syok anafilaksis, umumnya disebabkan oleh ?Minor Antigenic Determinant? ini (Bellanti, 1971).
Dari penelitian pendahuluan di beberapa puskesmas ternyata preparat benzilpenisiliri yang sudah dilarutkan dan tidak habis terpakai kadang-kadang disimpan lagi (di kulkas maupun diluar kulkas) untuk dipakai lagi keesokan harinya. Mengingat penguraian penisilin dapat terjadi spontan didalam larutan, dan terdapatnya beberapa merk dagang benzilpenisilin (penisilin-G) yang kemungkinan tidak sama mutunya / kecepatan degradasinya maka dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap kadar asam penisiloat dari beberapa macam merk dagang penisilin-G baik ketika baru dilarutkan maupun setelah didiamkan beberapa hari di kulkas dan diluar kulkas untuk melihat perubahannya. ditanyakan juga merk dagang penisilin-G yang dipakai kepada puskesmas-puskesmas yang didatangi untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat penisilin-G.
Untuk melihat hubungan antara terdapatnya asam penisiloat dalam preparat penisilin-G dengan syok anafilaktik akibat penisilin, dilakukan pemeriksaan kadar asam penisiloat pada sisa preparat yang menyebabkan syok anafilaktik (diminta dari puskesmas). Untuk mencegah terjadinya reaksi yang tidak diinginkan pada penyuntikan penisilin, sering dilakukan skin-test pada pasien yang akan disuntik. Sebagai bahan skin-test dipakai larutan benzilpenisilin yang diencerkan berhubung bahan skin-test lain tidak tersedia, dan benzilpenisilin sendiri merupakan Minor Antigenic Determinant, sehingga hasil yang positif dapat membantu meramalkan kemungkinan terjadinya syok anafilaktik bila penisilin disuntikkan. Pada penelitian ini diadakan kuesioner untuk mendapatkan gambaran mengenai prosedur skin-test di puskesmas (pengenceran bahan yang dipakai, kriteria penilaian hasil skin-test, dan lain-lain)."
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Shiddiq Al Hanif
"Antibiotika golongan penisilin adalah antibiotika yang paling luas serta paling banyak digunakan untuk terapi pasien infeksi. Dari berbagai studi diperoleh fakta bahwa telah banyak mikroba resisten terhadap penisilin. Pemberian penisilin yang telah resisten berbahaya bagi pasien dengan penyakit infeksi, selain itu lebih lambatnya penemuan obat baru serta lebih mahalnya harga obat baru merupakan hal penting yang berhubungan dengan kejadian resistensi. Resistensi sendiri dapat berubah menurut waktu dan berbeda di setiap tempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola resistensi bakteri yang diisolasi dari darah di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (LMK FKUI) terhadap beberapa antibiotik penisilin, yaitu amoksilin, sulbenisilin, amoksilin/asam klavulanat , tikarsilin dan oksasilin selama periode 2001-2006. Pada penelitian ini digunakan data isolat darah dengan bakteri positif yang diisolasi di LMK FKUI selama periode 2001-2006. Data diolah dengan menggunakan piranti lunak WHONET 5.4. Dari 791 isolat darah, didapatkan enam bakteri tersering penyebab bakteremia yaitu Staphylococcus epidermidis (25%), Acinetobacter anitratus (16%), Pseudomonas aeruginosa (13%), Klebsiella pneumoniae (8%), Staphylococcus aureus (6%), dan Salmonella Typhi (5%). Hasil uji resitensi menunjukkan kejadian resistensi bakteri terhadap amoksilin sudah tinggi pada Klebsiella pneumoniae , masih cukup rendah pada Salmonella Typhi, sedangkan keampuhannya terhadap Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus aureus mulai menurun. Kejadian resistensi bakteri terhadap sulbenisilin rendah pada Staphylococcus epidermidis,Staphylococcus aureus dan Salmonella Typhi , dan sudah cukup tinggi pada Klebsiella pneumoniae. Kejadian amoksilin/asam klavulanat sudah tinggi pada Acinetobacter anitratus dan Pseudomonas aeruginosa dan masih cukup rendah pada Klebsiella pneumoniae, Salmonella Typhi, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus aureus. Kejadian resistensi bakteri terhadap tikarsilin sudah tinggi pada Acinetobacter anitratus, Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae dan masih cukup rendah pada, Salmonella Typhi,dan Staphylococcus epidermidis. Kejadian resistensi Staphylococcus aureus terhadap oksasilin masih cukup rendah, sedangkan keampuhan oksasilin terhadap Staphylococcus epidermidis mulai menurun.

The group of penicillins antibiotics is the widest and the most used antibiotics for infection patient therapy. From several studies, there is a fact that many microbes have resistence to penicillins. The giving of penicillin that has resisted to a patient who gets an infection may be perilous. Besides that, the slower invention of new medicines and the more expensive their prices are important factors related to the resistance. The resistance itself may change in every second of time and would be different in some places. The research which was conducted in Clinical Microbiology Laboratory FMUI aims to know the pattern of the resistance of bacteria which is isolated from blood toward several kinds of penicillin; they are amoxicillin, sulbenicillin, amoxicillin/ clauvalanic acid, ticarcillin, and oxacillin between 2001-2006. The data was processed using WHONET 5.4 software. From 174 isolat bloods, there are six kinds of bacteria that often cause bacterimia; they are Staphylococcus epidermidis (25%), Acinetobacter anitratus (16%), Pseudomonas aeroginosa (13%), Klebsiella pneumoniae (8%), Staphylococcus aureus (6%), and Salmonella typhi (5%). The result of resistance test shows that the frequency of bacteria’s resistance toward amoxillin has been high in Klebsiella pneumoniae and still low in Salmonella Typhi, on the other hand, the effectiveness of amoxicillin toward Staphylococcus epidermidis and Staphylococcus aerus is getting decreased. The frequency of bacteria’s resistance toward sulbenicillin still low in Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aerus and Salmonella Typhi and has been high in Klebsiella pneumoniae. The frequency of bacteria’s resistance toward amoxicillin/ clavulaic acid has been high in Acinetobacter anitratus and Pseudomonas aeruginosa and still low in Klebsiella pneumoniae, Salmonella Typhi, Staphylococcus epidermidis, and Staphylococcus aureus. The frequency of bacteria’s resistance toward ticarcillin has been high in Acinetobacter anitratus, Pseudomonas aeuginosa and Klebsiella pneumoniae and still low in Salmonella Typhi and Staphylococcus epidermidis. The frequency of Staphylococcus aerus is still low. On the other hand, the effectiveness of oxacillin toward Staphylococcus epidermidis is getting decreased."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Wulansarie
"Dalam penelitian ini limbah cair yang mengandung senyawa antibiotik penisilin diolah dengan menggunakan teknik ozonasi dengan signifikansi penggunaan Reaktor Hibrida Ozon-Plasma (RHOP) dan sinar UV. Penelitian ini dilakukan dengan variasi waktu penyisihan (15, 30, 45, dan 60 menit), konfigurasi sistem ozonasi dalam pengolahan limbah cair (pengolahan limbah cair dengan ozon, pengolahan limbah cair dengan RHOP, pengolahan limbah cair dengan ozon dan RHOP, pengolahan limbah cair dengan ozon dan sinar UV), konsentrasi awal limbah penisilin (50 ppm dan 10 ppm), pH limbah (asam, netral, dan basa), dan tegangan ozonator (75, 150, dan 225 Volt).
Hasil penelitan ini adalah konsentrasi amoksisilin yang dianalisis dengan alat spektrofotometer, ampisilin yang dianalisis dengan titrasi iodometri, dan COD yang dianalisis dengan titrasi FAS (Fero Amino Sulfat). Penelitian ini menghasilkan kondisi terbaik untuk menyisihkan penisilin yang terkandung dalam limbah cair yaitu, kondisi basa dengan pH ≈10 dan sistem penyisihan limbah cair yang mengandung penisilin dengan ozon dan sinar UV, serta konsentrasi awal penisilin yang terkandung dalam limbah cair adalah 50 ppm. Persentase penyisihan yang dihasilkan mencapai 95,61% dengan konsentrasi akhir 1,90 ppm.

In this study wastewater containing penicillin antibiotic compounds was processed using ozonation technique with significance of using Ozone-Plasma Hybrid Reactor (RHOP) and UV light. The research was carried out with allowance for time variation (15, 30, 45, and 60 minutes), the system configuration of ozonation in wastewater treatment (wastewater treatment with ozone, wastewater treatment with RHOP, waste water treatment with ozone and RHOP, wastewater treatment with ozone and UV light), the initial concentration of penicillin waste (50 ppm and 10 ppm), pH waste (acidic, neutral, and alkaline), and ozonator voltage (75, 150, and 225 Volt).
The research results are amoxicillin concentration was analyzed with spectrophotometer, ampicillin was analyzed with iodometri titration, and COD was analyzed by FAS (Fero Amino Sulfat) titration. This research resulted in the best condition to set aside penicillin contained in the wastewater, alkaline conditions with pH ≈ 10 and allowance system effluent containing penicillin with ozone and UV rays, as well as the initial concentration of penicillin contained in wastewater is 50 ppm. The resulting allowance percentage reached 95.61% with a final concentration of 1.90 ppm.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T34860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawati
"Pengembangan biosensor dengan kombinasi DNA aptamer dari penislin G dan nanopartikel emas (AuNP) digunakan untuk mendeteksi penisilin G. Kondisi optimum aptasensor diperoleh dengan konsentrasi NaCl dan aptamer masing-masing 0,25 M dan 2 μM. Uji sensitifitas menunjukkan nilai limit deteksi aptasensor penisilin G sebesar 1 mg/L dan mampu mendeteksi penislin G dalam kisaran 1-27 mg/L. Aptasensor penisilin G menujukkan hasil yang spesifik dalam mendeteksi penisilin G setelah dilakukan uji dengan beberapa antibiotik; ampisilin, kanamisin, kloramfenikol dan eritromisin. Hasil mutasi iradiasi ultaviolet dan iradiasi gamma terhadap P.chrysogenum tipe liar menunjukkan peningkatan produksi pensilin G secara signifikan. Melalui metode deteksi aptasensor menunjukkan bahwa penisilin G dari strain P. chrysogenum tipe liar, mutan (iradiasi ultraviolet), mutan (iradiasi gamma), serta mutan (iradiasi ultraviolet dan iradiasi gamma) masing-masing menunjukkan konsentrasi deteksi sebesar 9,75 ± 0,004; 25,25 ± 0,005; 37,5 ± 0,005; dan 45 ± 0,004 mg/L.

The development of biosensors with a combination of aptamer DNA from penislin G and gold nanoparticles (AuNP) was used to detect penicillin G. The optimum condition of aptasensor was obtained with NaCl and aptamer concentrations of 0.25 M and 2 μM, respectively. The sensitivity test showed the aptasensor penicillin G detection limit value of 1 mg/L and was able to detect penicline G in the range 1-27 mg/L. Aptasensor penicillin G shows specific results in detecting penicillin G after testing with several antibiotics ampicillin, kanamycin, chloramphenicol and erythromycin. The results of ultaviolet irradiation and gamma irradiation on wild-type P. chrysogenum showed a significant increase in production of penicillin G. Through aptasensor detection method showed that penicillin G from strains of wild type P. chrysogenum, mutants (ultraviolet irradiation), mutants (gamma irradiation), and mutants (ultraviolet irradiation and gamma irradiation) showed detection concentrations of 9.75 ± 0.004; 25.25 ± 0.005; 37.5 ± 0.005; and 45 ± 0.004 mg / L, respectively."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T52878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Lendl Prayogo
"Latar belakang: Neisseria gonorrhoeae (NG) telah mengalami resistensi terhadap berbagai antibiotik. Setidaknya sepuluh negara telah melaporkan kegagalan pengobatan gonore dengan extended-spectrum cephalosporins (ESCs). Pengawasan berkelanjutan penting untuk menentukan pedoman pengobatan lokal.
Tujuan: Mengetahui prevalensi NG yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, levofloksasin, sefiksim, dan seftriakson pada kelompok risiko tinggi di Jakarta serta mengidentifikasi berbagai faktor yang berhubungan.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Jakarta pada September hingga November 2018. Terdapat 98 laki-laki dan perempuan berisiko tinggi yang memenuhi kriteria penelitian. Sediaan duh tubuh diambil dari uretra atau serviks, disimpan di media transport, kemudian diantarkan ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI untuk biakan dan identifikasi. Uji resistensi dilakukan dengan metode difusi cakram sesuai rekomendasi Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI).
Hasil: Dari seluruh spesimen yang dibiakkan, 35 di antaranya menunjukkan pertumbuhan isolat NG. Prevalensi NG yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, levofloksasin, sefiksim, dan seftriakson pada kelompok risiko tinggi di Jakarta adalah 97,1%; 97,1%; 34,3%; 0%; 0%. Usia, orientasi seksual, riwayat konsumsi antibiotik, berhubungan seksual secara komersial, dan berhubungan dengan pasangan seksual dari luar kota tidak berhubungan dengan NG yang resisten terhadap levofloksasin.
Kesimpulan: Tidak ditemukan isolat NG yang resisten terhadap sefiksim dan seftriakson. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sefiksim dan seftriakson efektif mengobati gonore di Jakarta. Tidak ada faktor yang berhubungan dengan resistensi pada penelitian ini.

Background: Neisseria gonorrhoeae (NG) has developed resistance to various antimicrobials. At least ten countries have reported treatment failures with extended-spectrum cephalosporins (ESCs). Continuous surveillance is important to determine local treatment guideline.
Objectives: To determine the resistance rates of NG to penicillin, tetracycline, levofloxacin, cefixime, ceftriaxone among the high-risk population in Jakarta, and identify the associated factors.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta, Indonesia from September to November 2018. A total of 98 high-risk men and women fulfilled the studies’ criteria. The specimens were collected from urethral or endocervical swabs, put into Amies transport media, and then transported to the Laboratory of Clinical Microbiology Universitas Indonesia for culture and identification. Proven gonococcal isolates were examined for susceptibility to various antibiotics using the disk diffusion method according to Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) recommendation.
Results: Among 98 specimens, 35 were confirmed to be NG. The NG resistance rates to penicillin, tetracycline, levofloxacin, cefixime, and ceftriaxone among high-risk population were 97,1%; 97,1%; 34,3%; 0%; 0%. Age, sexual orientation, history of antibiotic consumption, commercial sexual activities, and sexual activities with partners from other regions were not associated with the resistance to levofloxacin.
Conclusion: No resistance to cefixime and ceftriaxone was reported. This finding indicates that they are still effective to treat gonorrhea in Jakarta. There were no associated factors identified in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aulia Prasasti Dewi
"Amoksisilin merupakan salah satu antibiotik β-laktam yang mendominasi pasar antibiotik global, dimana proses produksinya secara enzimatis dilakukan oleh Penisilin-G Asilase (PGA). Pada produksi amoksisilin secara enzimatis dalam skala industri dibutuhkan enzim PGA dengan jumlah yang cukup besar. Proses tersebut membutuhkan enzim PGA dalam bentuk teramobil. Penggunaan PGA teramobil sendiri memiliki kelebihan dapat digunakan berkali-kali sehingga memberikan keuntungan tambahan secara teknologi dan ekonomis dalam proses sintesis amoksisilin. Imobilisasi ini dilakukan pada enzim PGA dari isolat Bacillus thuringiensis BD1 koleksi Lab Biokatalis-PRMT-ORHL-BRIN. PGA diimobilisasi  menggunakan bahan Na-Alginat sebagai matriks imobilisasi dengan menggunakan teknik penjebakan, dengan variasi konsentrasi Na-Alginat pada 1%, 1.25%, dan 1.5%. Pengujian stabilitas pH pada range pH 6-9, uji stabilitas termal pada range 30-60 0C, dilakukan pula uji penggunaan ulang, uji morfologi, dan juga uji sintesis amoksisilin. Aktivitas sebelum proses imobilisasi terukur sebesar 46.59 U/mg. Konsentrasi Na-alginat optimum pada imobilisasi PGA BD1 adalah sebesar 1.5% dengan aktivitas  terukur 41.01 U/mg.  PGA BD1 terimobilisasi dapat mempertahankan sekitar  ±20% dari jumlah aktivitas awal setelah dilakukan 4 kali pemakaian. Imobilisasi PGA optimum pada kondisi pH 7 dan suhu 40 0C. PGA BD1 terimobilisasi menghasilkan kadar amoksisilin lebih tinggi pada proses sintesa amoksisilin secara enzimatis jika dibandingkan dengan bentuk bebasnya

Amoxicillin is one of the β-lactam antibiotics that dominates the global antibiotic market, where the enzymatic production process is carried out by Penicillin-G Acylase (PGA). Enzymatic production of amoxicillin on industrial scale requires a large amount of the PGA enzyme. This process requires the PGA enzyme in immobilized form. The use of immobilized PGA has the advantage that it can be used many times, thus providing additional technological and economic advantages in the amoxicillin synthesis process. This immobilization was carried out on PGA enzymes from Bacillus thuringiensis BD1 isolates from the collection of the Biocatalyst Lab-PRMT-ORHL-BRIN. PGA was immobilized using Na-Alginate as the immobilization matrix using entrapment techniques, with variations in Na-Alginate concentrations at 1%, 1.25%, and 1.5%. pH stability testing in the pH range 6-9, thermal stability tests in the range 30-60 oC, reusability tests, morphology tests, and amoxicillin synthesis tests were also carried out. Activity before the immobilization process was measured at 46.59 U/mg. The optimum Na-alginate concentration in PGA BD1 immobilization was 1.5% with a measured activity of 41.01 U/mg. Immobilized PGA BD1 can maintain about ±20% of its initial activity after 4 uses. Optimum PGA immobilization at pH 7 and temperature 40 0C. Immobilized PGA BD1 produced higher levels of amoxicillin in the enzymatic amoxicillin synthesis process when compared with the free enzyme."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari Cendana
"Penisilin dari kelompok antibiotik β-laktam dianggap mampu menjadi produk antibiotik superior di pasaran global. Akibat fenomena resistensi antibiotik turunan pertama, enzim penisilin G Asilase (PGA) berperan penting pada industri antibiotik semisintetik β-laktam seperti amoksisilin. Enzim PGA dari Achromobacter xylosoxidans yang diekspresikan menggunakan teknologi DNA rekombinan pada sel inang ekspresi E. coli BL21 (DE3) dan E. coli Arctic Express (DE3) menghasilkan badan inklusi yang bersifat insoluble. Optimasi ekspresi enzim PGA dilakukan dengan parameter konsentrasi penginduksi isopropil-β-D-galaktopiranosida (IPTG) dan suplementasi media dengan CaCl2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter optimal berupa variasi konsentrasi IPTG dan penambahan CaCl2 pada ekspresi gen penyandi Penisilin G Asilase (PGA) yang berasal dari A. xylosoxidans pada sel kompeten E. coli Arctic Express (DE3) dan E. coli BL21 (DE3) serta mengamati ekspresi gen penyandi enzim PGA secara intraseluler dan ekstraseluler. Ekspresi gen dilakukan secara lambat dengan perlakuan suhu rendah, yaitu 20°C untuk E. coli BL21 (DE3) dan 10°C untuk E. coli Arctic Express (DE3), selama 16 jam menggunakan media Luria Bertani (LB). Produk enzim AxPGA dianalisis secara kualitatif menggunakan elektroforesis SDS-PAGE dan secara kuantitatif menggunakan uji Bradford dan uji aktivitas hidrolisis. Sel inang ekspresi E. coli Arctic Express (DE3) dan E. coli BL21 (DE3) mengekspresikan enzim AxPGA periplasmik dengan aktivitas 6,3 ± 0,76 U/mL dan 4,7 ± 0,05 U/mL berturut-turut, sedangkan sitoplasmik dengan aktivitas 7,3 ± 0,2 U/mL dan 4,5 ± 0,11 U/mL berturut-turut. Hasil analisis menunjukkan bahwa enzim AxPGA berhasil diekspresikan pada E. coli Arctic Express (DE3) dan E. coli BL21 (DE3) dengan induksi IPTG 0,5 mM dan penambahan CaCl2 10 mM secara optimal.

Penicillin from the β-lactam antibiotic group is capable to become a superior antibiotic product in the global market. As a result of the first-generation antibiotic resistance phenomenon, the penicillin G Acylase (PGA) enzyme plays an important role in the β-lactam semisynthetic antibiotic industry such as amoxicillin. The PGA enzymes from Achromobacter xylosoxidans which is expressed using recombinant DNA technology using E. coli Arctic Express (DE3) and E. coli BL21 (DE3) host cell expressions produce insoluble inclusion bodies Optimization of PGA enzyme expression was carried out with isopropyl-β-D-galactopyranoside (IPTG) induction and CaCl2 media supplementation parameter. This study aims to determine the optimal parameters of IPTG concentrations and CaCl2 supplementation on the expression of the penicillin G acylase (PGA) encoding gene from A. xylosoxidans in E. coli Arctic Express (DE3) and E. coli BL21 (DE3) and to observe intracellular and extracellular expressions. Gene expression carried out slowly with low temperature, 20°C for E. coli BL21 (DE3) and 10°C for E. coli Arctic Express (DE3), for 16 hours using Luria Bertani (LB) media. The AxPGA enzyme product analyze qualitatively using SDS-PAGE electrophoresis and quantitatively using the Bradford test and hydrolysis activity. E. coli Arctic Express (DE3) dan E. coli BL21 (DE3) host cells expressed the periplasmic AxPGA enzymes with activity of 6,3 ± 0,76 U/mL dan 4,7 ± 0,05 U/mL, respectively, while the cytoplasmic AxPGA enzymes with activity of 7,3 ± 0,2 U/mL and 4,5 ± 0,11 U/mL respectively. The results showed that the AxPGA enzyme was optimally expressed in E. coli Arctic Express (DE3) and E. coli BL21 (DE3) with 0,5 mM IPTG induction and 10 mM CaCl2 media supplementation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indria Puti Mustika
"Fermentasi Penicillium chrysogenum membutuhkan sumber nitrogen untuk meningkatkan biosintesis penisilin G. Umumnya sumber nitrogen yang digunakan adalah Corn Steep Liquor (CSL) yang diperoleh dari produk samping pengolahan jagung. Ketergantungan pada CSL perlu dikurangi untuk mengantisipasi penurunan produksi jagung akibat pemanasan global. Ikan rucah, ikan berkualitas rendah dan kurang bernilai ekonomis, memiliki protein relatif tinggi. Ikan yang dihidrolisis menggunakan papain merupakan sumber asam amino yang diduga dapat menjadi sumber nitrogen pengganti CSL. Tujuan penelitian ini adalah menggunakan ikan rucah petek dalam bentuk hidrolisat protein ikan (HPI) sebagai sumber nitrogen alternatif pengganti CSL dalam biosintesis penisilin G oleh P. chrysogenum. Ikan tersebut dihidrolisis pada variasi konsentrasi papain kasar dari getah pepaya, suhu, dan lama hidrolisis. Persentase derajat hidrolisis digunakan sebagai parameter reaksi hidrolisis. Kondisi optimum hidrolisis diperoleh secara statistik menggunakan pendekatan one-factor-at-a-time dan response surface methodology. HPI dengan derajat hidrolisis tertinggi dikarakterisasi komposisi asam amino, visualisasi fragmen peptida, dan digunakan sebagai pengganti CSL dalam media fermentasi P. chrysogenum untuk produksi penisilin G. Derajat hidrolisis optimum sekitar 18% diperoleh dari reaksi hidrolisis ikan menggunakan 0,75% papain kasar pada 55,1o C selama 5,74 jam. Komposisi asam amino HPI lebih tinggi dibandingkan dengan CSL. Reaksi hidrolisis telah membentuk fragmen peptida dengan berat molekul lebih rendah. Sebanyak 189 g/L HPI telah meningkatkan produksi penisilin G sekitar 1,8 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan CSL. Berdasarkan hasil yang diperoleh, HPI rucah petek dapat menjadi sumber nitrogen alternatif pengganti CSL untuk produktivitas P. chrysogenum dalam biosintesis penisilin G dan memiliki potensi sebagai sumber protein terbarukan

Fermentation of P. chrysogenum requires a nitrogen source to enhance the biosynthesis of penicillin G. The nitrogen source used is corn steep liquor (CSL) solution obtained from corn processing byproducts. Dependency on the CSL needs to reduce in anticipation of a decrease in corn production due to global warming. Trash fish, low-quality and less economically valuable fish, have relatively high protein. Fish hydrolyzed using papain is a source of amino acids that will be a nitrogen source to substitute CSL. This research aims to use trash fish in the form of Fish Protein Hydrolyzate (FPH) as an alternative nitrogen source to substitute CSL for penicillin G biosynthesis by P. chrysogenum. The fish was hydrolyzed at varying concentrations of crude papain from papaya latex, temperature, and hydrolysis duration. The percentage degree of hydrolysis was used as the hydrolysis reaction parameter. The optimum hydrolysis conditions were statistically obtained using the one-factor-at-a-time and response surface methodology approach. FPH with the highest degree of hydrolysis was characterized for amino acid composition, visualization of peptide fragments, and used as a substitute for CSL in P. chrysogenum fermentation medium for penicillin G production. The optimum hydrolysis degree of about 18% was obtained from fish hydrolysis reaction using 0.75% crude papain at 55.1o C for 5.74 hours. The amino acid composition of FPH was higher than that of CSL. The hydrolysis reaction has formed peptide fragments with lower molecular weight. A total of 189 g/L FPH has increased the production of penicillin G by about 1.8-fold higher than the use of CSL. Therefore, FPH can be an alternative nitrogen source to CSL for the productivity of P. chrysogenum in penicillin G biosynthesis and has the potential as a renewable protein source."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library